Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhendiwijaya
Abstrak :
Perjalanan klinis IMA yang berupa kejadian kardiak seperti gagal jantung, angina paska infark, aritmi ventrikel dan kematian, dilaporkan cukup tinggi, termasuk yang dilaporkan di RSJHK. Banyak petanda-petanda laboratorium untuk mendeteksi dini terhadap komplikasi dari perjalanan klinis IMA diperiksa sebagai petanda prognostik. Kini ada beberapa peneliti menghubungkan petanda proses inflamasi sebagai nilai prognostik, karena mereka mempunyai pendapat bahwa patologi dari sindroma koroner akut termasuk infark miokard akut merupakan respons inflamasi dari suatu cidera sel. Akibat cidera sel ini tubuh memberikan respon sistemik dengan mengeluarkan protein-protein fase akut Dari protein-protein fase akut yang dikeluarkan tubuh yang paling terbanyak dan sensitif adalah CRP. Tujuan penelitian iní untuk mengetahui nilai CRP penderita IMA pada saat masuk di unit gawat darurat dan mengetahui hubungan peningkatan nilai CRP awal pada infark miokard akut terhadap perjalanan klinis selama perawatan rumahsakit, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai faktor prognosis terhadap perjalanan klinis IMA. Penelitian ini dikerjakan di RSJHK secara studi cross sectional terhadap 31 penderita IMA yang masuk ke unit gawat darurat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pemeriksaan nilai CRP dengan menggunakan metode turbidimetri alat Hitachi/BM 911, dengan nilai normal CRP < 0,5 mg/dl (Standard Internasional). Hasil penelitian didapatkan umur rerata penderita 53,2 8,64 tahun, dengan kelompok kelamin laki-laki 27 orang (87,1 %) dan perempuan 4 orang (12,9 %) dengan onset sakit dada 4,2 ± 2,7 jam. Diagnosa infark anterior 22 orang (71 %) dan diagnosa infark inferior 9 orang (29 %). Didapatkan rerata nilai CRP awal 0,7 ±0,79 mg/dl, CRPjam ke 12 rerata 1,7 ±2, 15 mg/dl dan CRP jam ke 72 rerata 6,8 ± 5,65 mg/dl. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan nilai CRP awal dengan komplikasi klinis IMA (r-0,6; p-0,0004). CRP jam ke 12 dan jam ke 72 mempunyai korelasi lemah (masing-masing r0,4;p-0,03 dan r0,4; p-0,006) terhadap komplikasi klinis. Peningkatan nilai CRP mempunyai korelasi linier positif terhadap nilai puncak enzim jantung. Peningkatan nilai CRP awal mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CK/CKMB puncak (P<0,05) dan berkorelasi positif sedang (r-0,5) Demikian juga dengan nilai CRP ke 72 (CRP puncak) mempunyai hubungan linier positif dengan enzim CK puncak dan CKMB puncak. Komplikasi klinis IMA seperti gagal jantung mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CRP awal yang meningkat (87,5% vs 12,5%; p-0,009) dibandingkan nilai CRP awal normal, demikian juga dengan angina paska IMA berbeda bermakna antara nilai CRP yang meningkat dengan nilai CRP normal (85,7% vs 14,3%; p-0,02). Nilai CRP awal yang meningkat mempunyai rasio odd 30,8 (IK 95%: 3,1-303,4) terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit. Kesimpulan: Peningkatan nilai CRP pada saat masuk rumahsakit mempunyai hubungan terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit dan nilai CRP mempunyai nilai prognostik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Mustahsani Aprami
Abstrak :
Profit lipid yang abnormal merupakan faktor risiko mayor untuk penyakit jantung koroner (PJK) dan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan dengan gangguan pertumbuhan prenatal (BBLR) atau postnatal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya risiko mempunyai profil lipid yang abnormal pada individu dengan gangguan pertumbuhan prenatal. Penelilian dilakukan pada populasi kohort di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang Sawa Barat yang lahir tahun 1988-1990. Kriteria BBLR berdasarkan pada bayi lahir > 37 minggu dengan berat badan lahir 2700 gram. Kriteria inklusi, BBLR dan non-BBLR dengan pertumbuhan postnatal sampai usia 36 bulan adekuat, mempunyai catatan lengkap BB lahir, TB lahir sampai usia 36 bulan dan catatan BB, TB pada usia 12-14 tahun, bersedia ikut dalam penelitian. Setelah dilakukan pemeriksaan profil lipid, validitas data dan stratifikasi, dari 871 orang subyek yang diteliti, hanya 229 yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Ditentukan sebanyak 105 subyek penelitian melalui simple random yang mengalami dislipidemia dimasukkan kedalam kelompok kasus, untuk kelompok kontrol, diambil jumlah yang sama dengan matching. Untuk membandingkan data-data antara kedua kelompok dipakai uji student t-test, sedangkan menjawab masalah utama yaitu besarnya risiko mengalami dislipidemia digunakan perhitungan odds ratio dengan menggunakan table 2x2. Hasi penelitian karakteristek umum kedua kelompok (umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi bada) tidak ada perbedaan bermakna p<0,05. Tidak ada perbedaan yang bermakna kadar kolesterol total dan kolesterol LDL remaja dengan BBLR dibandingkan remaja yang non BBLR, p>0,05. Radar trigliserida lebih tingi bermakna pada remaja dengan BBLR dibandingkan dengan remaja non BBLR, p=0,00004, sedangkan kadar kolesterol HDL lebih rendah bermakna pads remaja dengan BBLR dibandingkan remaja non-BBLR, p=0,00004.. Pada remaja dengan BBLR mempunyai risiko lebih besar untuk teijadi dislipidemia dibandingkan remaja non BBLR dengan odds ratio 3,26 95%CI 1,77-6,02; p=0,00003. Kesimpulan : Remaja dengan gangguan pertumbuhan prenatal mempunyai risiko lebih besar untuk terjadi dislipidemia.
