Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sabaruddin Amrullah
Abstrak :
Lewat catatan sejarah kita dapat mengetahui bahwa industri gula di Indonesia pernah mengalami masa keemasan (Sugar boom) pada masa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1920-1930 dimana produksi mencapai sekitar 3 juta ton gula dan diekspor sekitar 2,6 juta ton. Pada tahun 1929 jumlah Pabrik Gula (PG) mencapai 179. Industri gula mulai runtuh tahun 1930-an akibat resesi ekonomi dunia (world recession). Pada tahun 1937 jumlah PG menyusut menjadi 92 buah, kemudian Zaman Jepang tinggal 20 buah. Setelah Indonesia merdeka, PG meningkat menjadi 30 buah pada tahun 1950, kemudian menjadi 51 pada tahun 1956, meningkat menjadi 67 pada tahun 1989, dan 68 buah tahun 1995. Kemudian meningkat menjadi 70 buah pada tahun 1997, di Jawa 57 unit dan di luar Jawa 13 unit. Beberapa permasalahan yang mengemuka seperti: (i) sisi produsen meliputi; luas areal tebu di Jawa cenderung menurun, areal tebu di Jawa telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal tebu akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan, produktivitas leveling-off (kontribusi kenaikan produktivitas terhadap peningkatan produksi semakin kecil), subsidi pupuk telah dihapus, investasi berkurang, dana penelitian terbatas, faktor alam (kemarau, hama), (ii) sisi konsumen meliputi: kebijakan harga provenue terus meningkat yang mendorong harga naik ditingkat eceran, jumlah penduduk meningkat, pendapatan masyarakat meningkat, rupiah overvalued selama periode periode 1987-1996, hadirnya pesaing gula berupa: (a) pemanis alami, gula merah, gula kelapa, gula lontar, (b) pemanis sintetis, sakarin, sildamat, dll. PeneIitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan: produksi, konsumsi, harga gula domestik, harga impor gula Indonesia, impor gula Indonesia, serta ekspor gula dunia, impor gula dunia, dan harga gula dunia. Kemudian mengevaluasi, meramalkan posisi industri gala domestik dalam kaitannya dengan perdagangan gula dunia melalui simulasi historis dan simulasi peramalan (historical and ex-ante simulation). Dalam penelitian ini memakai data periode tahun 1969-1997 dengan model pendekatan ekonometrika, metode Two Stage Least Squares (2SLS) dipakai untuk mengestimasi model simultan yang dinamik. Model terdiri dari 11 persamaan (m), yaitu 8 persamaan strukturallperilaku dan 3 persamaan identitas; dan 52 variabel predetermined, yang terdiri dari 45 variabel eksogen dan 7 variabel lag endogen, sehingga total seluruhnya 63 variabel (K). Berdasarkan kriteria identifikasi model, maka semua persamaan overidentified, sehingga metode 2SLS dapat digunakan. Hasil pendugaan model dimana nilai koefisien detenninasi (R2) masing-masing perilaku berkisar antara 0.791 - 0.989, dengan demildan secara umum variabel penentu yang dimasukkan dalam persamaan perilaku dalam penelitian ini menjelaskan dengan baik keragaan setiap variabel endogennya. Sementara nilai F yang berkisar antara 19.876 - 675.056, yang pada umumnya tinggi , maka dapat dinterpretasikan bahwa secara bersama-sama variabel-variabel penentu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen disetiap persamaan perilakunya. Kemudian Durbin-Watson (DW) berkisar 1.571 - 2.887, mengingat masalah korelasi serial (DW) hanya mengurangi efisiensi pendugaan dan tidak menimbulkan bias parameter regresi, maka hasil pendugaan model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif menggambarkan fenomena ekonomi gula di Indonesia, kaitannya dengan perdagangan gula dunia. Kemudian untuk validasi nilai aktual variabel endogen menggunakan kniteria statistika yaitu Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), proporsi dekomposisi Mean Square Error (MSE) Bari bias peramalan Theil's Inequality Coefficient, (U-Theil's) Proporsi bias (UM), bias regresi (UR), dan bias distribusi (UD), R2. Selanjutnya jika didekomposisikan kedalam proporsi bias (UM), bias regresi (UR), dan proporsi distribusi kesalahan non sistematik atau bias distribusi (UD), maka tampak bahwa sebagian besar nilai-nilai UM dan UR mendekati nol (0), serta nilai UD mendekati satu (1). Hal ini berarti bahwa sebagian penyimpangan simulasi lebih bersifat non sistematik dibanding penyimpangan regresi dan sistematik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model ekonometrika komoditas gula yang telah diestimasi dalam penelitian ini cukup valid untuk simulasi altematif kebijakan dan non kebijakan melalui analisis simulasi historis maupun peramalan (historical and ex-ante simulation). Keterbatasan utama penelitian ini adalah luasnya lingkup permasalahan (aggregate) dan sifat ekonometrika yang termasuk ekonomi positif (arbitrary), sehingga tidak dapat menetapkan kebijakan terbaik secara spesifik. Keinginan untuk kembali menggapai swasembada gula di capai pada tahun 1984 dihadapkan pada situasi ekonomi gula domestik saat ini dimana laju pertumbuhan produksi sangat lambat (4,44%) dibanding laju pertumbuhan konsumsi (41,36%) dari periode tahun 1969-1997, atau terjadi defisit (produksi < konsumsi), sehingga mendorong peningkatan impor gula Indonesia. Pada tahun 1998 impor gula mencapai 1.8 juta ton atau sekitar 55% dari kebutuhan konsumsi gula domestik. Impor gula Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh Stok Gula Domestik, Harga Gula Dunia, Kekuatan Intervensi Harga oleh Pemerintah Indonesia, Produksi Gula Indonesia, Produk Domestik Bruto Indonesia, Konsumsi Gula Indonesia, dan Bedakala Impor Gula Indonesia. Kuantitas Perdagangan Gula Dunia (ekspor dan impor) dalam jangka pendek memberikan respon inelastis (variabel endogen atau Harga Gula Dunia terhadap vaniabel eksogen atau Ekspor, Impor Gula Dunia) ini berarti bahwa dalam jangka pendek Harga Gula Dunia stabil. Sementara dalam jangka panjang Perdagangan Gula Dunia memberikan respon elastis yang berarti bahwa dalam jangka panjang sulit mencapai posisi harga stabil (harga bergejolak), sebab perubahan dalam jumlah Ekspor dan Impor, Gula Dunia masing-masing atau bersama-sama akan mempengaruhi Harga Gula Dunia. Melalui Simulasi Historis, Dengan mempertahankan Swasembada Gula Absolut (tanpa impor), maka luas areal baik di Jawa maupun di luar Jawa meningkat. Kebijakan ini tepat ketika dimaksudkan untuk meningkatkan luas areal tebu. Melalui Simulasi Peramalan, dengan skenario menghapus intervensi harga oleh pemerintah Indonesia, maka luas areal tebu di Jawa dan di Luar Jawa akan menurun sebagai akibat dari ketidak mampuan berkompetisi dengan harga gula dunia, yang masuk ke Indonesia tanpa hambatan tarif (Bea Masuk=O), sehingga harga gula domestik anjlok. Berbagai kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri gula domestik telah dilakukan antara, antara lain: subsidi pupuk, kredit usahatani tabu, price support (harga provenue), tataniaga dalam hal ini pengadaan, penyaluran, dan stok oleh Bulog. Era liberalisasi menghendaki dihapuskannya berbagai bentuk proteksi, tanpa retriksi perdagangan. Perlindungan (protection) pemerintah terhadap industri gula domestik selama ini kurang mampu mendorong peningkatan produksi, implikasinya kemudian adalah meningkatnya jumlah impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat (income) meningkat, serta berkembangnya inndustri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai salah sate inputnya. Eksistensi industri gula domestik dapat "diselamatkan" melalui intervensi pemerintah dalam hal ini menggunakan instrumen pengenaan tarif bea masuk impor gula, yang pada saat ini gula masih dalam exception list, harga provenue, kemudian pada sisi industri gula domestik diharapkan untuk mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam proses produksinya. Tantangan bagi industri gula domestik adalah "serbuan" gula impor yang sangat murah sebagai akibat dari efisiensi, serta adanya dumping negara produsen utama gula dunia. Kendatipun demikian industri gula domestik juga memiliki peluang dan pangsa pasar yang demikian luas dalam negeri sehingga hal tersebut dapat merupakan kekuatan pendorong (driving force) untuk terus bertahan (survive) sekaligus meningkatkan produksi gula domestik. Kemudian yang sangat mendesak (urgent) adalah seberapa besar perhatian (concern) yang sungguh-sungguh dari pihak-pihak yang terkait dalam industri gula domestik, dalam haI ini para pelaku disisi produsen, serta penentu kebijakan (pemerintah) memberikan atensi terhadap upaya memacu peningkatan produksi gula domestik. Singkatnya diperlukan "political will" dan 'political action" para penentu kebijakan (decision makers) serta semangat dan kesadaran kolektif (consciousness collective) serta kemauan berbuat lebih banyak (willingness to do more) dari pihak-pihak produsen (petani dan industri gula) untuk meningkatkan efisensi dan produktivitasnya.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudirman Bungi
Abstrak :
Pembangunan sektor pertanian, khususnya sub sektor tanarnan pangan mempunyai nilai strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, antara lain karena menghasilkan bahan kebutuhan pokok, dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar, serta adanya potensi sumber daya alam (endowment factor) yang mendukung. Tetapi tidak sedikit pula kendala yang dihadapi, baik kendala yang bersifat biologic maupun kendala sosial. Ada yang dapat dikendalikan dan adapula yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Karena demikian luasnya kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan sub sektor pertanian tanaman pangan, maka dalam penelitian yang berjudul "efisiensi penggunaan faktor produksi dalam usahatani padi di kabupaten Sidenreng Rappang" ini, permasalahan yang dibahas dibatasi pada : (1) Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap tingkat produksi dalam usahatani padi di Kabupaten Sidenreng Rappang; (2) Apakah tingkat kombinasi penggunaan input dalam proses produksi telah memenuhi syarat efisiensi secara teknis; (3) Apakah pengelolaan ushatani padi telah efsien secara ekonomis, dan sejauh mans tingkat efisiensi yang telah dicapai; dan (4) Bagaimana peluang pengembangan usahatani padi di kabupaten Sidenreng Rappang dimasa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang nyata berpengaruh terhadap jumlah produksi padi yang dicapai, efisiensi penggunaan faktor produksi oleh petani baik secara teknis rnaupun ekonomis, dan prospek ,pengembangannya di masa mendatang. Model uji berbentuk linier logaritma ganda yang ditransformasi dan fungsi produksi Cobb-Douglas. Menggunakan data sekunder time series tahun 1990 s/d 2001, metode analisis kuantitatif regresi liner berganda, dan pengolahan data dengan Eviews-3. Hasil penelitian ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut ; LOG(PROD) = 23.75937013 + 1.21269099*LOG(AREA) - 0.4389402362'LOG(BBT) (4.008002) (7.645312) (-1.620833) - 0.75061717*LOG(PPK). - 0.240895965'LOG(IRGTK) + 0,795428310*LOG(TRD) (-2.551838) (-2.940776) (2.918406) -0.2119911043*LOG(HSP) - 0.1128901411*D1 (-2.922826) (-3.459366) R2 = 0.992934 D.W = 1.952241 F-statistik = 80.29882 Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik Dimana : PROD = adalah perubah tak bebas, dalam hal ini adalah jumlah produksi gabah kering panen (dalam Kg) AREA = adalah perubah bebas lahan berupa luas areal panen (dalam Ha) BST = adalah variabel bebas modal berupa jumlah benih yang digunakan (dalam kg) PPK = adalah perubah bebas modal berupa jumlah pupuk urea yang dipakai (dalam Kg) IRGTK= adalah perubah babas luas lahan yang terjangkau irigasi teknis (dalam l la) TRD = adalah perubah babas modal berupa jumlah Traktor roda dua yang kondisinyabaik (unit) HSP = adalah perubah babas modal berupa jumlah Hand Sprayer yang kondisinya baik (dalam unit) diasumsikan dapat menggambarkan pengunaan pestisida. D= variabel dummy (bencana alam musim kemarau akibat badai elnino pada tahun 1998) Dari sepuluh variabel yang diduga berpengaruh pada tingkat produksi padi dalam usahatani padi di kabupaten Sidenreng Rappang, ternyata hanya ada tujuh yang nyata berpengaruh atau signifikan (Luas lahan, benih, pupuk, irigasi teknis, traktor roda dua, pestisida, dan Perubahan kondisi alam sebagai variabel dummy). Sedangkan tiga variabel lainnya (Tenaga kerja, lntensifikasi supra insus, dan Lahan Puso) tidak signifikan dan multikolinear antara tenaga kerja dengan traktor roda dua (koefisien korelasi 0,9102) dan dengan hansprayer (koefisien korelasi 0,9677), sehingga dikeluarkan dari model. Hubungan antara variabel independen dengan ketujuh variabel babas yang signifikan tersebut tidak semuanya sesuai dengan yang dihipotesakan sejak awal. Hanya ada tiga yang sesuai (Luas lahan, dan Traktor roda dua secara positif, serta variabel dummy secara negatif). Sementara empat lainnya (benih, pupuk urea, irigasi teknis, dan handsprayer dihipotesakan positif tapi muncul dengan nilai negatif), artinya penggunaan benih, pupuk urea dan pestisida relatif berlebih. Jumlahh koefisien elastistas semua variabel bebas yang signifikan kecuali variabel dummy, diperoleh 0,365675 < 1, artinya bahwa secara teknis kombinasi penggunaan faktor produksi oleh petani belum efisien, dengan kondisi Decreasing Return to Scale yaitu pertambahan hasil yang sudah menurun, tetapi masih dianggap rasional, karena masih dapat memberikan keuntungan. Dan hasil perniitungan perbandingan Nilai Produksi Marjinal (NPM) dengan l3iaya Haktor Marjinal (13FM) semua variabel babas yang signifikan kecuali variabel dummy, tidak seragam satu sama lain dengan