Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Doni Muhardiansyah
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D833
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Antonius
"ABSTRAK
Pemekaran wilayah nerupakan trend baru yang mengiringi implementasi
kebijakan pembentukan daerah otonom baru dan sebagai salah satu jawaban atas
berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Implementasi kebijakan tersebut mengarah pada upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Namun, persoalan pelik muncul dalam implementasi
kebijakannya karena kepentingan yang melatarbelakangi pemekaran wilayah
seringkali tidak jelas apakah berupa kepentingan jangka panjang yang konstruktif
atau kepentingan jangka pendek yang justru destruktif. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh faktor kebijakan, organisasi dan lingkungan terhadap
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru. Kemudian, untuk
menggambarkan model persamaan struktural hubungan yang sesuai antara' ketiga
faktor determinan tersebut dan pengaruhnya terhadap keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan daerah otonom baru.
Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif dan desain evaluasi
implementasi kebijakan. Unit analisisnya iaiah pegawai yang mewakili organisasi
pemerintah daerah otonom baru di Propinsi Gorontalo. Data dikumpulkan dengan
menggunakan teknik observasi, angket dan wawancara mendalam. Data yang
terkumpul dan dianalis dengan menggunakan SEM {Structural Equation Modeling) dan
dengan memakai perangkat lunak LISREL {Linear Structural Relationship).
Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru diukur
berdasarkan pemenuhan tujuh prakondisi daerah otonom: lembaga perwakilan yang
mendukung terciptanya ikiim demokrasi dan pembelajaran politik rakyat berbasis
partisipasi masyarakat lokal; manajemen urusan daerah dilakukan secara optimal;
kelembagaan pemerintah daerah terbangun berdasarkan kewenangan, kebutuhan^
kemampuan yang dimiliki; supervisi dan monitoring dilakukan sebagai dasar penilaian
hasil pembangunan daerah; manajemen pelayanan publik dasar yang terlaksana
secara efislen, efektif, ekonomis dan akuntabel; tersedia personalia yang dibutuhkan
untuk mendukung kelancaran tugas pemerintah daerah dan tersedia sumber
keuangan yang cukup untuk membiayai pembangunan daerah.
Kebljakan, organisasi dan lingkungan implementasi kebijakan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah
otonom bam. Kebijakan diwakill oleh aspek kesesualan tujuan kebijakan, konsistensi
dan kejelasan isi kebijakan, jenis manfaat yang dihasilkan, efektivitas penyampaian
dan perubahan yang ten'adi melalui implementasi kebijakan. Kemudian, organisasi
diwakili oleh adanya tugas pokok dan fungsi yang jelas untuk dilaksanakan oleh
instansi pemerintah daerah; kegiatan intra dan antar unit organisasi pemerintah
daerah terkoordinasi dan sinkron satu sama lain; adanya struktur organisasi yang
mewadahi dan mencirikan dinamika kegiatan yang dilakukan; sistem kepegawaian
yang didasarkan pada kecakapan dan keahlian; sistem kompensasi yang berbasis
kinerja serta tersedia sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran tugas
pemerintah. Kemudian, lingkungan diwakili oleh aspek kerjasama antar lembaga
secara horizontal dan vertikal; hubungan sosial yang solid; budaya organisasi sebagai
perekat yang menyatukan langkah pemerintah daerah; aspek politik lokal yang berciri
demokratis berbasis partisipasi masyarakat; potensi sumber daya alam yang
dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan daerah; kepemimpinan berdasarkan
hati nurani dan partisipasi lembaga mitra untuk memacu akselerasi pembangunan
daerah. Selanjutnya, pemodelan persamaan struktural hubungan antara faktor
kebijakan, organisasi dan lingkungan serta pengaruh ketiga faktor tersebut terhadap
keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom baru menunjukkan nilai
probabilitas signifikansi 0,99943 (p > 0.05). Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara matriks kovarian model teoritik dengan matriks kovarian data.
Implikasi teoritis penelitian ini menguatkan perpaduan elemen dalam model
implementasi kebijakan sebagai proses politik dan administrasi, model kesesualan,
model linier dan model interaktif. Efek sinergisnya, terdapat dimensi baru bernama
"dimensi infrastruktur" implementasi kebijakan yang sekaligus menguatkan konstruksi
model deskriptif sistem determinan implementasi kebijakan yang dihasilkan. Tiga
dimensi dalam model sistem determinan implementasi kebijakan melengkapi dimensi
model implementasi kebijakan yang ada, khususnya terhadap model proses politik
dan administrasi yang hanya meliputi dimensi isi kebijakan dan dimensi konteks
implementasi. Secara metodologis, penelitian ini mendukung kesesualan aplikasi
pendekatan analisis pemodelan persamaan struktural dalam menjelaskan pengaruh
kebijakan, organisasi dan lingkungan terhadap keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan daerah otonom baru. Keberhasilan tersebut didasarkan pada
pemenuhan prakondisi daerah otonom menjadi fondasi untuk menerapkan konsep
pemerintahan yang berwirausaha berbasis inovasi kelembagaan.
Berdasarkan konstruk teoritis (tesis) dan realitas di lapang (anti tesis) diperoleh
hasil analisis faktor konfirmatori (sintesis) pemikiran ilmiah mengenai keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom yang didukung dengan infrastruktur
yang kondusif bagi pelaksanaan kebijakan dalam konteks pemerintah daerah.
