Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atika Noviana
Abstrak :
Perlindungan dalam Undang-Undang Cagar Budaya merupakan salah satu pilar dari paradigma pelestarian cagar budaya selain pengembangan dan pemanfaatan. Salah satu upaya perlindungan adalah zonasi. Zonasi kawasan Kota Lama Tambang Sawahlunto masih belum diterapkan karena kajian yang dibuat sebelumnya masih belum sesuai dengan fungsi zonasi seharusnya sehingga perlu dilakukan pembagian dan penerapan ulang. Hal itu disebabkan oleh pengletakan atau pembagian sistem zonasi yang perlu dilakukan perbaikan lagi, sehingga penerapan ataupun penetapannya baru dapat dilakukan. Sehingga penerapan zonasi belum bisa dilakukan sampai saat ini. Padahal zonasi sangat penting dalam perlindungan cagar budaya, apalagi dilihat bahwa Sawahlunto telah ditetapkan sebagai warisan dunia (World Heritage). Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui rencana penerapan fungsi zonasi di Kawasan Sawahlunto, Sumatera Barat. Dengan demikian masyarakat memperoleh gambaran mengenai pelestarian situs warisan budaya ini di antara situs-situs yang ada di Sumatera Barat. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembagian zonasi yang tepat untuk diterapkan pada kawasan Sawahlunto sebagai kawasan living city yang terdiri dari zona inti dan zona penyangga. Untuk memberikan perlindungan optimal bagi zona inti, maka area zona penyangga secara keseluruhan mengelilingi zona inti, sehingga dapat tetap menjaga nilai penting yang terdapat pada zona inti Kawasan Sawahlunto. ......Protection in the Cultural Conservation Law is one of the pillars of the cultural heritage preservation paradigm in addition to development and utilization. One of the protection efforts is zoning. The zoning of the Sawahlunto Old Mine City area has not yet been implemented because the studies previously made are still not in accordance with the zoning function it should have so that it needs to be divided and re-applied. This is caused by the laying or division of the zoning system that needs to be repaired again, so that its implementation or determination can only be carried out. So that the application of zoning can not be done until now. Whereas zoning is very important in protecting cultural heritage, especially considering that Sawahlunto has been designated as a world heritage (World Heritage). The purpose of this study was to determine the plan for implementing the zoning function in the Sawahlunto Region, West Sumatra. Thus, the public gets an idea about the preservation of this cultural heritage site among the sites in West Sumatra. While the method used in this study is a qualitative research method. The results of this study indicate that the zoning division is appropriate to be applied to the Sawahlunto area as a living city area consisting of a core zone and a buffer zone. To provide optimal protection for the core zone, the buffer zone area as a whole surrounds the core zone, so as to maintain the important values contained in the core zone of the Sawahlunto Area.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saswal Ukba
Abstrak :
Upaya pelestarian rupanya seiring sejalan dengan tantangan pelestarian itu sendiri. Dalam penelitian ini tantangan yang dimaksud adalah keberadaan sumber daya arkeologi dalam kawasan sumber daya pertambangan. Yaitu antara potensi konflik pelestarian situs gua prasejarah di Konawe Utara berupa Gua Pondoa, Gua Tengkorak dan Gua Kuya dengan aktivitas pertambangan sekitar situs. Dalam penelitian ini memiliki dua permasalahan penelitian yakni pertama adalah nilai penting apa saja yang ada pada situs gua prasejarah Gua Pondoa, Gua Kuya dan Gua Tengkorak, kedua adalah apa saja dampak pertambangan pada situs gua prasejarah Konawe Utara. Metode yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut adalah menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan sistem wawancara stakeholder dan penelitian langsung lapangan, serta menggunakan konsep CRM, nilai penting, stakeholder dan konsep sosial ekonomi. Sehingga hasil penelitian menunjukan bahwa muatan nilai penting dari situs gua prasejarah Konawe Utara diketahui berdasarkan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan temuan-temuan arkeologis yang dimilikinya. Sementara pengaruh pertambangannya meliputi potensi vegetasi lingkungan gua yang tidak bagus, kerusakan lahan di sekitar area situs, potensi longsoran tanah sekitar situs, akses menuju situs yang dapat terhalang, hilangnya data arkeologis pada situs dan rawan kasus vandalisme, dan konflik kepentingan antara pemangku kepentingan. Sedangkan