Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Basroni
"Sejak Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini kita telah menggunakan tiga buah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku itu meliputi UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950. UUD 1945 yang berlaku pada awalnya merupakan hasil konstruksi dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali hingga saat ini. Pemberlakuan kembali UUD 1945 setelah gagalnya lembaga kontituante hasil Pemilihan Umum 1955 yang dibentuk dan ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar yang baru.
Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) di dalam praktek ketatanegaraan pada pelaksanaannya ternyata sangat menguntungkan Presiden sebagai lembaga eksekutif yang merupakan pihak penyelenggara pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dimana pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kewenangan Presiden selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan terlalu besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan Check and Balances itu tidak berjalan secara baik.
Oleh karena hal yang demikian, maka pengaturan terhadap peran dan fungsi lembaga lembaga negara yang ada pada UUD 1945 sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Peninjauan kembali tugas dan fungsi tersebut dengan melakukan amendemen atau revisi terhadap UUD 1945. Amendemen terhadap UUD 1945 sebelurnnya pada masa lalu merupakan sesuatu yang sakral dan tidak dapat disentuh atau merupakan suatu hal yang tabu. Penapsiran yang keliru tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek politis, tanpa memahami makna historis dibuatnya konstitusi. Ketentuan perubahan terhadap UUD 1945 di atur pada pasal 37 UUD 1945.
Munculnya pasal tersebut merupakan suatu konsekuensi atau jawaban dari perumusan UUD 1945 yang terasa tergesa-gesa dalam waktu yang begitu singkat. Disamping itu proses pembuatan Undang-Undang Dasar 1945 dirancang oleh mereka yang bukan ahli dibidang ketatanegaraan.
Soekarno sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 mengutarakan :
"Bahwa UUD 1945 yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara, kalau boleh saya memakai perkataan lain adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Soekarno lebih lanjut kemudian mengatakan bahwa dalam suasana yang damai dan tenteram nanti akan dikumpulkan kembali anggota MPR untuk membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap".
Perkembangan kondisi ketatanegaraan yang begitu cepat saat ini ternyata tidak mampu diakomodir oleh UUD 1945. Untuk itu perubahan atau amendemen terhadap UUD 1945 merupakan suatu hal yang logis dan keharusan dalam upaya menanggulangi perkembangan kondisi ketatanegaraan yang begitu pesat. Pencantuman pasal 37 UUD 1945 meng-isyaratkan kepada kita bahwa UUD 1945 dapat diamendemen atau dirubah.
Dalam melakukan amendemen atau perubahan dapat ditempuh dengan cara formal amendemen yang tertera di pasal 37 UUD 1945. Perubahan atau amendemen terhadap UUD 1945 dapat meniru cara amendemen yang dilakukan oleh Amerika Serikat dimana AS mengunakan konstitusi yang lama dan diperbaharui sehingga menjadi satu kesatuan.
Perubahan konstiutusi di beberapa negara dapat ditempuh dengan melakukan perubahan secara keseluruhan terhadap pasal-pasal yang ada sehingga konstitusi yang digunakan adalah konstitusi yang baru sama sekali. Cara berikutnya adalah dengan melakukan perubahan pada beberapa pasal saja, sehingga konstitusi yang digunakan bukanlah konstitusi yang baru. Pasal-pasal yang diubah dijadikan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam melakukan perubahan terhadap suatu konstitusi di beberapa negara juga ada batasan-batasan yang dijadikan pegangan. Di Indonesia perubahan atau amendemen dilakukan tidak untuk menghasilkan Undang-Undang Dasar yang baru. Amendemen terhadap UUD 1945 dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang ada di Batang Tubuh UUD 1945 tersebut. Disamping itu dalam melakukan perubahan juga di berikan batasan-batasan yang dijadikan sebagai acuan. Batasan yang dijadikan acuan dalam melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengacu pada pengalaman di beberapa negara dalam melakukan perubahan atau amendemen terhadap konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sesuatu kondisi yang tidak perlu untuk disentuh serta beberapa pasal lainnya seperti bentuk negara dll.
Dalam melakukan amendemen menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu untuk diamendemen yakni meliputi hal-hal sbb : pengaturan mengenai Hak Asasi manusia, Kedudukan, tugas dan wewenang MPR, kedudukan dan pertanggungjawaban Presiden, kedudukan tugas dan wewenang DPR, hal-hal lain. Dengan adanya amendemen diharapkan Check and Balances dapat berjalan dengan baik."
