Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faisal Ibrahim
Abstrak :
Civil society merupakan istilah yang lahir dari Barat dan menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, seiring dengan merebaknya konsep demokrasi. Munculnya istilah tersebut bukan tanpa problem, karena, dikalangan tokoh civil society sendiri seperti; Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Roussaue, Tacqueville dan Gramcsi telah terjadi pertentangan dalam memproposionalkan konsep civil society. Bagi Negara-negara Arab, istilah civil society pertama kali dipopulerkan pada tahun 70-an oleh Burhan Ghaliyyun, seorang sosiolog asal Suriah. Kemudian tahun 80-an, mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan baik politisi, intelektual, akademisi, aktivis maupun birokrat dari kalangan pemerintah. Hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh Markaz ad-Dirasat al-Wihdah al Arabiyah (Pusat Kajian Uni Arab) yang berpusat di Libanon, dan Markaz Ibnu Khaldun Liddirasat Al-Inma'i (Pusat Kajian pengembangan dan pembangunan Ibnu Khladun) yang berpusat di Kairo. Puluhan buku telah diterbitkan dan berbagai seminar telah digelar oleh kedua pusat studi tersebut. Sejauh yang penulis teliti, setidaknya, telah dilakukan penelitian secara khusus terhadap 13 negara; Mesir, Kuwait, Libanon, Palestina, Suriab, Qatar, Somalia, Sudan, Yaman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania dan Train Civil society di Negara-negara Arab (Mesir, Suriah dan Kuwait) berkembang melalui dua faktor utama; pengaruh arus golobalisasi, dan sosial budaya dan sistem politik bangsa Arab yang bersifat diktator dan monarkhi. Baik di Mesir, Suriah dan Kuwait perkembangan civil society secara drastis berlangsung sejak tahun 80-an, dan difahami sebagai kerangka demokrasi. Di Mesir, untuk menciptakan iklim demokrasi perlu penguatan civil society, diikenal dengan coraknya yang sekuler, telah membuka peluang besar untuk melakukan aktivitas-aktivitas orgnanisasi formal dan non formal, pemerintah dan non pemerintah. Sehingga pada 1993, organisasi di Mesir telah mencapai 14.000 lembaga. Namun, dominasi Partai Demokrasi Nasional atau Al-Hizb Al-Wathani Ad-Dimugraty, sebagai partai rezim penguasa, telah menjadi penghambat kebebasan partai-partai lain untuk menyuarakan suara rakyat. Sementara di Kuwait, nampak hambatan-hambatan penerapan civil society yang lebih disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kurang mendukung, Sistem Ke Emiran tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada rakyatnya umtuk berkelompok dan berorganisasi. Contoh kasus, Partai menjadi kegiatan terlarang, karena tidak didukung oleh undang-undang yang berlaku. Namun fenomena civil society telah berlansung baik melalui pemberdayaan organisasi-organisasi dan asosiasi non formal atau non pemerintah. Karenanya, hingga 90-an hanya terdapat sekitar 50 lembaga dan asosiasi baik yang bersifat sosial maupun profesi. Sedangkan di Suriah, civil society mengalami perjalanan yang lebih sulit bila dibandingkan dengan Mesir dan Kuwait. Meskipun diketahui bahwa tokoh yang pertama kali mempopulerkan istilah civil society adalah cendekiawan asal Suriah. Suriah telah menggunakan sistem partai tunggal, Partai Baath. Hanya Partai Baath-lah yang mendomiriasi segala bentuk kegiatan sipil di Suriah. Meskipun demikian, di Suriah terdapat 450 organiasi. Singkatnya, perkembangan civil society di Negara-negara Arab dapat dikategorikan sebagai fase melampaui gelombang pertama menuju gelombang kedua, dimana proporsionalisasi pole civil society dalam fase ini sedang diupayakan legalitasnya dalam masyarakat Arab dan Timur Tengah. Meskipun ada yang menklaim, bahwa civil society dan demokratisasi di Timur Tengah adalah naif.
