Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Whitten, Tony, 1953-
Singapore: Periplus Editions, 1996
R 577.095982 WHI e
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Prudensius, Maring
"Hutan mengandung nilai ekonomi, ekologi, sosial, dan kultmal. Banyak pihak menaruh perhatian pada nilai tersebut dengan kepentingan berbeda. Hubungan antarpihak dengan kepentingan berbeda bisa melahirkan konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Analisis konflik, perlawanan, dan kolaborasi sering dilakukan secara terpisah sekalipun realitas konflik, perlawanan, dan kolaborasi melibatkan pihak yang sama pada kasus yang sama.
Penelitian ini mengacu perspektif yang mernandang kekuasaan sebagai kompleks strategi dinamis yang datang dari berbagai pihak. Perspektif ini melihat konflik, perlawanan, dan kolaborasi bukan sebagai realitas yang berdiri sendiri tetapi sebagai hasil dari hubungan kekuasaan. Genealogi kekuasaan menjadi metode penelitian dengan memberi tekanan pada peristiwa yang terjadi sekarang sambil melakukan penelusuran historis jika diperlukan. Wawancara mendalam dan pengarnatan terlibat dipilih untuk menelusuri dan memperdalam data yang diperoleh melalui pernyataan informan, dokumen, dan teks. Penelitian lapangan dilakukan sejak Maret hingga Agustus 2007 pada parapihak yang terlibat dalam penguasaan hutan di Egon Flores.
Kajian ini memperlihatkan, untuk memahami hubungan kekuasaan yang dinamis harus dimulai dari memahami bagaimana tujuan kekuasaan diformulasi, bagaimana strategi, mekanisme, dan taktik dijalankan untuk merealisasi tujuan kekuasaan. Tujuan yang mendasari kerangka pikir pihak yang terlibat mempengaruhi pilihan strategi dan taktik untuk merealisasikan tujuan tersebut. Hubungan antara aparat pemerintah, masyarakat, dan LSM dalam penguasaan hutan di Egon Flores selalu mengandung kompleksitas kepentingan dan tujuan. Kepentingan yang menggerakkan para pihak untuk saling berhubungan tidak selalu karena perhitungan ekonomi-material, kalkulasi hukum, dan substantif semata, tetapi juga cara dan pendekatan yang dijalankan.
Tujuan yang dijalankan melalui strategi, mekanisme, dan taktik yang bersifat menekan dan melarang melahirkan konflik dan perlawanan. Sebaliknya, strategi, mekanisme, dan taktik yang bersifat persuasif memunculkan Sikap berkolaborasi. Konflik, perlawanan, dan kolaborasi selalu muncul bersarna. Dengan demikian, hubungan kekuasaan tidak hanya berlangsung dalam perlawanan dan konflik tetapi juga dalarn kolaborasi. Hubungan itu sulit dilepaskan satu Salina lain karena masing-masing merangsang lahir nuansa hubungan lainnya. Hal ini memberi alasan konseptual untuk melakukan kajian kekuasaan, konflik, perlawanan, dan kolaborasi secara terpadu. (*)
Forest have economic, ecological, social, and cultural value. Many stakeholders have great concern to the values with different interest. Relations inter-stakeholders with different interest can rise conflict, resistance, and collaboration inter-stakeholders. Conflict, resistance, and collaboration usually analyzed as partial, although reality of the conflict, resistance, and collaboration involve same stakeholders on the same case.
To understand relations of power on conflict, resistance, and collaboration, this research inspire to perspective which put relations of power as complex and dynamic strategy that come from multi-stakeholders. The perspective understood conflict, resistence, and collaboration not as partial reality, but as result of relations of power. The field method and analysis inspire to genealogy of power which focus on contemporary problem while take account to the hystorical trajectories, if needed. Deep interview and participatory observation used to get data from informan, document, and other text. The Held research started March until August 2007 in Egon Flores.
