Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulia Sri Gunawardhani
"Faktor sosial seperti jenis pekerjaan, penghasilan, pendidikan, agama, suku bangsa, akses terhadap informasi dan pengetahuan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku pemilik hewan rentan rabies terutama pemilik dan pemelihara hewan anjing belum menunjukkan sikap dan perilaku yang baik atau positif sehingga upaya pengendalian rabies di DKI Jakarta tidak optimal. Saat ini Jakarta belum dinyatakan sebagai wilayah bebas rabies, padahal Rabies merupakan penyakit zoonosis yang membahayakan karena case of fatality 100% dan penyebab ketakutan masyarakat.
Jenis pekerjaan pemilik hewan tidak mempunyai korelasi dengan sikap dan perilaku, walaupun lebih dari separuhnya bekerja di bidang swasta (non pemerintahan). Demikian juga agama yang dianut tidak menunjukan hubungan tetapi hanya memperlihatkan karakteristik saja dimana agama Kristen/katholik lebih dominan dibanding agama lain. Jadi orang Kristen belum tentu bersikap dan berperilaku baik walaupun dalam agamanya tidak ada batasan untuk memelihara hewan rentan rabies utama yaitu anjing. Suku bangsa atau etnik Jawa merupakan suku pemilik terbanyak dibanding Tionghoa dan Batak belum dapat menunjukkan adanya hubungan dengan sikap maupun perilaku. Etnis Tionghoa juga Batak bukan jaminan sebagai pemilik hewan yang baik, tetapi orang Jawa yang di daerah asalnya tidak mempunyai tradisi/kebiasaan memelihara anjing, di Jakarta mereka lebih menghargai anjing sebagai hewan penjaga sekaligus kesayangan.
Melalui teori stimulus-response, pembentukan sikap dan perilaku pemilik hewan ternyata berhubungan dengan penghasilan, pendidikan dan pengetahuan. Sikap itu sendiri secara langsung mempengaruhi terbentuknya perilaku. Tingkat penghasilan sedang sampai tinggi lebih siap mengalokasikan dana untuk kebutuhan kesehatan dan kesejahteraan hewannya. Tingkat pendidikan yang cukup tinggi (rata-rata lulusan diploma atau sarjana) telah membuat kesadaran yang tinggi dalam berperilaku baik. Sedangkan pengetahuan tentang hewan, penyakit dan upaya pengendalian lebih banyak berhubungan dengan pembentukan sikap. Semakin banyak akses terhadap informasi maka banyak pengetahuan, sehingga semakin baik sikap. Perilaku yang ditunjukkan akan menjadi feed back sesuai teori umpan balik terhadap perilaku berikutnya yang lebih baik.
Penelitian yang menggunakan pendekatan kombinasi kuantitatif dan kualitatif ini berhasil mempelajari dan mengidentifikasi lebih dari 70 % pemilik hewan rentan rabies bersikap dan berperilaku baik. Dan dapat memberikan solusi agar dihentikannya program vaksinasi massal gratis diganti dengan monitoring dan penegakan peraturan, pemberlakuan pajak anjing yang dikembalikan dalam bentuk kemudahan pelayanan kesehatan hewan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Srisantyorini
"Banyaknya peralatan (mesin) yang digunakan di perusahaan untuk melakukan proses produksi mempunyai potensi menjadi sumber bising, sehingga merupakan faktor resiko untuk terjadinya gangguan/keluhan karyawan yang bekerja di perusahaan yang bising tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tingkat kebisingan dan hubungannya dengan gangguanikeluhan yang dirasakan karyawan, serta dapat dijadikan dasar untuk program pencegahan dan perbaikan dalam usaha menanggulangi masalah kebisingan di perusahaan.
Desain penelitian yang digunakan potong lintang (cross sectional), dan alat ukur yang digunakan berupa daftar pertanyaan terstruktur (angket) yang dibagikan kepada karyawan PT. Friesche Valg Indonesia dengan jumlah responden 154 orang.
Hasil pengukuran tingkat kebisingan di bagian produksi berkisar antara 74,6 - 100,6 dB(A) dan di bagian administrasi 64,6 - 70,6 dB(A) hal ini melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan. Keadaan tempat kerja menurut responden cukup bising (77,3%) dan bising terus menerus adalah jenis suara yang paling menganggu (51,3%). Gangguan/keluhan yang paling dirasakan yaitu gangguan komunikasi (63,0%), gangguan kenyamanan (51,9%), keluhan setelah selesai bekerja (53,2%), dan penurunan pendengaran (28,6%). Karyawan yang selalu menggunakan alat pelindung telinga (55,1%) dan jenis alat pelindung yang sering digunakan ear plug/sumbat telinga (32,5%).
Tingkat kebisingan di tempat kerja dan jenis suara yang paling menganggu berhubungan bermakna dengan gangguan/keluhan. Karakteristik karyawan yang berhubungan bermakna dengan gangguan/keluhan yaitu umur, masa kerja, dan frekuensi penggunaan alat pelindung telinga, Variabel unit/bagian kerja, dan lama pemajan perhari tidak berhubungan bermakna dengan gangguan/keluhan.
Perlu adanya pengukuran tingkat kebisingan dan pemeriksaan kesehatan telinga dengan audiometri secara berkala. Perusahaan lebih mengefektifkan penggunaan dan pemeriksaan secara berkala alat pelindung telinga, serta memberikan penyuluhan kepada karyawan mengenai kebisingan dan alat pelindung telinga, juga memperhatikan jenis alat pelindung telinga yang nyaman dan tidak mengganggu saat digunakan oleh karyawan.
Daftar bacaan : 35 (1973 - 2000)

Noise Level and Hearing Disturbance on PT. Friesche Vlag Indonesia Employee 2002The excessive equipment that is used in a company to do the production process has a potential to be a noise source, and it is a risk factor for the employee who works at those place to get disturbance.
The purpose of this study is to get an information on noise level and the association with the disturbance felt by the employee, and can be the base for prevention program as an effort to handle the noise problem at the company.