pada penanganan masalah pelestariannya meliputi penanganan aspek sosial yakni pelestarian berbasis partisipasi masyarakat, sosialisasi terpadu. Kemudian pada penanganan aspek ekonomi meliputi industri pariwisata, peluang kerja, peluang usaha, dan peningkatan infrastruktur. ......Preservation efforts seem to go hand in hand with the challenge of preservation itself. In this study, the challenge in question is the existence of archaeological resources in mining resource areas. That is between the potential conflict over the preservation of prehistoric cave sites in North Konawe in the form of Pondoa Cave, Tengkorak Cave, and Kuya Cave with mining activities around the site. In this study, there are two research problems, namely the first is the important value of the prehistoric cave sites in Pondoa Cave, Kuya Cave, and the Tengkorak Cave, and the second is what are the impacts of mining on the prehistoric cave sites in North Konawe. The method used to answer this problem is to use a qualitative method using a system of stakeholder interviews and direct field research, as well as using the concept of CRM, important values, stakeholders, and socio-economic concepts. So the results of the study show that the significant value content of the North Konawe prehistoric cave site is known based on historical, scientific, educational, and cultural values following its archaeological findings. While the effects of mining include the potential for vegetation in the cave environment that is not good, damage to land around the site area, potential for landslides around the site, access to the site that can be blocked, loss of archaeological data on the site and prone to cases of vandalism, and conflicts of interest between stakeholders. Meanwhile, the handling of conservation issues includes handling social aspects, namely preservation based on community participation, and integrated socialization. Then the handling of economic aspects includes the tourism industry, job opportunities, business opportunities, and infrastructure improvements.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Burhanuddin Aziz
Abstrak :
Pada penelitian ini, peneliti melihat pengaruh komunitas terhadap pelestarian cagar budaya di kawasan Kota Tua Jakarta. Dimana pengaruh dari komunitas dilihat dari persepsi yang dimiliki serta efeknya terhadap dukungan terhadap pelestarian. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan responden sebanyak 102 orang yang berasal dari 17 komunitas utama yang memanfaatkan Kawasan Kota Tua Jakarta terutama untuk kepentingan ekonomi. Metode analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah partial least square-structural equation model (PLS-SEM). Dengan mengaplikasikan teori SET (Social Exchange Theory), maka penelitian ini menggunakan faktor komunitas sebagai variabel, seperti community attachment, cultural attitude, community involvement, community gain, community members gain, dan status consistency. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa positive perception komunitas sangat tinggi. Beberapa variabel yang sangat berpengaruh terhadap persepsi ini antara lain community involvement, community gain, dan status consistency. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa persepsi positif maupun negatif tidak terlalu berpengaruh terhadap dukungan komunitas terhadap pelestarian cagar budaya karena nilai dukungan yang didapatkan sangat signifikan atau kuat.  ......In this Thesis, researchers see the effects of the community on the preservation of cultural heritage in the Old Town of Jakarta. Where the influence of the community is seen from the perceptions and effects on support for conservation. This research applies quantitative method with 102 respondents who come from 17 communities that utilize Jakarta Old Town Area especially for economic interest Data analysis method used in this research is partial least square-structural equation model (PLS-SEM). By applying SET (Social Exchange Theory) theory, this study uses community factors as variables, such as community attachment, cultural attitudes, community involvement, community gain, community membership gain, and consistency status. From the research results can be seen that the positive perception community is very high. Some of the most influential variables on this perception are community involvement, community gain, and consistency status. The results of this study also showed that positive and negative perceptions did not significantly affect the community's support for the preservation of cultural heritage because the value of support obtained was significant.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Kadek Novi Febriani