This research show that eifort to understand relations of power that work as dynamic should started from understand what the purpose of power, how the purpose constructed, how the strategy, mechanism, and tactic used. The purpose of power influence the frame think, strategy, and tactics of the stakeholders to realize the power. Relations among local government, community, and NGOs within forest management in Egon Flores always include complexity of interests and purposes. The interest which influence the stakeholders to conect one each other not always since economic, legal, and substantive reasons, but also depend on the way and approach that used inter-stakeholders.
The purpose of power which done through pressure strategy and tactics rise the conflict and resistance. On the other hand, the persuasive strategy and tactis could rise collaboration. Athough, this research show that conflict, resistance, and collaboration always exist together in the field. So, relations of power not only exist on conflict and resistance but also on collaboration. Relations of conflict, resistence, and collaboration could not separated one each others since each of them always inter-conected. The fact gave conseptual reasons to analyze relations of power, conflict, resistance, and collaboration as integrated. (*)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D895
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Keron A. Petrus
"Kebijakan pengelolaan hutan untuk tujuan komersial yang diberikan kepada pihak swasta atau Badan Usaha Milik Negara dan pengawasan langsung oleh negara (pemerintah pusat dan daerah), telah menciptakan ketidakadilan peran dan akses masyarakat lokal pada sumber daya hutan. Situasi ini menyebabkan kerusakan hutan meningkat, kemiskinan dan konflik sosial merebak di mana-mana. Untuk itu, masyarakat lokal perlu diberi peran dan ruang untuk membangun, membuat pengaturan internal di tingkat lokal. Pengaturan yang dibuat dan digunakan oleh rnasyarakat disebut institusi lokal.
Dalam kajian ini institusi lokal diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan (working rules or rules-in-use) sekelompok orang untuk mengatur aktivitas-aktivitas bersama, peran-peran yang harus dijalankan oleh orang-orang tertentu, dan sekaligus menyelesaikan permasalahan atau konflik/sengketa atas aktivitas tersebut. Dengan demikian, institusi memberikan semacam perangkat atau pedoman bagi mereka yang terlibat agar melakukan kegiatan yang mengacu kepada kepentingan, harapan bersama sesuai yang telah disepakati.
Hutan sebagai sumber daya milik bersama dan terkait dengan berbagai kepentingan yang cenderung berbeda di satu sisi, dan sifat kodrat manusia yang kreatif, inovatif di sisi yang lain rnaka pemahaman terhadap institusi lokal tidak bersifat statis tetapi sebagai sesuatu yang dapat dikonstruksi dan direproduksi berdasarkan kepentingan tertentu. Tindakan individu akan cenderung dikorelasikan dengan berbagai serring sosial dan fisik sehingga memberi pengaruh signifikan pada dinamika instimsi lokal.
Pola hubungan atau relasi sosial antarindividu, ketersediaan dan sifat sumber daya, berkembangnya ekonomi pasar, intervensi kebijakan dan berkembangkannya berbagai mode dominasi dan kekuasaan negara atas sumber daya hutan adalah beberapa aspek yang memberi kemungkinan institusi Iokal dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi secara dinamis.
Kajian ini menjelaskan, institusi lokal yang dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi masyarakat desa hutan Sumber Agung dapat dikategorikan sebagai institusi yang belajar. Dalam pengertian institusi yang dikembangkan secara dinamis berdasarkan dinamika internal dan eksternal. Tercatat sejumlah perubahan sebagai strategi adaptasi. Di antaranya, penggantian personil kepengurusan, perubahan mekanisme mencapai konsensus, aturan-aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimodifikasi berdasarkan realitas yang ada.
Perubahan-perubahan tidak semata ditanggapi sebagai sesuatu yang lama diganti/dimodifikasi dengan yang baru, tetapi perubahan juga ditanggapi ketika terjadinya proses sosialisasi dan internalisasi atas mekanisme institusional dalam suatu kurun waktu tertentu.
Hal lain yang juga menggambarkan institusi lokal dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi secara dinamis ialah terdapatnya variasi dalam cara penanganan permasalahan dan konflik sengketa yang terjadi, dan pada dasarnya mengekspresikan ragamnya orientasi kepentingan di antara para pengguna terhadap hutan sebagai sumber daya milik bersama. Bagaimana masyarakat scara institusional menghadapi praktik dominasi dan kekuasaan negara atas hutan juga memperlihatkan dinamika yang cukup penting bagi institusi lokal selanj utnya.