jumlah total nilai NPM/BFM 13,98469 > 1, berarti secara ekonomis kombinasi input dalam proses produksi usahatani padi di Kabupaten Sidenreng Rappang belum efisien. Prospek pengembangan usahatani padi di Kabupaten Sidenreng Rappang memiliki peluang yang cukup baik, terutarna melalui penambahan luas lahan dan peningkatan penggunaan alat mekanisasi pertanian disertai rasionalisasi penggunaan jaringan irigasi teknis dan input benih, pupuk dan perstisida. Berkaitan dengan hasil penelitian, disampaikan beberapa saran yaitu : (a) Perlu dilakukan rasionalisasi penggunaan faktor produksi, berupa upaya perluasan lahan, peningkatan jumlah traktor rodak dua., dan mengurangi benih, pupuk urea, pestisida, serta perbaikan jaringan irigasi teknis dan penglolaannya (b) Perlu dilakukan penelitian berkelanjutan berkaitan dengan pengembangan teknologi, khususnya kombinasi penggunaan pupuk yang tepat dan varietas yang lebih baik agar dapat menghasilkan beras berkualitas tinggi untuk memenuhi permintaan pangsa pasar dengan daya beli lebih tinggi, sehingga dengan jumlah produksi yang sama dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar. (c) Dalam jangka panjang pemerintah perlu memikirkan .program pemberian "income support to the farmer" yaitu memberikan transfer uang secara langsung kepada para petani berdasarkan jumlah produksi yang dijual ke Bulog. lni dimaksudkan untuk meningkatkan mini( petani untuk tetap berproduksi dan dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T12588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriansyah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan formulasi dan memilih strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan di sektor informal yang ada di Propinsi DKI Jakarta. Adapun latar belakang dari penelitian ini, yaitu dengan melihat kondisi Jakarta sebagai kota Metropolitan dengan jumlah penduduk hampir mencapai 10 juta jiwa akibat pertumbuhan yang cukup tinggi, rata-rata 200 ribu jiwa pertahun dari migrasi, berhadapan dengan luas wilayah yang relatif terbatas, berbagai kegiatan juga terkonsentrasi di Jakarta. Mulai dari industri, perdagangan dan jasa serta lain-lainnya, yang tentunya menjadi beban cukup berat bagi penyelenggara pemerintah daerah. Karena mau tidak mau harus menyiapkan dan mengatur mulai dari tempat tinggal, tempat usaha, lapangan pekerjaan, sarana dan prasarana serta berbagai fasilitas yang diperlukan penduduk. Dan inilah yang senantiasa menjadi persoalan yang dihadapi Pemerintah DKI Jakarta, karena keterbatasan dana yang dimilikinya. Penduduk yang terus mengalir ke Jakarta dari berbagai pelosok tempat di tanah air, menyebabkan ketidakseimbangan tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia serta ketidakseimbangan antara penduduk dengan daya dukung fasilitas perkotaan. Apalagi kualitas sumber daya para pendatang tidak sesuai dengan kebutuhan kota Jakarta. Hal ini berimplikasi meningkatnya pengangguran, semakin meluasnya pemukiman kumuh dan padat, kesenjangan antar penduduk, sektor informal yang tidak terkendali serta meningkatnya tindak kejahatan. Tidak heran kalau beberapa waktu lalu Jakarta dijuluki kota kumpulan perkampungan kumuh, sebab memang hanya di beberapa wilayah saja yang biasa disebut sebagai layaknya metropolitan. Sebut saja semisal wilayah sepanjang Jalan Sudirman dan tindak Thamrin kawasan Menteng di Jakarta Pusat dan sebagian daerah Kebayoran Baru Pondok Indah di Jakarta Selatan, Kelapa Gading di Jakarta Utara, memang merupakan daerah elit. Sementara di beberapa wilayah di Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan masih banyak perkampungan kumuh ketimbang perumahan mewah. Di sepanjang trotoar di jalan jalan di Jakarta para Pedagang Kaki Lima (PKL) membangun tempat dagangannya seenaknya berupa gubuk-gubuk atau tenda-tenda. Tak heran keberadaan PKL ini meski merupakan sektor yang dapat"menempung tenaga kerja besar, namun sering menjadi permasalahan karena dianggap merusak tatanan dan kebersihan serta ketertiban kota Jakarta. Penertiban terhadap PKL dengan mengandalkan Law Inforcement yang kurang diimbangi dengan program yang matang oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memang menjadi dilema yang tidak kunjung habis. Tetapi betapapun karena Jakarta adalah Ibukota Negara maka mereka yang menggeluti PKL seharusnya menyadari bahwa keteraturan, ketertiban, kebersihan adalah merupakan bagian yang tidak boleh diabaikan. Fenomena kehidupan yang terjadi di Kota Jakarta berkaitan dengan PKL tersebut mendorong Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk memanage (menata, mengatur, mengelola, membina, mengawasi, menertibkan dan sebagainya) secara konsisten para pedagang kaki lima sesuai dengan visi dan misi Kota Jakarta. Besarnya populasi para pengusaha kecil (mikro) ini yang akhir-akhir berkembang semakin sporadis dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi disadari oleh Pemerintah DKI Jakarta mempunyai potensi, baik potensi yang berdampak positif maupun potensi yang berdampak negatif (potensi konflik). Sisi negatif keberadaan usaha ini tentu akan menimbulkan beban sosial (sosial cost) yang harus ditanggung oleh pemerintah maupun oleh masyarakat Jakarta itu sendiri. Namun dari sisi positif jangka pendek, usaha-usaha ini berfungsi sebagai katup pengamanan penyediaan lapangan kerja, terutama bagi mereka yang mempunyai keterampilan marjinal, yang membutuhkan sumber nafkah. Hanya saja, mereka ini berusaha pada sembarang tempat yang mereka anggap mempunyai nilai cukup strategis dan ekoriomis dengan tanpa mengindahkan dampak negatif keberadaan usaha, dilihat dari aspek tata ruang, sosial, hukum dan ketertiban umum. Aspek-aspek ini tentu merupakan faktor dominan yang harus diperhatikan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta didalam mengambil langkah ke masa depan untuk menangani pedagang kaki lima, serta merupakan aspek yang perlu diperhatikan pula masyarakat lain yang akan membuka usaha dengan menggunakan ruang publik (public domain). Oleh karena itu Pemerintah DKI Jakarta berkepentingan untuk menyelesaikan permasalahan kaki lima secara akomodatif, edukatif dan humanis. Populasi target penelitian ini adalah seluruh stakeholders (masyarakat, pemerintah dan pihak swasta) yang ada di Propinsi DKI Jakarta. Oleh karena keterbatasan waktu dan biaya, keseluruhan populasi hanya diambil 15 orang secara purposive sample (responden adalah ekspert yang ahil pada bidang dan tugas yang dimiliki) dengan sebelumnya terlebih dahulu dibagi menjadi kelompok responden (cluster sample), yakni kelompok pemerintah meliputi 5 Walikotamadta di Propinsi DKI Jakarta, Kepala Bapeda, Kepala Dinas Koperasi dan UKM serta Kepala Biro Perekonomian Propinsi DKI Jakarta serta kelompok masyarakat yang terdiri dari para LSM dan para Akademisi (termasuk peneliti). Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan Analisis SWOT terpilih strategi ST sebesar 48,914 yang masing-masing diikuti oleh strategi SO (47,51), WT (19,728) dan WO (18,324), sedangkan berdasarkan hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) didapatkan bahwa prioritas dalam penanganan kaki lima di Propinsi DKI Jakarta harus berorientasikan kepada kepentingan Publik (0,638) dengan prioritas kebijakan pada upaya menurunkan angka kemiskinan kota Jakarta / mengurangi jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta (0,192) melalui sasaran peningkatan Sumber Daya Manusia par-a pedagang kaki lima (C,272). Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah daerah menurunkan angka kemiskinan dan membuka kesempatan lapangan pekerjaan yang luas dengan sasaran peningkatan Sumber Daya Manusia adalah merupakan prioritas di dalam menangani pedagang kaki lima di Propinsi DKI Jakarta secara akomodatif, edukatif dan humanis.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Syahdjoni Putra
Abstrak :
Pangan, khususnya beras merupakan komoditas yang penting dan strategis, karena merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki yang setiap saat harus dapat dipenuhi. Kebutuhan pangan perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian menyerahkan komoditas pangan khususnya beras ke mekanisme pasar adalah kebijakan yang kurang tepat, hal ini sangat terkait dengan ketahanan pangan (food security) rumah tangga. Meskipun harus diakui bahwa mekanisme pasar sendiri tidak mampu berfungsi secara sempurna, tetapi pengalaman empiris membuktikan kegagalan pemerintah memberikan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan kegagalan mekanisme pasar sendiri. Namun demikian, tidak semua intervensi pemerintah memberikan hasil yang negatif terhadap perekonomian. Dalam keadaan tertentu untuk mengurangi dampak buruk kepada perekonomian, diperlukan campur tangan pemerintah untuk memperbaikinya. Beberapa permasalahan beras nasional antara lain: (i) luas areal tanaman padi yang cenderung menurun, (ii) subsidi harga input dicabut, (iii) dana penelitian tanaman padi yang terbatas, (iv) kebijakan harga dasar yang semakin tidak efektif karena keterbatasan dana pemerintah, (v) penduduk meningkat, (vi) pendapatan masyarakat meningkat, serta (vii) impor beras yang semakin meningkat akibat peningkatan produksi lebih lambat dari peningkatan konsumsi. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh kebijakan harga dasar gabah dan kebijakan tarif bea masuk impor terhadap pendapatan petani akibat diserahkannya kebijakan perdagangan beras dari monopoli Bulog ke kebijakan mekanisme pasar. Spesifikasi model dalam penelitian ini menggunakan model persamaan simultan dan diduga dengan metode Two Stage Least Squares (2 SLS). Menggunakan data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1971-2002. Keterbatasan utama peneiitian ini adalah melakukan simulasi peramalan hanya dengan variabel harga gabah absolut, luas lahan, volume beras impor, laju inflasi dan nilai kurs serta tidak menentukan kebijakan yang tepat dalam perberasan Indonesia. Hasil pendugaan model adalah sebagai berikut: Bahwa pendapatan usaha tani tanaman padi dipengaruhi secara positif oleh produksi beras domestik, harga beras domestik, harga gabah absolut dan tidak dipengaruhi oleh kebijakan mekanisme pasar dan kebijakan penerapan tarif bea masuk beras impor. Kebijakan harga dasar gabah yang didekati dengan harga gabah absolut (selisih harga gabah di tingkat produsen dan harga dasar gabah yang ditetapkan oleh pemerintah) berpengaruh positif dalam meningkatkan pendapatan petani. Penyerahan kebijakan perberasan ke mekanisme pasar akan mengancam petani domestik sebab mereka belum slap berkompetisi dengan petani Iuar negeri yang mempunyal luas lahan pertanian lebih luas serta didukung oleh teknologi yang lebih modern (canggih) dibandingkan dengan petani Indonesia yang sebagian besar petani gurem dan cars bercocok tanam masih bersifat subsisten. Produksi beras domestik dipengaruhi secara positif oleh luas lahan, kebutuhan total beras nasional dan bedakala produksi beras domestik berarti luas lahan, kebutuhan total beras nasional dan bedakala produksi beras domestik berbanding lurus dengan produksi beras domestik. Harga beras domestik dipengaruhi secara positif oleh total konsumsi beras nasional, harga beras impor, laju inflasi umum dan harga beras domestik tahun lalu. Harga beras impor yang berlaku di Indonesia dipengaruhi secara negatif oleh volume beras impor dan secara positif oleh nilai kurs Rupiah terhadap US dollar. Kebutuhan beras secara nasional dipengaruhi secara positif oleh penduduk dan dipengaruhi negatif oleh konsumsi makanan jadi/makanan lain. Dengan demikian total kebutuhan beras secara nasional cenderung meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan konsumsi makanan lain/jadi dapat menjadi barang substitusi dari beras. Hasil simulasi kebijakan dengan menaikkan harga gabah sebesar 17 persen, luas lahan 15 persen, dengan asumsi volume beras impor naik 12 persen, inflasi naik 8 persen serta nilai kurs Rupiah terhadap US$ turun 3 persen pada skenario moderat akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,0589 persen. Ada pun saran dari hasil penelitian ini antara lain: Kebijakan perberasan melalui penetapan tarif bea masuk perlu dibarengi pula dengan penegakan hukum (law enforcement) mengingat wilayah geografis Indonesia yang luas karena kecenderungan terjadi penyelundupan beras ke negara Indonesia sangat besar. Dalam jangka panjang pemerintah perlu memikirkan program pemberian income support to the farmer, yaitu memberikan transfer uang secara Iangsung kepada petani berdasarkan jumlah produksi yang dijual kepada Pemerintah. Seperti model yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Walaupun kebijakan ini merupakan kebijakan yang mahal dari sudut pandang ekonomi, kebijakan ini merupakan bentuk keseriusan keberpihakan pemerintah kepada petani domestik yang sebagian besar hidup dari bercocok tanam padi. Apabila petani padi tidak diberi perlindungan maka jumiahnya akan semakin berkurang karena tidak mampu bersaing dengan sektor non padi dan sektor industri. Dalam jangka panjang hal tersebut akan meningkatkan ketergantungan impor yang besar sehingga dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Perlindungan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus karena dihadapkan dengan berbagai kesepakatan internasional yang telah dibuat dengan WTO (World Trading Organization) seperti di dalam Agreement on Agriculture, Asia Pacific Economic Corporation (APEC) dan Asean Free Trade Association (AFTA).