Keberhasilan tersebut didasarkan pada pemenuhan ketujuh prakondisinya yang
dipengaruhi oleh faktor yang saling berhubungan antara isi (kebijakan), infrastruktur
(organisasi) dan konteks (lingkungan) implementasi kebijakan. Implikasi kebijakannya
adalah stakeholders kebijakan perlu mencermati kondisi aktual daerahnya agar
sinyalemen bahwa pemekaran sebagai derita bagi sang induk dan nestapa bagi rakyat
miskin di daerah otonom baru tidak menjadi pengalaman buruk yang berulang hanya
untuk kepentingan politik atau ajang perburuan jabatan bagi pihak tertentu di daerah.

ABSTRACT
"Regional Pemekaran" (proliferation of the regions) is a new trend that
conveyed implementation policy of establishment new regional autonomy and it also
answered various problems appeared in administering the local government in
Indonesia. Implementation policy mentioned has been directed on ultimate cause,
which efforts to improve people welfareness. Nevertheless, often times obstacles set
to emerge in implementing the policy due to interests in relevance to the motif of
Regional Pemekaran would be intended for constructive long term objectives or
merely temporarily yet unpopular. This research aimed to analyze the influence factor
of policy, organization, and environment on successful in administering the new
regional autonomy. Furthermore, the research also design a model equation on
structural relation between said three determined factors and its influence on
successful to oversee the new regional government.
This study conducted based on quantitative analysis method and design
evaluation on implementing policy. The unit analysis was represented by employee in
the organization of new local autonomy government in Gorontalo Province. Data
gathered was using observation technique, questionnaire, and in-depth interview.
Data collected was then analyzed with SEM (Structural Equation Modelling) and
availed by LISREL (Linear Structural Relationship) instrument.
Successful administering the new regional autonomy government measured
by completing seven regional autonomy pre-requisites, namely: representative
institution in support to establish democracy climate and lessons learnt society based
on civic iocal participatory, optimized regional management for internal affair,
institutionalized local government based on authority, need, and capacity, supervision
and monitoring as a base tool to assess regional development, management for
public service delivery implied effectively, efficiently, economically, and accountable,
competent personnel to support the administer local government, and availability
funding for regional development.
Policy, organization, and environment to implement the policy have been
positively influenced and significant on successful overseeing new autonomy of
regional government. Policy represented by relevant aspect on objective policy,
consistency and clarity of policy, output for beneficiary, effectivity in processing and
adjustment that occurred through implementation of the policy. In addition,
organization represented by main task and clear function to be implemented by
regional government institution; intra activity and inter unit organization of local
government coordinated and synchronized between another. Availability of
organization structure that coping and characterized their dynamic activity; personnel
system based on competencies; compensation system based on performance and
availability infrastructure that support the tasks for the government. Moreover,
environment embodied by aspect of cooperation between institution in horizontal and
vertical; solid social relation, organization culture to reunite into vision of local
government. Local political aspect characterized by democratize based on civil
participation. Cultivated potential of natural resource for local purpose. Additionally,
modeling equation relationship between factor policy, organization, and environment
and its influence on successful managing new autonomy local government has shown
probability significant value 0.99943 (p > 0.05). This means that there were no
significant differences between matrix Covarian theoretical model and Covarian matrix
data.
Theoretical implication from the research strengthened combination element
in model implementation policy as political and administration process, relevance
model, linier model, and interactive model. And its synergize effect, accessibility of
new dimension with so called " infrastructure dimension" implementation policy that
apparently strengthening the descriptive model determined system as a result of
implementation policy findings. Three dimension in system model determining policy
implementation complemented on current model implementation policy, especially
political and administration process model that only covered the dimension of policy
content and dimension of policy context. Methodologically, this research supported
relevant application on approach to analyze modeling structure in explaining policy
influence, organization, and environment for successful administering new autonomy
regional government. Successful mentioned above were basically due to fulfillment of
prerequisites of new regional autonomy as foundation to imply a concept of
entrepreneurial government based on institutional innovation.
Based on theoretical construct (thesis) and reality (anti thesis) obtained the
result of confirmatory analytical factor (synthesis) research on successful
administering regional autonomy government supported by conducive infrastructure
for policy implementation in regional government context. Implication of the policy
that policy stakeholders need to assess actual local condition in order to detect that
pemekaran caused suffer for holding and misery for poor people in new regional
autonomy would not duplicate as bad experience only for politic interest or chasing
position for certain parties in the region."
2007
D726
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Amsyah
"ABSYTRAK
Masalah pokok disertasi ini adalah mengenai persepsi dosen di wilayah Jakarta terhadap perilaku penyalahgunaan wewenang keuangan dalam 0rganisasi. 0rganisasi terdiri dari tiga kelompok yaitu organisasi kenegaraan, niaga, dan kemasyarakatan. Yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah bagaimana hubungan antara masing-masing elemen internal dan linglcungan ekstemal organisasi dengan perilaku penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi.
