Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Masagus Zainuri
"ABSTRAK
Latar belakang. Eksitoksisitas merupakan salah satu mekanisme penting dalam kerusakan otak masa perinatal. Eksitoksisitas terjadi akibat peningkatan glutamat ekstrasel. Stem cell From Human Exfoliated Deciduous dapat mensekresi enzim GAD yang akan memgkatalisis perubahan glutamat menjadi GABA. Perubahan glutamat menjadi GABA menyebabkan kadar glutamat ekstrasel menurun, namun peningkatan GABA dapat menyebabkan terjadinya depolarisasi yang dapat berakibat timbulnya eksitoksisitas. penelitian bertujuan untuk menentukan potensi neuroproteksi CM SHED mencegah kerusakan progenitor neuron akibat induksi glutamat.Metode. Progenitor neuron diisolasi dari otak tikus umur 2 hari dan conditioned medium didapat dari MSC SHED. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kultur progenitor neuron dengan medium neurobasal tanpa glutamat dan glisin N- , dengan medium neurobasal ditambah glutamat dan glisin N , dengan CM SHED tanpa glutamat dan glisin K- , dengan CM SHED ditambah glutamat dan glisin K . Pada progenitor neuron dilakukan pemeriksaan kadar mRNA GABAAR1, subunit NR2B NMDAR dengan RT PCR, kadar protein NMDAR1 dan GABAAR1 dengan ELISA. Caspase -3 dan 7AAD dengan Muse. Pada CM dilakukan pemeriksaan kadar GABA dengan Elisa.Hasil. Viabilitas progenitor neuron pada kelompok K 78,05 lebih tinggi dari kelompok kontrol N- 73,22 , sedangkan kelompok N lebih kecil 68,90 . Kelompok K memiliki kadar GABA paling tinggi dan berbeda bermakna dengan kelompok lainnya, sedangkan pada kelompok N paling kecil. Kadar GABA yang tinggi pada kelompok K diduga karena adanya enzim GAD yang dapat mengkatalisis perubahan glutamat menjadi GABA pada CM SHED. Hasil pemeriksaan mRNA GABAAR1 kelompok K paling tinggi dibandingkan kelompok lain, diduga disebabkan GABA dapat mengaktivasi jalur MAPK yang menyebabkan terjadinya proses transkripsi mRNA GABAAR1. Kadar protein GABAAR1 pada kelompok K paling kecil dibandingkan kelompok lain, hal ini diduga disebabkan karena adanya perubahan subunit dari 2 akibat peningkatan kadar GABA. Kadar GABA yang rendah pada kelompok N diduga disebabkan GABA banyak terpakai terikat dengan reseptor GABAAR1, sehingga terlihat rendah saat pemeriksaan. Hasil ini sesuai dengan pemeriksaan kadar GABAAR1, dimana pada kelompok N kadar GABAAR1 paling tinggi. Kemungkinan lain adalah adanya umpan balik negatif oleh GABAAR1. Pada pemeriksaan mRNA GABAAR1 kelompok N didapat penurunan ekspresi relatif terhadap kontrol. Diduga peningkatan protein GABAAR1 sudah tidak diperlukan sehingga ekspresi mRNA GABAAR1 dihambat. Pemeriksaan dilakukan setelah perlakuan selama 24 jam, diduga kondisi progenitor neuron telah mengalami fase akhir. Terdapat perubahan dinamik pada regulasi GABAAR1 progenitor neuron. Pada fase awal aktivitas eksitatorik merupakan hasil kerjasama GABAAR1 dan NMDAR, kemudian terjadi perubahan aktivitas GABAAR1 dari eksitatorik menjadi inhibitorik. Pada kelompok N diduga aktivitas inhibitorik GABAAR1 tidak dapat mengatasi aktivitas eksitatorik akibat induksi glutamat, sehingga menyebabkan terjadinya apoptosis. Sedangkan pada kelompok K , dimana terdapat peningkatan GABA akibat CM SHED, aktivitas inhibitorik GABAAR1 dapat mengimbangi aktivitas eksitatorik oleh glutamat sehingga terjadi neuroproteksi.Kesimpulan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan CM SHED memiliki potensi neuroproteksi dalam mencegah apoptosis progenitor neuron akibat induksi glutamat.