The design of the study is cross sectional, measurement instrument that is used are structured question list (angket) which is to the employee of PT. Friesche Vlag Indonesia with 154 respondent.
The result on noise level measurement at the production section is around 74,6 - 100,6 dB(A), 64,6 - 70,6 dB(A) in the administration section, which is over the threshold limit level. According to the employee the work place condition is quite noisy (77,3%) and continues noise is the most annoying sound (51,3%).
The disturbance that is felt most is communication disturbance (63,0%), pleasant disturbance (51,9%), complaint after work (53,2%), and hearing loss (28,6%). Employee who always wear ear protect equipment (55,1%) and the protection equipment that is often use is ear plug (32,5%).
Noise level at the work place and the sound that is most annoying are significantly correlated with disturbance. Employee characteristic that is significantly correlated wit disturbance are age, work period, and using ear protection equipment frequency. Work unit variable and exposure duration each day are not significantly correlated with disturbance.
There need to be a routine noise level measurement audiometri. Company should effectively encourage the use and to check the ear protection regularly, and give the information to the employee about noise and ear protection equipment, and to day attention on the comfortability of the ear protection equipment and will not disturb the employee while it is used.
References : 35 (1973 - 2000)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10790
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Parulian
"Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) termasuk pneumonia masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, dimana angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) penyakit ISPA pada balita cukup tinggi. Oleh karena itu pemberantasan penyakit ISPA merupakan program nasional, untuk mendukung terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas di masa mendatang. Meningkatnya kejadian penyakit ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor lingkungan. Sebagian besar (80%-90%) waktu balita setiap harinya berada dalam rumah, dimana terdapat pajanan polusi udara dalam rumah yang diantaranya adalah PM10, Strategi yang paling tepat dilakukan dalam program pemberantasan penyakit ISPA adalah peningkatan kualitas udara indoor rumah tinggal.
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Cakung Timur Kota Jakarta Timur, untuk mengetahui kejadian penyakit ISPA pada balita, kondisi lingkungan yang berkaitan dengan kejadian penyakit ISPA, dan hubungan antara partikulat debu PMIO rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Penelitian ini menggunakan disain studi kasus kontrol. Sebanyak lima puluh kasus dipilih dan daftar kasus ISPA terjadi di Puskesmas pada 2 bulan terakhir, sedangkan lima puluh balita yang sehat menjadi kelompok kontrol diambil dan tetangga terdekat kasus. Beberapa variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA adalah kelembaban, suhu, kepadatan hunian ruang tidur, ventilasi, bahan bakar memasak, asap rokok, pencahayaan, status gizi balita, riwayat imunisasi, dan jenis lantai. Data primer dikumpulkan dan pengukuran parameter kualitas udara indoor, lingkungan perumahan, dan karakteristik balita. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari pencatatan dan pelaporan Puskesmas Kelurahan Cakung Timur.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan dibantu oleh staf puskesmas, teknis laboratorium dari BTKL Jakarta, dan staf Kelurahan Cakung Timur, melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan observasi terhadap lingkungan rumah tinggal. Kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh beberapa factor yang meliputi faktor lingkungan rumah, kondisi social, dan pelayanan kesehatan. Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara PM10 dan kejadian penyakit ISPA pada balita. Risiko untuk menjadi ISPA pada balita yang tinggal dalam rumah dengan konsentrasi PM10 lebih dari 70 μg/m3 adalah 6,1 kali dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan PM10 kurang atau sama dengan 70 μg/m3. Dengan mengontrol factor ventilasi rumah dan status gizi balita maka angka risiko tersebut akan berkurang menjadi 4,25 kali.
Beberapa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dalam penelitian ini adalah PM10, ventilasi, status gizi balita, kelemababan. Sedangkan variabel lain seperti kepadatan hunian ruang tidur, bahan bakar memasak, asap rokok, pencahayaan, riwayat imunisasi, suhu, dan jenis lantai tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita. Didapatkan bahwa PM10 merupakan predictor utama terhadap kejadian ISPA pada balita. Sebagai factor risiko utama pada ISPA, pajanan PM10 di udara dapat terhirup melalui pernapasan sehingga menyebabkan iritasi pada system saluran pernapasan yang selanjutnya menyebabkan ISPA. Penelitian ini menganjurkan agar setiap rumah dapat memiliki ventilasi yang cukup sehingga dapat menetetralisir sirkulasi PM10 di dalam rumah. Hal yang lain yang juga dianjurkan adalah dengan peningkatan status gizi akan dapat mencegah/menurunkan risiko balita terkena ISPA.

An Acute Respiratory Infection (ARI) including pneumonia is still becoming one of the public health problems in Indonesia because it causes high morbidity and mortality among children under-five year of age. Therefore, ARI has been included in the national program for prevention and control of ARI which goal is to achieve human resources quality of life, The increase of occurrence of ARI is influenced by many factors including environmental factors. Everyday, most of the time, 80-90% children under-five live in the house, which are exposed with indoor pollution including PM10. The main strategy of the national prevention and control program for ARI is to improve air quality of housing.
This study is carried out in the working areas of Community Health Center in the sub-district of East Cakung, East Jakarta Municipality. The purposes of the study were to identify the occurrence of ARI among children under-five, environmental conditions related to ART, and the relationships between PM10 and the occurrence of ART among children under-five. A case-control study design was employed in the study. A total of fifty cases of children under-five were randomly selected from the Community Health Center and fifty control groups were randomly selected from the field of neighboring household of the cases. The cases and control groups were drawn from a similar population in the working areas of East Cakung. Data on ART were based on the recall period of 2 months. In addition, several variables including humidity, temperature, beds, ventilation, cooking woods, cigarette smoking, lighting, nutritional status of children, morbidity, immunization and type of floors were involved to control its relationships.