Dalam konteks inilah, ingin ditegaskan bahwa institusi lokal yang terbentuk saat ini merupakan produk dari negosiasi berbagai orientasi kepentingan yang berbeda-beda. Ada kepentingan ekonomi subsisten, sistem ekonomi pasar, dominasi dan relasi kekuasaan negara terhadap sumber daya hutan sebagai sumber daya milik bersama.
Pada posisi seperti ini, dapat diasumsikan prinsip-prinsip institusional hasil temuan Ostrom (1990, 1994), bukanlah prinsip yang dapat diidealkan bagi sebuah institusi lokal. Karakteristik fisik dan sosial yang berbeda, prinsip tersebut dapat ditambahkan, atau sebaliknya dikurangi. Kajian-kajian selanjutnya akan memperkaya pemahaman tentang institusi lokal yang dibangun, dikembangkan dan dimodifikasi oleh kelompok pengguna sebagai salah satu strategi menyelesaikan permasalahan kehutanan yang bersifat multidimensi.
The policy of forest management, that transfer forest exploitation for commercial purposes to private commercial institutions or state owned corporations, as well as direct monitoring and control from the govemment (both central and regional), have created unequal roles and access of the local (host) community to get the benefit from the forest resources. This situation has increased forest deterioration and the spread of poverty and social conflicts.
Therefore, the local (host) community must be given suficient roles and space in the formulations of local arrangement in the local community level in order to develop sustainable, in both economic and social, forest management. The arrangement formulated, developed and implemented by the local community is called local institution.
In this study, local institution refers to a set of working rules or effective rules of a group of society that control their daily collective activities, community roles that are attached to certain individuals as well as conflict resolutions mechanism. This institution provides the involved parties with a kind of tool and guidelines which refer to collective interests and expectations based on collective agreement in conducting daily activities.
Forest is a collectively owned resource and is closely related to various interest, which tend to be different on one side, and the nature of htunan being, which tend to be creative and innovative one the other side, therefore, the understanding that local institutions is something that can be reconstructed and reproduced instead of a static one. Individual action would be related to certain social and physical settings, so it will give significant impact to the dynamics of local institution.
There are some aspects that provide possibilities for establishing, developing modifying local institutions in dynamic ways. They are: social relation pattern amongst individuals within a society, availability and the nature of resources, the growing of market economy, policy intervention, the growing of various dominations, and state authority over forest resources.
This study explains that local institution, which is established, developed and modified by Sumber Agung village community can be categorized as learning institution. In the context that this institution is developed based on internal and external dynamics. Some changes as part of adaptation strategy have been recorded. Amongst them are personnel and mechanism changes to reach consensus, modifications on regulations on forest management and utilization in conjunction to the current realities.
Changes refer to not only the modification the old ones with the new ones but also internalization and socialization over the institutional mechanism within a certain period of time.
Other thing that also show that local institution established, developed and modified in a dynamic way is the variety of ways in the problem solving, conflict/dispute handling. Basically, it also expresses the variety of interest orientations amongst the stakeholders of the forest as a cornrnunally owned resource. The way how the community, as an institution, cope with the domination practice and state authority over the forest also shows the important dynamics for the next local institution.
In this context, this study would like underline that the local institution is a product of negotiation from various orientations of interests amongst the stakeholders of the forest. Amongst them are economic subsistent interest, the interests of market economy system, domination and authority relation over forest resources as communally owned resource.