ABSTRACT
Backgound. Exitoxicity is one of the important mechanisms in perinatal period brain damage. Exitoxicity results from increased extracellular glutamate. Stemcell From Human Exfoliated Deciduous can secrete a GAD enzyme that will analyze the change of glutamate to GABA. The change of glutamate to GABA causes extracellular glutamate levels to decrease, but an increase in GABA can lead to depolarization which may result in the excitoxicity. the study aimed to determine the potential neuroprotection of CM SHED to prevent progenitor neuron damage of glutamate induction.Method. Progenitor neurons were isolated from the brains of mice aged 2 days and conditioned medium obtained from MSC SHED. The samples were divided into 4 groups, ie the progenitor culture group of neurons with neutral glutamate and neurobasal medium N- , with neurobasal medium plus glutamate and glycine N , with CM SHED without glutamate and glycine K- , with CM SHED plus glutamate and glycine K . In progenitor neuron, GABAAR1 mRNA, NR2B NMDAR subunit with PCR RT, protein NMDAR1 and GABAAR1 with ELISA were examined. Caspase -3 and 7AAD with Muse. In CM, GABA levels were evaluated with Elisa.Result. The viability of progenitor neurons in the K group 78.05 was higher than the control group N 73.22 , whereas the N group was smaller 68.90 . The K group had the highest levels of GABA and was significantly different from the other groups, whereas in the smallest N group. High GABA levels in the K group are thought as a result of the presence of GAD enzymes that can catalyze the change of glutamate to GABA in CM SHED. The highest level of GABAAR1 group compared to other groups was thought to be caused by GABA to activate MAPK pathway causing transcription of GABAAR1 mRNA. The level of GABAAR1 protein in the K group was the smallest compared to the other groups, presumably due to a subunit change from ? 2 due to elevated levels of GABA. Low levels of GABA in the N group are thought to be caused by GABA being widely used bound with GABAAR1 receptors, making it noticeably low during examination. This result is in accordance with the GABAAR1 concentration, which in the N group of GABAAR1 levels is highest. Another possibility is negative feedback by GABAAR1. On examination of group GABAAR1 mRNA N , there was a decrease in expression relative to control. It is suspected that the increase in GABAAR1 protein is not needed so that GABAAR1 mRNA expression is inhibited. The examination was performed after 24 hours treatment, presumably progenitor neuron has ending phase. There is a dynamic change in GABAAR1 progenitor neuron regulation. In the early phase of excitatory activity is the result of cooperation GABAAR1 and NMDAR, then there is a change of activity GABAAR1 from excitatory become inhibitory. In the N group it is suspected that GABAAR1 inhibitory activity can not overcome the excitatory activity by caused of glutamate induction, thus causing apoptosis. While in the K group, where there is an increase in GABA considering CM SHED, GABAAR1 inhibitory activity can compensate for the excitatory activity by glutamate resulting in neuroprotection.Conclution. From the results of this study can be concluded CM SHED has the potential of neuroprotection in preventing progenitor neuron apoptosis through glutamate induction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Latar Belakang: Latihan fisik aerobik telah lama diketahui memberikan pengaruh yang baik kepada tubuh dan rutin, latihan fisik aerobik yang rutin dan dalam jangka waktu lama dapat membuat jantung mengalami remodeling. Proses remodeling ini bukan hanya terjadi pada struktur tetapi juga pada kelistrikan jantung, beberapa studi menunjukkan remodeling listrik jantung yang terjadi mengakibatkan berbagai bentuk aritmia, dan belum banyak yang diketahui tentang remodeling listrik jantung setelah henti latih.
Metode: Pemeriksaan EKG dilakukan pada tikus Wistar jantan yang telah menjalani latihan fisik aerobik 4 minggu,12 minggu, 4 minggu latihan fisik aerobik serta 4 minggu henti latih dan 12 minggu latihan fisik aerobik serta 4 minggu henti latih. Kecepatan lari pada tikus 20 m/menit durasi latihan 20 menit dengan interval istirahat 90 detik setiap 5 menit berlari.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk voltase dan durasi gelombang P pada semua kelompok perlakuan. Terjadi peningkatan voltase gelombang R pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu dan 12 minggu (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk voltase gelombang R pada kelompok henti latih. Terdapat pemanjangan durasi segmen dan interval PR pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu, 12 minggu (terutama pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu dengan p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok henti latih untuk durasi segmen dan interval PR. Terjadi pemanjangan durasi repolarisasi ventrikel (durasi gelombang T, interval QT) pada kelompok latihan fisik aerobik 4, 12 minggu (terutama pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu, p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk durasi gelombang T, interval QT pada kelompok henti latih. Terjadi penurunan frekuensi denyut jantung istirahat pada kelompok latihan fisik aerobik 4,12 minggu (terutama pada kelompok latihan fisik 4 minggu, p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk frekuensi denyut jantung istirahat pada kelompok henti latih.
Kesimpulan: Terjadi perubahan aktivitas listrik jantung (interval QT, interval PR, durasi gelombang T dan voltase gelombang R) , perubahan frekuensi denyut jantung istirahat tikus Wistar jantan setelah latihan fisik aerobik 4 minggu dan 12 minggu. Henti latih mengembalikan perubahan aktivitas listrik jantung dan perubahan frekuensi denyut jantung istirahat tersebut.

Introduction: Aerobic training have long been known to give a good impact to body, aerobic training if been done routinely and with long period of time will make remodeling process to the heart. This remodeling process is not only occur in structure but also in heart electrical activity, several study reveal that this electrical activity cause many form of aritmia, there also evidence that structural remodeling that also cause electrical changes is a persistent process, if structural remodeling persistent process, what about electrical activity of this persistent structural remodeling, the answer to this question is less known.
Methods: ECG is conducted in male Wistar rat that have completed 4 weeks, 12 weeks aerobic training, 4 weeks aerobic training with 4 weeks detraining, and 12 weeks aerobic training with 4 weeks detraining. The speed that been use is 20 m/minute with 20 minute training duration and 90 second intermitten resting interval for every 5 minute training.
Results: There is no differences for P wave voltage and duration in all group. R wave voltage is increase in 4, 12 weeks aerobic training group (p<0.05). There is no significant differences for R wave voltage in detraining group. PR segment and interval is prolonged in 4, 12 weeks aerobic training group (especially in 4 weeks aerobic training group, p<0.05). There is no significant differences for PR segment and interval in detraining group. Ventricular repolarization time (T wave duration, QT interval) is prolonged in 4, 12 weeks aerobic training group (especially in 4 weeks aerobic training group, p<0.05). There is no significant differences for T wave duration dan QT interval in detraining group. Resting heart rate is lower in 4, 12 weeks aerobic training group (especially in 4 weeks aerobic training group, p<0.05). There is no significant differences for resting heart rate in detraining group.