Abnormal lipid profile is an independent risk factor for coronary artery disease. Some studies have shown that small for gestational age (SGA) was associated with abnormal plasma lipid profile in adolescent and adulthood. This study was conducted to asses whether SGA children are more prone to have abnormal plasma lipid profile. This study was performed to cohort population in Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang-West Java who was born between 1988-1990. The criteria of SGA are term infants, gestational age of > 37 weeks, birth weight : 2700 grams and birth length 45-50 centimeters. Appropriate gestational age (AGA) are term infants, gestational age > 37 weeks; birth weight > 2700 grams and birth length > 47 centimeters. Inclusion criteria were SGA and AGA with postnatal growth up to 36 months adequately, complete birth weight and birth length records up to 36 months as well and birth weight and birth length during 12-14 years of age, willing to accompany in this study. After lipid profile examination was performed, validity and stratification data of 871 subjects, 229 subjects were complied with including criteria. With the simple random, I05 subjects of dislipidemia were decided as the case group and the same number of control group were included as matching. The significance of differences between two groups was examined using student t -test and Mann Whitney. A p level of 0.05 was considered statistically significant. There were no differences in general characteristic of both group (age, gender, birth length) p>0.05. No significant differences between total cholesterol and LDL cholesterol levels in subject with SGA compared with AGA, p>0 05. Triglyceride level was higher found significant in subject SGA compared with AGA, p=0.00004, however the HDL cholesterol level have a significant more less in subject SGA compared with AGA, p=0.00004. Subject with SGA have an increase risk to develop of dislipidaemia compare with subject AGA, odds ratio of 3.26, 95%CI 1.77-6.O2;p=0.00003. Conclusion : Subject with prenatal growth retardation have an increase risk for dislipidaemia in adult life.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18179
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Purcahyo
Abstrak :
Tujuan akhir yang diharapkan dari pemberian trombolitik adalah terbukanya arteri koroner penyebab infark (Patency Infarc Related Artery), perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan penurunan angka kematian. Pada saat pemberian trombolitik yaitu dengan streptokinase terjadi defibrinasi awal yang hebat yang dapat dievaluasi dengan pemeriksaan waktu trombin dan kadar fibrinogen. Defibrinasi awal yang hebat setelah pemberian streptokinase yang ditunjukkan dengan adanya perpanjangan waktu trombin merupakan jaminan lebih efektifnya trombolisis dan lebih besar terbukanya arteri koroner penyebab Infark (Patency Infarc Related Artery) sehingga dengan demikian lebih baik menjaga fungsi ventrikel kiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara waktu trombin dan kadar fibrinogen dengan fungsi ventrikel kiri pada infark miokard akut yang diberikan streptokinase. Dilakukan penelitian pada 24 pasien penderita IMA yang diberikan streptokinase dengan onset kurang dari 12 jam, terdiri dari laki-laki 22 orang (91, 8%) dan wanita 2 orang (8,28) dengan umur rata-rata 57,7 (SD 9,89) tahun. Pemeriksaan dilakukan terhadap waktu trombin dan kadar fibrinogen sebelum pemberian streptokinase dan 1 jam setelah selesai pemberian streptokinase. Didapatkan penurunan yang bermakna kadar fibrinogen dari 360,4 (SD 100,5) mg/dl menjadi 32, 10 (SD 7,52) Mg/d1 setelah pemberian dengan p < 0,001. Waktu trombin memanjang secara bermakna dari 12,95 (SD 1, 11) detik menjadi 51,5 (SD 23,9) detik setelah pemberian (p < 0,001) Terdapat