The Development of Civil Society In Arab States (Democratization Process in Egypt, Syria and Kuwait)Civil society that is term which born from west and disseminate to all state in the world, along disseminate conception democracy. Existence of the term non-without problem, because at figure of civil society like: Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Rousseau, Tacqueville and Gramsci have been happened opposition of substantive in conception civil society. In Arabic States, term of civil society in the firs time popularized in 70s by Burhan Ghaliyyun, a sociologist from Syria, then, in 80s, profound interest from good everybody of politician, intellectual, academic, activist and also bureaucrat from government. Proven is by what conducted by Markaz ad-dirasat al-Wihdah Al-Arabiyah (Uni Arab Study Center) in Lebanon, and Markaz Ibnu Khaldun Lidirasaat al Inma'i (Development of Ibnu Khaldun and Study Center) In Cairo. Tens of books have been published and various seminars have been performed by second center Study. As far as in writer research, previous, have been a researched peculiarly to 13 state; Egypt, Kuwait, Lebanon, Palestine, Syria, Qatar, Somalia, Sudan, Yemen, Bahrain, Uni Emirate Arab, Jordan and Iraq. Civil society in Arab States (Egypt, Syria and Kuwait) expanding through two primary factor: influence of globalization current, and the political system nation Arab having character of dictator and monarchy. Either in Egypt, Syria and Kuwait growth civil society drastically takes place since 1980, and comprehended by as framework democratizes. In Egypt, to create climate of democracy need support civil society recognized with its characteristic is secular, have opened big opportunity to (do/conduct) formal organizational activity and non-formal, government and non government. So those in 1993, organization in Egypt have reached 14.000 institutes. But, predominate Party of National Democratize or Al-Hizb AI-Wathany ad-Dimugraty, as party of power regime, have come to resistor freedom of other; dissimilar party to accommodate people aspiration. For a while in Kuwait, applying resistance civil society what more because of system government which less support, emirate system is not full give freedom to his people to team and have the organization. Follow the example of case, party become forbidden activity, because is not supported by law going into effect. But phenomenon civil Society has taken place, goodness of through organizational enable ness and association of non formal or non government. Hence, till 1990 only there are about 50 association and institute of both for public spirited and also profession. While in Syria, civil society experience of more difficult; journey if compared to Egypt and Kuwait. Though known that, the first figure multiply to popularize term civil society is origin Syria intellectual. Syria has used single party, Party Baath. Only Party Baath predominating all the form of the civil activity in Syria. Nevertheless, in Syria there are 450 organizations. The conclusion from above opinion the growth of civil society in Arab can be categorized as first wave phase to second wave, where correct from of civil society in this phase is being strived its legality in Middle East and Arab Society. Though there is claiming, that civil society democratization and in Arab is not possible.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
lkhsan
Abstrak :
Penelitian ini menganalisa pengaruh kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) dalam menghadapi terorisme internasional terhadap tumbuhnya fundamentalisme Islam di Palestina yang diwakili oleh kelompok Hamas, yang bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan motif dan tujuan AS dalam mengeluarkan kebijakan tersebut serta mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan tersebut terhadap tumbuhnya gejala fundamentalisme Islam di Palestina, seperti kelompok Hamas. Gejala fundamentalisme llamas tersebut dibuktikan oleh pernyataan dan tindakan mereka yang selalu bersikap dan bertindak anti AS-Israel, data-data tersebut diperoleh dari dokumen resmi, seperti surat kabar dan situs intemet. Selain itu tulisan ini memprediksikan prospek pemberantasan terorisme dan fundamentalisme Islam di masa mendatang. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan AS pada masa pemerintahan George W. Bush sangat dipengaruhi oleh lobi Yahudi dan Neo Konservatif sehingga warna kebijakannya senantiasa represif dan militeristik. Kebijakan luar negeri AS pada masa pemerintahan George W. Bush mempunyai motif dan tujuan untuk merebut dominasi ekonomi global Isu pemberantasan terorisme internasional sebagai mega proyek Pemerintah AS dalam rangka menjadikan negaranya paling survive di dunia. 2. Akibat dari kebijakan Pemerintah AS tersebut yang cenderung menggunakan instrurnen militeristik ketimbang bermusyawarah antar sesama adalah mempersubur tumbuhnya gejala fundamentalisme, terutama di negara-negara Islam Timur Tengah. Fenomena fundamentalisme Islam Timur Tengah dibuktikan oleh gerakan Hamas di Palestina yang selalu menjadi perbincangan hangat di berbagai media, terutama media Eropa-Amerika. Petjuangan kelompok Hamas bukanlah seperti fundamentalisme yang muncul pada semua keyakinan agarna sebagai respon atas masalah-masalah yang diakibatkan modernitas. Fundamentalisme mereka juga tidak bisa diidentikkan dengan istilah terorisme yang umumnya "dipaksakan" pengertiannya oleh AS dan Barat, tetapi gerakan Hamas merupakan perlawanan terhadap sikap dan tindakan AS-Israel yang represip. 3. Kalau kebijakan AS dalam menghadapi terorisme masih dilakukan dengan Cara-cara yang represip, maka nasib dunia di masa mendatang akan semakin tidak aman dan fundamentalisme Islam akan semakin subur.
This research aimed to analyzes the background and influence of US foreign policy on overcoming international terrorism toward Islamic fundamentalism which is represented by Hamas in Palestine. The indicators of Hamas fundamentalism can be seen of their statements and attitude toward US and Israel. The data of this research is collected from legal documents such as news paper and cyber media. Additionally, this research has led to several findings as follows: 1. Neo-Conservative and Jews' lobbying highly influences the US policy which tends to be militaristic and repressive. The objective of US foreign policy under the government of George W. Bush's is to dominate the global economy. Overcoming the international terrorism has become the US mayor project in turn had US to be the most survival country in the world. 2. The effect of the US' policy which inclined to use the militaristic instruments then to discuss each other is the improvement of the fundamentalism indicators, especially in Middle East Moslem countries that become the pilot project of US' foreign policy. Islamic fundamentalism phenomenon in Middle East was proved by Hamas movement in Palestine that always becomes the theme on every public discussion, especially American-European press. The struggle of I-lamas group is one of the unique group and we must study specifically. Their unique is Hamas' fundamentalism custom must be differentiated with the definition of fundamentalism that often publicized in many media. Hamas fundamentalism is not based by religion and believes in responding the modernity issues. Their fundamentalism is not identical with the terminology of terrorism. Hamas' movement is an opponent toward US' and Israel policy. 3. If the US foreign policy on facing international terrorism was hold repressively, the international situation is not safe and the Islamic fundamentalism grows prosperously in the future.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T 15036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bachtiar
Abstrak :
Pada tahun 1996, masyarakat Australia dikejutkan dengan munculnya seorang politisi baru, Pauline Hanson, yang membangkitkan kembali perdebatan publik mengenai kebijakan multikulturalisme dan imigrasi dari Asia. Hal yang menjadi perhatian adalah sikap anti-Asia yang ditunjukan oleh Pauline Hanson ternyata mendapatkan dukungan masyarakat Australia dalam pemilihan umum Federal 1996 dan Pemilihan umum Queensland tahun 1997. Fenomena Pauline Hanson tentunya tidak dapat muncul begitu saja, tetapi ada beberapa faktor yang mendorong kebangkitannya. Perkembangan domestik masyarakat Australia memegang peranan penting dalam membentuk dukungan dari masyarakat, sementara itu terdapat pula beberapa perkembangan politik internasional terutama di Asia yang turut mendorong munculnya fenomenon ini. Pauline Hanson dapat diindentifikasi sebagai gerakan radikal kanan baru yang sebelumnya telah berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Gerakan ini dapat muncul dan berkembang di negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi, jumlah pengangguran meningkat sementara itu jumlah pengangguran semakin banyak. Para penganut gerakan ini menawarkan formula politik yang anti-imigran, anti-globalisasi dan kebijakan ekonomi yang nasionalistik. Dalam menganalisa fenomenon ini digunakan teori-teori yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa dari Herbert Kitschelt, Leonard Winenberg, Joseph H. Caren. Sementara itu dalam mencari gambaran hubungan internasional dari fenomenon yang dibahas, dipergunakan teori citra (image) yang dikemukakan oleh Kenneth E. Boulding dan R. Holsti. Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengandalkan data dan informasi yang dianggap relevan. Fenomenon Pauline Hanson menunjukkan dua hal : pertama, krisis identitas yang belum teratas; kedua, krisis ekonomi yang belum selesai. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan multikulturalisme dan imigrasi yang meningkatkan jumlah penduduk imigran dari Asia. Sementara itu, dalam jangka dua dekade terakhir, kebijakan ekonominya belum dapat mengatasi masalah ekonomi nasional sehingga angka pengangguran terus meningkat dan kesejahteraan hidup. Akibatnya timbul sentimen negatif terhadap imigran Asia, penegasan kembali superioritas budaya Inggris dan penolakan atas globalisasi dunia.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmi Adriansyah
Abstrak :
Tesis ini berangkat dari latar belakang bahwa skema organisasi regional Asia Pacific Economic Cooperation- dengan berbagai multidiversitasnya-menyimpan sejumlah dilema. Dilema tersebut bermula dari adanya perbedaan pendekatan ekonomi politik yang diterapkan oleh dua kelompok negara anggotanya, yaitu "neo-liberalism" yang diterapkan oleh Negara Maju dan "Asian view" yang diterapkan oleh Negara Sedang Berkembang. Tujuan dari penelitian tesis ini adalah ingin mengkaji apakah dilema-dilema yang ada di dalam APEC dipengaruhi oleh kedua pendekatan ekonomi politik tersebut. Adapun yang menjadi asumsi penelitian adalah bahwa pendekatan-pendekatan "neo-liberalism" dan "Asian view" telah menyebabkan timbulnya dilema-dilema di dalam APEC. Metode penelitian yang digunakan adalah studi atau penelitian komparatif, dengan pendekatan ekonomi politik. Sedangkan yang menjadi teknik pengumpulan data adalah studi pustaka, studi dokumentasi dan wawancara. Hasil analisis yang didapat dari penelitian ini adalah memang terdapat sejumlah dilema/permasalahan di dalam APEC, yaitu {1} keanggotaan, (2) pencapaian tujuan-tujuan, (3) institusionalisasi, dan agenda (4). Setelah diadakan penelitian, terbukti bahwa dilema-dilema tersebut disebabkan oleh adanya dua pendekatan yang berbeda antara Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang. Akhirnya secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang implikatif antara penerapan pendekatan ekonomi politik "neoliberalism" Negara Maju dan "Asian view" Negara Sedang Berkembang dengan munculnya dilema-dilema di dalam APEC.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priadji
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Politik Luar Negeri Pakistan mengenai Keamanan Regional Asia Selatan periode 1990-1996. Pakistan memandang dua isu terpenting dalam kebijakan luar negerinya, yaitu masalah nuklir India dan masalah Kashmir. Program pengembangan nuklir India bagi Pakistan merupakan ancaman terhadap keamanan nasional. Penindasan pemerintah India terhadap warga Kashmir membuat Pakistan memutuskan untuk memberi dukungan pada warga yang tertindas tersebut. Dalam pembuatan tesis ini ada empat faktor yang dianggap mempengaruhi pelaksanaan Politik Luar Negeri Pakistan, yaitu situasi/politik domestik Pakistan, isu Kashmir, program pengembangan nuklir India dan faktor Amerika Serikat. Situasilpolitik domestik Pakistan mengacu pada pelaksanaan konsensus nasional yang disepakati oleh segenap komponen bangsa di Pakistan, termasuk kelompok oposisi yang biasanya berseberangan dengan elit yang berkuasa. Faktor kedua yang mempengaruhi pelaksanaan Politik Luar Negeri Pakistan adalah isu Kashmir. Dalarn kaitan ini perlawanan warga Kashmir yang berada di bawah tekanan penguasa IHK (Indian Held Kashmir) menjadi pendorong Pakistan untuk menjalankan kebijakan internasionalisasi isu Kashmir. Dalam kasus program pengembangan nuklir India, Pakistan beranggapan bahwa India memang merupakan ancaman terhadap keamanan nasional Pakistan. Percobaan rudal Agni oleh India pada tahun 1989 juga menambah keyakinan Pakistan bahwa India berniat