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunawan
Abstrak :
Tidak ada yang memungkiri pentingnya gula bagi kehidupan rakyat Indonesia. Gula sebagai hasil industri olahan pertanian termasuk dalam salah satu dari sembilan bahan pokok pangan. Sebagai salah satu komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak baik rumah tangga maupun industri seperti industri makanan, minuman, farmasi, dan lain-lain, pemerintah memberikan perhatian yang lebih dibandingkan dengan komoditas lain dengan menjamin penyediaannya dan menjaga stabilitas harganya diantaranya melalui Bulog. Karena menyangkut hidup'orang banyak pula, gula tidak hanya dipandang sebagai komoditas ekonomis tetapi juga politis. Selama bertahun-tahun sebelum perang dunia II Indonesia pernah menduduki tempat terkemuka sebagai negara penghasil gula. Pada masa itu, Indonesia mampu memproduksi gula sebanyak 2.970.836 ton pertahun dengan mengusahakan perkebunan tebu di Jawa seluas 200.000 Ha. Namun setelah masa kemerdekaan tidak ada kemajuan yang dicapai oleh industri gula di Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, konsumsi gula terus meningkat dan tidak dapat dikejar oleh kemampuan produksi. Bila pada waktu-waktu sebelumnya Indonesia menjadi pengekspor gula, maka sejak tahun 1967 berbalik menjadi pengimpor gula (Mubyarto, 1991). Produksi dan konsumsi gula tampak tumbuh seimbang, namun secara absolut jumlah konsumsi selalu lebih besar daripada produksi. Walaupun pada tahun 1984 produksi mampu memenuhi kebutuhan domestik, namun tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutmya. Oleh karena itu sebagian kebutuhan dalam negeri dipenuhi oleh impor, yang dilakukan pemerintah melalui Bulog. Melalui kebijakan impor ini kekurangan gula selalu dipenuhi (Suryana, 1996). Untuk meningkatkan produksi gula dalam rangka menuju swasembada dan memperbaiki pendapatan petani maka pada tahun...
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyono
Abstrak :
Gula dalam perekonomian Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan strategis, karena gula merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Gula sebagai sebagai salah satu salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako) yang banyak digunakan. Seperti halnya komoditas beras, gula pasir merupakan komoditas yang keberadaannya selama ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Banyak persoalan yang mengharuskan pemerintah ikut campur tangan dalam hal pergulaan nasional, mulai dari produktivitas industri gula yang cenderung merosot, tingkat konsumsi gula pasir nasional yang besar, dan juga keberadaan gula impor yang Iebih murah. Produksi gula dari tahun ke tahun terus mengalami kemerosotan karena penurunan Iuas areal tebu dan produktivitasnya yang juga menurun. Akhir-akhir ini marak demonstrasi petani tebu atau karyawan pabrik gula menentang adanya berbagai kebijakan pergulaan nasional yang diterapkan pemerintah. Dilihat dari aspek makro ekonomi industri gula memerlukan penanganan secara cermat agar efisiensi dan produktivitas Pabrik Gula (PG) tersebut dapat ditingkatkan, sehingga daya saingnya bisa meningkat. Sayangnya, sampai sekarang harga gula produksi lokal belum mampu bersaing dengan harga gula impor. Dalam beberapa tahun terakhir ini produksi gula merosot akibat persaingan ketat dengan komoditi Iain terutama beras. Kebijakan pemerintah yang menetapkan harga beras cukup tinggi Serta bunga pinjaman yang rendah menjadikan tanaman tebu kurang menarik, terutama di Jawa. Sementara itu, krisis ekonomi telah menghambat rencana pernerintah untuk mengalihkan industri gula ke Iuar Jawa. Salah Satu masalah mendasar yang dihadapi industri gula nasional adalah inefisiensi di tingkat usaha tani dan pabrik gula (PG). Inefisiensi industri gula tersebut yang pertama adalah pabrik-pabrik gula sudah mengalami masa yang aus dan mesin-mesinnya sudah tua. Kedua, kinerja dari pabrik itu juga relatif rendah dan tidak cukup baik. Ketiga, kondisi pertanian tebu. Benin-benih tebu makin Iama-makin menurun produktivitasnya. Rendemen hasil gula dari tebu makin lama makin turun, karena tingkat produktivitas yang makin menurun juga. Inefisiensi lain juga datang dari ongkos produksi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mencari akar permasalahan dan merumuskan beberapa alternatif kebijakan pemerintah yang efektif dan komprehensif dalam rangka meningkatkan kinerja industri pergulaan nasional yaitu produksi gula nasional, konsumsi gula nasional dan kebijakan impor gula.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endro Gunawan
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perdagangan bebas kedelai (tarif nol persen) terhadap daya saing dan profitabilitas usaha tani kedelai di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan periode 2002-2003. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan usaha tani kedelai di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002 lebih besar dibanding laba usaha tani pada tahun 2003. Terjadi penurunan keuntungan usaha tani sebesar Rp. 201,5 ribu di Jatim dan Rp. 288,2 ribu di Sulsel pada perlode 2002-2003. Di Jawa Timur keuntungan usaha tani kedelai pada tahun 2002 sebesar Rp. 1.333.725 /ha dan pada tahun 2003 sebesar Rp. 1.132.200/ha, sedangkan di Sulawesi Selatan keuntungan usaha tani kedelai sebesar Rp. 1.380.700/ha pada tahun 2002 dan Rp. 1.092.500/ha pada tahun 2003. Usaha tani kedelai di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan periode 2002-2003 masih memberikan keuntungan yang memadai. Hal ini tercermin dari nilai net transfer usaha tani kedelai di propinsi Jatim dan Sulsel yang nllainya lebih besar dari noi, yaitu sebesar Rp. 463.919 di Jatim dan Rp. 366.468 di Sulsel pada tahun 2003. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai masih menguntungkan di tingkat harga aktual (harga private) dibandingkan pada harga sosialnya. Hal ini disebabkan karena negara-negara produsen utama kedelai menerapkan harga dumping, sehingga harga kedelai pada harga sosial lebih murah dibandingkan harga kedelai pada harga private. Dibandingkan pada tahun 2002, nilai net transfer usaha tani kedelai di Jatim mengalami penurunan sebesar Rp.129.225/ha, sedangkan di Sulsel mengalami penurunan sebesar Rp.88.707/ha. Nilai PCR usaha tani kedelai di propinsi Jatim dan Sulsel nilainya lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0.59 pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga private di Jatim dan Sulsel hanya memerlukan 0.59 unit faktor domestik. Menurut metode PAM, hasil ini mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai dl kedua propinsi mempunyai keunggulan kompetitif dan secara private menguntungkan. Dibandingkan dengan tahun 2002, maka nilai PCR di Propinsi Jatim dan Sulsel pada tahun 2003 mengalami peningkatan. Nilai NPCO usaha tani kedelai dl Jatim dan Sulsel tahun 2003 nilainya lebih besar dari satu, yaitu 1.18 di Jatim dan 1.15 di Sulsel. Menurut metode PAM, ini berarti pemerintah memberikan proteksi pada output