Universitas Indonesia, 2000
T980
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Jaka Susanta
"Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar manusia, sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bersifat kodrati, universal dan abadi yang harus dihormati dan dilindungi tanpa membedakan jenis kelamin, ras, agama, Bahasa serta status sosial lainnya. Bangsa Indonesia menyadari bahwa HAM bersifat historis dan dinamis yang pelaksanannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia, perlindungan HAM telah dijwnin perlindungannya dalam berbagai ketentuan hukum misalnya Pancasila, UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang maupun peraturan perundangan lainnya. Jaminan perlindungan di lingkungan ABRI, di samping jaminan perlindungan yang bersifat umum seperti diatas, juga terdapat Etika Prajurit yang terumus dalam Sumpah Prajurit, Sapta Marga, Delapan Wajib ABRI, Tujuh Asas Kepemimpinan dan Komunikasi Sosial ABRI dan Sumpah Perwira. Selain itu juga Doktrin ABRI yang memuat Taktik dan Strategi serta Teknis pelaksanaan pencapaian tugas pokok dalam bentuk Buku Petunjuk Lapangan, Buku Petunjuk Teknis yang dikeluarkan Pejabat yang berwenang yaitu Pangab dan Kepala Staf Angkatan dan Polri berdasar delegasi dari Presiden.
HAM belumlah cukup dengan jaminan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan hukum saja, tetapi yang lebih panting adalah penyelenggaraan dan penegakan HAM jika terjadi pelanggaran. Dalam Piagam HAM Indonesia dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, pemenuhan, dan penegakan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
ABRI sebagai alat negara membantu tugas Pemerintah, dan dalam pelaksanaan tugasnya, ABRI juga ada kemungkinannya melakukan tindakan yang bersifat pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil. Oleh karena itu di lingkungan ABRI senantiasa berupaya melakukan penegakan HAM terhadap anggota ABRI yang melakukan pelanggaran HAM.
Penegakan HAM di lingkungan ABRI diselenggarakan melalui sarana penegakan hukum. Hukum yang berlaku bagi ABRI selain hukum yang berlaku untuk rakyat pada umumnya juga berlaku hukum minter, misalnya Hukum Disiplin Militer, Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Pidana Militer, Peraturan Urusan Dinas Dalam, Peraturan Seragam ABRI, dan lain-lainnya.
Penegakan Hukum di lingkungan ABRI diselenggarakan di Peradilan Militer yaitu terhadap tindakan yang bersifat pidana dengan mendasarkan pada KUHP dan KUHPM. Sedangkan tindakan anggota yang bersifat indisipliner diselesaikan di luar peradilan yaitu diselesaikan melalui Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum).
Dalam proses penyelesaian perkara pidana melalui Peradilan Militer, Komandan mempunyai perana,n di dala.mnya yaitu selaku Perwira Penyerah Perkara (Papera) mempunyai kewenangan untuk menyerahkan perkara pidana untuk diselesaikan di Peradilan Militer. Kewenangan ini berkaitan dengan asas-asas yang berlaku khusus dalam tatanan kehidupan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer. Khusus dalam proses peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utari
"Demokrasi merupakan konsepsi yang popular dan banyak dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, termasuk Indonesia. Dalam upaya demokratisasi, make di dalam UUD 1945 terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang demokrasi. Ketentuan-ketentuan tersebut ada yang secara langsung dapat terlihat karaktar demokratisnya, namun ada pula yang masih netral, sehingga sifat demokratisnya masih sangat tergantung dari undang-undang organiknya, yang biasanya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik yang ada.
Selama berlakunya UUD 1945 ternyata efektifikasi implementasi demokrasi tersebut mengalami pasang surut yang dapat dilihat dari tiga periode, yaitu 1) periode 1945-1959 (Demokrasi Liberal); 2) periode 1959-1966 (Demokrasi Terpimpin) dan 3) periode 1966-sekarang (Demokrasi Pancasila). Keadaan pasang surut tersebut dapat dilihat dari bekerjanya pilar-pilar demokrasi, antara lain, yaitu kehidupan pers, kehidupan kepartaian, dan bekerjanya lembaga perwakilan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis, politis, dan komparatif. Objek atau sasaran penelitian ialah sekitar peraturan perundangundangan yang merupakan dasar pengaturan dan pengejawantahan tentang demokrasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifikasi implementasi demokrasi sangat tergantung pada kebijakan politik, yaitu yang tercermin melalui peraturan perundang-undangan yang merupakan pengejawantahan dari pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur tentang demokrasi. Berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi demokrasi, seyogianya merupakan pengukuhan dan bukan sebaliknya.