menggoyahkan stabilitas kawasan Asia Selatan. Faktor Arnerika Serikat juga berperan dalam pelaksanaan politik luar negeri Pakistan. Kalau pada masa Perang Dingin Amerika Serikat dapat menjadi sumber bagi peningkatan petahanan nasional Pakistan antara lain dalam menghadapi persepsi ancaman India, maka pada periode pasca Perang Dingin dukungan Amerika Serikat sangat jauh berkurang sehingga Pakistan kemudian mengadakan pendekatan dengan Cina dalam bidang pertahanan dan bidang ekonomi sampai tahap tertentu selain dengan negara-negara Timur Tengah melalui jalur diplomatik. Penulis melakukan penelitian kepustakaan pada buku-buku, artikel, majalah dan surat kabar sebagai sumber data primer. Penulis jugs melakukan satu wawancara langsung dengan salah satu staf Kedubes Pakistan di Jakarta. Pembahasan tesis ini kemudian diperkuat oleh penggunaan teori antara lain oleh Barry Buzan mengenai persepsi ancaman terhadap keamanan nasional, John A Vasquez melalui pemikirannya mengenai sikap konfliktif satu negara yang terkait dengan keadaan/sikap domestik suatu negara dan Peter Calvert mengenai keterkaitan antara situasi dalam negeri dengan pelaksanaan politik luar negeri. Ketiga kerangka pemikiran ini kemudian dikombinasikan untuk menjelaskan permasalahan serta hubungan variabel yang terdapat dalam penulisan tesis ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdy N.J. Piay
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh pelaksanaan proses internasionalisasi terhadap terjadinya perubahan-perubahan pada tingkat domestik. Proses internasionalisasi pada prinsipnya merupakan suatu proses yang sangat wajar dilakukan oleh setiap negara di dunia dengan melihat kenyataan bahwa perekonomian global mengarah pada terbentuknya tatanan yang didasarkan pada perdagangan bebas. Hal ini akan semakin relevan apabila dikaitkan dengan tujuan WTO sebagai lembaga dunia untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas. Respon positif yang dapat diberikan ialah dengan melakukan proses internasionalisasi atau membuka perekonomian domestik terhadap perekonomian global yang secara teoritis akan mendorong kemampuan bersaing negara tersebut. Secara teoritis, proses Internasionalisasi melalui liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah seharusnya diimplementasikan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi liberal yang menjadi prinsip utama perekonomian dunia. Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia pada intinya sudah berada pada jalur yang benar, yaitu menuju liberalisasi ekonomi. Terlepas dari kenyataan tersebut, masih banyak negara terutama negara berkembang yang melakukan berbagai langkah proteksi atas pengaruh desakan arus "liberalisme ekonomi" dari luar didorong oleh tujuan untuk memberikan kesempatan perkembangan industri domestik. Namun langkah menghambat desakan "mainstream" perekonomian dunia sebenarnya dapat diterjemahkan juga sebagai langkah menghambat proses internasionalisasi dan konsekuensi logis dari langkah tersebut adalah terjadinya bias atau perbedaan antara perekonomian domestik dan perekonomian dunia. Deviasi atau penyimpangan tersebut pada suatu tingkatan tertentu dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan domestik baik ekonomi maupun politik bahkan lebih jauh lagi dapat menjadi salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya instabilitas domestik. Proses internasionalisasi yang dilakukan oleh Indonesia selama ini secara tidak disadari telah meningkatkan tingkat integrasi perekonomian Indonesia dengan perekonomian global. Di lain pihak, karena tingkat interdependensi dalam sistem perekonomian global yang sangat tinggi, maka krisis moneter yang bermula di Thailand telah meluas ke Indonesia. Namun oleh karena Implementasi proses internasionalisasi yang setengah-setengah, tidak adanya suatu grand strategy dalam perekonomian serta sistem politik yang cenderung otoriter, maka krisis ekonomi yang melanda Indonesia tersebut telah membawa dampak meluas hingga terjadinya krisis politik yang mencapai puncaknya pada jatuhnya rezim orde baru. Dalam menganalisa permasalahan yang dihadapi, penulis menggunakan kebijakan dalam bidang perdagangan dan mobilitas modal serta tingkat perubahannya sebagai indikator internasionalisasi ekonomi oleh karena kedua indikator tersebut dapat menjelaskan sejauh mana perekonomian Indonesia sudah terinternasionalisasi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Daniel Tumpal S.