The primary data was collected from several sources including the measurement of indoor air quality, housing environment, and children under-five characteristics. The secondary data was collected from the recording and reporting of the Health Center in East Cakung. Data were collected by the researcher with the help of Health Center staff, laboratory technician of CDC Laboratory in Jakarta, and local staff of East Cakung through interviews using a administered questionnaires and observation its housing environment. The occurrence of ARI among children under-five is influenced by many factors including its housing environment, social conditions, and health services. There is a significant relationship between PM10 and the occurrence of ART among children under-five, The risk of having ART for children under-five living in the housing with PM10 more than 70 ug/m3 was 6.1 times more than those living in the housing with PMI0 70 uglm3 or less. With the control of ventilation and nutritional status, the relationships reduce to 4,25 times.
Of the total variables involved in the study, only several variables including particulate matter (PM10), ventilation, nutritional status of children, and relative humidity having significant relationship with the occurrence of the diseases. The other variables including beds, cooking woods, cigarette smoking, lighting, immunization, temperature, and the kind of floor do not indicate significant relationship with ARI. PM10 is considered as the predictor of the occurrence of ARI among children under-five. The main risk factor of ARI is PM10; its exposure in the air will be inhaled through respiratory system, which causes irritation of respiratory system, which leads to the occurrence of ARI. It is suggested that every house should have proper and adequate ventilation so as to prevent and neutralize PMI0 circulating indoors. It is also suggested that improving of nutritional status could prevent children under-five to ART.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
T12930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ila Rosmilawati
"Kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak pada bulan Maret 2005, dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin. Hal tersebut lebih lanjut dapat menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Atas dasar pertimbangan untuk mengalihkan subsidi dari orang kaya ke orang miskin, maka pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama membuat program PKPS BBM bidang pendidikan yang Salah satunya adalah Bantuan Operasional Sekolah. Program BOS ditujukan untuk membantu sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa, namun sekolah tetap mempertahankan mutu Iayanan pendidikan kepada masyarakat. Untuk mengetahui pelaksanaan program BOS, maka perlu dilakukan suatu studi evaluasi terhadap program ini.
Model evaluasi yang digunakan mengacu pada model Programme's intervention Logic yang dikembangkan Education and Learning Wales (ELWa), dengan melakukan evaluasi pada aspek relevansi, efisiensi, efektivitas dan efek program. Dalam melakukan penilaian terhadap 4 aspek, dikembangkan kriteria evaluasi yang selanjutnya dibandingkan dengan target pencapaian hasil evaluasi. Teknik pengumpulan data secara kualitatif menggunakan wawancara dan studi dokumentasi untuk menganalisa dokumen BOS, sedang secara kuantitatif menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada 140 responden yang terdiri dari guru, siswa dan orang tua siswa dengan menggunakan teknik pengambilan sampel proportionate stratified random sampling.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa dana BOS Iebih banyak digunakan untuk keperluan rutin seperti bahan habis pakai, sedang kebutuhan akan buku pelajaran dan alat praktek/media belajar masih minim dipenuhi, hanya 10% dari total penggunaan dana BOS. Dari segi relevansi kegiatan pembenan bantuan transportasi siswa miskin kurang relevan dilakukan di sebagian sekolah, karena para siswa datang ke sekolah dengan jalan kaki. Namun disisi Iain program BOS secara perlahan dapat memenuhi tujuan program dalam penyelenggaraan ?sekolah gratis", dan relevan menjawab perubahan kebijakan yang terjadi, diantaranya UU No. 14/2005, dan PP No. 19/2005, khususnya yang terkait dengan kegiatan peningkatan mutu guru.
Penggunaan dana BOS oleh pihak sekolah secara umum dinilai kurang efisien, tetapi efektif dilakukan. Dari sebagian besar kegiatan yang direncanakan, banyak yang tidak terealisasi dan memunculkan kegiatan baru diluar perencanaan. Selain itu, khusus kegiatan pengadaan alat praktek/media beIajar. sebagian besar digunakan untuk pengadaan alat praktek olahraga yang merupakan mata pelajaran penunjang, sehingga alat praktek/media belajar untuk mata pelajaran inti tidak terpenuhi. Artinya penggunaan dana BOS tidak efisien dikelola, namun alatlmedia belajar yang dihasilkan dari dana BOS telah efektif dimanfaatkan baik oleh guru maupun siswa. Walaupun demikian, manfaat atau efek BOS sudah dapat dirasakan baik oleh guru, siswa maupun orang tua siswa. Orang tua siswa merasa walaupun BOS telah mewujudkan ?sekolah gratis".
Adapun efek Program BOS bagi pemerintah daerah adalah dihentikannya subsidi pendidikan yang seiama ini dijalankan oleh pemerintah daerah. Implikasi kebijakan program BOS ke depan; Pertama, besaran alokasi dana BOS tidak hanya dihitung berdasarkan unit cost per siswa, namun perlu mempertimbangkan besaran APBD di setiap daerah; Kedua, dalam rangka memenuhi Standar Pendidikan Nasional, pemerintah daerah diharapkan tidak menghentikan subsidi pendidikan setelah adanya BOS. Untuk menghindari ?double budgeting? maka dana pemenntah daerah dapat digunakan untuk kebutuhan lain yang tidak dibiayai BOS, seperti pembangunan prasarana sekolah; Ketiga, Pemerintah Pusat melaiui Tim PKPS BBM pusat diharapkan dapat rnembuat aturan ketentuan presentase penggunaan dana BOS yang digunakan sekolah; Keempat, Pemberian bantuan dana Iangsung siswa bersifat fleksibel atau disediakan pilihan jenis bantuan; Kelima; penyusunan perencanaan penggunaan dana BOS dilakukan dengan metode partisipatif, dengan melibatkan siswa, orangtua dan stakeholder sekolah Iainnya; Keenam, peningkatan pengawasan masyarakat melalui dana operasional tim pengaduan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiari
"Salah satu penyakit yang tampak menonjol dan muncul belakangan adalah leptospirosis karena cukup menggemparkan dengan ditemukarmya cukup banyak penderita yang meninggal. Penyakit ini disebarkan oleh tikus yaitu melalui urine yang dikeluarkan tikus. Dalam kondisi banjir, tikus-tikus mencari habitat baru dengan cara 'ikut mengungsi' bersama-sama dengan penduduk. Tikus-tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis (yaitu bakteri Leptospirae} akan menularkari bibit penyakit kepada manusia.