Conclusion: Male Wistar rat heart electrical activity (QT interval, PR interval, T wave duration time and R wave voltage) and resting heart rate change after 4 weeks and 12 weeks aerobic training. Detraining restore that changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumalun, Victor Larry Eduard
"ABSTRAK
Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumsi
beras merah pecah kulit terhadap kadar malondialdehida plasma postprandial
setelah makan makanan tinggi lemak pada individu dewasa sehat. Desain
penelitian ini adalah desain uji klinis, cross over, tersamar tunggal. Penelitian ini
melibatkan 13 subyek: 8 laki-laki dan 5 perempuan, dengan rerata usia 38,3 ± 6,7
tahun. Subyek penelitian diberikan makanan tinggi lemak dalam tiga waktu
makan, yaitu makan pagi, makan siang, dan snack di antara dua waktu makan
tersebut, dan diberikan juga nasi dari beras merah pecah kulit atau nasi dari beras
putih sebagai kontrol. Total lemak yang diberikan sebesar 140 g. Kadar MDA
plasma diukur pada basal, 2 jam, dan 3 jam setelah makan siang. Hasil penelitian
ini menunjukkan kecenderungan terjadinya stres oksidatif postprandial yang lebih
rendah pada kelompok yang diberikan nasi dari beras merah pecah kulit
dibandingkan dengan kelompok yang diberikan nasi dari beras putih pada jam
kedua dan ketiga postprandial walaupun tidak bermakna secara statistika (p >
0,05). Penelitian ini menunjukkan adanya tendensi konsumsi beras merah pecah
kulit dapat menurunkan stres oksidatif postprandial yang terjadi setelah
mengonsumsi makanan tinggi lemak, pada orang dewasa sehat.

ABSTRACT
The objective of this study was to evaluate the effect of whole red rice on
postprandial plasma MDA concentrations after a high-fat meal intake in healthy
adults. This is a clinical trial, cross over, single blind design which involved 13
subject, 8 men, and 5 women, with aged was 38,3 ± 6,7 years old. The subjects
were given high fat meal for breakfast, lunch, and snacking between them. For
each breakfast and lunch, the subjects were given rice from whole red rice or
white rice as a control. Totally, the fat contents was 140 g. Blood samples for
plasma MDA were assesed at baseline, 2 hours, and 3 hours after lunch. This
study indicate a tendency in which whole red rice did lower degree of postprandial
oxidative stress than white rice on two or three hours postprandial although no
statistically significant (p > 0,05). The results of this pilot study shows a trend that
intake of whole red rice may decreased postprandial oxidative stress that occur
after intake of high fat meal in healthy adults."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozana Nurfitri Yulia
"ABSTRAK
Penelitian dengan rancangan uji klinis paralel acak tersamar ganda ini bertujuan
mengetahui perubahan kadar apo B pada penyandang obes I setelah suplementasi
serat psyllium husk (PH) 8,4 g/hari dan diet rendah kalori seimbang (DRKS) 1200
kkal/hari selama 4 minggu. Berdasarkan kriteria penelitian, didapat 31 orang
subyek yang dibagi menjadi dua kelompok, 15 orang kelompok perlakuan (KP)
dan 16 orang kelompok kontrol (KK). Subyek KP mendapat PH 8.4 g/hari dan
DRKS, sedangkan KK mendapat plasebo dan DRKS. Data yang diperoleh
meliputi sebaran dan karakteristik subyek, asupan energi, makronutrien, serat, dan
air, serta kadar apo B awal dan akhir penelitian. Analisis data menggunakan uji t
tak berpasangan dan Mann-Whitney, batas kemaknaan 5%. Sejumlah 28 subyek
dapat mengikuti penelitian hingga selesai (KP dan KK masing-masing 14). Tidak
dilaporkan efek samping berbahaya selama perlakuan. Sebagian besar subyek
perempuan, median usia subyek KP dan KK berturut-turut 35,0 (30−45) tahun dan
34,50 (30−48) tahun, IMT 28,0 ± 1,1 kg/m2 dan 27,2 ± 1,4 kg/m2. Jumlah asupan
energi total subyek KP 1130,9 ± 221,9 kkal/hari lebih tinggi signifikan (p = 0,02)
daripada KK 1024,3 ± 269,9 kkal/hari. Karbohidrat sederhana pada KP (35,6
(8,3−69,9)) g/hari lebih tinggi signifikan dibandingkan KK (13,8 (3,4−55,5))
g/hari. Asupan serat subyek belum mencukupi anjuran (20–35 g/hari), yaitu KP
17,2 ± 2,8 g/hari dan KK 8,6 (5,2−15,2) g/hari walaupun dengan suplementasi
PH. Asupan protein, lemak total, dan kolesterol dalam rentang yang dianjurkan,
tetapi tidak pada asupan asam lemak tak jenuh tunggal dan jamak. Penurunan
kadar apo B pada KK (-6,1 ± 8,9 mg/dL) lebih besar tidak signifikan (p = 0,13)
dibandingkan pada KP (-1,3 ± 7,3 mg/dL). Dari penelitian ini disimpulkan
suplementasi PH 8,4 g/hari dan DRKS 1200 kkal/hari selama 4 minggu tidak
lebih baik dalam menurunkan kadar apo B dibandingkan plasebo dan DRKS 1200
kkal/hari penyandang obes I.