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak tanggal 4 Januari 1999, mata uang tunggal Eropa Euro mulai dipergunakan sebagai alat transaksi. Berlakunya Euro ditandai dengan mulai berfungsinya Bank Sentral Eropa (ECB) di sebelas negara anggota Uni Ekonomi dan Moneter (EMU). Latar belakang lahirnya Euro disebabkan oleh keinginan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi anggotanya di tengah-tengah persaingan ekonomi global serta adanya suatu harapan agar segala bentuk konflik di Eropa tidak pernah terulang lagi.

Kredibilitas Euro disadari akan terus meningkat, namun di masa-masa awal pelaksanaan ini masih terdapat beberapa masalah yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi pelaksanaan mata uang tunggal Eropa ini. Ada dua faktor yang hares diperhatikan para pengambilan keputusan di Eropa agar pelaksanaan Euro beserta institusi pelaksananya (ECB) dapat berjalan dengan baik; pertama, bagaimana mempertahankan kredibilitas ECB sebagai bank sentral yang independen. Kedua, Euro saat ini baru didukung oleh sebelas negara anggota dan akan lebih baik bila keempat negara anggota lainnya juga segera turut serta dalam mata uang tunggal Eropa.

Dalam menciptakan kredibilitas ECB yang lebih baik ada beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Proses pengambilan keputusan di dalam EMU relatif lebih ter-desentralisasi dibandingkan bank sentral yang umumnya ada, dan juga dirasakan adanya persaingan pcngaruh antara dua negara terbesar di dalam EMU, yaitu: Jerman dan Perancis. Di masa depan akan lebih baik bila ECB tetap mampu mempertahankan independensinya dari intervensi kepentingan nonekonomi.dari negara-negara tertentu. ECB dirancang sebagai institusi yang relatif independen dari sorotan publik. Namun dirasakan perlu bila dalam pelaksanaannya ECB juga memperhatikan transparansinya kepada publik Eropa melalui akuntabilitasnya di Parlemen Eropa. Kredibilitas ECB akan juga semakin baik bila ia mampu tetap mempertahankan stabilitas harga yang ada dan mampu mengurangi tekanan tehadap nilai Euro yang dikhawatirkan dapat menyebabkan defisit anggaran.