Penelitian dilakukan menggunakan metode eksplorasi wilayah persebaran kasus leptospirosis dengan menggunakan pendekatan analisis spasial yang mencakup pola spasial untuk menggam barkan sebaran kasus leptospirosis menurut tempat yang disajikan dalam peta. Dan juga proses spasial untuk menggambarkan variabel serta hubungan antar variabel dengan uji statistik menggunakan kai kuadrat dan korelasi.
Hasil penelitian didapatkan angka kesakitan leptospirosis di Provinsi DKI Jakarta tahun 2007 adalah 1,9 per !00.000 penduduk, dengan angka kematian (CFR) 5,71%. Dari hasil uji kai kuadrat didapatkan nilai OR=5,238 (95% CI:2,14l-12,817) artinya pada kelurahan yang mengalami banjir mempunyai peluang untuk terkena kasus leptospirosis. Dari sebaran kasus yang terlihat pada peta ditemukan wilayah kotamadya Jakarta Barat dari 56 kelurahan yang ada sebanyak 32 kelurahan terkena kasus leptopsirosis (57,1%), dan 50 wilayah kelurahan terkena banjir (89,3%). Berdasarkan uji korelasi dapat dinyatakan ada hubungan yang bermakna antara ketinggian air tergenang lama air genangan, kerapatan jaringan sungai dan kerapatan perrnukiman di Provinsi DKI Jakarta dengan terjadinya kasus leptospirosis.
Adanya kecenderungan kasus leptospirosis tinggi pada suatu wilayah yang terkena banjir. Untuk mencegah wabah leptospirosis perlu kewaspadaan dini baik pada pengelola program mapun pada masyarakat umurn dengan penyuluhan melalui media serta pengetahuan tentang akibat banjir dan penyakit yang mungkin ditimbulkan sehingga angka kesakitan leptospirosis dapat ditekan.

One of the disease seem so important recently is leptospiroses since quite a number of patience died.. This disease.is caused by mouse through its urine. In a flood condition mice are seeking a new habitat by "migration" following the inhabitant. Mice carrying leptospiroses disease (Leptospirae bactery) will spread the diseases to human.
Examination which is carried out using the spreading area of leptospiroses cases. It used an special analysis approach which show the leptospiroses case of spreading out according to local case as shown in the map. The special process to inform the variables and the interconnection of variables using statistical examination of kai square and correlation.
The examination result of leptospiroses in DKI Province of the year 2007 is 1,9 per 100.000 inhabitants, with a dying rate (CFR) of 5.71%. From the kai square it is found an OR=5,238 (95% CI : 2,141 - 12,807) this means that a sub district which is flooded will leave to get leptospiroses case. From the spreading case, which is shown on the map of West Jakarta District of 56 existing sub district of32 sub district is caused by leptospiroses (57,1%) and 50 sub district is flooded (89,3%). Based on correlation examination, can be shown that there is a meaningful correlation between the water height, duration of flood, density of networks and density of population in DKI Province with the case ofleptospiroses.
The existence of high leptospiroses case in a flooded area In order to prevent laptospiroses used an early warning to the common society by advocation through media and also knowledge on the result of flooded and disease which may arise in order to step down the leptospiroses.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T29181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Jaya
"Kualitas udara dalam ruangan kelja yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dapat menyebabkan ruangan kerja tidak nyaman; dampak negatif terhadap karyawan berupa keluhan kesehatan yang dikenal dengan istilah sick building syndrome 6985). Keluhan SBS biasanya tidak terlalu parah dan tidak diketahui penyebabnya, tetapi mengurangi produktivitas kerja. Sejumlah penelitian pada lingkungan yang berbeda menunjukkan bahwa faktor-faktor intcmal dan ekstemal mempengaruhi kejadian SBS.
Informasi mengenai kualitas udara dalam mangan gedung perkantoran Departemen Kesehatan (Dcpkes) belum dikctahui, walaupun sudah banyak Iaporan tentang keluhan SBS. Tujuan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai kualitas udara di gcdung Depkes Jakarta, Serta kejadian SBS dan ihktor-faktor yang mempengaruhinya. Menggunakan studi cross-seczional hersifat deskriptif analitik; melibatkan 242 karyawan Depkes scbagai responden. Kriteria respondcn adalah orang sehat tidak menderita penyakit sesuai diagnosa dokter dan tidak sedang hamil. Untuk memperoleh data mengenai, karakteristik, psikologis dan posisi kelja yang ergonomik dari responden menggunakan kucsioner teramh dan terstruktur. Sedangkan pengukuran konsentrasi NO2, CO, C0;, SO2, H2S, NH; and PM|0 scbagai indikator kualitas udara dilakukan pada 10 ruangan.
Kualitas udara dalam ruangan masih memcnuhi persyaratan scsuai Keputusan Mentcri Kesehatan No. 1405/Menkes/SK/XI/2002. Kadar NO2, SO2, and NH; terdeteksi pada tiga ruangan. Konsenlrasi C0 pada setiap ruangan sama; C02, H2S, and PMN lerdetcksi pada setiap ruangan dengan konscntrasi berbeda-beda. Pencahayaan pada seluruh ruangan memenuhi pcrsyaratan (> |00 lux). Di Iain pihak, suhu dan kelembaban pada beberapa ruangan melebihi persyaratan, namun secara umum nilai rata-ratanya masih memenuhi persyaratan.
Prevalensi SBS sebesar 19%, dengan gejala tcrbanyak berupa kelelahan, rasa sakit dan kekakuan pada bahu dan Ieher (50%); flu, batuk dan bersin-bersin (49.6%); Serta pusing, sakit kepala dan kesulitan konsentrasi (38.4%). Suhu, posisi keqja yang ergonomik, jenis kelamin dan umur mempcngaruhi kejadian SBS secara bemmakna, dimana suhu merupakan variabel yang paling dominan.