sehingga harga aktual kedelai lebih tinggi 18% di Jatim dan 15% di Sulsel dibandingkan dengan harga sosialnya. Rendahnya harga sosial tersebut diakibatkan karena perhitungan pada harga sosial menggunakan harga dumping, bukan harga sosial yang sebenarnya. Nilai NPCI di propinsi Jatim dan Sulsel pada periode 2002-2003 nilainya juga lebih besar dari satu, yaitu 1.06 di Jatim dan 1.03 di Sulsel pada tahun 2003. Hal ini berarti adanya pajak berupa tarif bea masuk pada input tradable (benih, pupuk, pestisida). Akibat adanya tarif bea masuk pada input tradable mengakibatlcan harga input tradable usaha tani kedelai pada harga aktual di Jatim lebih tinggi 6% dan dl Sulsel lebih tinggi 3% dibanding pada harga sosialnya pada tahun 2003. Kondisi ini mengindikasikan bahwa input tradable pada usaha tani kedelai tidak mendapat proteksi, tetapi dikenakan pajak berupa tarif bea masuk. Nilai EPC usaha tani kedelai di kedua propinsi lebih besar dari satu, yaitu 1.20 di Jatim dan 1.16 di Sulsel pada tahun 2003. Menurut metode PAM, hasil ini berarti pemefintah memberikan proteksi pada input-output secara simultan sehingga nilai tambah pada harga private di Jatim lebih besar 0.20% dan di Sulsel lebih besar 0.16% dibandingkan nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRCR usaha tani kedelai di kedua propinsi pada periode 2002-2003 nilainya lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0.71 di Jatim dan 0.69 di Sulsel pada tahun 2003. Hal ini berarti untuk rnenghasilkan satu unit nilai tambah pada harga sosial, Jatim memerlukan 0.71 unit faktor domestik dan Sulsel memerlukan 0.69 faktor domestik. Menurut perhitungan dengan metode PAM, nilai DRCR yang lebih kecil dari satu ini disebabkan karena penerimaan pada harga sosial yang lebih besar dibandingkan biaya input tradable-nya akibat subsidi domestik di negara produsen kedelai. Nilai DRCR di Sulsel pada periode 2002-2003 lebih kecil dibandlngkan dengan Jatim, hal ini mengindikasikan bahwa usaha tani kedelai di Sulsel lebih mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan di Jatim. Terdapat perbedaan antara hasil analisis PAM dengan kondisi sebenarnya dari usaha tani kedelai di Indonesia. Perbedaan hasil perhitungan analisis PAM dengan kondisi di lapang ini diduga karena harga sosial yang digunakan dalam perhitungan PAM sudah terpengaruh oleh politik dumping, subsidi domestik dan subsidi ekspor yang dalam metode PAM pengaruh-pengaruh tersebut diabaikan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnella
Abstrak :
Struktur perekonomian Propinsi Jawa Barat telah mengalami perubahan dari sektor pertanian beralih ke sektor industri. Daiam kurun waktu 10 tahun (1989-1999) telah terjadi pergeseran dimana kontribusi sektor pertanian dalam PDRB terus mengalami penurunan dari 20,35 persen menjadi 13,55 persen sedangkan sektor industri mengalami kenaikan dari 21,02 persen menjadi 35,77 persen. Penurunan peranan sektor pertanian dalam menyumbang PDRB tidak seimbang dengan penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian masih merupakan penyerap tenaga kerja terbesar atau mampu memberikan pendapatan bagi sejumlah besar njmah tangga di Propinsi Jawa Barat. Keadaan ini mengakibatkan tingkat kesejahteraan pekerja di sektor pertanian lebih rendah jika dibandingkan dengan pekerja di sektor lainnya. Proses transformasi struktural di Propinsi Jawa Barat yang ditandai semakin turunnya peran sektor pertanian dan semakin besarnya peran sektor lain terutama sektor industri perlu diantisipasi agar kesejahteraan penduduk terutama yang berada di sektor pertanian dapat terus ditingkatkan. Berkaitan dengan hal tersebut maka penulisan tesis ini bertujuan untuk menganalisis dampak pengeluaran pemerintah di sektor pertanian ternadap kinerja sektor pertanian. Karena walaupun peranan sektor pertanian telah menurun tetapi sektor ini masih tetap memegang peranan penting dalam perekonomian di Propinsi Jawa Barat. Dampak pengeluaran pemerintah ini akan mdihat pengaruh yang ditimbulkannya terhadap pembentukan output, kesempatan kerja, pendapatan, nilai tambah dari suatu sektor, khususnya sektor pertanian. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis keterkaitan sektor pertanian dengan sektor perekonomian lainnya. Model yang digunakan menggunakan model Input-Output dengan memanfaatkan Tabel Input-Output Jawa Barat tahun 1999. Berdasarkan tabei transaksi Input-Output tahun 1999 perekonomian Propinsi Jawa Barat memperlihatkan bahwa sektor industri mempunyai peranan paling besar dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sektor industri merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan output, nilai tambah, ekspor dan impor. Sedangkan peranan sektor pertanian yang terbesar dalam penyerepan tenaga kerja yaitu sekitar 32,2 persen dari jumlah total tenaga kerja di Jawa Barat. Besamya jumlah tenaga kerja dan rendahnya tingkat pendidikan para tenaga kerja di sektor pertanian mengakibatkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian jauh lebih rendah bila dibandingkan produktivitas sektor-sektor lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat pendapatan tenaga kerja, dimana upah rata-rata yang diperoleh tenaga kerja di sektor pertanian merupakan upah terendah yaitu sebesar Rp 920.000 pertahun. Nilai multiplier output dan pendapatan yang dihasilkan berdasarkan analisis menunjukkan bahwa sektor industri mempunyai nilai multiplier terbesar. Multiplier output tipe I dihasilkan oleh industri barang jadi dan logam dengan nilai 2,092 yang berarti peningkatan permintaan akhir satu-satuan akan meningkatkan output seluruh perekonomian sebesar 2,092 satuan. Multiplier pendapatan terbesar diperoleh sektor industri kertas, barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan dengan nilai 2,639. Sedangkan multiplier tenaga kerja terbesar dihasilkan oleh sektor jasa-jasa. Di sektor pertanian, nilai multiplier output total sebesar 1,555 yang berarti apabila terjadi kenaikan permintaan akhir sebesar satu juta maka akan meningkatkan output seluruh perekonomian sebesar 1,555 juta. Multiplier tenaga kerja sektor ini sebesar 0,188 menunjukkan jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta di sektor pertanian akan menyerap 188.000 tenaga kerja baru dalam perekonomian dengan 90,03 persen kenaikan penggunaan tenaga kerja pada sektor pertanian itu sendiri. Multiplier pendapatan sektor pertanian sebesar 0,227 mempunyai arti apabila terjadi kenaikan output sektor pertanian sebesar satu jute rupiah maka akan menaikkan tingkat pendapatan di seluruh sektor perekonomian sebesar Rp 227.000. « Sektor pertanian memiliki nilai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang rendah, dimana nilai keterkaitan dan sisi output relatif lebih besar dibandingkan sisi input. Hal tersebut berarti sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi pengembangan sektor lainnya maupun dijadikan sebagai sektor utama. Reran tersebut lebih tepat diberikan pada sektor industri karena sektor industri memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang besar sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai basis pengembangan perekonomian. Berdasarkan alokasi dana pengeluaran pemerintah, dampak langsung yang dihasilkan sektor pertanian pada pembentukan total output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai tarn bah secara absdut lebih besar dibandingkan sektor industri, pertambangan dan sektor perdagangan. Hal ini disebabkan alokasi dana pengeluaran pemerintah yang diberikan pada sektor pertanian jauh lebih besar dari ketiga sektor lainnya. Namun apabila dilihat secara proporsi terhadap nilai total, sektor pertanian menempati peringkat ketiga dari empat sektor yang diteliti. Pengeluaran pemerintah yang diberikan pada sektor pertanian temyata kurang mendukung kinerja di sektor pertanian. Karena dari analisis menghasilkan efek pengganda pendapatan yang relatif rendah jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah tenaga kerjanya. Selain itu, pembentukan output yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan tiga sektor lain yang dianalisis. Banyaknya tenaga kerja yang bergantung di sektor pertanian merupakan salah satu alasan perlunya memperbaiki kinerja sektor pertanian di Jawa Barat Sehingga pengalihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya, misalnya ke sektor industri merupakan tindakan yang harus segera dilaksanakan agar tingkat pendapatan yang diperoleh akan lebih besar dan akan berdampak pada meningkatnya tingkat kesejahteraan mereka. Sektor industri yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sektor utama (leading sector1) yang dapat menampung para pekerja dari sektor pertanian adalah sektor industri yang berbasis pertanian (agroindustri), khususnya agroindustri dari jenis aneka industri dan industri kecil.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irianta
Abstrak :
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia yang jumlahnya cenderung terus meningkat. Dengan demikian, ketersediaan beras merupakan tolok ukur bagi ketahanan pangan nasional. Untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri agar dapat menjamin ketersediaan beras nasional, pemerintah telah mendorong kegiatan usahatani padi karena usahatani padi merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan padi yang dapat diolah menjadi beras dan merupakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi 21 juta rumah tangga tani di Indonesia. Dengan demikian, usahatani padi merupakan kegiatan yang strategis dalam program peningkatan produksi padi/beras dalam negeri. Pada tahun 2004, produksi padi nasional diperkirakan mencapai 54,34 juta ton atau setara dengan 33,92 juta ton beras (Angka Ramalan III BPS). Dari total produksi padi nasional tersebut, padi sawah memberikan konstribusi sekitar 94,67% dari total produksi padi nasional. Sentra-sentra produksi padi terbesar antara lain terdapat di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Konstribusi produksi padi dari propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan terhadap total produksi padi nasional pada tahun 2004, masing-masing adalah 15,61% , 16,56 % dan 7,19 %. Untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan perberasan. Pada periode sebelum krisis (1970-1996), pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan harga dasar gabah (HDG), kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi kredit usahatani padi, manajemen stock dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, dan kebijakan tarif impor beras. Pada periode krisis (1997-1999), pemerintah menerapkan kebijakan transisi yaitu menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga dasar gabah dan melakukan liberalisasi impor beras dengan mencabut monopoli impor yang dipegang oleh Bulog dan menetapkan tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Pada periode pasta krisis (2000-2004), pemerintah menerapkan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah (HDPP), kebijakan tarif impor beras dan pelarangan impor beras sejak 7anuari 2004 sampai dengan saat ini. Globalisasi Perdagangan dapat menjadi ancaman bagi kelanasungan produksi padi nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi padi secara berkelanjutan. Permasalahan pokok dalam peningkatan produksi padi yang berkelanjutan antara lain adalah (1) Lemahnya daya saing padi sawah yang tercermin dari meningkatnya volume impor beras pada periode 1996-2001, (2) Rendahnya profltabilitas usahatani padi sawah yang tercermin dari masih banyaknya petani yang menerima harga gabah di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah dan menurunnya nilai tukar petani (NTP) pada periode 1996-2001, dan (3) rendahnya tingkat proteksi pada usahatani padi sawah. IJntuk mengatasi permasalahan tersebut, sejak tahun 2000 pemerintah telah menerapkan kebijakan tarif impor beras dengan tujuan supaya dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sehingga dapat memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap dayasaing dan profitabilitas usahatani padi yang difokuskan pada komoditas padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan Periode 2002-2003. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM) karena merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk menganalis kebijakan pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya saing usahatani padi sawah di propinsi Sawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003 menunjukkan peningkatan yang tercermin dari menurunannya nilai PCR. Penurunan nilai PCR berarti menunjukkan peningkatan daya saing usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Nilai PCR padi sawah di propinsi Jawa Tengah menurun dari 0,57 menjadi 0,38; di propinsi Jawa Timur menurun dari 0,54 menjadi 0,43; dan di propinsi Sulawesi Selatan menurun dari 0,53 menjadi 0,36. Profitabilitas usahatani padi sawah juga menunjukkan peningkatan yang tercermin dari meningkatnya net transfer usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Peningkatan net transfer berarti menunjukkan peningkatan profitabilitas usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Net transfer usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah meningkat dari Rp 900.194/ha menjadi Rp 2.084.490/ha; di propinsi Jawa Timur meningkat dari Rp 1.495.400/ha menjadi Rp 2.507.780/ha; dan di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 345.394/ha menjadi Rp 2.809.759/ha. Peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut terjadi karena adanya peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras. Peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras mengakibatkan peningkatan harga gabah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Selain terjadi peningkatan harga gabah yang disebabkan oleh Peningkatan proteksi dari kebijakan tarif impor beras, juga terjadi penurunan harga pupuk yang mengakibatkan peningkatan total penggunaan pupuk sehingga meningkatkan produktivitas padi sawah di tiga propinsi tersebut. Selanjutnya meningkatnya harga gabah dan produktivitas padi sawah tersebut mengakibatkan peningkatan pendapatan usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Meningkatnya pendapatan usahatani tersebut mengakibatkan peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003 menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output), penurunan NPCI (Nominal Protection Coefficient on Input), dan peningkatan EPC (Effective Protection Coefficient). Nilai NPCO usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut masing-masing adalah 1,26, 1,38 dan 1,08, dan pada tahun 2003 masing-masing adalah 1,43, 1,42, dan 1,52. Sedangkan nilai EPC usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut pada tahun 2002 masing-masing adalah 1,26, 1,40 dan 1,07, dan pada tahun 2003 masing-masing adalah 1,51, 1,47 dan 1,63. 