Faktor kedua yang menjadi perhatian adalah masih adanya empat negara anggota Uni Eropa yang melakukan penundaan kedalam mata uang tunggal. Selain Yunani yang melakukan penundaan karena memang gagal memenuhi persyaratan ekonomi untuk masuk zone-Euro; maka ketiga negara lainnya (Inggris, Denmark, dan Swedia) lebih disebabkan alasan-alasan non-ekonomis; seperti: adanya isu nasionalisme/kedaulatan, belum mendapatkan dukungan publik, dan juga masih adanya kekhawatiran Euro tidak berhasil di masa awalnya. Walau diperkirakan penundaan ini hanya bersifat sementara melihat masa awal pelaksanaan Euro, namun akan lebih baik bila para pemerintah tersebut mengkondisikan tentang penggunaan mata uang tunggal Eropa Euro kepada masyarakatnya.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Yunus
Abstrak :
Upaya pelarangan senjata kimia telah dimulai sejak lebih dari satu abad yang lalu. Tahun 1874 negara-negara Eropa sepakat mengeluarkan Deklarasi Brussel yang melarang penggunaan racun dan peluru beracun dalam perang. Tahap berikutnya telah ditandatangani deklarasi dalam Konferensi Den Haag tahun 1899 yang mengutuk penggunaan proyektil tunggal yang merupakan difusi dari gas-gas asphyxiating (pencekik pernafasan) atau deleterious (merusak). Meskipun telah ada deklarasi-deklarasi tersebut, namun senjata kimia tetap dipakai dalam Perang Dunia I yang telah mengakibatkan korban jiwa lebih dari 100.000 jiwa dan satu juta orang cedera. Pada tahun 1925, Protokol Jenewa telah ditandatangani guna melarang penggunaan gas-gas yang bersifat asphyxiating dan beracun. Namun protokol ini tidak melarang pengembangan, produksi, penimbunan atau penyebarannya serta mekanisme penanganan apabila terjadi pelanggaran. Pada tanggal 3 September 1992, Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa berhasil merampungkan negosiasi dan mengesahkan teks Konvensi Senjata Kimia (the Conventionon the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on Their Destruction). Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut dan meratifikasi dengan Undang-Undang No.6 tahun 1998. Saat ini Indonesia memang bukan termasuk negara yang memiliki dan mampu membuat senjata kimia. Keputusan Pemerintah untuk meratifikasi Konvensi telah menimbulkan spekulasi yang perlu dijelaskan dan didiseminasikan secara nasional. Ada yang beranggapan keputusan Pemerintah merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan belum perlu, karena Indonesia belum memiliki teknologi persenjataan yang diklasifikasikan dalam Konvensi. Adapula yang beranggapan keputusan ratifikasi merupakan keinginan negara-negara besar yang memiliki kepentingan tertentu dengan Indonesia. Kesimpangsiuran keputusan ratifikasi Pemerintah membuat Penulis tertarik untuk membahasnya lebih jauh. Dalam Tesis ini Penulis berusaha untuk menjelaskan permasalahan Senjata Kimia dalam kerangka kepentingan Indonesia yang menerapkan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Apabila dikaitkan dengan sifat politik luar negeri seperti itu, maka akan terlihat beberapa alternatif yang muncul berkenaan dengan keputusan ratifikasi, seperti adanya tekanan untuk menaati rejim Konvensi dan Verifikasi atau suatu usaha untuk melindungi perekonomian Indonesia yang memang banyak mengkonsumsi bahan kimia. Dalam proses penulisan tesis ini, penulis mengambil data dan referensi yang berasal dari buku, jurnal, buletin, surat kabar, dokumen tertulis lain dan sedikit wawancara.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djarot Purwoko Putro
Abstrak :
ABSTRAK


Lima belas negara Eropa bergabung dalam sebuah union, mencoba saling mengerti segala perbedaan budaya, kebiasaan, dan pengalaman. Mereka menyatukan keinginan untuk dapat hidup damai serta memainkan peran dan pengaruhnya dalam percaturan politik dan keamanan internasional.

Cita-cita Uni Eropa (UE) menjadi salah satu aktor politik internasional jelas membutuhkan suatu Common Foreign and Security Policy (CFSP) dari kelima belas anggotanya, sehingga pada akhirnya kelak terwujud suatu foreign and security policy identity.

Berakhirnya Perang Dingin serta munculnya kembali konflik-konflik di Eropa dan kawasan sekitarnya makin menambah pentingnya bagi UE untuk segera mewujudkan CFSP. Hal ini bukan saja penting bagi eropa untuk mengembangkan dan meningkatkan pengaruh mereka di panggung politik dunia, tetapi juga bagi struktur politik internasional itu sendiri.