Abstrak :
Dalam penelitian ini membahas interpretasi narasi dari berita, pemilik dan publik terkait puri kerajaan di Bali. Puri   merupakan  tempat tinggal raja yang  masih bertahan sampai saat ini walau tidak ada lagi sistem kerajaan.  Bekas istana raja tersebut masih dihuni oleh keluarganya dan dilestarikan sebagai pusat perawatan nilai-nilai seni dan  kebudayaan.  Tujuan penelitian ini mengetahui (1) nilai-nilai penting apa yang masih dipertahankan sampai saat ini dalam merawat dan melestarikan Puri, dan (2)Interpretasi dan Pembingkaian Pemilik dan Publik tentang Cagar Budaya Puri Kerajaan di  Bali. Penelitian ini menggunakan analisis model Robert Entman dan juga pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap. Raja, Bendesa (Kepala Desa Adat ) mewakili tokoh masyarakat,komunitas terkait  serta pemerintah kabupaten puri itu berada. Temuan dalam penelitian ini dari dua puri yang diteliti, narasi di media dengan  interpretasi dari pemilik dan stakeholder adalah sama. Puri menjadi bagian dari budaya di Bali karena peninggalan dari kerajaan terdahulu. Puri tidak  hanya dilestarikan sebagai warisan fisik namun juga berfungsi dalam kebudayaan, adat dan keagamaan. Selanjutnya, puri yang belum ditetapkan statusnya sebagai cagar budaya sejatinya memiliki nilai-nilai penting yang tertulis di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yakni, nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Pelestarian puri juga tidak lepas dari peran masyarakat setempat, baik warga adat maupun warga beragama Islam. ......This study discusses the interpretation of narratives from news, owners and the public related to royal castles in Bali. Puri was the residence of the king who still survives today even though there is no longer a royal system.  The former king's palace is still inhabited by his family and is preserved as a centre for the care of artistic and cultural values.  The purpose of this study is to know (1) what values are still maintained today in nurturing for and preserving Puri, and (2) Interpretation and Framing of Owners and The Public about puri Royal Cultural Heritage in Bali. This study uses Robert entman's model analysis and also a qualitative approach with in-depth interviews of the king breed, Bendesa (Traditional Village Head) representing community leaders, related communities and the district government. The findings in this study are from the two castles studied, puri became part of the culture in Bali because of the relics of the previous kingdom. Puri is not only preserved as a physical heritage but also functions in culture, customs and religion. Furthermore, castles that have not been determined to have their status as cultural heritage actually have important values written in regulations “Undang-Undang Nomor 11 Tahun  2010  tentang Cagar Budaya “ which has an important value for history, science, education, religion, and /or culture. The preservation of puri is also inseparable from the role of local communities, both indigenous people and residents who are not included in indigenous village communities.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Galih Pratiwi
Abstrak :
Artikel ini membahas tentang masalah yang berkaitan dengan peran stakeholder dalam manajemen pelestarian pada Cagar budaya di Provensi Lampung. Masalah tersebut hadir dikarenakana sering terjadinya tumpang tindih kebijakan dalam proses pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian Cagar Budaya di Provinsi Lampung. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran stakeholder dalam melaksanakan pelestarian pada kedua objek yang memiliki perbedaan status Cagar Budaya dan setelahnya dapat membantu manajemen pengelolaan yang tepat untuk kedua objek di Provinsi Lampung. Metode yang digunakan yaitu teknik pengumpulan data kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam kepada para stakeholder. Hasil dari penelitian pada kedua objek Cagar Budaya dan yang diduga Cagar Budaya di Provinsi Lampung yaitu stakeholder sekunder menjadi pengelola dikedua situs. Stakeholder kunci dan stakeholder primer seharusnya turut dalam melakukan pelestarian, namun pada Situs Cagar Budaya hal ini tidak diterapkan. Sedangkan pada objek yang diduga Cagar Budaya, stakeholder kunci dan stakeholder primer telah melakukan perannya. ......This article discusses issues related to the role of stakeholders in conservation management in Cultural Heritage in Lampung Province. This problem is present because of the frequent