ABSTRACT
This double blind randomized clinical trial aims to investigate the change of apo
B level in obese I after given supplementation psyllium husk (PH) 8.4 g/day and
low-calorie balanced diet (LCBD) for 4-weeks. By study criteria, 31 subjects were
randomly allocated to one of two groups; 15 subjects for treatment (T) group and
16 subjects for plasebo (P) group. The T subjects received psyllium husk (PH) 8.4
g/day and LCBD 1200 kcal/day and the P subjects received placebo and LCBD
1200 kcal/day. Data collected in this study consist of subject distribution and
characteristic, intake of energy, macronutrient, fiber, water and apo B level that
assessed before and after treatment. Level of statistical analyses significance was
5%, independent t-test and Mann-Whitney. A total 28 subjects (14 subjects in
each group) had completed the intervention. There were no serious adverse events
were reported along the intervention. Mean of age in T and P groups respectively
was 35.0 (30.0−45.0) years and 34.5 (30.0−48.0) years, and BMI was 28.0 ± 1.1
kg/m2 and 27.2 ± 1.4 kg/m2. The energy intake in T group 1130.9 ± 221.9 kcal/day
was significantly higher (p = 0.02) than P group 1024.3 ± 269.9 kcal/day. Simple
carbohydrate intake in T group (35.6 (8.3−69.9) g/day) was significantly higher (p
<0.000) than in P group (13.8 (3.4−55.5) g/day). Intake of dietary fiber in T group
was 17.2 ± 2.8 g/day had significantly higher than P group 8.6 (5.2−15.2) g/day,
even adding PH supplementation cannot meet the recommendation of fiber intake
(20-35 g/day). Intake protein and fat in both groups was meet recommendation,
differ for intake of mono and polyunsaturated fatty acids. Decreasing of apo B
level in P group was -6.1 ± 8.9 mg/dL that statistically insignificant difference (p
= 0.13) with T group -1.3 ± 7.3 mg/dL. As a conclusion in this study shows, that
PH supplementation 8.4 g/day and LCBD 1200 kcal/day in obese I for 4 weeks
wasn’t proven to decrease the apo B level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uly Alfi Nikmah
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan ekspresi dan aktivitas spesifik karbamoil fosfat sintetase 1 (Carbamoyl Phosphate Synthetase 1/CPS 1) dan protein HIF-1α (hypoxia-inducible factor) pada hati tikus (Rattus norvegicus) selama hipoksia sistemik kronik.
Disain: Disain penelitian ini adalah eksperimen in vivo dengan menggunakan tikus sebagai hewan coba.
Metode: Ada lima perlakukan tikus; tikus kontrol, hipoksia 1 hari, hipoksia 3 hari, hipoksia 5 hari dan hipoksia 7 hari. Ekspresi gen karbamoil fosfat sintetase 1 (CPS1) diukur menggunakan real time RT-PCR dan menggunakan 18s rRNA sebagai gen referensi. Aktivitas spesifik CPS1 diukur menggunakan hidroksiurea sebagai larutan standar. Metode ELISA digunakan untuk mengukur protein HIF-1α.
Hasil : Ekspresi gen karbamoil Fosfat Sintetase 1 meningkat secara signifikan dan menunjukkan ekspresi tertinggi daripada perlakuan lain pada satu hari hipoksia dibandingkan dengan kelompok control. Pada hipoksia hari berikutnya, ekspresi CPS1 menurun secara signifikan dibandingkan kelompok control (ANOVA, p<0,05). Aktivitas spesifik CPS1 meningkat secara signifikan pada satu hari dan tiga hari hipoksia dibanding kelompok control (ANOVA, p<0,05). Protein HIF-1α juga dipengaruhi oleh induksi hipoksia (ANOVA, p<0,05). Hubungan antara ekspresi dan aktivitas CPS1 menunjukkan hubungan positif kuat dan hubungan protein HIF-1α dan ekspresi CPS1 menunjukkan hubungan positif sedang (Pearson, p<0,05). Sedangkan hubungan antara protein HIF-1α dan aktifitas spesifik menunjukkan tidak ada hubungan secara statistik.
Kesimpulan: Kondisi hipoksia berperan penting dalam pengaturan ekspresi gen dan aktivitas spesifik CPS1 serta protein HIF-1α. Regulasi ekspresi gen CPS1 oleh HIF-1α belum diketahui.

Background: The aim of this research is to study the changeover of expression and specific activity of Carbamoyl Phosphate Synthetase 1 (CPS 1) and HIF-1α protein of rat (Rattus norvegicus) liver during systemic chronic hypoxia.
Design: Design of this research is an in vivo experimental study using rat as laboratory animal.
Method: There are five treatment of rats; control, 1 day of hypoxia, 3 days of hypoxia, 5 days of hypoxia and 7 days of hypoxia. Carbamoyl phosphate synthetase 1 gene expression was measured using real time RT-PCR and using 18s RNA gene as housekeeping gene. The specific activity of CPS1 was measured using hydroxyurea as standard solution. ELISA was performing in order to measure HIF-1α protein.
Result: Carbamoyl phosphate synthetase 1 gene expression was increased significantly and shows the highest expression than other treatment in one day of systemic chronic hypoxia treatment of rat liver compared with control group. And the following days of hypoxia CPS1 gene expression were decreased significantly than control group (ANOVA, p<0,05). The specific activity of CPS1 was increased significantly in one day and three days of systemic chronic hypoxia than control group (ANOVA, p<0,05). The HIF-1α protein was decreased in one day and increased in three days of systemic chronic hypoxia than control group (ANOVA, p<0,05). The correlation between expression and specific activity of CPS1 shows strong positive correlation and between HIF-1α protein and CPS1 expression shows moderate positive correlation (Pearson, p<0,05). The HIF-1α protein and specific activity of CPS1 shows no correlation statistically.