Kualitas udara masih memenuhi persyaratan kesehatan, untuk Iingkungan fisik dalam ruangan kenja nilai rata-rata pengukuran masih memenuhi persyaratan, walaupun ada ruangan yang suhu atau kelembaban tidak memcnuhi persyaratan kesehatan, Suhu, posisi kerja yang ergonomik, jenis kelamin dan umur sangat mempengaruhi kejadian SBS. Pemeliharaan pendingin ruangan serta posisi kerja yang ergonomik merupakan upaya pencegahan yang harus mcndapat perhatian dalam program SBS.

Indoor air quality that does not meet the health standard requirement may lead to uncomfortable working environment and causes negative impacts to the workers in the fomm of health complaints known as sick building .syndrome (SBS). Usually the complaints are not very serious and the sources are unknown; however it could reduce work productivity. A number of studies in different settings have indicated that several internal and external factors influence the incidence of SBS.
Infomation on the indoor air quality of the Ministry of Health (MOH) building has not yet been known, in spite ofthe SBS complaints that have been reported. The purpose of this study is to obtain infomation on the indoor air quality ofthe MOH building Jakarta, as well as the incidence of SBS and its’ underlying thctors. Using cross-sectional study which is descriptive-analytic; the study involved 242 MOH employees as respondents. The criteria ofthe respondents were healthy individuals not suffering from diseases as diagnosed by a physician and not pregnant. To obtain data on the characteristics, psychological and ergonomic working position of the respondents, guided and structured questionnaire were used. Whereas measurements of NO;, CO, CO2, S02, I-I2S, NH, and PM10 concentrations as indicators of air quality were undertaken in ten rooms.
Indoor air quality still meets the standard requirement, in accordance to the Minister of Health Decree No. 1405/ivlenkes/SK/XI/2002. Concentrations of NO2, SO2, and Nl-I; were detected in three rooms. The concentration of CO in all rooms was the same; while CO2, l-l2S, and PM10 were detected in all rooms with different concentrations. Illuminations in all rooms were in compliance to the standard requirement (> 100 lux). On the other hand, the temperature and humidity in some rooms exceeded the standard requirement, however, in general the average value of these two variables still meet the requirements.
The prevalence of SBS was 19%, mostly in the fonn of fatigue, pain and stiff on the shoulder and neck (50%); common cold, coughing and sneezing (49.6%); as well as diuiness, headache and concentration problems (38.4%). Temperature, ergonomic working position, sex and age significantly influence the incidence of SBS, in which the room temperature was shown to be the predominant variable.
Indoor air quality was still in compliance to the health standard requirement. As for the physical environment, the measurement average values still meet the requirements although the temperature and humidity in some rooms did not. _ Temperature, ergonomic working position, sex and age significantly influence the incidence of SBS. Maintenance of the air conditioner and sustaining ergonomic working position are prevention actions that should acquire attention in the SBS program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34265
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yeti Heryati
"Puskesmas Haurpanggung Keeamatan Tarogong Kidul adalah salah satu puskcsmas dari 63 puskesmas yang berada di Kabupaten Garut dengan cakupan penemuan pneumonia selama tahun 2006 menunjukkan angka yang tinggi dibandingkan dengan puskesmas lainnya yaitu 68,4%. Insifien pneumonia di Kabupaten Garut pada tahun 2006 sebesar 30,8% dan berada pada urutan pertama dari kasus penyakit dan penyebab kematian bayi dan balita dan berada pada 10 besar penyakit.
Penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui faktor xisiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Pcnclitian mcnggunakan jcnis penelitian kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 124 responden yang terdiri atas kasus sebanyak 62 orang dan kontrol sebanyak 62 oxang. Subyek penelitian adalah balita berumur 2 - 59 bulan yang bertempat tinggal di wilayah kelja Puskesmas I-Iaurpanggung Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut selama bulan Juni sampai dengan Desembcr 2007. Sebagai variabel terikat kejadian pneumonia pada balita dan variabel bebas terdiri atas ventilasi, kcpadatan hunian, jenis lantai, letak dapur, jenis bahan bakar, kelembaban, pcncahayaan alami, kebiasaan merokok, dan penggunaan obat nyamuk bakar.
Analisis data menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan distribusi frekuensi. Analisis analitik untuk mcnggambarkan hubungan antar variabel dan analisis logistik untuk menetukan prcdiksi. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pnenunonia pada balita yaitu luas ventilasi, kepadatan hunian, letak dapur, pencahyaan alami, kebiasaan merokok., dan pcnggunaan obat nyamuk bakar. Faktor yang paling dominan mempengamhi kejadian Pneumonia pada balita adalah variabel kebiasaan merokok Oleh karena itu pcrlu ada upaya promosi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang penyakit pneumonia, rumah sehat, dan bahaya asap rokok.

Haurpanggung Public Health Center in Tarogong Kidul District is ones public health center between 63 public health center at Kabupaten Gantt with coverage pneumonia evidence along 2006 indicated the high evidance number compared to another Puskemas which is 68,4%. The pneumonia evidence occurred in Garut on 2006 at about 30.8% and existed the first rank of disease evidence and coursed mortality on infant and baby under tive years old.
This research purposed to know risk factor which is related to pneumonia evidence on baby under five years old. The observational utilized case control observational type with total sample are [24 respondent there are on case evidence 62 respondent and control case are 62 respondent. The observational subject was baby with 2-59 months age which is live at working area of l-laurpanggung Public Health Center in Tarogong Kidul District, Garut along June until December 2007. As dependent variable on pneumonia evidence on baby under tive years old and independent variable are on ventilation. population density. floor type, kitchen position, fuel type, humidity. natural lighting. smoking habitual and utilize anti mosquitoes bums type.