Perilaku penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi (dalam disertasi digunakan juga istilah korupsi) merupakan perilaku karyawan yang bekerja dalam organisasi, karena itu teori dasar yang penulis gunakan adalah teori perilaku keorganisasian Teori yang sesuai antara lain adalah teori perilaku keorganisasian Keith Davis dan John W. Newstrom dalam bukunya Human Behavior at Work: Organizaiional Behavior. Dinyatakan bahwa perilaku keorganisasian adalah studi dan aplikasi
pengetahuan mengenai bagaimana karyawan bertindak dalam organisasi. Perilaku keorganisasian dipengaruhi oleh elemen-elemen internal yaitu manusia (people), struktu (structure), dan teknologi (technology), serta elemen-elcrnen lingkungan eksternal yaitu suprastruktur dan kemasyarakatan. Di dalam penelitian kelima elemen tersebut merupakan variabel-variabell yang berhubungan dengan variabel penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi. Berdasarkan variabel-variabel tersebut penulis tentukan indikator-indikator penelitian yang akan menjadi butir-butir pertanyaan kuesioner.
Populasi penelitian adalah pengajar perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) yang berjumlah sekilar 8000 orang di wilayah Jakarta. Dengan menggunakan tabel Rea dan Parker, penulis tentukan jumlah sampel sebanyak 360 orang. Secara purposive penulis pilih bidang/jurusan administrasi, hukurn, manajemen, ilmu po1itik, dan psikologi yang ada pada 12 (dua belas) Universitas dan sekolah tinggi yang menjadi kelompok rcsponden Dari 360 lembar kuesioner yang didistribusikan, kucsioner yang kembali sejumlah 329 lembar.
Tcmuan penclitian menunjukkan bahwa terjadi dan meluasnya penyahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi adalah berhubungan erat dengan permasalahan-permasalahan internal dan eksternal organisasi, yailu: kepuasan kerja, disiplin, nilai-nilai, kepemimpinan atasan, penghargaan, golongan kepangkatan, budaya organisasi, karir, karakteristik pekerjaan, tertib administrasi, teknologi informasi jaringan, sistcm infomasi keuangan, kepemimpinan presiden, pengawasan fungsional, pengawasan dan hukum, birokrasi publik, pengawasan eksternal, pengawasan internal, kesenjangan ekonomi, pencucian uang, dwifunngsi, dan feodalisme.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah bahwa korupsi atau penyalahgunaan wewenang keuangan dalam organisasi adalah tcrmasuk bidang perilaku keorganisasian yang dapat dikembangkan melalui penelitian-penelirian bidang lain. Permaslahan korupsi memang merupakan permasalahan yang luas dan rumit, karena itu sesuai dengan pendekatan bidang perilaku keorganisasian yang merupakan kombinasi antardisiplin yaitu: Psikologi (Psikologi Keorganisasian), Sosiologi (Sosiologi Keorganisasian), Antropologi (Budaya Organisasi), llmu Politik (Kekuasaan), Sojarah (Sejarah Organisasi dan Manajemen), dan Ekonomi (Teori Keputusan).
Dalam hal implikasi kebijakan, hasil penelitian dapat digunakan untuk keperluan penyusunan kebijakan agar dapat dilakukan pcngelolaan organisasi yang baik (goodgovernance) pada organisasi kenegaraan, niaga, maupun kcmasyarakatan."
2002
D505
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Suarjaya
"Research on villages have been done by esperts from diverse discipline. Those kinds of research have also been carried out in different places in Indonesia. In Bali Many similar researches have been conducted by both local and international experts.
However, the previous studies conducted are merely focused on analyzing some aspects of the village such as the governmental administration, politcs, economy, social culture and resources. Bali has two types of villages, that give services to the public; they are State Administrative Village (desa Dinas) and Traditional Village (Desa pakraman). The Previous experts have not yet done research on the public services in both types of villages.
This present research is focused on analyzing public services by the State Administrative Village an The Tradisional Village in Wongaya Gerde Village, Tabanan Regency. The Method used in this research in a qualitative method. The objectives of this research are to describle public services provides by both types of villages; to analyze whether the public services geve by those villages can be synergized and how that can be done. The theories used for the analyzis are (1) the theory of administration development and the empowerment of the society; (2) the theory of decentralitation and local government; (3) and the theory of public services.
The State Administrative Village and the Tradisional Village, have different historical backgrounds in terms of their formation. These villages have their respective function and duties. The Traditional village is formed by the community for the community itself so it has a true autonomy. The main duties and functions of the Traditional Village are to give services to the society especially in the field of the social aspect, local custom, culture and religion. The State Administrative Village was first formed by the Colonial Government for its own bemefits. At the beginning. The State Administrative Village only gives services in the field of governmental administration and other governmental duties. Since the time decentralitation was introduced in Indonesia. In giving public services both villages undergo difficulties, since the independence era, government used the State Administative Village as the centre of government in running the government Administration.
From the era of old 0rder (Orde Lama) to the New Order (Orde Baru) the Traditional Village was marginalized. This is due to the introduction of the unifying concept of villages which was centrally regulated by the government. During the reformation era, the regulation No. 32 Year 2003 was implemented and the existence of the Traditional Village was acknowledged for its role in giving public services in order to improve the welfare of the community.
The Study shows that the Traditional Village has more privilege position, in the society because the society pays more respect to the Traditional Village in terms of the public services given to the society. Because in carrying out in activities, the Traditional Village is guided by the traditional law (Awig-awig). The members of the society obey this traditional law because they feel that the social punishment is much severer then the punishment of paying fine.
It is found that the are nine services provides by the State Administrative and Traditional Village, they are; (1) in the field of religion, (2) in the field of development, (3) in the field of environment, (4) in the field security, (5) In the field of economy, () in the filed of society welfare, (7) in the field of conflicts of custom, and (8) in the field of government.