overlapping of policies in the process of implementing the management and proservation of Cultural Conservation in Lampung Province. For this reason, the purpose of this study is to determine the role of stakeholders in carrying out the preservation of the two objects that have different Cultural Conservation statues and after that can assist the proper management of the two objects in Lampung Province. The method used is qualitative data collection techniques by conducting in-depth interviews with stakeholders. The results of the research on the two objects of Cultural Conservation and the suspected Cultural Conservation in Lampung Province are secondary stakeholders who become managers of both sites. Key stakeholders and primary stakeholders should participate in carrying out conservation, but in Cultural Heritage Sites this is not applied. Meanwhile, in the object that is suspected of being a Cultural Conservation, key stakeholders and primary stakeholders have played their roles.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindia Chaerosti
Abstrak :
Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting, karena keraton selain sebagai tempat tinggal raja beserta keluarganya merupakan pula suatu bangunan inti yang berfungsi sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Keraton sebagai hasil karya arsitektur masa lampau merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Dibaliknya tersembunyi simbol yang mengisyaratkan kekuasaan dan kesucian seorang raja. Mengingat bangunan keraton atau istana merupakan tempat raja bersemayam, maka tentunya dalam pembuatan keraton disesuaikan dengan kebutuhan dan nilai seorang raja. Dalam tesisnya yang meneliti Keraton Kasunanan Surakarta, Behrend melihat adanya bentuk yang hampir sama (mirip) dalam tata keraton, antara keraton tersebut dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Terlihat dari pola pembagian wilayahnya, pola pembagian halamannya dan juga dari bangunan-bangunan yang ada di dalam keraton. Keadaan tersebut menjadi suatu model penelitian dan dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keraton, khususnya pada Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang terdapat di Cirebon. Penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi ini pada dasarnya ingin melihat kemungkinan adanya suatu pole tertentu dalam bentuk tata ruang dan tata bangunan keraton, khususnya terhadap keraton-keraton yang ada di Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pada prinsipnya kita melihat adanya suatu pola yang sama pada tata ruang dan tata bangunan keraton-keraton di Cirebon, walaupun tidak sama persis dengan keadaan (tata keraton) yang terlihat pada Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Hal itu didasari oleh adanya suatu pemikiran atau konsep mengenai mikrokosmos-makrokosmos dalam masyarakat, serta dipengaruhi oleh tradisi lainnya yang telah berkembang pada masa pra-Islam. Perbedaan dalam tata keraton, antara keraton-keraton di Cirebon yang merupakan peninggalan Kasultanan Cirebon, dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai peninggalan dinasti Mataram Islam, kemungkinan menunjukkan suatu perbedaan bentuk antara keraton-keraton dari kerajaan pesisir dan pedalaman. Dari penelitian ini kita juga mendapatkan gambaran tentang bangunan-bangunan yang menjadi bangunan inti sebagai suatu prasyarat sebuah keraton. Fungsi bangunan dan tingkat kepentingannya sangatlah menentukan lokasi atau daerah penempatannya dalam ruang (halaman) keraton. Bertolak dari hasil penelitian ini, diharapkan akan dilakukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap keraton, khususnya pads keraton-keraton yang berada di pesisir dan pedalaman.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S11752
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Handoko
Abstrak :
Penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi ini pada dasarnya membahas mengenai korelasi/ hubungan antara bentuk-bentuk gapura dengan keletakannya di dalam kompleks keraton. Gapura merupakan bangunan pintu gerbang yang keberadaannya tidak terbatas hanya pada kompleks keraton saja, tetapi dapat juga berada pada kompleks pemakaman, mesjid, candi dan sebagainya. Data berupa gapura keraton diambil sebagai objek penelitian ini mengingat keraton memiliki berbagai simbol kekuasaan yang diungkapkan antara lain lewat arsitekturnya. Dari deskripsi gapura-gapura pada keraton-keraton di Cirebon (Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacerbonan), dapat dilihat banyaknya variasi-variasi bentuk gapura, meskipun pada dasarnya tetap merupakan 2 tipe, candi bentar dan paduraksa. Pengaruh arsitektur Hindu (pra-Islam) masih tampak pada gapura-gapura tersebut. Misalnya dari ragam hiasnya serta adanya komponen-komponen pelengkap gapura yang biasanya terdapat pada candi, yaitu pipi-tangga, menara sudut pipi-tangga dan kemuncak. Pola dasar peletakan gapura-gapura di kompleks keraton pun masih menampakkan pola lama. Seperti yang terlihat di Keraton Kasepuhan dan Kanoman dimana gapura-gapura candi bentar ditempatkan pada halaman luar dan gapura-gapura paduraksa pada halaman dalam.