The analysis data performed by descriptivcmethod to presented frequently distribution schemas. The analytic analysis pertbrmcd to presented the relation between variable and logistic analysis to make a prediction. The risk factor which is related to the pneumonia evidence on baby under five years old are wide ventilation. population density, kitchen position, natural lighting smoking habit. and using anti mosquitoes bums type. The most dominant factor was influence pneumonia evidence on baby under five years old is smoking habit variable. Therefore it is necessary to implementate the promotion to socialize program to the community about pneumonia disease. healthy house, and cigarettes smokes danger.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T34266
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Cucu Cakrawati
"Berkembangnya sektor industri di negara kita, selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif terutama terhadap lingkungan berupa pencemaran air karena merkuri. Salah satu kota yang berpotensi mengalami pencemaran air adalah Kota Pontianak. Hal ini disebabkan antara lain karena Kota Pontianak merupakan salah satu lokasi penambangan emas.
Polutan merkuri di Pulau Kalimantan diperkirakan sebesar 61 ton setiap tahunnya untuk kegiatan penambangan emas skala kecil dan berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Tanjungpura pada Bulan Agustus 2000 diketahui bahwa kandungan merkuri di sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anak sungainya, serta pada biota sungai (beberapa jenis ikan), dan pada contoh air PDAM telah melebihi ambang batas. Pencemaran tersebut perlu ditangani serius karena Sungai Kapuas sampai saat ini berfungsi sebagai bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Pontianak.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai besarnya pajanan merkuri dalam rambut masyarakat Kota Pontianak. Disamping itu untuk mempelajari hubungan karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan lama tinggal) serta kebiasaan makan ikan dengan kadar merkuri dalam rambut.
Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari hasil studi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dan Direktorat Penyehatan Air Ditjen P2M & PL tahun 2000, dengan rancangan Cross Sectional, populasi adalah masyarakat Kota Pontianak pelanggan PDAM. Sampel adalah kepala keluarga / anggota keluarga; umur minimal 15 tahun; tinggal minimal 1 tahun: bersedia diambil sampel rambut dan urin yang diambil dengan metode klaster sebanvak 240 responden.
Hasil penelitian menunjukan rata-rata kadar merkuri dalam rambut responden 0,9512 µg,/g (95% CI: 0,4534-1,4490), median 0,2900 µg/g, modus 0,00: µg/g, kadar merkuri terendah 0,00 µg/g dan tertinggi 52,57 µg/g. Sebaran kadar merkuri dalam rambut vaitu sebanvak 79 orang mempunyai kadar merkuri antara 0,00-0,09 µg/g 26 orang > 1,47 µg/g, dan sisanya adalah 0,10-1,30 µg/g.
Pada kelompok usia 25 - 34 tahun mempunyai proporsi masyarakat yang rambutnya mengandung merkuri lebih besar dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Responden yang frekuensi makan ikan setiap hari memiliki proporsi masyarakat yang rambutuva mengandung merkuri lebih besar dibandingkan dengan kelompok frekuensi makan ikan lainnva. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, pekerjaan, dan lama tinggal di Pontianak dengan kadar merkuri dalam rambut.
Melihat kecenderungan peningkatan pencemaran air karena merkuri, maka perlu ditingkatkan kerjasama Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dengan sektor terkait, melakukan sosialisi / penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya akibat pencemaran merkuri, pemeriksaan kadar merkuri secara berkala baik pada air sungai dan ikannya maupun hasil laut, perlu teknologi altematif yang lebih tepat.
Perlu dilakukan penelitian yang serupa pada ?kelompok risiko tinggi? yang dilengkapi dengan mengetahui banvaknya ikan yang dikonsumsi setiap hari (beral) serta pemeriksaan kadar merkuri yang terkandung didalamnva. Metoda lain adalah dengan cara melakukan pemeriksaan kadar merkuri dalam rambut responden sentimeter per sentimeter karena setiap sentimeter helai rambut dapat disamakan dengan kira-kira 1 bulan pemajanan.

The development of industrial sector in Indonesia, beside its positive impacts, also generates negative impacts on environment such as mercury pollution in water. Pontianak City is one potential area to be polluted by mercury because, among others, Pontianak City is gold mining location.
Mercury as pollutant in Kalimantan Island was predicted to be present as many as 61 tones each year for small-scale gold mining activity. Study by Tanjungpura University in August 2000 indicated that mercury level along the Kapuas River and its small canals, and in river biotic (several types of fish), as well as in PDAM (Local Office of Drinking Water) water supply had exceeded the accepted limit. This pollution needs to be seriously handled because Kapuas River is main water provider for PDAM of Pontianak City.
This study aims to obtain information on the magnitude of mercury exposure measured in hair mercury level among community of Pontianak City and to understand the relationship between respondent's characteristics (age, sex, working status/job, and length of stay) and fish eating habit with hair mercury level. This study was secondary data analysis from the primary study by Health Office of West Kalimantan and Directorate of Water Hygiene year 2000, employed a cross-sectional design, with community members subscribed to PDAM as population. 240 sample was chosen using cluster method, head/member of a family, minimum age of 15 years old, stay at least 1 year, and willing to participate in hair and urine tests.
The results showed that the average mercury level in hair was 0.9512 µg/g (95 % Cl: 0,4534-1,4490), median 0.2900 µg/g, the lowest mercury level was 0.00 µg/g and the highest was 52.57µg/g. The distribution of hair mercury level was 79 respondents had 0,00-0,09 µg/g, 26 respondents had > 1,47 µg/g and the rest had 0,10-1,30 µg/g mercury level.
The age group of 25-34 years old had greater proportion of respondents with higher level of hair mercury compared to other age ranges. Respondents who eat fish daily had higher proportion of high hair mercury level compared to other frequency of fish eating.
There is no relationship between sex, working status / job, and length of stay in Pontianak with hair mercury level.
Observing the increasing trend of water mercury pollution, the collaboration between Health Office of West Kalimantan and other related sectors needs to be improved, as to provide socialization / education to the community members on the dangers of mercury pollution, routine mercury level check both in the river and fish:, and needs more appropriate alternative technology.
There is a need to conduct similar research among "the high risk group" including the documentation on how many fish eaten daily (in weight) as well as checking its mercury content. Other method is by examining mercury level in hair centimeter by centimeter because each centimeter of hair shaft equals to a month exposure.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T1233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahmud Yunus
"Penyakit diare merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. lni disebabkan angka kesakitan dan kematiannya masih menduduki rangking atas.