Those services can be jointly provided by both types of village. The fields that can be synergized in providing services to the society are in the field of religion, development, government. Security, and economy. This can be done through coordination and consultation in implementing those service programs. In this case regulation are needed to control the coordination and consultation between both types of villages so that both of the villages can live in harmony and they can avoid conflicts of interest."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D831
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Sutadji
"ABSTRAK
Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan publik Departemen Pendidikan Nasional untuk memberikan otonomi kepada sekolah, sebagai dukungan terhadap diberlakukannya otonomi daerah (desentalisasi pendidikan). Otonomi sekolah ini diberikan berdasarkan kepada pertama, pengalaman sistem pendidikan yang sentralistik dengan berbagai keseragaman, padahal masyarakat kita memiliki kultur, budaya, dan kondisi yang sangat beragam. Kedua campur tangan pihak birokrat terhadap dunia akademik sekolah terlalu dominan, sehingga kreativitas dan inovasi yang dimiliki sekolah kurang berkembang. Ketiga, dominasi pemerintah kepada sekolah telah menyebabkan peranserta masyarakat berkurang secara signifikan, sehingga masyarakat beranggapan bahwa pendidikan persekolahan merupakan tanggung jawab pemerinah. Keempat, pengelolaan sekolah dilakukan kurang transparan dan akuntabel, sehingga masyarakat lebih banyak curiga daripada mau membantu sekolah. Atas dasar itu maka pada implementasi kebijakan MBS ini perlu mendapatkan perhatian secara serius, sehingga hal tersebut di atas dapat segera teratasi. Dalam disertasi ini dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan MBS. Populasi pada penelitian ini adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mengikuti program MBS dengan dukungan bantuan BOMM sebanyak 206 sekolah, yang berada di wilayah Jabotabek. Dari 206 SMP program MBS tersebut diambil 50 SMP secara stratified purposive sampling. Di samping itu juga diambil 50 SMP pembanding yang tidak melaksanakan program MBS. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket berupa skala Likert dan isian kepada responden kepala sekolah, guru, dan kepala tata usaha. Hasil analisis data dengan menggunakan LISREL (Linear Structural Relationship) dan Model Persamaan Struktural (Structural Equation Model) di peroleh kesimpulan bahwa (1) karakteristik sekolah yang berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar adalah karakteristik orang tua siswa, sedangkan karakteristik guru, karakteristik kepala sekolah, dan kondisi sekolah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepemimpinan dan terhadap hasil belajar. (2) kepemimpinan kepala sekolah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar, akan tetapi kepemimpinan bcrpengaruh secara signifikan terhadap iklim sekolah. (3) iklim sekolah berpengaruh secara signifikan dengan hasil belajar. (4) faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar siswa adalah karakteristik orang tua siswa dan iklim sekolah, sedangkan kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap iklim sekolah.
Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini adalah (1) Implementasi MBS di sekolah, diharapkan lebih mengoptimalkan faktor karakteristik sekolah yang lainnya, yaitu karakteristik guru, karakteristik kepala sekolah, dan kondisi sekolah; (2) diharapkan dapat lebih intensif dalam menciptakan kepemimpinan kepala sekolah yang lebih profesional; (3) perlu membangun iklim organisasi sekolah yang kondusif dalam mendukung peningkatan prestasi/hasil belajar; (4) secara sinergi semua faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar siswa sebagai perwujudan implementasi MBS perlu diciptakan oleh seluruh pihak yang terkait, sehingga peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai secara signifikan.

ABSTRACT
School Based Management policy is a public policy of the Department of National Education concerning the management running in a school. This policy gives any school an authority to manage autonomy the school, in supporting for district autonomy (educational decentralization). This school autonomy based on first, our experience in centralized educational system which similarity in much kind of culture and variety of district condition. Second, the bureaucracy involvement to school is too dominant, so that the school creativity and innovation not well developed. Third, government domination to school decreases community participation significantly, that assumed education is government responsibility. Fourth, school management is not transparent and accountable, and community more neglected than to participate. Based on this argumentation, the school-based management should have attention seriously, so that these problems overcome as soon as possible. This dissertation discussed about the factors that influence to school based management policy. Population in this research is 206 junior high school (SMP) that follows school based management program supported by BOMM grant in fifteen districts in Jabotabek. The sample is 50 junior high school sampled by stratified purposive sampling. In addition, 50 SMP that not follow school based management program are choosing, as comparation. Data collection is done by questionnaire with Likert scale, which respondent are school manager, teacher, and administration staff. Those data used by LISREL (Linear Structural Relationship) and Structural Equation Model. The conclusions are (I) the school characteristic that influence significantly to learning achievement is parent characteristic. School condition is not influence to leadership and learning achievement. (2) Headmaster leadership is not influence significantly to learning achievement, but influence significantly to school climate. (3) School climate influence to learning achievement. (4) The factors that influence significantly to learning achievement are parent characteristic and school climate, headmaster leadership influence to school climate.