Conclusion: Hypoxic condition plays an important role in the regulation of gene expression and specific activity of CPS1 and HIF-1α protein. Regulation of CPS1 gene expression by HIF-1α is not known yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bantari Wisynu Kusuma Wardhani
"Latar Belakang: Studi pendahuluan ekstrak mahkota dewa menunjukkan aktivitas hepatoprotektif melalui jalur NFkB-TNF dan penurunan peroksidasi lipid. Jalur tersebut terlibat dalam patogenesis fibrosis hati yang hingga saat ini belum memiliki terapi standar. Penelitian lanjutan ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antifibrosis dan mekanisme kerja ekstrak tersebut pada model fibrosis in vivo yang diinduksi dengan karbon tetraklorida (CCl4).
Metode: Tikus Sprague-Dawley diinduksi dengan CCl4 melalui injeksi intraperitoneal 2 mL/kgBB selama 2 minggu pertama dan dilanjutkan dengan dosis 1 mL/kgBB2 kali seminggu selama 6 minggu. Terapi silimarin 100 mg/kgBB/hari (Sil) dan ekstrak mahkota dewa pada dosis 75 mg/kgBB/hari (T75) dan 150 mg/kgBB/hari (T150) diberikan per oral mulai minggu ketiga. Hewan coba diterminasi setelah 8 minggu perlakuan untuk diambil darah dan organ hatinya. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan aktivitas enzim penanda fungsi hati (aktivitas ALT, AST dan ALP plasma), kerusakan sel dan fibrosis (histopatologi), penanda stres oksidatif (kadar MDA dan rasio GSH/GSSG), aktivitas antifibrogenik (TGF-1) dan fibrolisis (MMP-13).
Hasil: Silimarin dan ekstrak mahkota dewa dapat memperbaiki penanda kerusakan hati melalui penurunan aktivitas ALT, AST dan ALP yang signifikan. Hasil ini diikuti perbaikan parameter stres oksidatif melalui penurunan kadar MDA sekaligus peningkatan rasio GSH/GSSG. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak air buah mahkota dewa memiliki aktivitas antioksidan sehingga dapat mencegah kerusakan hepatosit akibat CCl4. Aktivitas tersebut akan menurunkan aktivasi HSC (hepatic stellate cells) sehingga sitokin profibrogenik (TGF-1) mengalami penurunan. Studi ini menunjukkan penurunan TGF-1yang signifikan juga terjadi pada semua kelompok terapi. Seiring dengan penurunan aktivasi HSC, penurunan persentase area positif MMP-13 pun terjadi pada semua kelompok terapi dibandingkan CCl4. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas fibrolisis ekstrak tersebut pada fibrosis hati. Perbaikan parameter biokimiawi tersebut didukung dengan tendensi penurunan persentase area fibrosis.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak air buah mahkota dewa dapat memperbaiki fibrosis hati yang disebabkan oleh CCl4 melalui jalur yang melibatkan TGF-1 dan MMP-13.

Background: Previous study of mahkota dewa extract showed its hepatoprotective activity through NFkB-TNF pathway dan decreased lipid peroxidation. This pathway played a major role in the pathogenesis of liver fibrosis. Up to date, there has no known standard therapy in liver fibrosis. This study was aimed to determine the antifibrotic activity and the mechanism of mahkota dewa extract in CCl4-(carbon tetrachloride) induced liver fibrosis in male rats.
Methode: Sprague-Dawley rats were injected intraperitoneally with 2 mL/kg CCl4 in olive oil (1:1) twice weekly for 2 weeks, followed by 1 mL/kgBB injection for 6 weeks. Treatments given starting 3 weeks of CCl4 induction were silymarin 100 mg/kgBB/day, mahkota dewa extract 75 mg/kgBB/day (T75) and 150 mg/kgBB/day (T150) orally. On the eighth week, rats were sacrificed. Blood and liver were for the analysis of liver function test (ALT, AST and ALP activity), hepatotoxicity and liver fibrosis marker (histopathology analysis), oxidative stress markers (MDA levels and GSH/GSSG ratio), pro fibrogenic cytokine (TGF-1)and fibrolysis marker (MMP-13).
Result: This study showed that silymarin and mahkota dewa extract decreased the activity of ALT, AST and ALP. This is followed by amelioration of stress oxidative by decreasing MDA levels and increasing GSH/GSSG. All parameters examined showed that mahkota dewa has antioxidant activity that decreased HSCs activation. This is in accordance to the reduction of TGF- levels in all treatment groups. In aggrement to those, decreased levels of MMP-13 were shown in all treatment groups compared to CCl4. There were tendencies of decreased fibrotic area that followed improvements of biochemical parameters.
Conclusion: Mahkota dewa extracts ameliorate CCl4-induced liver fibrosis through TGF- and MMP-13 pathways."
Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jajat Darajat Kusumah Negara
"

Anak usia remaja sangat rentan mengalami gangguan, diantaranya pola hidup yang tidak teratur, behavior, pertumbuhan fisik dan psikis. Peranan aktifitas fisik atau olahraga menjadi sarana untuk mencegah anak usia remaja dari pengaruh negatif. Akan tetapi aktivitas olahraga ini tidak dilakukan secara teratur dan durasinya sangat singkat baik dilingkungan sekolah maupun dilingkungan sekitarnya. Olahraga disekolah cenderung lebih singkat. Saat ini, banyak anak usia remaja melakukan kegiatan olahraga permainan Futsal. Olahraga futsal bermanfaat untuk meningkatkan kebugaran jasmani, neuroplastisitas. Akan tetapi olahraga futsal juga dapat memengaruhi terhadap stres fisik dan stres oksidatif. Desain pre-post test pada anak usia remaja 13-15 tahun. Subjek penelitian 27 orang (tidak biasa bermain futsal) dibagi secara acak kedalam 3 kelompok perlakuan, frekuensi olahraga (FO) 1x, 3x dan 5x perminggu. Tahap awal penelitian persiapan olahraga futsal dan pengambilan data parameter, tahap perlakuan olahraga futsal selama 8 minggu dan tahap terakhir pengambilan data paramater dilakukan 1 hari setelah perlakuan. Penelitian ini sudah lolos kaji etik dari Komisi Etik FKUI. Kebugaran jasmani ditemukan meningkat secara bermakna pada FO3 dan FO5. Atensi dan memori ditemukan peningkatan pada FO1, FO3 dan FO5. Peningkatan BDNF hanya ditemukan pada kelompok FO3. IGF-1 ditemukan meningkat secara bermakna pada kelompok FO1, FO3 dan FO5. Peningkatan kadar Kortisol dan MDA hanya ditemukan pada kelompok FO5. Hasil penelitian ditemukan olahraga yang optimal dan aman pada anak usia remaja yaitu frekuensi olahraga futsal 3 kali perminggu dibandingkan olahraga futsal 1 kali dan 5 kali terhadap kebugaran jasmani, neuroplastisitas, stres fisik dan stres oksidatif pada anak usia remaja.


Adolescents are susceptible to disorders, including unconventional lifestyle, behavior, physical and psychological growth. The role of physical activity or sports becomes a means to prevent adolescent children from negative influences. However, this sporting activity is not taken out regularly, and the duration is very short both in the school and the enclosing circumstances. Sports at school tend to be shorter. At present, many teenagers do Futsal sports. Futsal exercise is useful for improving physical fitness, neuroplasticity. However, futsal can also affect physical stress and oxidative stress-pre-post test design in adolescents aged 13-15 years. The research subjects were 27 people (unusual for playing futsal) divided randomly into three treatment groups, exercise frequency (FO) 1x, 3x, and 5x per week. The initial stage of the research is preparation for futsal and parameter data collection, the stage of treatment for futsal for eight weeks, and the last stage of data taking post parameters, one day after treatment. This research has passed the ethical review of the FKUI Ethics Commission. Physical fitness normally found to increase significantly at FO3 and FO5. Attention and memory are found to increase in FO1, FO3, and FO5. Surprisingly, BDNF was only detected in only the FO3 group. IGF-1 was found to increase significantly in the FO1, FO3, and FO5 groups. Increased levels of Cortisol and MDA was simply observed in the FO5 group. The results of the study found optimal and safe exercise in adolescents, namely the frequency of futsal exercise 3 times a week compared to futsal one times and five times for physical fitness, neuroplasticity, physical stress and oxidative stress in adolescents.

"
Jakara: Ilmu Biomedik, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaban, Risma Kerina
"ABSTRAK
Resusitasi dengan konsentrasi oksigen yang tinggi (100%) pada bayi cukup bulan
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Hiperoksia dapat meningkatkan stres
oksidatif pada bayi prematur oleh karena kadar anti oksidannya yang rendah. Peningkatan
stres oksidatif akan mengakibatkan inflamasi dan berhubungan dengan terjadinya displasia
bronkopulmonal dan gangguan integritas usus. Pemberian oksigen yang tinggi juga akan
memengaruhi mikrobiota aerob dan anaerob dalam usus oleh karena oksigen akan berdifusi
dari mukosa usus ke dalam lumen usus. Belum diketahui berapa kadar FiO2 awal yang tepat
pada resusitasi bayi prematur.
Penelitian ini bertujuan menelaah dampak perbedaan pajanan konsentrasi oksigen awal pada
resusitasi bayi prematur terhadap displasia bronkopulmonal, integritas mukosa, dan
mikrobiota usus.
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak terkontrol tidak tersamar di Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI-RSCM dan RS Bunda Menteng pada bayi prematur (usia gestasi 25?
32 minggu) yang mengalami distres pernapasan yang dirandomisasi untuk diberikan
resusitasi dengan FiO2 awal 30% atau 50%. Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target
saturasi oksigen (SpO2) 88?92% pada menit ke-10 dengan menggunakan pulse oxymetry.
Luaran primer berupa angka kejadian DBP dan luaran sekunder berupa penanda stres
oksidatif (rasio GSH/GSSG dan MDA darah tali pusat dan hari ke-3), penanda gangguan
integritas usus (alpha-1 antitrypsin), dan mikrobiota usus (polymerase chain reaction) pada
feses hari 1?3 dan hari ke-7.
Selama periode Januari?September 2015, terdapat 84 bayi yang direkrut (masing-masing 42
bayi pada kelompok 30% dan 50%). Tidak ada perbedaan bermakna angka kejadian DBP
pada kelompok FiO2 30% vs. 50%, yaitu 42,8% vs. 40,5% (intention to treat analysis) dan
25% vs. 19,4% (per protocol analysis). Juga tidak ada perbedaan bermakna penanda stres
oksidatif (rasio GSH/GSSG dan kadar MDA), kadar AAT, dan mikrobiota usus pada kedua
kelompok. Mikrobiota anaerob fakultatif lebih tinggi dibandingkan dengan mikrobiota
anaerob pada hari ke-7 pada kedua kelompok.