hubungan antara waktu trombin setelah pemberian streptokinase dengan FEVK pada seluruh pasien infark, dengan r = 0, 42 dengan nilai kemaknaan p = 0,04 dan lebih bermakna pada pasien infark anterior, r = 0,59 p = 0,023. Berarti bahwa perpanjangan waktu trombin berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai FEVK walaupun hubungan tersebut tidak kuat. Sedangka untuk infark inferior hubungan tersebut r = 0,48 lemah namun p = 0,1 tidak bermakna. Terdapat hubungan lemah tidak bermakna antara variabel fibinogen dengan FEVK, dengan r = -0,18, p = 0,39. Tidak terdapat hubungan bermakna antara onset dengan perpanjangan waktu trombin (p=0, 36) dan tingginya nilai FEVK (p = 0,24). Kesimpulan: Perpanjangan waktu trombin 1 jam setelah pemberian streptokinase berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gugun Iskandar Hadiyat
Abstrak :
Latar Belakang. Komplikasi tindakan revaskularisasi pasca suatu periode iskemik mulai menjadi perhatian kalangan medis sejak awal abad ke-20. iskemik tungkai akut merupakan masalah kegawatan kardiovaskular dan tindakan reperfusi terhadap jaringan yang iskemik ternyata sexing memperburuk cedera jaringan yang ada, bahkan sampai dilakukan amputasi. Pada ceders reperfusi iskemik (R-1) terjadi perubahan sifat hemoreologi darah (hematokrit, viskositas, dan deformitas set darah merah). Pentoksifilin (PTXF) mempunyai kemampuan memperbaiki cedera reperfusi dengan meningkatkan aliran darah perifer, memperbaiki deformitas sel darah merah, menurunkan viskositas darah, dan menekan agregasi platelet. Tujuan Penelitian. Untuk mengetahui pengaruh pemberian PTXF terhadap faktor hemoreologi darah pada cedera R-I tungkai akut. Metode. Penelitian dilakukan pada kelinci jantan ras New Zealand White Rabbit (NZW) yang berasal dari 1 galur sebanyak 10 ekor usia 5 bulan dengan berat badan rata-rata 2,5-3 kg. Kemudian hewan coba dibagi dalam 2 kelompok, yakni 5 ekor kelinci kelompok perlakuan diberi PTXF dengan dosis 40 mglkgBB yang diikuti dosis rumatan 1 mglkgBBljam dan 5 ekor kelinci sebagai kontrol diberi cairan NaCl 0,9% dengan kecepatan yang sama seperti kelompok perlakuan. Dilakukan oklusi arteri iliaka komunis sinistra dan setelah 2,5 jam iskemik diambil darah untuk pemeriksaan hematokrit dan viskositas, setelah itu segera diberikan PTXF. Pada jam ke-3 dilakukan reperfusi (membuka oklusi) dan 2 jam setelah reperfusi diambil darah untuk pemeriksaan hematokrit dan viskositas. Data hasil pemeriksaan dianalisis dengan statistik program SPSS 13 dengan menggunakan uji parametrik General Linear Model (GLM) untuk pengukuran berulang. Hasil. Nilai rerata hematokrit kelompok PTXF fase iskemik 37,06+3,88% dan fase reperfusi 34,20+1,90% dengan delta penurunan 2,86%. Nilai rerata hematokrit kelompok nonPTXF fase iskemik 35,88+5,31% dan fase reperfusi 32,90+4,61% dengan delta penurunan 2,98%. Antara pengukuran pertama dan kedua, baik kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (per, i 9 dan p=0,37). Analisis statistik nilai rerata hematokrit antara kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,74). Nilai rerata viskositas kelompok PTXF fase iskemik 5,25+0,77 ep dan fase referfusi 4,69+0,70 cp dengan delta penurunan 0,558 cp. Nilai rerata viskositas kelompok nonPTXF fase iskemik 4,54+0,48 cp dan fase reperfusi 4,48+1,31 cp dengan delta penurunan 0,066 cp. Antara pengukuran pertama dan kedua, baik, kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p~,26 dan p=0,92). Analisis statistik pada nilai rerata viskositas antara kelompok PTXF dan nonPTXF tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,53). Kesimpulan. Pemberian PTXF pada kelompok perlakuan memperlihatkan hasil tidak bermakna dalam menurunkan nilai hematokrit dan viskositas darah dibanding kelompok kontrol pads keadaan ceders R-I tungkai akut.