Some recommendation in this research are (1) School based management implementation should optimalized the other factor of school characteristic (2) Headmaster leadership should be applied professionally. (3) It is important to build condusif school climate in supporting learning achievement. (4) All factors that influence to learning achievement as realization of school based management implementation should created by all stakeholders in increasing educational quality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D593
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Salam
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tuntutan pelayanan masyarakat yang lebih baik dalam otonomi daerah yang Iebih Iuas, sebagai tuntutan reformasi terhadap pelayanan birokrasi daerah kepada masyarakat dalam sepala bidang, termasuk pelayanan transportasi. Tentang pelayanan transportasi ini, hampir seluruh Pemda menghadapi berbagai permasalahan, begitu pula halnya Pemda Kabupaten dan Kota Bogor. Ketidakberdayaan birokrasi daerah tersebut terlihat dari lemahnya SDM, teknologi dan sarana prasarana transportasi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil dari transportasi, jelas memberkan penataan ulang dalam tubuh organisasi birokrasi daerah yang perlu melakukan reformasi administrasi negara secara komprehensif dalam meningkatkan kinerja birokrasi daerah di bidang transportasi tersebut.
Masalah penelitian ini dibatasi pada "Persoalan reformasi administrasi negara di daerah tentang ketidakmampuan birokrasi daerah meningkatkan kinerjanya dalarn pelayanan transportasi". Pembatasan penelitian ini ada pada bidang administrasi negara, dalam persoalan kinerja birokrasi daerah, sedangkan pelayanan transportasi dipilih hanya sebagai kasus di Kabupaten dan Kota Bogor. Adapun pertanyaan penelitian adalah: "Bagaimana kinerja birokrasi daerah (Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor serta Dinas Lalu Lintas dan Jalan Kota Bogor) dalam memberikan pelayanan transportasi kepada masyarakat, serta apa kebijakan birokrasi daerah Kabupaten dan Kota Bogor yang terbaik dalam mengatasi masalah pelayanan transportasi".
Metode penelitian ini menerapkan pendekatan analisis sistem dinamik yang menggabungkan antara pendekatan kuantitatif dengan kualitatif. Desain penelitian sistem dinamik secara substantif akan mengukur kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda meialui metode system dinamik dan permodelan. Untuk itu diperiukan pendekatan dan mekanisme penelitian dengan mempertimbangkan sifat dinamik yang berubah mengikuti perkembangan waktu. Penulis menganggap sesuai menggunakan metode sistem dinamik dan permodelan karena model sistem dinamik melihat pola kecendrungan sistem berdasarkan analisis sistem dinamik yang nyata dan sangat panting, melalui 8 (delapan) tahap yang ditempuh dalam metode sistem dinamik, yaitu: (1) merumuskan masalah penelitian; (2) permodelan sistem dinamik (Causal Loop Diagram dan Stock Flow Diagram = CLD dan SFD); (3) pengumpulan data dan entry data dalam model (4) simulasi model dinamik (5) validasi model dinamik; (6) analisis sensitivitas; (7) simulasi kebijakan (model sistem dinamik); dan (8) merumuskan kesimpulan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan data dan fakta tentang lemahnya kinerja birokrasi daerah di Kabupaten dan Kota Bogor, berupa kesemrawutan lalu lintas karena belum optimalnya pengelolaan transportasi. Analisis sistem dinamik menggambarkan kompleksitas permodelan yang tersedia dalam berbagai altematif pilihan Causal Loop Diagram (CLD), kemudian dan berbagai altematif pilihan CUD yang kompleks tersebut ditentukan pilihan dengan melewati proses trial and eror sampai mendekati titik yang paling sesuai tentang kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda dalam pelayanan transportasi. Berdasarkan proses tersebut maka penelitian ini menerapkan 2 (due) archetype (model baku), yaitu model Fixes That Fail (Perbaikan Sesaat = Perbaikan yang Gagal) dan model Limits to Success (Batas Keberhasilan). Kedua archetype model tersebut, ditentukan dan dipilih dari 8 (delapan) model baku yang kompleks, yang ada dalam program sistem dinamik dan permodelan. Karena sifatnya yang kompleks, kedua model baku (archetype) yang dilipih tersebut mempunyai berbagai probabilitas yang dapat ditampilkan sesuai dengan kondisi dan fakta kinerja birokrasi daerah dalam mengelola transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Berbagai probabilitas atau kemungkinan tersebut dapat diprediksikan untuk sekian tahun kedepan tanpa batas, boleh 5 (lima) tahun, 10 tahun, 100 tahun dan seterusnya. Karena itu, model Fixes That Fail (Perbaikan Sesaat Perbaikan yang Gaga') dan model Limits to Success (Batas Keberhasilan) dapat membuat model yang sesuai dengan apa yang dinginkan, berdasarkan kondisi dan fakta 5 (lima) tahun terakhir, maka akan dapat diprediksikan sekian tahun kedepan. Pilihan tersebut sesuai untuk penelitian ini, setelah menyesuaikannya dengan batasan masalah dan kondisi kinerja birokrasi daerah di lingkungan Pemda (dalam hal ini Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor serta Dinas Lalu Lintas dan Jalan Kota