Pada bayi prematur dengan usia gestasi 25?32 minggu yang diresusitasi dengan FiO2 awal
30% vs. 50% tidak dijumpai perbedaan yang bermakna angka kejadian DBP, penanda stres
oksidatif, gangguan integritas mukosa usus (AAT), dan mikrobiota usus. Oleh karena itu,
pemberian FiO2 awal 30% hingga 50% selama resusitasi sama amannya untuk bayi prematur

ABSTRACT
Resuscitation with high oxygen levels (100%) in term infants increases mortality and
morbidity rates. Hyperoxia can increase oxidative stress in premature infants due to its low
antioxidant level. The increased oxidative stress will cause inflammation and it is associated
with the development of bronchopulmonary dysplasia (BPD) as well as intestinal
dysintegrity. The administration of high oxygen levels will also affect aerobic and anaerobic
intestinal microbiota as the oxygen will diffuse from intestinal mucosa into the lumen. The
appropriate initial FiO2 level during the resuscitation of premature infants has not been
known.
This study aims to analyze an impact on the difference of exposure to initial oxygen
concentration in resuscitation of premature infants against bronchopulmonary dysplasia,
mucosal integrity, and intestinal mucosa.
The study was an unblinded randomized controlled clinical trial, in Child Health Department
University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, and Menteng Bunda Hospital in
Jakarta, which was conducted in premature infants (25?32 weeks of gestational age) who
experienced respiratory distress and were randomized for receiving resuscitation using 30%
or 50% initial FiO2. The FiO2 levels were adjusted to achieve target oxygen saturation (SpO2)
of 88?92% on the 10th minute using pulse oximetry. The primary outcome was incidence of
BPD; while the secondary outcome was markers of oxidative stress (ratio of GSH/GSSG and
MDA in umbilical cord blood and on the 3rd day), intestinal dysintegrity (AAT) and
intestinal microbiota (using PCR) found in fecal examination on day 1?3 and on the 7th day.
During the period between January and September 2015, there were 84 infants recruited
(there were 42 infants in each group of the 30% and 50% FiO2). There was no significant
difference on BPD incidence between 30% and 50% FiO2 groups, i.e. 42.8% vs. 40.5%
(intention to treat analysis) and 25% vs. 19.4% (per protocol analysis). There was also no
significant difference on oxidative stress markers (ratio of GSH/GSSG and MDA levels),
AAT levels, and changes of facultative anaerobic and anaerobic microbiota in both groups.
However, there was a higher level of facultative anaerobic microbiota compared to anaerobic
microbiota on the 7th day in both groups.
In premature infants with 25?32 weeks of gestational age who were resuscitated using 30%
vs. 50% initial FiO2 level, significant differences were found in terms of BPD incidence,
oxidative stress markers (ratio of GSH/GSSG and MDA), AAT (intestinal mucosa integrity)
and intestinal microbiota. Therefore, it is concluded that the administration of 30% to 50%
initial FiO2 are both equally safe for premature infants during resuscitation."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Yustisia
"Lingkungan mikro tumor berperan penting dalam meregulasi sifat kepuncaan, proliferasi, ketahanan terhadap apoptosis, dan metabolisme sel punca kanker. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek modulasi lingkungan ekstraseluler melalui kondisi hipoksia dan alkalinisasi pada metabolisme glukosa dan ketahanan hidup sel punca kanker CSC payudara manusia CD24-/CD44 . Pada penelitian in vitro eksperimental ini, CSC payudara manusia dikultur pada kondisi hipoksia dan kondisi alkali. Kultur sel diinkubasi selama 30 menit, 4, 6, 24, dan 48 jam pada suhu 37 C kemudian dilakukan analisis status metabolisme glukosa, regulasi pH, ketahanan hidup, dan penanda kepuncaan serta pluripotensi CSC payudara menggunakan berbagai teknik yaitu qRT-PCR, kolorimetri, fluorometri, dan aktivitas enzimatik. Kondisi hipoksia menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA dan konsentrasi HIF1? sehingga mengaktivasi gen-gen yang berada di bawah regulasinya. Hipoksia juga menyebabkan penekanan proliferasi namun meningkatkan ketahanan terhadap apoptosis. Alkalinisasi menyebabkan peningkatan pH ekstraseluler pHe yang menstimulasi peningkatan aktivitas dan ekspresi mRNA gen regulator pH seluler. Status metabolisme menunjukkan peningkatan aktivitas glikolisis anaerobik disertai peningkatan ekspresi transporter GLUT1. Alkalinisasi menyebabkan penekanan proliferasi CSC payudara bahkan kematian sel. Sebagai kesimpulan, modulasi lingkungan ekstraseluler baik melalui hipoksia maupun alkalinisasi dapat meningkatkan aktivitas glikolisis yang selanjutnya mempengaruhi ketahanan hidup dan kepuncaan CSC payudara CD24-/CD44.