Background: Complications of revascularization after an ischemic period has attract attention from clinicians since the beginning of 20th century. Acute limb ischemia is an emergency cardiovascular problem and revascularization procedures of ischemic tissue has been documented to worsen tissue damage to the extend of a need for limb amputation. In ischemic reperfusion injury, changes in blood hemorheology occurs (hematocrit, viscosity and eryhtrocyte deformities). Pentoxifylline (PTXF) has the ability to repair reperfusion injury by increasing peripheral blood flow, repairing eryhtrocyte deformities, decreasing blood viscosity dan suppressing platelet agregation. Objectives: To investigate the effect of pentoxifylline administration toward hemorheology changes in acute limb ischemic reperfusion injury. Methods: We studied 10 pure strain New Zealand White Rabbit (NZW) age 5 months with mean weight of 2.5-3 kg. The subjects were divided in two groups; 5 of the experimental rabbit were given PTXF 40 mg/kg body weight followed by a maintenance dose of 1 mg/kg body weight/hour, while subjects in the control group received a similar administration of NaCl 0.9%. We performed occlusion of the left common iliac artery and after an ischemic period of 2.5 hours blood samples were taken for hematocrit and viscosity measurement. PTXF were given soon afterward. On the third hour the artery occlusion were opened and after another two hours blood samples were again taken for hematocrit and viscosity measurement. Data analysis were performed by SPSS 13, using parametric test with general linear model (GLM) for repeated measurements. Results: The mean hematocrit value for the PTXF group in the ischemic period were 37.0613.88%, and in the reperfusion period were 34.2011.90%, with a decrease of 2.86%. The mean hematocrit value for the control group in the ischemic and reperfusion period were 35.8815.31% and 32.90±4.61% , respectively, with a decrease of 2.98%. There were no significant difference between the first and second hematocrit measurements both in the experimental and control group (p-0.19 and p=0.37). Statistical analysis of mean hematocrit value between the two groups also showed no significant difference (p=0.74). The mean viscosity value for the PTXF group in the ischemic period were 5.2510.77 cp and in the reperfusion period were 4.6910.70 cp with a difference of 0.558 cp. The mean viscosity value for the control group in the ischemic and reperfusion period were 4.54±0.8 cp and 4.4811.31 cp, respectively, with a decrease of 0.066 cp. There were no statistically significant difference between the first and second viscosity measurements both in the experimental and control group (p=0.26 and p=0.92). Statistical analysis of mean viscosity value between the two groups also showed no significant difference (p=0.53). Conclusion: PTXF administration in the experimentally induced acute limb ischemic reperfusion injury in rabbits have no benefits to decrease hematocrit and viscosity values compared to control group.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwinanto
Abstrak :
Angioplasti koroner diterima sebagai cara alternatif revaskularisasi pada arteria koronaria dengan stenosis bermakna. Keberhasilan angioplasti koroner pada miokardium viable berpeluang untuk memperbaiki gerak dindingsegmental bilik kiri. Oleh karena itu, keberadaan miokardium viable pra-angioplasti memegang peran penting dalam perbaikan gerak dinding segmental pasca-angioplasti. Stres ekokardiografi dobutamin dosis . rendah merupakan salah satu cara yang telah diterima untuk mengetahui keberadaan miokardium yang viable. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terjadinya perbaikan gerak dinding segmental bilik kiri pasca-angioplasti berhasil pada satu atau lebih artreria koronaria penderita multivessel disease di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Dilakukan penelitian pada 20 orang penderita multivessel disease yang menjalani angioplasti koroner berhasil. Keberhasilan angioplasti ditandai dengan sisa stenosis <50% di satu atau lebih arteria koronaria , yang didilatasi, tidak mengalami· infark miokardium akut dan tidak memerlukan operasi bedah pintas koroner darurat. Dobutamine dosis rendah diberikan yaitu 5j.lg/kg/menit dilanjutkan dengan 10 j.lg/kg/menit selang waktu 5 menit. Gerak dinding bilik kiri diperiksa memakai ekokardiografi transtorakal 1 - 2 hari sebelum angioplasti koroner.dan dibandingkan dengan akibat yang sama 2 - 3 hari pascaangioplasti. Dinding bilik kiri dianalisa secara kualitatif dengan cara membaginya menjadi 16 segmen dan sebuah nilai diberikan untuk masingmasing segmen. Sebelum angioplasti, ditemukan 59 segmen yang menunjukkan gangguan gerak saat istirahat dan 45 segmen menunjukkan perbaikan gerak saat dilakukan tes dobutamin dosis rendah (p=O,001). Dibandingkan dengan keadaan yang sama sebelum angioplasti, terjadi perbaikan Indeks Angka Gerak Dinding pasca-angioplasti sa at istirahat dari 1,29 ±O,12 menjadi 1,17±-O,13 (p=O,003) dan saat tes dobutamine dari 1, 13±-O, 13 menjadi 1,06 ±-O,11 (p=O,008). Persetujuan dua penilai terhadap perubahan gerak dinding segmental besarnya 94,7 %. Kesimpulan : terjadi perbaikan gerak dinding segmental pasca-angioplasti koroner yang berhasil pad a 1 atau lebih arteria koronaria penderita multivessel disease di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Perbaikan terlihat 2 sampai 3 hari setelah angioplasti, baik saat istirahat maupun saat stres dobutamine dosis rendah.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ,