In this position, it is assumed that institutional principles introduced by Ostrom (1990, 1994), are not the ideal principles for a local institutions. Due to the differences on social and political characteristics, those principles can be included or discharged. Further studies will enrich the understanding on the local institutions established, developed and modified by stakeholders as one of strategy to solve problems on forestry, which has multidimensional characters.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
D896
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reny Syafriny
"ABSTRAK
Masalah utama dari pertumbuhan pesat ekonomi modern adalah terjadinya kontestasi ruang yang berdampak ketimpangan dan ketidakadilan spasial bagi kelompok ekonomi tradisional yakni kelompok nelayan. Melalui kasus kota pesisir Manado dengan kondisi fisik kota yang terkendala bentang alam, tumbuh persaingan ruang ekonomi yang tidak berimbang antara ekonomi modern kapitalistik dan ekonomi subsisten. Kompetisi penggunaan ruang memerlukan diskusi dan pengetahuan yang belum banyak dibahas tentang pengembangan konsepsi rancangan kota yang adil antara sektor formal dan informal. Melalui pendekatan kualitatif grounded theory yang tidak mengkonstruksi hipotesis sebagai pijakan awal, penelitian berjalan dalam dua alur, yakni ekplorasi kasus, dan pengembangan trialektika spasialitas yakni pemahaman terhadap kompleksitas ruang melalui sosio-spasial historis, dapat diungkap penyebab dan proses terjadinya ketidakadilan. Menggunakan analisis strukturasi masyarakat urban dapat dipahami bagaimana proses kelompok dominan memarginalkan kelompok lain serta peran dan keterlibatan aktor dalam penentuan bentuk ruang urban. Temuan riset menunjukkan bahwa determinasi perubahan bentuk perkotaan modern secara makro sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal kapital yang berdampak pada struktur spasial perkotaan yang timpang dan menimbulkan konflik berkelanjutan sebagai manifestasi dari ketidakadilan spasial dalam penggunaan ruang. Secara mikro permukiman nelayan termarginal melalui penyusutan pangkalan perahu sebagai ruang sosial dan ekonomi dalam komunitas nelayan.

ABSTRACT
This dissertation raises the issue of modern economic growth in urban areas that impacted inequality and spatial injustice for traditional economic groups represented by fishermen. Through the case of Manado coastal city constrained by its natural condition of the landscape, there is an unbalanced economic space competition between the capitalistic and the subsistence group, especially the traditional fishermen. This situation requires further discussion focused on the conception of the just city design. Descriptive qualitative research using the process of physical and metaphysical transformation of urban space had explained the actors and power as determinant factor in urban structures changes as the cause of spatial inequality and injustice. In micro level, fishermen settlement marginalized by the depreciation of the boat station during the process of coastal reclamation construction in the city"
2017
D2272
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khoirnafiya
"Disertasi ini membahas tentang gerakan kebangkitan kembali (revival) Penghayat-Kejawen yang dalam arti luas juga merupakan gerakan kepercayaan, adat, dan tradisi. Keberadaan gerakan ini menunjukkan adanya dinamika gerakan kembali kepada Kepercayaan, adat, dan tradisi di tengah-tengah gencarnya gerakan keagamaan yang berbasis trans-nasional yang cenderung kosmopolitan. Bingkai gerakan kebangkitan mengartikulasikan ajaran, praktik ritual keseharian, aksi resistensi (perlawanan), serta aksi-aksi lain yang dikonstruksi dan digunakan dalam gerakan kebangkitan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memotret kekompleksan kondisi dan akvitas Penghayat-Kejawen dalam penelitian. Kerja lapangan (fieldwork) dalam penelitian ini dilakukan dengan etnografi multisitus, mengikut gerak dari Penghayat. Teknik pengumpulan data pada penelitian adalah observasi partisipasi dan wawancara mendalam, dan analisis konten terhadap media sosial yang dipergunakan Penghayat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada artikulasi faktor pendorong munculnya gerakan kebangkitan Penghayat-Kejawen. Gerakan kebangkitan itu didorong oleh berbagai determinan (penentu), yaitu landskap, sejarah, dan nilai-nilai Kejawen yang saling terkait. Nilai-nilai Kejawen menjadi penting ketika dipandang sebagai ideologi dari aktivis yang mendorong aksi gerakan. Dalam teori gerakan sosial, konstruksi nilai-nilai tersebut adalah bingkai budaya yang menunjukkan bahwa perjuangan