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Mulyati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang bentuk awal dan perkembangan tata kota Yogyakarta pada tahun 1756-1824 H. Dari pembahasan tersebut kemudian akan dikaji pula menge_nai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan tata kota Yogyakarta dan perkembangannya pada periode awal terbentuknya tata kota dan faktor apa saja yang mempengaruhinya.Sebagai sumber data utama dalam penelitian ini adalah kota Yogyakarta periode awal yaitu tahun 1756-1824, yang secara administratif sekarang termasuk dalam wilayah kotamadya Yogyakarta. Selain itu juga digunakan peta-peta perkembangan kota Yogyakarta dari tahun 1756, 1785, 1790 dan 1824. Agar penelitian ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka digunakan juga sumber data sekunder berupa peta Yogyakarta tahun 1994, serta kepustakaan mengenai sejarah kota Yogyakarta dan perkotaan, baik sejarah berdirinya kota maupunsejarah pemerintahannya dan politik. Di samping itu juga. kepustakaan mengenai keadaan lingkungan geografi, keadaan penduduk dan perekonomian serta kosmologi dan orientasi nilai. Penelitian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa apapun dasarnya sebuah kota tentu memiliki bentuk awal, bentuk awal dari perkembangan kota dalam perjalanan sejarahnya tidak terbentuk dengan sendirinya melainkan dibentuk dan dipengaruhi oleb banyak faktor. Bentuk awal dan perkemban_gan tata kota serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat ditelusuri melalui keterangan sejarah baik berupa peta maupun sumber-sumber tertulis. Hasil dari penelitian ini adalah berdasarkan penga_matan dari peta-peta yang berhasil dikumpulkan, diketahui bahwa pembangunan fisik kota Yogyakarta berawal dari pembangunan kraton yang dimulai dengan terlebih dahulu membuka hutan Beringan. Kraton tersebut terletak di desa Pacetokan antara sungai Winongo di sebelah barat dan sungai Code di sebelah timur . Kemudian pada peta tahun 1765 mulai tampak munculnya pemukiman di dalam benteng dan di sekitar benteng. Pada peta tahun 1790 perkembangan kota Yogyakarta terlihat mengarah ke arah utara. Hal ini ditandai dengan beragamnya jenis bangunan dan pemukiman di wilayah ini. Dengan demikian berdasarkan lokasinya unsur-unsur pendukung dan pembentuk kota Yogyakarta, terbagi menjadi 2 yaitu: di dalam benteng dan di luar benteng kraton. Sehingga pada peta tahun 1824 terlihat perkembangan kota Yogyakarta memanjang dari arah selatan ke utara di antara aliran sungai. Sematara itu di sisi barat dan timur kota tidak banyak mengalami perkembangan. Perkembangan kota mulai tampak meluas disebelah timur sungai Code dengan berdiri_nya Pura Pakualainan di wilayah ini, pada tahun 1813 H. Dari pengamatan terhadap perkembangan kota terlihat bahwa tata kota Yogyakarta bercirikan tata kota Islam (tradisional) pada umumnya. Susunan unsur-unsur pembentuk tata kota di Yogyakarta mengikuti susunan tata, kota Islam (tradisional), yaitu: kraton dan alun-alun berada di tengah kota, masjid di sebelah barat alun-alun, pasar di sebelah utara alun-alun dan pemukiman yang tersebar menge_lilingi kraton serta jaringan jalan yang saling berpo_tongan membentuk bujur sangkar. Dengan demikian perkembangan kota Yogyakarta diawali dengan pembangunan kompleks kraton sebagai prioritas utama, kemudian dilakukan pembangunan terhadap unsur-unsur kota yang lain seperti benteng keliling kraton, kompleks Taman Sari, Masjid Agung, pasar, tugu dan benteng Vredeburg. Sehingga unsur-unsur tata kota Yogyakarta berdasarkan jenis dan fungsinya dapat dikelompokkan menjadi :

- jaringan jalan;

- bangunan-bangunan umum;

-bangunan pertahanan-keamanan;

- bangunan hunian.

Melalui data sejarah perkembangan kota dan data kepustakaan lainnya dapat diketahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota Yogyakarta serta penyebab terjadinya perubahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota Yogyakarta tersebut adalah faktor jumlah penduduk, faktor penguasaan terhadap lingkungan dan kemajuan teknologi serta faktor politik dan ekonomi.