Insiden diare di Kabupaten Bekasi Tahun 2000 adalah 19,4 per seribu penduduk dan menyerang 63 % usia Balita. Pada Tingkat Kecamatan insiden diare tertinggi terjadi di Kecamatan Kedung Waringin yaitu 56,7 per seribu penduduk (semua golongan umur), pada usia Balita mencapai 294,1 per seribu Balita. Insiden ini melebihi insiden diare nasional yaitu 26,1 per seribu penduduk. Cakupan sanitasi masih rendah yaitu 55,1 % untuk air bersih; 38,4 % jamban sehat; dan 39,4 % rumah sehat.
Kejadian diare pada Balita dipengaruhi banyak faktor terutama perilaku dan lingkungan fisik (sanitasi dasar). Mengingat informasi tentang hal ini belum banyak diketahui maka penelitian perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah kejadian diare di wilayah tersebut berhubungan dengan kondisi sanitasi dasar dan perilaku ibu.
Disain penelitian menggunakan kasus kontrol dengan populasi Balita yang tinggal di wilayah puskesmas Kedung Waringin Kecamatan Kedung Waringin Kabupaten Bekasi. Sampel penelitian adalah 80 Balita yang menderita diare yang datang berobat ke puskesmas sebagai kasus, dan 80 Balita tetangga yang tidak diare pada saat disurvei sebagai kontrol yang dipilih secara random (Simple Random Sample). Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengunjungi rumah keluarga Balita untuk melakukan wawancara dan pengamatan dengan menggunakan kuisioner.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian .diare Balita yaitu sarana air bersih, jamban, SPAL dan perilaku ibu dalam upaya pencegahan diare. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan kejadian diare Balita adalah kualitas air bersih, sampah, dan rumah. Dari ke empat Variabel yang berhubungan tersebut yang paling dominan berisiko terhadap kejadian diare Balita adalah perilaku ibu dalam upaya pencegahan diare.
Sehubungan dengan itu upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah penyuluhan kesehatan lingkungan kepada masayarakat agar terfokus pada wanita dan Balita dalam rangka perilaku hidup bersih dan sehat, pemantauan sarana sanitasi (sarana air bersih, jamban, dan SPAL) secara kontinyu dan berkesinambungan, perbaikan sarana sanitasi (sarana air bersih, jamban, dan SPAL) perlu dilaakukan pada sarana yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat tetapi masih dipakai masyarakat dengan menggunakan dana pemerintah maupun swadaya masyarakat serta penelitian lanjutan pada faktor risiko lainnya baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kejadian diare Balita.

Basic Sanitation, Maternal Behavior, and Diarrhea Incidence of Children Under-five at the Health Center Catchment Area in Kedung Waringin, Sub-District of Kedung Waringin, District of Bekasi, 2003Diarrhea disease is one of communicable diseases, which is currently still becoming a public health problem in Indonesia.
In 2000, the incidence rate of diarrhea disease in District of Bekasi was reported 19.4 per 1,000 population which attacked 63% children under-five. The highest incidence rate of diarrhea disease for all age groups was 563 per 1,000 population in Sub-District of Kedung Waringin. The incidence rate among children under-five reached 294.1 per 1,000 population. This figure had exceeded the national incidence rate of diarrhea disease, 26.1 per 1,000 population. The sanitation coverage of the population in Kedung Waringin was considered low. Of the total population, 55.1% had access to clean water supply, 38.4% adequate sanitary latrines, and 39.4% healthy housing.
The incidence of diarrhea among children under-five is influenced by several factors including maternal behavior characteristics and basic environmental sanitation. This study was to provide information on their relationships, which can be used for developing better strategy for diarrhea disease -control in the sub-district. The objectives of the study were to identify basic sanitation conditions, maternal behavior characteristics, and its relationship with diarrhea! diseases incidence in Kedung Waringin.
A case control study design was employed in the study. The study population was children under-five who are living in the catchments area of Kedung Waringin Health Center, Sub-District of Kedung Waringin, District of Bekasi. A total sample of 80 cases of children under-five was selected from those having diarrhea whom came to the Health Center for medical treatment. In addition, a total of 80 neighboring children under-five without diarrhea disease were selected through simple random sampling method as the control group. Data were collected by interviews the selected mothers through a combination of opened and closed questionnaires. Moreover, home visits and observation were completed to identify environmental sanitation conditions and maternal behavior characteristics.
There were four variables significantly associated with the incidence of diarrhea, including clean water, latrine, wastewater disposal facilities, and maternal behavior. On the other hand, the variables which were not associated with the incidence of diarrhea among children under five included clean water quality, solid waste, and housing. Of the four associated variables, maternal behavior was the highest risk of diarrheal incidence among children under-five.
In line with the preventive efforts of diarrhea, it is recommended that the community health education and promotion activities should be focused on women or mothers as the main target groups. The intervention priorities should include a hygienic and healthy behavior, regular monitoring of sanitation facilities such as clean water, latrine, wastewater disposal facilities. In addition, the sanitation facilities improvement especially for those, which do not meet sanitary standard, should become the responsibility of the local government as well as community and also follow up research for the other risk factor of diarrhea.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12984
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Margono
"DKI Jakarta menunjukkan sebanyak 46% dari kasus-kasus penyakit adalah penyakit gangguan pernapasan (ISPA 43%, iritasi rnata l,7% dan asma 1,3%) yang terkait dengan kualitas udara ambien yang tidak memenuhi baku umum dimana polusi udara di DKI Jakarta mengalami fluktuasi dengan beberapa parameter telah melewati nilai ambang batas seperti Ozon, N02 dan nilai ISPU menunjukan bahwa selama setahun hanya terhitung 22 hari udara Jakarta berkualitas baik, 95 hari dinyatakan tidak sehat, dan selebihnya 233 hari berkualitas sedang.