Berkaitan dengan itu, diajukan saran agar berbagai peraturan perundang-undangan tentang implementasi dari pasal-pasal tentang demokrasi (dalam penelitian ini yang berkaitan dengan Pemilu) ditinjau kembali."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Sulistyanto
"Pemerintah Indonesia menaruh perhatian begitu besar terhadap pelaksanaan hak asasi manusia karena dorongan beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor internal, yaitu semakin sadarnya warga negara akan hak dan kewajibannya sehingga banyak pengaduan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang masuk ke Komnas HAM. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal, yaitu desakan dari negara-negara maju yang dalam memberikan bantuan kepada Indonesia selalu mengkaitkan dengan pelaksanaan hak asasi manusia. Perbedaan pemahaman tentang hak asasi manusia sebenarnya berasal dari pelaksanaan hak asasi manusia yang disesuaikan dengan ciri-ciri negara itu sendiri yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, nilai-nilai luhur budaya bangsa dan politik masing-masing negara yang bersifat dinamis. Sejarah penegakan hak asasi manusia melahirkan suatu dokumen internasional, yaitu Universal Declaration of Human Rights yang diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 yang merupakan landasan bagi pelaksanaan hak asasi manusia di seluruh dunia. UUD 1945 yang disahkan terlebih dahulu bila dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM, ternyata di dalam Pembukaan dan Batang Tubuhnya secara implisit banyak berisikan tentang hak asasi manusia. Demi menjamin pelaksanaan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, tahun 1993 didirikanlah Komnas HAM yang menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Perkembangan selanjutnya, Wanhankamnas mengusulkan suatu rancangan tentang Piagam HAM menurut bangsa Indonesia untuk dijadikan TAP MPR tersendiri, sebagai landasan hukum yang kuat bagi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Akan tetapi usul tersebut haruslah melalui proses yang panjang karena Fraksi Karya Pembangunan sebagai suara mayoritas dalam MPR mempunyai rencana tersendiri di dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 yang akan menempatkan HAM di dalam TAP MPR menjadi satu dengan GBHN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Warlan Yusuf
"ABSTRAK
Ruang pada dasarnya tidak bertambah, namun kebutuhan masyarakat akan ruang dalam jangka dekat maupun jangka panjang akan semakin tinggi. Dengan demikian apabila tidak dikendalikan oleh dan melalui hukum sudah dapat dipastikan akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan. Namun produk hukum yang mengatur kegiatan penataan ruang itu masih ?cerai berai" dan sangat kuat menonjolkan kepentingan masing-masing sektor, sehingga tidak mempertunjukkan adanya kesatuan sistem pengelolaan yang terpadu. Untuk membangun satu kesatuan sistem perundang-undangan di bidang penataan ruang sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, maka yang utama harus dilakukan adalah mengamandemen Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya menerbitkan ketetapan MPR yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan harmonisasi dan menterpadukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (seperi kehutanan, pertambangan, pertanahan), pengelolaan lingkungan hidup, penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan penataan ruang.
Adapun materi yang harus diharmonisasikan dan diterpadukan dalam satu kesatuan sistem pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penatan ruang itu antara lain menyangkut pertama arah kebijakan, yang meliputi a) asas tanggung jawab negara, dengan menempatkan posisi pemerintah sebagai regulator dan sekaligus pengayom, yang memberikan jaminan keadilan, kepastian dan perlindungan hukum; b) memegang teguh asas keberlanjutan (sutainability); c) mengatur secara adil dan merata terhadap penggunaan asas manfaat ekonomi dan sosial yang dilandasi oleh kepentingan ekotogi; dan d) digunakannya asas subsidiaritas yang menitik beratkan pada desentralisasi yang demokratis. Kedua, substansi yang menterpadukan secara serasi kegiatan perencanan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dan lingkungan kedalam satu sistem pengelolaan Sumer daya alam. Ketiga penguatan kelembagaan dan prosedur, yang menekankan pada koordinasi dan kerja sama antarinstansi dan antardaerah. Keempat menyangkut aspek keterpaduan dalam penegakan hukum dan pengembangan- budaya hukum.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini, maka masalah wewenang pemerintahan dalam penataan ruang ini menjadi sorotan utama yang harus segera ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Isu tentang wewenang pemerintahan ini pada dasarnya berkenaan dengan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara Pusat dan Daerah dalam bidang penataan ruang. Secara sederhana, ibarat membangun rumah, maka tugas Pemerintah Pusat adalah membangun fundasi yang mampu mengikat dan mempersatukan ruang wilayah nasional dengan memperhatikan keanekaragaman potensi dan kepentingan daerah. Selanjutnya daerah harus membangun ruang di atas fundasi tersebut sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan daya dukung yang ada pada daerah masing-masing.