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Luly Nur El Waliy
Abstrak :
Latar Belakang: Cedera reperfusisaat IKPP dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel miokard hingga 50% dari luas infark. Oleh karena itu, diperlukan tatalaksanayang mampu mengurangi dampak cedera reperfusi. Pengkondisian iskemia dari luar jantung(remote ischemic conditioning/RIC) telah berkembang menjadi perlakuan non invasif, murah dan mudahyang dapat membatasi cedera reperfusi. Tujuan Penelitian: Mengetahui efek perlakuan pengkondisan iskemia pada ekstremitasterhadap luas infarkyang diukurdengan resonansi magnetik jantung padapasienIMA-ESTyang menjalani IKPP. Metode: Uji klinis ini merandomisasi117pasien infark miokard denganelevasi segmen ST onset kurang dari 12 jam untuk menerimapengkondisian iskemia dari luar jantung (4 siklus 5 menit inflasi dan deflasi manset tekanan darahpada ekstremitas bawah) atau kontrol (manset dibiarkanselama 40 menit) sebelum IKPP. Luaranprimer penelitianiniadalahluas infark akhir yangdiukur dengan RMJ pada mingguke4-6pasca IKPP yang dilakukan pada40pasien. Luaran sekunder yaitufraksi ejeksi ventrikel kiri dan adanya obstruksi mikrovaskular yang dinilai olehRMJ. Hasil: Penelitian:RIC mengurangi luas infark sebesar 35% dibandingkan dengan kontrol (14,7% [n = 19] vs 22,7% [n = 21]; p = 0,049) pada pasien IMA EST yang menjalani IKPP. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam fraksi ejeksi ventrikel kiri pada minggu ke 4 sampai 6 setelah IKPP (EF RMJ, 52,6% vs 48,3%; p = 0,476) dan keberadaan obstruksi mikrovaskular (1 vs 4; p = 0,345) antara kelompok RIC dan kontrol. Kesimpulan: PerlakuanPengkondisian Iskemia Ekstremitas sebelum tindakan IKPP pada pasien IMA EST mengurangi luas infark yang dinilai dengan pencitraan RMJ. ...... Background: Reperfusion injury during PPCI contributes up to 50% of the final myocardial infarct size. Therefore, novel therapeutic interventions are required to protect the heart against myocardial reperfusion injury. Remote ischemic conditioning has emerged as a simple, low cost, non-invasiveintervention for protecting the heart against acuteischemia-reperfusion injury. Objectives: To determine whether RIC initiated prior to PPCI could reduce myocardial infarct MI size in patients presenting with ST-segment elevation myocardial infarction. Methods: We randomly assigned 117 ST-segment elevation myocardial infarction patients with onset less than 12 hours to receive RIC (4 5-min cycles of cuff inflation/deflation on lower extremities) or control (uninflatedcuff for 40 minutes) protocols prior to PPCI. The primary study endpoint was final infarct size, measured by CMR in40subjects on weeks 4 to 6 after admission. Secondary endpoints was the left ventricular ejection fraction and presence of microvascular obstruction assessed by CMR. Result: RIC reduced MI size by35%, when compared with control subjects (14,7% [n= 19] vs22,7% [n= 20]; p=0.049)in STEMI patient underwent PPCI. There was no significant difference in LV function at4 to 6 weeks after admission (EFCMR, 52,6%versus48,3%; p = 0,476) and presence of MVO (1 vs 4; p = 0,345) between the RIC andcontrolgroups. Conclusion: This randomized study demonstrated that in ST-segment elevation myocardial infarction patients treated by PPCI, RIC, initiated prior to PPCI, reducedfinalMI size, however it has no effect on left ventricular function and the presence of MVO.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Uddin
Abstrak :
Pendahuluan BNP adalah asam amino peptida yang disintesa dan dilepas terutama dan miokard ventrikel sebagai respon terhadap regangan miosit Kadar BNP dilepas juga saat iskemi maupun nekrosis miokard Pada NonSTEMI terjadi keadaan hipoksia iskemia sampat nekrosis di subendokard dalam berbagai derajat gangguan sehingga perlu adanya petanda yang bisa menggambarkan gangguan fungsi ventrikel mi Pada NonSTEMI terjadi lepasnya BNP dan terganggunya kontraktilmtas miokard dalam berbagai tingkatan. Tujuan Penelitian Mencari hubungan antara besarnya kadar BNP yang keluar akibat kerusakan subendokard dihubungkan dengan gangguan fungsi ventrikel kiri yang dmnilam dengan ekokardiografi. Metode Penelitian merupakan studi deskrmptif analitik yang bersifat cross sectional dilakukan di PJNHK antara bulan Nopember 2005-Juni 2006 Penelitian dilakukan pada 36 pasien NonSTEMI yang pertamakali mnfark tanpa ada riwayat gagal Jantung dan kelainan katup sebelumnya Sampel darah EDTA diambil saat pasien datang di UGD kemudian diekstraksi plasmanya untuk dmperiksa kadar BNP Fungsi sistolik ventrikel kin dinilai ekokardiografi dengan mengukur Wall Motion Score Index (WMSI) 16 segmen sistem dan ejection fraction (EF) metode Simpson Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan setelah melewati fase perawatan intensif. Hasil Terdapat kenaikan kadar BNP pada subyek penelitian (278 71 ± 394 60) dan berbeda bermakna dengan kadar BNP populasi