Studi ekologi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas udara ambien, kondisi meteorologi., dan kejadian ISPA, mempelajari kecenderungan perubahan kualitas udara ambien, kondisi meteorologi dan mempelajari hubungan antara kondisi meteorologi dengan kualitas udara ambien serta mempelajari hubungan antara kualitas udara ambien, kondisi meteorologi dengan kejadian ISPA.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas udara ambien menggunakan : FH6-I (5-ray absorbtfon), APSA-360 (Fluorescence UV), APOA-360 (Chelwninescence) dan NDR sedangkan untuk kondisi meteorologi adalah Tennometer; Hygromeierg Cup anenmmeter dan Global Star Pymnameter.
Populasi yang dilibatkan sebanyak 820 data rata-rata harian kualitas udara ambien, kondisi meteorologi dan ISPA dengan sampei sebesar 118 data rata-rata mingguan kualitas udara ambien, kondisi meteorologi dan ISPA.
Dalam kurun waklu 2006 - Maret 2008 diperolch konscntrasi rata-rata PMN; 65,9 pg/m3, so; 31,1 pg/mi, co 1,1 pg/ma, 0, 51,4 pg/m3, NO; 31,6 pg/ma dan niiai ISPU 72,3. Sedangkan rata-rata suhu 27,6°C, kelembaban 75,6 %, arah angin l54,5° , kecepatan angin 0,7 mls, radiasi matahari l12,0 W/m2 Serta rata~rata angka ISPA sebanyak 54 kejadian.
Hubungan kualitas udara ambien dcngan ISPA didapatkan bahwa SO; mempunyai korelasi positif tcrhadap angka ISPA. PM|0_ 03, ISPU mempunyai korelasi negatif terhadap angka ISPA. Hubungan kondisi meteorologi dengan ISPA didapatkan bahwa kelembaban, arah angin mempunyai korelasi positif terhadap angka ISPA. Suhu, radiasi matahari mempunyai korelasi negatif terhadap angka ISPA. Hubungan kondisi meteorologi dengan kualiaias udara ambien didapatkan bahwa suhu mempunyai korelasi poritifdengan PMN, 03, N01 dan ISPU. Kelembaban mempunyai korelasi negatif dengan PM|g, 03, N02 dan ISPU, arah angin mempunyai korelasi PM|0, CO, 03, NCQ, ISPU, kecepatan angin mempunyai korelasi negatif dengan PMN), CO. 01, N02, ISPU, radiasi matahari mempunyai konelasi negatif dengan CO, radiasi matahari mempunyai korelasi positif dengan ISPU.
Disimpulkan bahwa dalam kurun waklu 2006 - Mamet 2008 didapatkan pola angka ISPA mengikuti pola konsentrasi kualitas udara ambien dan kondisi meteorologi hal ini dibuktikan dengan adanya hubungan S0;, dan S0;*O3 Serta SO2*Suhu secara bersamaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap ISPA dengan nilai koeiisicn korclasi sebesar 0,616 dan nilai koefisien determinasi Sebesar 0,379 (kuat). Dengan demikian SO;, SO1*O3, dan SO;*Suhu secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap ISPA Namun konscmrasi CO, N02 , kecepatan angin tidak berhubungan denan kejadian ISPA di DKI Jakarta.

DKI Jakarta indicated 46% of disease cases were respirations problems (ISPA 43%, eye irritation of l,7% and asthma of 1,3%) related to ambient air quality which did not fulfill standard quality where air pollution in DKI Jakarta experienced fluctuation with a few parameter have passed boundary threshold value like Ozone, N02 and ISPA value indicated that Jakarta air had a good quality for 22 days each year, it was not health for 95 days, and it was a medium quality for 233 days.
This purpose of ecology study to identity an outdoor air quality, meteorology condition, and ISPA occurrence, studying a change tendency of outdoor air quality, meteorology condition and studying related between meteorology condition of outdoor air quality and also studying related between meteorology condition of outdoor air quality and ISPA occurrence.
Measurement instruments which are used for measuring outdoor air quality such as FI-I6-l (B-ray absorption), APSA-360 (Fluorescence UV), APOA-360 (Cheluminescence) and NIDR while the instruments which are used for measuring meteorology condition such as Thermometer, Hygrometer Cup Anemometer and Global Star Pyranometer.
Populations which are participated amount of 820 data on daily average of outdoor air quality, meteorology condition and ISPA by samples amount of ll8 data on weekly average of outdoor air quality, meteorology condition and ISPA. At period of 2006 - March 2008 obtained average concentrations were PM10 65,9p g/rn3,SO1 31,1p g/rn3, co up g/ms, 03 51,4u6§/ma, NO; 3l,6p g/m3 and ISPU value '?2,3. While temperature average was 27, C, dampness was 7S,6%, wind direction is l54,5°, wind velocity was 0,7 mls, sun radiation was 1l2,0 Wim! and also mean number of ISPA was amount 54 occurrences.
Related between outdoor air quality and ISPA indicated that S02 has a positive correlation of ISPA number. PMN, 03, ISPU have negative correlations of ISPA number. Related between meteorology condition and ISPA indicated that dampness, wind direction have positive correlations of ISPA number.
Temperature and sun radiation have negative correlations of ISPA number. Related between meteorology condition and outdoor air quality indicated that temperature has positive correlations of PM10, 03, NO; and ISPU. Dampness has negative correlation with PM1u, Og, NO; and ISPU, wind direction has correlation PMID, CO, 03, NO2, ISPU, wind velocity has negative correlation of PMN, CO, 03, N02, ISPU, sun radiation has negative correlation of cobalt, sun radiation has positive correlation of ISPU.
It was concluded that at period of 2006 - March 2008 indicated ISPA number pattern follow pattem concentration of outdoor air quality and this meteorology condition was proved by the existence of related between SO; SO1* SO; and SO2* temperature, at the same time, it has a big effect of [SPA by correlation ooeflicient value was 0,616 and determination coefficient value was 0,379 (strong). Therefore S0;, S0;=, and SO# temperature, at the same time, it has an effect of ISPA significantly. But concentration of CO, NOQ, wind velocity does not relate to ISPA occurrence in DKI Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T32911
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>