Penghayat-Kejawen adalah perjuangan budaya (simbolik/identitas/nilai) melampaui perjuangan kelas yang dilakukan oleh aktor (aktivis) Penghayat dalam merespon kesempatan politik dan mengkonstruksi sumber daya. Hasilnya pada era sekarang, Penghayat-Kejawen melakukan caracara mobilisasi “baru”, yaitu artikulasi cara-cara/strategi dengan memadukan cara-cara tradisional (ritual) dan modern (kelembagaan dan media internet/media sosial) dalam berbagai bentuk bukan serta opoisisi (resistensi), tetapi pemosisian dengan kolaborasi, negosiasi, dan lobi. Jika asumsi bahwa Penghayat-Kejawen bersifat mistis dan ekslusif (tertutup), penelitian ini justru menunjukkan bahwa mereka menjalin interaksi dengan berbagai pihak yang menjadi aliansi (sekutu), yaitu berkolaborasi dengan orang atau kelompok lain yang berada di pemerintahan (negara) dan lembaga swadaya masyarakat. Interaksi tersebut menentukan eleman gerakan Penghayat-Kejawen dan menciptakan bentuk gerakan revivalisme/nativisime “baru” yang dilakukan oleh Penghayat-Kejawen yang berbeda dengan gerakan Penghayat era kolonialisme.

This dissertation discusses Penghayat-Kejawen and their revival movement, generally defined as a movement of belief, custom and tradition. Its presence indicates a dynamics of returning to belief, custom, and tradition, amid the vigorous movement of trans-national and relatively cosmopolitan religiosity. Its framework articulates teachings, daily ritual practice, resistance, and other actions that are constructed and applied in the revival movement.
This research applies qualitative method to portray Penghayat-Kejawen’s condition complexity and activity. Fieldwork during this research was conducted by means of multi-sited ethnography, by following the movement of Penghayat. Data was collected using participatory observation and in-depth interview, as well as content analysis of social media used by Penghayat.
Research result indicates that the revival of Penghayat-Kejawen is encouraged by articulation factor, with its various determinants, i.e., landscape, history, and related values of Kejawen. The values become crucial when viewed as ideologies of activists encouraging the movement. In the theory of social movement, construction of the values is a cultural framework, indicating that the struggle of PenghayatKejawen is a cultural struggle (related to symbol/identity/value), surpassing class struggle performed by actors (activists) of Penghayat in responding to their political opportunity and reconstructing resources. As a result, Penghayat-Kejawen performed “new” mobilization method, i.e., method/strategy articulation by integrating traditional method (rituals) and modern (institutional method and internet/social media) in various forms, i.e., positioning by means of collaboration, negotiation, and lobby, instead of opposition (resistance). In spite of the assumption that Penghayat-Kejawen is mystical and exclusive, this research reveals that they interact with various alliance parties, by collaborating with other person or groups of people under the goverment (state) and non-governmental organization. The interaction determines the element of Penghayat-Kejawen and creates “new” revivalism/nativism movement which differs from Penghayat during colonialism era.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosefina Anggraini
"Sebuah tempat dan ruang yang memiliki nama tentu saja memiliki cerita dan sejarah yang panjang dalam pembentukannya. Wilayah Pesisir Utara Jakarta merupakan wilayah yang sangat potensial untuk dikembangkan sekaligus rentan terhadap terjadinya perubahan sosial, budaya serta lingkungan sebagaimana yang terjadi Kamal Muara. Dinamika perubahan tersebut akan dijabarkan dalam disertasi ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif berupa wawancara dan pengamatan. Selain itu, pengumpulan dan penggunaan data citra Landsat juga dilakukan guna memperoleh gambaran tentang pemanfaatan lahan di pesisir Jakarta. Teknik ground check, tracing, tracking dan geotagging yang digunakan dalam penelitian ini berguna untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang pemanfaatan lahan di pesisir Jakarta. Berdasarkan pengumpulan data, ditemukan bahwa dinamika penciptaan ruang di Kamal Muara terjadi karena adanya interaksi para aktor sebagai agensi yang memiliki kepentingan terkait ruang di Kamal Muara. Interaksi juga dilatarbelakangi oleh material yang ada di wilayah Kamal Muara. Berbagai interaksi tersebut yang pada akhirnya menciptakan ruang yang tidak tunggal sekaligus menunjukkan terjadinya urban sprawling lahan permukiman ke arah Utara yang mengokupasi wilayah perairan pesisir Jakarta.