1996
S13876
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Adham Aditianto Rifky
Abstrak :
ABSTRAK
Situs Gresik Kota yang terletak di Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur, merupakan sebuah situs kota pelabuhan yang telah diokupasi semenjak paruh kedua abad XIV Masehi. Tetapi struktur fisik yang masih tersisa hingga kini di situs tersebut, kebanyakan berupa bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda. Diantara banyak jenis bangunan masa kolonial yang terdapat di situs ini, bangunan hunian tampak mendominasi persebaran jenis bangunannya. Padatnya persebaran bangunan hunian di situs ini, tentunya memiliki dampak terhadap pendaya gunaan lahan bangunan di situs tersebut, hal ini dapat terlihat dari banyaknya bangunan yang berukuran kecil dan bertingkat di situs tersebut. Persebaran dari bangunan-bangunan hunian tersebut yang terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu, dapat diasumsikan berorientasi pada suatu kebutuhan. Karakter dari Situs Gresik Kota sebagai sebuah situs kota perdagangan yang terletak di pesisir, menyebabkan timbulnya asumsi lebih lanjut bahwa persebaran tersebut dilatari oleh kebutuhan akan kedekatan dengan pusat perekonomian, dalam hal ini pelabuhan serta pasar. Dengan berlandaskan asumsi diatas, maka dilakukanlah penelitian terhadap tingkat efisiensi pemanfaatan lahan bangunan dan persebaran dari bangunan-bangunan hunian di situs ini. Kesulitan dalam mengungkapkan nilai kronologis dari data penelitian ini, menyebabkan dilakukan tahapan justifikasi data dengan melakukakan perbandingan gaya bangunan terhadap bangunan_bangunan yang memiliki data kronologi pendirian dan basil penelitian-penelitian terdahulu terhadap bangunan-bangunan kolonial di Indonesia. Landasan dari tahapan ini adalah UURI No: 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, terutama pasal 1 ayat la. Data-data dari penelitian ini lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis bentuk, metode analisis tingkat efisiensi penggunaan lahan bangunan dan metode analisis hubungan tetangga terdekat serta analisis visual terhadap persebaran fitur berdasarkan pada sebuah peta persebaran fitur di situs ini.Setelah melampaui tahapan analisis-analisis tersebut, didapat kesimpulan bahwa bangunan- bangunan hunian di situs ini memiliki tingkat efisiensi pemanfaatan lahan bangunan yang cukup baik, karena umumnya memiliki denah yang sederhana, serta telah melakukan pemanfaatan lahan secara vertikal. Persebaran bangunan-bangunan hunian di situs ini, pada umumnya berorientasi terhadap jaringan jalan baik jalan primer maupun jalan sekunder, hal ini dibuktikan dengan adanya pola persebaran bangunan yang teratur.
1996
S11823
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardi Thesianto
Abstrak :
ABSTRAK
Token perkebunan adalah uang yang dikeluarkan oleh perusahaan perkebunan untuk membayar gaji para pekerjanya, yaitu para kuli. Jadi token perkebunan merupakan alat tukar yang berlaku di perkebunan-perkebunan, khususnya di Sumatera Timur. Dalam penelitian ini digunakan metode klasifikasi taksonomi yang bertujuan membentuk tipe, dan dalam tahap penafsiran data digunakan pula pendekatan sejarah, terutama yang berhubungan dengan kehidupan di perkebunan. Pada penelitian ini secara garis besar, token perkebunan Sumatera Timur terbagi dua, yaitu logam dan kertas. Dari basil pengamatan diketahui terdapat sedikit perbedaan dalam cara penggunaan kedua jenis token tersebut. Janis yang terbuat dari logam dapat digunakan berulang kali, sedangkan yang terbuat dari kertas hanya dapat dipergunakan sekali saja. Hal ini dapat diketahui dari adanya berbagai macam tulisan tambahan seperti cap, nomer, dan tanda tangan yang merupakan tanda sahnya sebuah token yang terbuat dari kertas. Hal lain yang juga menarik adalah bervariasinya bentuk dari token, khususnya yang terbuat dari logam. Hal ini dimungkinkan karena setiap perkebunan umumnya mengeluarkan token sendiri, dan terkadang juga pihak perkebunan menunjuk pihak-pihak lain untuk mengeluarkan token, umumnya mengeluarkan token sendiri. Dari hasil pengamatan, diketahui pula bahwa digunakannya lebih dari satu macam huruf dan bahasa pada kedua jenis token kemungkinan ditujukan untuk memudahkan dalam hal penggunaan, serta mencerminkan komponen pendukung keberadaan token tersebut yang berasal dari berbagai bangsa, baik itu pihak perusahaan perkebunan, kuli ataupun pihak-pihak lain yang berhubungan dengan perkebunan.
1996
S11748
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>