Bogor). Tergambar dalam CLD tersebut, karena badan jalan yang ada terpakai, maka akan menimbulkan inisiatif untuk melebarkan jalan, pada waktu sesaat ini memang dapat mengatasi persoalan untuk sementara, tetapi ketika moda transportasi semakin bertambah dengan berbagai tipe dan jenis kenderaan, pelebaran jalan tersebut menjadi tidak terlalu berarti, karena luas lahan terbatas akan sulit melakukan pelebaran jalan, kecuali dengan menyediakan biaya yang lebih besar. Kedua model tersebut Fixes that Fail dan Limit to Succes yang digambarkan dalam CLD dapat dijelaskan lebih lanjut dalam Stock Flow Diagram (SFD=Diagram Alir), yang lebih menggambarkan kompleksitas permodelan, yang dapat dikaji dan dibahas dari berbagai segi dan berbagai altematif yang mungkin dilakukan, begilu pula halnya kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Kompleksitas permodelan dan subsistem pelayanan transportasi yang merupakan transformasi dari archetype model Fixes that Fail, mengambarkan kondisi koordinasi pelayanan transpotasi yang tidak memadai, tidak harmonisnya koordinasi antara birokrasi daerah di Kabupaten dan Kota Bogor, serta lemahnya koordinasi birokrasi daerah dengan jajaran terkait lainnya telah menciptakan koefisien kemacetan yang selanjutnya meningkatkan koefisien penumpang terlantar, hal ini kemudian memperlihatkan rasio kebutuhan transportasi yang tergambar semakin meningkat laju pertumbuhannya. SFD yang menjadi andalan pendekatan sistem dinamik telah membuktikan bahwa kompleksitas yang melingkupi kirierja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi meliputi banyak hal dan kondisi, yang semestinya harus dilihat dan dikaji serta diselesaikan secara sistemik dan holistik, artinya perlu memperhatikan segala aspek dalam segala dimensi, dengan tidak mengabaikan salah satu aspek dan hanya melebihkanlmengutamakan aspek yang lainnya, demikian halnya aspek dan dimensi peningkatan kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi di Kabupaten dan Kota Bogor. Selanjutnya archetype model limit to success, memperlihatkan mengubah kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi hanya untuk sementara, karena dibatasi oleh dimensi waktu, dimensi kerampuan biaya, dan dimensi keterbatasan lahan. Salah satu solusi yang ditawarkan model ini hanyalah memperpanjang sifat sementara tersebut dengan memasukkan dimensi prilaku atau aktivitas dari adanya koordinasi birokrasi daerah menjadi durasi waktu yang relatif lebih lama, yaitu dengan memeratakan pembangunan ke seluruh pelosok wilayah sehingga penduduk tidak perlu harus mencari penghidupan ke pusat kota karena hal tersebut juga sudah dapat diperoleh di wilayahnya tanpa harus melakukan perjalanan ke pusat kota di Kabupaten dan Kota Bogor. Konsep yang ditawarkan model ini pada intinya bagaimana mengurangi perjalanan masyarakat, dengan memasukkan dimensi upaya memperpanjang atau memperbesar limit to success yang sedang dihadapi. Bila hal ini dihubungkan dengan pertumbuhan angkutan umum dan kendaraan pribadi akan sangat kontradiksi karena berbanding terbalik dengan tersedianya lahan yang sangat terbatas, sementara angkutan umum dan kenderaan pribadi terus mengalami peningkatan. Hasli simulasi model sistem dinamik memperlihatkan bahwa titik kemacetan sudah mencapai titik jenuh yang memprihatinkan, memerlukan pengelolaan transportasi dengan kinerja yang lebih baik, yang harus dipenuhi oleh birokrasi daerah Kabupaten dan Kota Bogor.
Dapat disimpulkan bahwa kinerja birokrasi daerah dalam pelayanan transportasi dipengaruhi oleh hubungan dinamis dari tiga sub-sistem, yaitu demografi, urbanisasi, dan pelayanan transportasi. Unsur-unsur utama atau leverage poin dalam sistem tersebut adalah imigrasi, pemerataan pembangunan, pertumbuhan ods transportasi pribadi, dan perilaku sosial. Hasil penelitian menunjukkan kinerja birokrasi daerah masih bergerak positif, walaupun dengan kinerja yang lemah. Lemahnya kinerja birokrasi daerah tidak hanya ditentukan oleh faktor internal birokrasi daerah 1W sendiri, seperti antara lain lemahnya kemampuan SDM, lemahnya koordinasi antar dan antara birokrasi daerah dengan berbagai jajaran terkait di Kabupaten dan Kota Bogor, melainkan juga oleh faktor eksternal yang datang dari luar birokrasi daerah, antara lain karena populasi penduduk yang semakin besar, jumtah lahan yang terbatas untuk pembangunan jalan, serta faktor sosial dalam pelayanan transportasi seperti disiplin para sopir dan pengelola angkutan umum, budaya pedagang kaki lima dan pengelolaan pasar dan sebagainya. Hal ini menjawab pertanyaan penelitian yang pertama bahwa sistem dinamik hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk kinerja birokrasi daerah saling terkait, saling berinteraksi, saling mempengaruhi secara positif atau negatif. Sedangkan jawaban pertanyaan penelitian kedua adalah bahwa kebijakan birokrasi daerah terbaik dalam mengatasi kemacetan lalu lintas, antara lain dengan mencegah urbanisasi, memeratakan pembangunan, termasuk mengubah desa menjadi kota, sehingga penduduk tidak lagi harus datang ke kota. Saran penelitian ini adalah menerapkan 15 langkah yang diusulkan dan dihasilkan simulasi sistem dinamik penelitian disertasi ini.