A place and space that has a name has a long story and history in its formation. The North Coast of Jakarta is an area with great potential to be developed as well as vulnerable to social, cultural and environmental changes as happened in Kamal Muara. The dynamics of these changes will be described in this dissertation using qualitative research methods with interviews and observations techniques. In addition, the collection and use of Landsat imagery data is also carried out in order to obtain an overview of land use on the coast of Jakarta. The ground check, tracing, tracking and geotagging techniques used in this study are useful for obtaining a more detailed picture of land use on the coast of Jakarta. Based on data collection, it was found that the dynamics of space creation in Kamal Muara occurred because of the interaction of actors as agencies who have interests related to space in Kamal Muara. The interaction is also motivated by the material around them in Kamal Muara. These various interactions ultimately create a space that is not singular and at the same time shows the occurrence of urban sprawling to the northern part of Jakarta that occupies Jakarta’s coastal area."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azhar Firdaus
"Proses resiliensi yang selama ini dibangun sebagian besar berfokus pada pemulihan pasca bencana dan belum dilakukan perincian bagaimana proses resiliensi dibangun sebelum, saat dan sesudah terjadinya terjadinya bencana, khususnya pada aspek kearifan lokal masyarakat. Hal ini terjadi pada upaya masyarakat untuk resiliensi terhadap Gunung Berapi Anak Krakatau yang sangat rendah baik dari segi fisik, pengetahuan dan nilai-nilai masyarakatnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis aspek fisik; pengetahuan, kesadaran dan praktik; nilai-nilai masyarakat; dan resiliensi untuk membuat model resiliensi pra-bencana erupsi Gunung Berapi Anak Krakatau, sehingga terciptanya masyarakat yang tanggap akan bencana. Riset ini menggunakan analisis permodelan sosial dan Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk memperlihatkan pemahamaman dan hubungan dari keempat aspek tersebut. Hasil riset menunjukkan bahwa perlu adanya intervensi kearifan lokal masyarakat dari dua hal yaitu infrastruktur bangunan yang tahan akan bencana alam dan pemahaman masyarakat terhadap tanda-tanda alam sebelum terjadinya bencana alam. Hasil tersebut menghasilkan model yang terintegrasi antara nilai-nilai masyarakat serta pengetahuan dan kebijakan kebencanaan untuk membangun kapasitas masyarakat terhadap bencana alam. Kesimpulan penelitian ini adalah model resiliensi pra-bencana diprediksi dapat meningkatkan tingkat kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bencana erupsi Gunung Berapi Anak Krakatau untuk meminimalkan jumlah korban dan kerusakan yang dihasilkan.

The established resilience process primarily emphasizes recovery efforts following a catastrophe; however, the specific methods employed to build resilience prior to, during, and subsequent to the disaster, with particular emphasis on the community's local wisdom, remain unspecified. It is occurring in a public endeavor to bolster the Anak Krakatau Volcano's resilience, which is physically, intellectually, and socially deficient. In order to develop a society that is resilient to disasters, the purpose of this research is to examine and assess physical aspects—knowledge, awareness, and practice; societal values; and resilience—in order to construct a model of the pre-catastrophic resiliency of the Anak Krakatau Vulcan eruption. By employing a model analysis of social and the Confirmatory Factor Analysis (CFA), the research illustrated the correlation and comprehension of the four facets. The results indicate that local community wisdom intervention is necessary in two ways: first, in the form of natural disaster-resistant infrastructure development; and second, in the form of public awareness regarding the indicators of impending natural disasters. As a result of the Anak Krakatau Vulcan eruption calamity, the predicted pre-disaster resilience model could enhance the level of preparedness and vigilance, thereby reducing the number of fatalities and property damage, according to the study's findings."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2025
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library