8iia dikaitkan dengan tarif impor sebesar Rp 430/Kg (setara 30 % ad valorem), maka tingkat proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002 lebih kecil dari tarif impor beras tersebut sehingga belum memberikan proteksi yang efektif. Sebaliknya di propinsi Jawa Timur, tingkat proteksinya lebih besar dari tarif impor beras sehingga memberikan proteksi yang efektif. Pada tahun 2003, tingkat proteksi pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan lebih besar dari tarif impor beras sehingga memberikan proteksi yang efektif pada usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Dari hasil analisis, terlihat bahwa model analisis PAM sangat sensitif terhadap perubahan asumsi-asumsi yang digunakan. Dalam analisis ini, nilai tukar rupiah pada tahun 2002 dan tahun 2003 masing-masing diasumsikan sebesar Rp 9.315,89/US$ dan Rp 8.792,20/US$ serta besarnya tarif impor beras diasumsikan sama dengan tarif impor beras yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 430/Kg (30% ad valorem). Jika nilai tukar rupiah menguat atau tarif impor beras diturunkan, maka harga aktual gabah akan menurun mendekati harga sosialnya. Penurunan harga aktual gabah tersebut akan mempengaruhi pendapatan usahatani padi sawah sehingga mempengaruhi daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah. Oleh karena itu, jika nilai tukar rupiah dan tarif impor beras berubah, maka pembuat kebijakan harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut. Secara ringkas dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan perberasan nasional yaitu antara lain kebijakan harga dasar gabah dan beras, kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi bunga kredit usahatani, manajemen stock dan monopoli impor beras oleh Bulog, penyediaan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) untuk pengadaan beras oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras tinggi Bulog harus menjual dengan harga murah, tarif impor beras sebesar Rp 430/Kg atau setara 30 % ad valorem dan pelarangan impor beras sejak Januari 2004 sampai dengan saat ini. Kebijakan tarif impor beras yang telah diimplementasikan sejak tahun 2000 hingga saat ini memberikan dampak positif terhadap peningkatan daya saing dan profitabilitas usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada periode 2002-2003. Namun demikian, kebijakan tarif impor beras tersebut belum memberikan proteksi yang efektif pada usahatani padi sawah di propinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan pada tahun 2002. Sebaliknya di propinsi Jawa Timur memberikan proteksi yang efektif. Selanjutnya pada tahun 2003, kebijakan tarif impor beras tersebut memberikan proteksi yang cukup efektif pada usahatani padi sawah di tiga propinsi tersebut. Model analisis PAM sangat sensitif terhadap perubahan asumsi-asumsi yang digunakan. Jika nilai tukar rupiah menguat atau tarif impor beras diturunkan, maka harga aktual gabah akan menurun mendekati harga sosialnya. Oleh karena itu, jika nilai tukar rupiah dan tarif impor beras berubah, maka pembuat kebijakan harus hati-hati dalam memutuskan kebijakan tersebut.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmanto Indrowijoyo
Abstrak :
Sebagai salah satu bahan malcanan pokok yang dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, balk yang berada dipedesaan maupun diperkotaan, minyak goreng dapat dikategorikan sebagai kornoditas yang eukup strategis, karena dari pengalaman, terlihat bahwa kelangkaan minyak goreng dapat menimbulkan dampak ekonornis dan politis yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.

Selama ini yang terjadi adalah jika harga minyak sawit kasar dunia meningkat dan nilai tukar mata uang rupiah terdepresiasi maka akan terjadi peningkatan ekspor minyak sawit kasar secara besar-besaran sehingga ketersediaan bahan baku untuk industri minyak goreng berkurang yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan harga minyak goreng dalam negeri.

Mengacu pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan ekonomi, deregulasi perdagangan minyak sawit (CPO) terhadap stabilisasi harga minyak goreng dornestik berdasarkan pada produksi CPO, nilai impor dan ekspor CPO, harga CPO domestik dan luar negeri, permintaan dan penawaran CPO domestik dan luar negeri serta perubahan nilai tukar mata uang. Adapun tujuan akhir dari penulisan ini adalah tersusunnya model simulasi kebijakan pemerintah yang diharapkan mampu memperkirakan dampak mengikuti perubahan yang terjadi.

Studi ini menggunakan model ekonometrik dengan model persamaan simultan dinamik yang terdiri dari 11 persamaan yang meliputi 7 persamaan struktural dan 4 persamaan identitas. Jumlah seluruh variabel adalah 21 dengan variabel endogen 11 buah dan variabel eksogen sebanyak 10 buah. Dari hasil estimasi model, sebanyak empat persamaan perilaku mempunyai koeiisien determinasi (RZ) antara 0.906 hingga 0.994 dan tiga persamaan mempunyai R2 antara 0.759 hingga 0,886, nilai F, berkisar diantara 23.102 hingga 1232.826 dan Durbin-Watson (DW) berkisar antara 1.448 hingga 2.470.

Daya prediksi model untuk digunakan dalam simulasi rnemberikan hasil yang cukup baik, 5 persamaan merniliki nilai R2 antara 0.97 - 0.99, 3 persamaan antara 0.71 - 0.81, 9 persamaan memiliki nilai MPE dibawah 30%, 8 persamaan memiliki nilai RMSPE diatas 50%, seluruh persamaan memiliki U dibawah 0.2, 9 persamaan memiliki nilai Um dibawah 0.16, 7 persamaan merniliki nilai Ur dibawah 0.13, 8 persamaan merniliki Ud diatas 0.72. Nilai-nilai dckomposisi koeiisien U-Theil mengindikasikan bahwa bias (error) yang terjadi dalam simulasi model Iebih banyak disebabkan oleh faktor non sistematik.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa harga CPO dunia dan depresiasi rupiah mempengaruhi harga minyak goreng sawit Indonesia dan dari hasil simulasi terlihat, penunman maupun penghapusan pajak ekspor akan meningkatkan ekspor CPO sehingga harga minyak goreng meningkat. Dari hasil simulasi historls, simulasi krisis maupun simulasi ramalan dapat disarankan bahwa pajak ekspor dapat diberlakukan untuk menjaga ketersediaan bahan baku minyak goreng domestik.
2001
T3145
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>