ABSTRACT
This study was formed by the background of better public services demand in the more extensive local autonomy as reformation demand from various public component about local bureaucracy services for public in every sector, including transportation services. Regarding this transportation services, almost all of local government (Pemda) with its local bureaucracy was facing various problems, and so as the local government of the Regency and City of Bogor. The disability of that local bureaucracy was seen from weak human resources, transportation technology and instrument. The Original Local Revenue / Pendapatan Asli Daerah (PAD) of transportation sector was very limited and clearly need reconsideration and rearrangement in the body of local bureaucracy organization, which was needed to perform state administration reformation comprehensively in improving the performance of local bureaucracy on that transportation sector.
The problem of this study was limited on "The Issue of state administration reformation at outlying district on the scope of inability of local bureaucracy to improve its performance in transportation services. The limitation of this study was on state administration sector about the issue of local bureaucracy performance, whereas the transportation services were selected only as the case of Regency and City of Bogor. As to the question of this study was : "How the performance of local bureaucracy (The Department of Transportation of Bogor Regency and The Department of Traffic and Lane of Bogor City in order to provide transportation services for society) and what is the best policy of local bureaucracy in Regency and City of Bogor to overcome the transportation services problem:
'The method of this study was implementing analysis of dynamic system approach, which was combining quantitative approach with qualitative. The design of dynamic system substantively will measure the performance of local bureaucracy in local government's environment (Pemda) through dynamic system and modeling method. Therefore, the study approach and mechanism was needed by considering the alternating dynamic in nature following the time development. The writer suppose that it was appropriate to use the dynamic system and modeling method to achieve the determined aim in this study; because dynamic system model has looked on the pattern of system tendency based on analysis of dynamic system, which was real and extremely important, through 8 (eight) phases that has been going through in dynamic system method, that were:
(1) formulating study problem; (2) the dynamic system modeling (Casual Loop Diagram and Stock Flow Diagram = CLD and STD); (3) The data collecting and data entry in model; (4) Simulation of dynamic model; (5) validation of dynamic model; (6) sensitivity analysis; (7) Policy simulation .(dynamic system model); and (8) formulating conclusion.
The result of this study has presented data and fact about the weak performance of local bureaucracy in Regency and City of Bogor, in the form of traffic mess, because of transportation management that was not optimal. Analysis of dynamic system, was describing the complexity of modeling and which was available in various alternative choice of Causal Loop Diagram (CLD), and then from those complex CLD alternative choices, the option was determined through trial and error process until it was closed to the most appropriate point regarding the performance of local bureaucracy in. local government's environment (Pemda) on transportation services. Based on that process, therefore this study was limited only by implementing 2 (two) archetype (standard model), i.e. the Fixes that fail Model (Temporary Revision = the Failed Revision) and the Limits to Success Model (Batas Keberhasilan). Both of that two archetype model was determined and selected from the complex 8 (eight) standard model, which was presented on dynamic system and modeling program. Because of their complexity in nature, both of those selected standard model (archetype) had various probability that can be held appropriate with the condition and fact of local-bureaucracy performance on managing the transportation in Regency and City of Bogor. Various of those probability of opportunity can be predicted for some years on future without any limitation, it can be 5 (five) years, 10 years, 100 years, and so on. Therefore, the model of Fixes that Fail (Temporary Revision = The Failed Revision) and the model of Limits to Success (Batas Keberhasilan) can make appropriate model with the expected model, based on the last 5 (five) years condition and fact, then it can be predicted some years on future. Those options were appropriate with this study, after adjusting it with problem limitation and performance condition of local bureaucracy in the local government's environment (in this context, The Department of Transportation of Bogor Regency and The Department of Traffic and lane of Bogor City). It was described on that CLD - because when part of street has been used then it would cause an initiative to widen the street, in the current temporary time, it obviously can overcome problem for time being, but when the transportation mode was more in its amount with various type and kind of vehicle, that street widen became less significant, because of the limited area, it was difficult to perform the street widening, unless providing larger cost. Both of those model, Fixes that Fail and Limit to Success, which have been described in CLD, it can be explained further in Stock Flow Diagram (SFD), which will describe further' complexity of modeling, which can be recite and discuss from various sector and alternative that can be done, so as about the performance of local bureaucracy on transportation services in Regency and City of Bogor. The modeling complexity of the Transportation Services sub-system, which was a transformation of archetype model of Fixed that Fail, was describing the inadequate condition of transportation services coordination, and the coordination between local bureaucracy in Regency and City of Bogor that was not harmonic, and the weak coordination of local bureaucracy with the other related staff has created the traffic coefficient, which increase the coefficient of neglected passenger further, and these things then will show the ratio of transportation need that has been described as increased of its growth rate. SFD which was the reliable dynamic system approach has been proven that the complexity which covering the performance of local bureaucracy on transportation services including many things and condition, which indeed should be seen and assess and solved systematically and holistically, it means that it should note every aspect in every dimension, and should not disregard any aspect and only favor l giving priority other aspect, and so as the aspect and dimension of the improvement of the performance of local bureaucracy on transportation services in the Regency and City of Bogor. Then, the archetype model limit to success has shown alteration of the performance of local bureaucracy on transportation services temporarily, because it was limited by dimension of time, dimension of ability 1 cost, and dimension of field limitation. One of the offered solution by this model was only lengthen that temporary in nature by including the dimension of behavior or activity form the presence coordination of local bureaucracy into the more relative longer of time duration, that was by equalize the development throughout nation, hence the citizen does not need to find any living support to the center of, city, because that thing can be gained in their region without traveling to the center of city in Regency or City of Bogor. It needs transportation management with better performance, which has to be fulfilled by the local bureaucracy of Regency and City of Bogor.