ABSTRACT
Even if society's demand for space in the short and long run is ever increasing, it is an indisputable fact that space in itself cannot be expanded. Society's development in fact is limited by available space. Consequently, a viable spatial planning law is a conditio sine qua non to guarantee sustainable use of natural resources. Notwithstanding that, the existing spatial plan or utilization legal system is still in disarray, not showing cohesiveness, as it reflects myriad, most often than not conflicting, interest of different state departments. In short, taken into consideration the existing law on spatial planning (Act No. 2411992), the result is sectoral and non-integrative spatial plan inhibiting sustainable development. The obvious solution would be amending Art. 33 par. 3 of the Indonesian Constitution of 1945 which grants absolute power on the State in managing natural resources. The next step would be for the General Consultative Assembly, the highest State organ, to decree that the parliament and government should do their best effort in harmonizing the existing law and policy concerning natural resource management (forestry, mining, agriculture), the environment, regional autonomy and spatial planning.
Such harmonization effort should be performed and actuated with the primary purpose of creating an integrated system of natural resource management, (protection and preservation of the) living environment and spatial planning. At first it should concern basic principles of policy, inter alia, comprising of: a. state responsibility principle, placing the government both as regulator and protector rendering justice, legal protection and certainty; b. sustainability principle; c. balancing of economic and social value principle with ecological concerns; and d. the implementation of subsidiarity principle focussing on democratic decentralization. Secondly, it should focus on creating an integrated natural resource management program combining spatial planning with environmental (ecological) concerns. Thirdly, institutional capacity building with primary focus on establishing a viable coordination and cooperation system between regional governments and between different government institutions. Fourthly and lastly it should concern creating an integrated approach to law enforcement and legal culture development.
Given the trend to grant regional governments greater autonomy, the law on spatial planning must address all problems related to governmental authority in the field of spatial planning and utilization. This issue relates basically to distribution of authority, task and responsibilities between the central government and regional autonomous government. Put simplistically, it is analogous to building a foundation on which national spatial planning could be develop taking into consideration the diversity of each regional government's capacity and interest. Based on this solid foundation, each region must develop and actuate its own spatial planning and programs according to its own capabilities and last but not least the region environment carrying capacity.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D518
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rajagukguk, H.P.
"Hubungan manusia dengan kerja sifatnya alamiah. Manusia dilahirkan untuk bekerja karena hanya dengan bekerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam keadaan alam menyediakan kebutuhan itu melimpah ruah, manusia masih harus bekerja untuk dapat menikmati atau memanfaatkan apa yang disediakan alam itu. Tidak semuanya yang disediakan alam itu siap begitu saja untuk dikonsumsi atau digunakan, tanpa diolah terlebih dahulu.
Dengan demikian kerja adalah suratan hidup, bahkan dapat dikatakan kerja adalah keharusan alamiah (natuurnoodzakelijkheid). Dalam perkembangannya, hubungan manusia dan pekerjaan bersifat khusus, karena perjanjian kerja yang melahirkan hubungan kerja dipengaruhi oleh kepentingan para pihak, baik majikan maupun buruh.
Tanpa kerja kehidupan manusia adalah mustahil. Manusia sebagai makhluk bekerja atau sebagai makhluk pembuat alat, yang bekerja sendirian untuk menghidupi dirinya tanpa bekerjasama dengan sesamanya, sudah merupakan bagian dari sejarah umat manusia. keadaan sekarang ini ialah bahwa manusia dilahirkan untuk bekerjasama dengan sesama manusia. Manusia dilahirkan hanya dengan dua pilihan: menjadi majikan atau menjadi buruh.
Dalam kenyataan hidup bermasyarakat ternyata tidak selalu seperti alternatif tersebut. Banyak anggota masyarakat yang berperan ganda, yakni menjadi majikan tetapi sekaligus buruh atau buruh dan sekaligus majikan. Hampir tidak ada prang dewasa yang tidak terkait atau berkepentingan dengan masalah hubungan kerja sebagai suatu hubungan hukum akibat melakukan pekerjaan.