normal (20 00 ±23 73) dengan (p<0 00 1) pada uji TTest Dengan uji korelasi Pearson terdapat hubungan bermakna antara BNP (278 71 ± 394 60) dan EF Simpson (51 46 ± 10 62) dengan p trend = 0 024 r = 0376 maupun antara BNP (278 71 ± 394 60) dan WMSI (1 31 ± 0 37) dengan p trend = 0 013 r= 0 411 Dengan uji perbedaan Chi square Tidak ada perbedaan yang bermakna kadar BNP pada kelompok sampel dengan EF<40 dan kelompok sampel dengan EF>40 (c>O 05). Kesimpulan Kadar BNP meningkat pada pasien pasien Non STEMI Kenaikan BNP berhubungan dengan kecenderungan penurunan fungsi ventrikel kiri semakmn tinggi kadar BNP semakmn cenderung menurun fungsi ventrikel kiri. ......Background BNP is an aminoacid synthesized by myocyte in respons to myocardial stretching Myocardial ischemia and necrosis could also induced BNP production In NonSTEMI various degree of hypoxia ischemia and subendocardial necrosis occur to the myocardium and could compromise LV function Thus a marker that could predict LV dysfuction in this setting is very much needed Various degree of LV dysfunction and BNP production could be observed in NonSTEM. The Aim of Study To investigate the relationship between BNP level induced by subendocardial damage with LV systolic function assessed by echocardiography in NonSTEMI. Methods This is an analytical descriptive study cross sectional in design conducted in National Cardiovascular Center 1-larapan Kita between November 2005-June 2006 Subjects are 36 patients with NonSTEMI without previous history of infarction heart failure or valvular abnormality EDTA blood samples were obtained during examination in the Emergency Department then the plasma were extracted to measure BNP level LV systolic function assessed by echocardiography with 16 segments Wall Motion Score Index (WMSI) and Ejection Fraction (EF) Simpson Methode The echocardiographic evaluation was performed after the intensive care phase. Results There was a significant increase in BNP level among study subjects (278 71 ± 394 60) compared to normal population (20 00 ± 23 73) (Ttest with p40% with Chi-Square Test and found no significant difference (iO 05) Conclusion The BNP level was increased in patients with NonSTEMI The BNP level was correlated with tend the severity of LV systolic dysfunction The higher BNP level tend to the lower LV fuction.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Joel Herbet Marudut Hasiholan
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang : Setengah pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer(IKPP) memiliki multivessel disease. Rekomendasi saat ini hanya menganjurkan intervensi pada arteri terkait infark pada saat IKPP. Revaskularisasi selanjutnya pada stenosis signifikan lainnya dapat dilakukan dengan intervensi koroner perkutan (IKP) atau bedah pintas arteri koroner (BPAK). Namun sampai saat ini belum ada panduan pemilihan tindakan paska IKPP dengan multivessel disease. Tujuan : Mendapatkan data yang akurat tentang mortalitas IKP dan BPAK pada stenosis multipel paska IKPP. Melalui data ini diharapkan didapatkan rekomendasi yang sesuai tentang pilihan strategi pada stenosis multipel paska IKPP. Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif observasional. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) dengan mengambil data dari rekam medis. Durasi data yang diambil dari 01 Januari 2011 - 31 Desember 2014. Data karakteristik dasar, data klinis, dan angiografi dicatat dari rekam medis dan melalui wawancara melalui telepon. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat untuk melihat hubungan kedua jenis tindakan dan mortalitas. Hasil Penelitian : Terdapat 177 pasien yang memenuhi kriteria dengan 141 pasien yang dilakukan IKP dan 36 pasien dilakukan BPAK paska IKPP. Karakteristik dasar tidak berbeda diantara kedua kelompok. Data klinis dan angiografi menunjukkan perbedaan culprit lesion (p=0,007), residual lesion (p<0,001), dan jumlah vessel (p<0,001). Data pre tindakan ulang menunjukkan perbedaan interval waktu tindakan (p=0,042) dan lesi Left Main (LM) atau proksimal left anterior descending (LAD) (p=0,032). Mortalitas terjadi pada 14,2% pada kelompok IKP dan 27,8% pada kelompok BPAK (RR 1,96; 95% IK 1,01-3,81). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa diabetes mellitus (RR 1,18; 95% IK 1,03-1,36), fraksi ejeksi (RR 1,18; 95% IK 1,01-1,38), lesi residual LM atau proksimal LAD (RR 2,43; 95% IK 1,08-5,48), dan nilai kreatinin saat tindakan ulang (p=0,027) memiliki pengaruh terhadap mortalitas selain BPAK. Hasil multivariat regresi logistik biner dan cox regression didapatkan bahwa DM (aOR 2,67; 95% IK 1,145-6,248), lesi LM atau proksimal LAD (aOR 2,49; 95% IK 1,078-5,762), dan fraksi ejeksi (aOR 2,43; 95% IK 1,067-5,567) yang berpengaruh terhadap mortalitas. Kesimpulan : Mortalitas BPAK dan IKP tidak berbeda secara statistik pada pasien paska IKPP dengan multivessel disease. Perbedaan angka mortalitas disebabkan karena adanya perbedaan lesi residual pada LM atau proksimal LAD yang dari awal merupakan karakteristik pre tindakan ulang yang berbeda diantara kedua kelompok. DM dan fraksi ejeksi konsisten menyebabkan mortalitas pada kedua kelompok dan tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok
ABSTRACT Background : Almost half of the patients with STEMI that undergo Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) have multivessel disease. Currently, the only recommendation is to intervene in the infarct related artery at the time of PPCI. The next revascularization on other significant stenosis can be done with Percutaneous Coronary Intervention (PCI) or Coronary Artery Bypass Grafting (CABG). However, the guideline in selecting intervention post PPCI with multivessel disease is currently unavailable. Objective : To obtain accurate data of mortality in PCI and CABG on patient with multivessel disease post PPCI. The data is expected to obtain reasonable recommendation of selection strategy on multiple stenosis post PPCI. Methods : This study is an observational retrospective cohort. The research was done by retrieving medical record data of catheterization laboratory divison at the Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) from 1st January 2011 to 31st December 2014. Basic characteristics data, clinical data , and angiography were recorded from medical records and interviewes through telephone. The data is then processed by bivariate and multivariate analyzes to obtain the relationship between two types of modality and mortality. Results : There were 177 eligible post PPCI patients, 141 patients undergoing PCI and 36 patients undergoing CABG. The baseline characteristics are no different between the two groups. Clinical data and angiography show a difference culprit lesion (p = 0.007), residual lesions (p<0.001), and the number of vessel (p <0.001). Pre intervention data shows the intervention time interval difference (p = 0.042) and the Left Main lesion (LM) or proximal left anterior descending (LAD) (p = 0.032). Mortality occurred in 14.2% and 27.8% in the PCI and CABG group (RR 1.96; 95% CI 1.01 to 3.81). The results of bivariate analyzes shows that diabetes mellitus (RR 1.18; 95% CI 1.03 to 1.36), ejection fraction (RR 1.18; 95% CI 1.01 to 1.38), residual lesions LM or proximal LAD (RR 2.43; 95% CI 1.08 to 5.48), and creatinine values before intervention (p = 0.027) had an significant influence on mortality other than CABG. The results of multivariate binary logistic regression and cox regression shows that DM (aOR 2.67; 95% CI 1.145 to 6.248), LM or proximal LAD lesion (aOR 2.49; 95% CI 1.078 to 5.762), and ejection fraction (aOR 2 , 43; 95% CI 1.067 to 5.567) effect on mortality. Conclusion : Mortality in PCI and CABG were not statitically different for the post PPCI patients with multivessel disease. The difference on mortality was caused by the difference of residual lesions on the LM or proximal LAD which is the characteristic of different pre reintervention in the two types of modality. DM and the ejection fraction were consistently cause mortality in both groups and not significantly different in both groups
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Andi Yassiin
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang. Media kontras dapat memberikan efek toksik pada sel tubulus ginjal, menyebabkan suatu kondisi dinamakan contrast induced nephropathy (CIN), yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan memiliki efek yang sama pada pasien dengan gagal ginjal kronik maupun pasien risiko rendah (Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) ≥ 60, skor Mehran sebelum tindakan ≤ 5). Dari beberapa penelitian mengenai rasio volume kontras dengan laju filtrasi glomerulus (V/LFG) untuk memprediksi CIN belum ada yang dikhususkan untuk pasien risiko rendah. Metodologi. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK) dengan mengambil data dari rekam medis dan ruang kateterisasi. Durasi data yang diambil adalah Agustus 2015 - April 2016. Hasil penelitian dianalisis dengan prosedur Receiver Operating Characteristic (ROC) dari rasio V/LFG. Akan dianalisis nilai Area Under Curve dan mencari titik potong yang direkomendasikan sebagai nilai prediktor optimal dengan sensitivitas dan spesifisitas yang terukur. Hasil. Dari 223 data yang terkumpul lengkap dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan jumlah pasien yang mengalami CIN adalah sebesar 11 pasien (4,9%). Didapatkan perbedaan bermakna pada kedua jenis kelompok yaitu pada variabel jenis tindakan (P = 0,04), volume kontras (P = 0,02), dan rasio V/LFG (P = 0,032). Dari kurva ROC didapatkan bahwa rasio V/LFG mempunyai nilai AUC 0,69 (IK 95% 0,53 - 0,86). Dari kurva ROC ditentukan nilai potong yang bermakna dari rasio V/LFG ≥ 1,0 (Sensitifitas 55%, Spesifisitas 78%, Akurasi 77%, Nilai Prediksi Positif 12%, Nilai Prediksi Negatif 97%, P = 0,022). Dengan menggunakan rasio V/LFG ≥ 1 didapatkan insidensi CIN adalah 12% dibandingkan 3% pada pasien dengan V/LFG < 1 (OR 4,33; IK 95% 1,27 - 14, 83); P = 0,022). Kesimpulan. Rasio V/LFG ≥ 1,0 dapat memprediksi kejadian CIN pada pasien risiko rendah yang menjalani tindakan angiografi atau intervensi koroner perkutan elektif