Tujuan penelitian ini selain berusaha mendeskripsikan permasalahan yang ada, ada juga menjelaskan CFSP berdasarkan perjanjian Masstricht dan/atau Perjanjian Amsterdam, serta segala hal yang menyangkut dengan kepentingan nasional dan sen-timen kedaulatan nasional Negara anggotanya. Pada akhirnya tampak bahwa sejak semula permasalahan utama pembentukan kerjasama politik dan keamanan di Eropa ternyata ialah bagaimana menurunkan sensivitas kedaulatan nasional Negara-negara anggotanya, sehingga jika setiap Negara anggota mampu menurunkannya maka akan lebih mudah bagi UE untuk melaksanakan setiap keputusan dan mewujudkan keberhasilan CFSP yang efektif dan efisien di masa depan.

Permasalahan mengenai kedaulatan Negara ini antara lain tampak nyata dan dapat diidentifikasikan dalam berbagai hal antara lain sebagai berikut: (1) bagai-mana menyelaraskan politik luar negeri Negara-negara anggota secara efektif di dalamnya; (2) masalah instrument atau alat pelaksana kebijakan; dan tidak kalah pentingnya (3) bagaimana UE menyikapi dan mengatasi prosedur pencapaian suatu posisi, tindakan, dan deklarasi bersama dalam lingkup CFSP yang dirasakan belum sempurna.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Santoso
Abstrak :
Memasuki dekade 1990-an, isu republik kembali muncul dalam wacana masyarakat Australia. Pada tahun 1993, jajak pendapat menunjukkan adanya peningkatan secara berarti terhadap dukungan untuk menjadikan Australia sebagai sebuah republik. Ada faktor-faktor tertentu yang mendorong peningkatan dukungan ini. Faktor-faktor tersebut datang dari dalam negeri Australia sendiri (internal) maupun dari luar Australia (eksternal). Sejauh mana faktor itu berpengaruh dalam peningkatan dukungan terhadap republik pada tahun 1993, adalah permasalahan pokok yang diangkat dalam tesis ini. Peningkatan dukungan terhadap republik di tahun 1993 itu, tidak bisa hanya dipandang sebagai sekedar angka statistik belaka. Sesungguhnya fenomenon itu menggambrakan terjadinya sebuah proses dalam tubuh masyarakat Australia. Dukungan yang meningkat terhadap republik menunjukkan adanya pergeseran dalam budaya politik. Dukungan ini juga menunjukkan adanya pengerasan dalam jati diri (identitas) Australia sebagai sebuah bangsa, sehingga di sana ada pula proses nation building. Dengan demikian dukungan terhadap republik merupakan juga upaya membangun sebuah struktur dan peran politik baru. Dalam kalimat yang lebih singkat dukungan ini menggambarkan sebuah proses pembangunan politik. Tidak seperti yang dibayangkan, persoalan dukungan itu tidak melulu akibat adanya dorongan dari dalam negeri Australia. Fakta dan data yang ada menunjukkan bahwa pengaruh internasional memainkan peran pula pada gagasan membentuk republik, utamanya di dekade 1990-an, setelah perang dingin berakhir. Untuk membahas persoalan tersebut, tesis ini menggunakan teori-teori pembangunan politik dari Lucian Pye, Gabriel Almond, Bingham Powell, serta Walker Connor. Juga dicoba gunakan teori citra dari Kenneth E. Boulding untuk menganalisa konteks hubungan intemasional dalam masalah republik ini. Metode penelitian yang dipergunakan adatah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengandalkan data dan informasi yang dianggap relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu republik memang merupakan bagian dari pembangunan politik Australia yang terns berjalan. Proses menuju republik terus bergulir dan belum menunjukkan kepastian. Meskipun begitu, diterima atau ditolaknya republik sebagai pranata baru Australia tetap menunjukkan sebuah proses perubahan dalam negara itu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>