Hubungan kerja yang paling umum ialah hubungan kerja yang lahir dari perjanjian kerja. Perjanjian yang paling banyak diadakan oleh anggota masyarakat adalah perjanjian kerja setelah perjanjian jual-beli. Hal itu antara lain dikemukakan dalam memori penjelasan dan waktu pembahasan pada tahap pemandangan umum rancangan undang-undang tentang perjanjian kerja diajukan pada tahun 1904.
Hubungan kerja mulai terjadi dalam susunan masyarakat yang paternalistik. Kemudian susunan masyarakat berubah menjadi bertingkat-tingkat (penguasa dan yang dikuasai). Hubungan kerja dicirikan oleh "sub ordinasi" dari yang dikuasai. Pada susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat ini sub ordonasi itu didasarkan kepada "kekuatan". Kekuatan (power) itu diaktualisasikan dalam praktek, bentuk yang lebih subtiel (lebih halus) atau cenderung dirasionalisasi supaya diakui sebagai kekuasaan berdasarkan apa yang disebut "wibawa"?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D276
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
"ABSTRAK
Masalah pokok yang ingin dibahas dalam disertasi ini adalah mengenai gagasan kedaulatan rakyat dalam konstitusi dan pelaksanaannya dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca kemerdekaan. Sejarah demokrasi setelah kemerdekaan itu sendiri, oleh para ahli sering dibagi ke dalam tiga kurun zaman, yaitu masa Demokrasi Liberal (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Pancasila (1967-sekarang). DaIam ketiga periode ini, Indonesia telah memiliki 3 naskah konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 (Konstitusi RIS), dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 (UUDS 1950).
Sehubungan dengan itu, menarik unluk dikaji bagaimana perkembangan kedaulatan rakyat itu di Indonesia, baik yang tercermin dalam rumusan ketiga konstitusi itu maupun yang tercermin dalam praktek selama tiga masa demokrasi itu. Perkembangan ini penting ditelusuri, mengingat tema kedaulatan rakyat merupakan topik yang tidak pernah berhenti dibicarakan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak jauh sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Apalagi gagasan kedaulatan rakyat itu sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman moderen sekarang cenderung tidak lagi hanya dilihat sebagai konsep politik. Tema demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol dibandingkan dengan demokrasi politik. Orang semakin lama semakin sadar bahwa jaminan-jaminan akan hak-hak politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam suatu negara, terutama jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan ekonomi dalam masyarakat yang cenderung tidak memihak kepada lapisan masyarakat yang berada dalam struktur papan-bawah. Jaminan demokrasi politik tidak serta merta melahirkan kondisi yang demokratis dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Karena itu, gagasan demokrasi ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikemhangkan bersamaan dengan gagasan demokrasi politik."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D19
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Arifin Sari Surungalan
"Dalam peraturan perundang-undangan terdapat empat istilah yang bermaksud menguraikan fungsi DPR yaitu fungsi, wewenang, tugas, kekuasaan. Sebutan fungsi DPR terdapat dalam Pasal 32 beserta Penjelasannya dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (LN 1969 No. 59, TLN No. 2915) sebagaimana telah tiga kali diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1975 (LN 1975 No. 39, TLN No. 3064), Undang-undang No, 2 Tahun 1985 (LN 1985 No.2, TLN No. 3282) dan Undang-undang No.5 Tahun 1995 (LN 1995 No. 36, TLN No. 3600). Pasal itu menguraikan bahwa fungsi DPR (selanjutnya disebut DPR saja) berdasarkan UUD 1945 adalah (1) membuat undang-undang bersama dengan Pemerintah, (2) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama-sama Pemerintah, dan (3) mengadakan pengawasan terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Kemudian DPR dalam Keputusannya No. 1O/DPR-RI/82-83 tanggal 26 Februari 1983 tentang Peraturan Tata Tertib yang masih beriaku sampai sekarang, menyebutnya tidak sebagai fungsi DPR tetapi sebagai wewenang dan tugas DPR. Tetapi UUD 1945 dalam Pasal 5 ayat (1) menggunakan istilah kekuasaan membentuk undang-undang. Jadi, empat istilah itu dianggap sinonim. Yang oleh undang-undang No. 16 dinamakan sebagai fungsi oleh DPR diubah menjadi wewenang dan tugas, sedangkan UUD 1945 sendiri menyebutnya sebagai kekuasaan. Menurut kamus pengertian fungsi tidaklah sama dengan wewenang, tugas atau kekuasaan.. Tidaklah mengherankan kalau dalam masyarakat baik dalam masyarakat umum maupun dalam masyarakat cendekiawan timbul kesimpangsiuran mengenai pengertian fungsi DPR ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
D407
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library