ABSTRACT Background: Contrast media could give toxic effect to renal tubulus, creatining a condition named contrast induced nephropathy (CIN) and is associated with increased morbidity and mortality, and has the same effect in patient with chronic kidney disease or in low risk patients (estimated Glomerolus Filtration Rate (eGFR) ≥ 60, Mehran Score before procedure ≤ 5). From several studies concerning ratio of contrast volume to creatinine clearance (V/CrCl) to predict CIN, there were not any study yet focusing in low risk patients. Methods: This is a cross-sectional study conducted in Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine Universitas Indonesia/National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). The data were retrieved from medical records and catheterization room, since August 2015 -- April 2016. Receiver Operating Characteristic (ROC) is used to analyze the data, and by using Area Under Curve will gives the optimal cut-off for contrast volume to creatinine clearance ratio with measured sensitivity and specificity. Results: From 223 patients the incidence of CIN is 11 patients (4,9%). There is a significant difference from both groups in types of procedure (P = 0,04), contrast volume (P = 0,02), and V/CrCl ratio (P = 0,032). From ROC curve we found that V/CrCl ratio have an AUC 0,69 (CI 95% 0,53 - 0,86). From ROC curve the significant cut-off ratio of V/CrCl is ≥ 1,0 (Sensitifity 55%, Specificity 78%, Accuracy 77%, Positive Predictive Value 12%, Negative Predictive Value 97%, P = 0,022). Using V/CrCl ratio ≥ 1,0 the incidence of CIN is 12%, compared to 3% in patients with V/LFG < 1,0 (odds ratio 4,33; CI 95% 1,27 - 14, 83); P = 0,022). Conclusions: V/CrCl ratio ≥ 1,0 could predict CIN in low risk patients undergoing angiography or percutaneous coronary intervention.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Elisa Feriyanti
Abstrak :
Latar Belakang: Reaktivitas platelet yang tinggi terutama pada kondisi Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST) memerlukan antiplatelet untuk menginhibisi aktivasi dan agregasi platelet sehingga mencegah kejadian trombosis lebih hebat. Eptifibatide, suatu penghambat glikoprotein (Gp) IIb/IIIa diberikan sebagai terapi tambahan pada terapi reperfusi Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP). Reaktivitas platelet yang tetap tinggi ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami kejadian aterotrombosis yang berulang. Tujuan: Menilai inhibisi agregasi platelet sebagai respon terapi Eptifibatide dan menilai adanya hubungan antara respon inhibisi agregasi platelet terhadap Kejadian Kardiovaskular Mayor (KKM) pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Pasien IMA-EST yang diberikan Eptifibatide dan dilakukan IKPP dilakukan pemeriksaan fungsi platelet pada menit ke-10 setelah bolus Eptifibatide dengan alat Multiplate analizer. Pasien akan diikuti selama perawatan rumah sakit untuk melihat KKM. Hasil: Dari 99 subyek penelitian, sekitar 55% subyek merupakan non-responder. Didapatkan 18 pasien mengalami KKM, terbanyak adalah gagal jantung (8 orang), aritmia maligna (3 orang), angina berulang (2 orang), stroke (2 orang) dan reinfark, infeksi dan perdarahan mayor masing-masing 1 orang. Dua belas orang subyek yang mengalami KKM merupakan kelompok subyek non-responder dan 8 subyek berasal kelompok responder. Dari analisa statistik didapatkan bahwa respon inhibisi agregasi platelet yang kurang yaitu pasien non-responder terhadap Eptifibatide tidak meningkatkan risiko terjadinya KKM. Kesimpulan: Angka subyek IMA-EST dan menjalani IKPP yang non-responder terhadap Eptifibatide sebanyak 55% dengan nilai agregasi yang amat bervariasi yaitu 1 AU hingga 131 AU. Tidak terdapat adanya hubungan respon inhibisi agregasi platelet dalam terapi Eptifibatide dengan KKM pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. ......Background: Eptifibatide, an inhibitor of glycoprotein IIb/IIIa administered as adjunctive therapy to reperfusion therapy Primary PCI in ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients. Persistently high platelet reactivity was found in patients who experienced recurrent atherothrombotic events during antiplatelet therapy. Objective: To evaluate the level of platelet inhibition after Eptifibatide therapy and to assess the relation between level of platelet inhibition and Major Cardiaovascular event (MACE). Methods: Platelet function test by Multiplate analyzer was performed in STEMI Patients who undergone Primary-PCI, Ten minutes after a bolus of Eptifibatide. MACE were prospectively monitored during hospitalization and the incidence of MACE correlated with the measured level of platelet inhibition. Results: From 99 subjects, approximately 55% of the subjects were non-responders (high platelet reactivity). 18 patients experienced MACE, most were heart failure (8 people), malignant arrhythmias (3 people), recurrent angina (2 people), stroke (2 people) and reinfark, infections and major bleeding each 1 person. 12 subjects experienced MACE was from the non-responder group and 8 subjects from the responder grup. The study was found that the level of platelet inhibition wasn’t an independent predictor for the risk of MACE. Conclusion: Less achieved therapeutic effects of platelet Inhibition (non-responders) to Eptifibatide in STEMI undergo Primary PCI patient was found in the majority (55%) subjects. Different level of platelet inhibition wasn’t an independent predictor for the risk of MACE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>