This study was aimed to analyze the effect of extracellular pH and O2 level modulation on glucose metabolism and survival of the human CD24 CD44 breast cancer stem cells BCSCs . The primary BCSCs CD24 CD44 cells were cultured under hypoxia 1 O2 or under supplementation of sodium bicarbonate 100 mM for various periods. After each incubation periods, the pH regulation, glucose metabolism, survival, stemness and pluripotency markers were analyzed using various techniques including qRT PCR, colorimetry, fluorometry, dan enzymatic reactions. This study demonstrated that hypoxia caused an increase of HIF1 mRNA expression and protein level, and shifted metabolic states to be more glycolytic. Hypoxia also promoted the suppression of cell proliferation and induced the apoptosis evasion. Alkalinization caused a high pHe then stimulated an increase of mRNA and activity of cellular pH regulator that lead to upregulation of anaerobic glycolysis. Alkalinization inhibited BCSCs proliferation and promoted apoptosis. To conclude, modulation of the extracellular environment of human BCSCs through hypoxic condition and alkalinization could shift the metabolic state toward the anaerobic glycolysis which in turn affected the proliferation and survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Engga Maretha
"Latar belakang: Pola hidup sedenter pada usia produktif berpengaruh terhadap kualitas hidup pada lansia, antara lain dapat menimbulkan penurunan massa dan fungsi otot atau sarkopenia. Salah satu pendekatan untuk menjaga kualitas hidup lansia adalah dengan latihan fisik. Latihan fisik intensitas tinggi dengan interval (high intensity interval training, HIIT) dan latihan fisik intensitas sedang (moderate intensity training, MIT) diketahui dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Meskipun HIIT dinilai bermanfaat, kelayakannya pada individu dewasa tua masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HIIT untuk mencegah sarkopenia pada proses penuaan hewan coba.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Litbangkes Depkes dari September 2016-Maret 2017. Tikus Wistar jantan usia dewasa muda (6 bulan) dan dewasa tua (12 bulan), diberi perlakuan HIIT dan MIT selama 8 minggu. Masing-masing kelompok usia dibagi secara acak menjadi 4 kelompok yaitu: K1 (kontrol, didekapitasi pada hari-1 penelitian sebagai baseline; K2 (kontrol, sedenter); HIIT dan MIT. Pada akhir minggu ke-8 dilakukan pemeriksaan kadar Troponin-T, PGC-1α (ELISA); kadar asam laktat (spektrofotometri); morfologi otot rangka (HE); serta marker apoptosis (Caspase3, imunohistokimia).
Hasil: Kadar Troponin T kelompok HIIT dan MIT lebih tinggi dibandingkan K2 baik pada usia dewasa muda dan usia dewasa tua. Kadar PGC-1α lebih tinggi pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan kelompok K2 pada usia dewasa tua. Tidak terdapat perbedaan kadar asam laktat darah pada kelompok HIIT dan MIT usia dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan dengan K2. Akan tetapi, kadar asam laktat darah K1-T dan K2T berbeda signifikan, namun tidak melebihi 4,0 mmol/L. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah serat otot rangka kelompok HIIT dan MIT tikus dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan K2. Pada tikus dewasa muda, luas penampang serat otot rangka lebih rendah bermakna pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan K2-M. Ekspresi Caspase3 pada jaringan otot rangka hanya ditemukan pada kelompok usia dewasa tua, namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok HIIT dan MIT dengan K2.
Kesimpulan: HIIT dan MIT selama 8 minggu pada tikus dewasa tua dapat mempertahankan kadar Troponin T dan PGC-1α yang penting untuk kontraksi otot rangka. Penerapan kedua latihan ini pada usia dewasa tua tidak meningkatkan kadar laktat darah yang melebihi ambang normal serta tidak menyebabkan kerusakan dan apoptosis pada otot rangka. Penelitian ini menunjukkan bahwa HIIT dan MIT keduanya dapat diterapkan pada usia dewasa tua dan bermanfaat dalam mencegah sarkopenia.

Background: SSedentary lifestyle duringproductive age will influences the quality of life in the elderly, . among others, cIt can cause a decrease in function and muscle mass or which known as sarcopenia. One approach to maintaining the quality of life of thein elderly is physical exercise. High intensity interval training (HIIT) and moderate intensity training (MIT) are known to be able to maintain and improve quality of life. Although HIIT is considered beneficial, its feasibility in older adult individuals is still not widely known. This study aims to determine investigate the effect of HIIT to in preventing sarcopenia in the aging process of experimental animals.
Methods: This study was conducted at Animal Laboratory of Ministry of Health RI from September 2016-March 2017. Male of young adults (6 months) and older adults (12 months) Wistar rats, treated with HIIT and MIT for 8 weeks. Each age group was divided randomly into 4 groups, namely: K1 (control, decapitated on study day-1 as baseline); K2 (control, sedenter); HIIT and MIT. At the end of the 8th weeks, we examined Troponin T levels were examined, PGC-1α (ELISA); lactic acid levels (spectrophotometry); skeletal muscle morphology (HE); as well asand Caspase-3 as markers of apoptosis (Caspase-3, immunohistochemistry).
Results: Troponin-T levels of HIIT and MIT groups were higher than K2 in both in young adult and old adult rats. PGC-1α levels were higher in the HIIT and MIT groups than in thecompared to K2 group in old adult rats. There were no differences in blood lactic acid levels in the HIIT group and MIT groups in both young and older adults compared to K2. HoweverInterestingly, blood lactic acid levels were significantly difference between K1old adult and K2-old adult rats in older adult rats differ significantly, but do not exceed 4.0 mmol /L. There was no difference in the number of skeletal muscle fibers in the HIIT and MIT groups of young and old adult rats compared to K2all groups. In young adult rats, cross sectional area (CSA) skeletal muscle was significantly lower in HIIT training than K2. Caspase-3 expression in skeletal muscle tissue was only found in the old adult group rats, but there was no difference between HIIT and MIT groups with compared to K2 group.
Conclusion: Our study revealed that HIIT and MIT for 8 weeks in old adult rats can maintain levels of Troponin T and PGC-1α which are important for skeletal muscle contraction of skeletal muscles. The application of these two exercises in older adult rats does not increase blood lactate lactic acid levels that exceed the normal threshold and does not cause damage and apoptosis in skeletal muscles. This research Therefore our study shows that both HIIT and MIT can both be applied in older adult rats and are useful beneficial in preventing sarcopenia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library