It can be concluded that the performance of local bureaucracy on transportation services is affected by the dynamical relationship of three sub systems, i.e. demography, urbanization, and transportation services. The main elements or leverage point in those system are immigration, development equalization, the growth of private transportation mode, and social behavior. The study result shows that the performance of local bureaucracy is still positively moved, although with a weak performance. The weak performance of local bureaucracy is not only determined by the internal factor of that local bureaucracy itself, such as the weak ability of human resources, the weak coordination with and within local bureaucracy with various staff in Regency and City of Bogor; but also by external factor, such as the growing population, the limited street for street development, and the social factor on transportation services, e.g. the discipline of drivers and manager of public transportation, the culture of sidewalk trader and market management and etc. These should answer the first study question that dynamic system of the relationship of affecting factor on forming the performance of local bureaucracy is related, interacted and affecting each other either positively or negatively. While the answer of the second question of this study is that the policy of local bureaucracy is the best way to overcome the traffic jam, i.e. by preventing urbanization, distributing development including changing the village into city, so that the citizen does not need to come to the city anymore. The suggestion for this study is implementing the 15 steps which have been proposed and simulation resulted of dynamic system of this dissertation study.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D584
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baedhowi
"ABSTRAK
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kebijakan desentralisasi pemerintahan untuk mewujudkan otonomi daerah. Dengan otonomi daerah ini diharapkan masyarakat mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik bersifat koliseptual maupun masalah faktual. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintearasi bangsa. Itulah sebabnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiunal (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonorni daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih mendalam tentang "implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota". Cakupan penelitlan ini meliputi faktor Translation ability para pelaku kebijakan, termasuk kapasitas sumberdaya manusia dan pemahamannya terhadap kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, yang diadopsi dari Teori Gerston (2002). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji prospek implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan wilayah penelitian ini adalah kabupaten Kendai dan kota Surakarta, Sawa Tengah.
Berdasarkan karakteristik tujuan penelitian yang ingin dicapai maka pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif/naturalistik karena peneliti menghendaki kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus yang alamiah. Dengan mengguilakan metode kualitatif maka informasi yang didapat lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya. Dengan metode kualitatif, dapat pula ditemukan informasi yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, sikap mental, dan budaya yang dianut dari seseorang maupun kelompok orang.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pe.rtama, dilihat dari perspektif policy initiation, proses pengambilan keputusan tidak ditentukan secara obyektif oleh analisis kebutuhan (need analysis) dalam pemecahan masalah publik tetapi lebih ditentukan oleh itemst para aktor penentu kebijakan daerah yang jangkauannya lebih berjangka pendek. Proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cenderung berakibat pada kurang relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik, aktor utama Bupati/Walikota dan Komisi E DPRD, jauh lebih dominan dan saling mempengaruhi dalam penetapan kebijakan, dibanding aktor pelaksana kebijakan yaitu Dinas Pendidikan. Dalam penetapan dan implementasi kebijakan, publik belum dilibatkan dan diberdayakan, serta belum dimobilisasi secara signifikan.
Kedua, Kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dipandang dari konsep "translation ability' belum cukup efektif dalam pengelolaan pelayanan pendidikan di daerah masing-masing. Para pegawai Dinas Pendidikan memiliki rata-rata latar belakang pendidikan yang cukup tinggi dan latar belakang pekerjaan yang cukup relevan namun posisi tawar (bargaining position) dari Dinas Pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya, yaitu Bupati/Walikota dan DPRD. Sebaliknya, aktor utama (Bupati/Walikota dan DPRD) yang memiliki posisi tawar lebih tinggi cenderung memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan latar belakang pekerjaan yang kurang relevan. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan adanya imbalance structure dalam proses interaksi antar-aktor dalam implementasi kebijakan pendidikan. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam penentuan maupun dalam implementasi kebijakan cenderung kurang berkualitas, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna kebijakan di bidang pendidikan.
Ketiga, Organisasi dan manajemen sebagai support system belum dapat memberikan fasilitas terhadap berjalannya implementasi kebijakan pendidikan kepada masyarakat. Aparatur Dinas Pendidikan sebagai pelaksana kebijakan cenderung lebih berfungsi sebagai sub-ordinasi dari aktor-aktor penentu kebijakan daripada sebagai mitra sejajar yang tugasnya melaksanakan berbagai inovasi dalam pelayanan pendidikan agar semakin berkualitas. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara kebijakan publik, aparatur pendidikan cenderung kurang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (demand driven) tetapi lebih berorientasi secara politis pada kepentingan kepala pemerintahan. Perbedaan nomenklatur nama Dinas dan struktur organisasi menimbulkan kesulitan dalam koordinasi antar kabupaten/kota, dengan pemerintah propinsi, serta pemerintah pusat, terutama dalam pelaksanaan program pengembangan kapasitas institusi.
Keempat, Penyediaan anggaran untuk implementasi kebijakan pendidikan dan jenis-jenis programnya bervariasi antara kedua daerah otonom tersebut. Pemerintah Kendal mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih besar dibanding anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah Surakarta. Jika dilihat pemanfaatannya, masih cenderung mengalokasikan anggaran pendidikan untuk program-program fisik. Temuan sejalan dengan temuan Paqueo dan Lammert yang mengkaji pengalaman beberapa negara dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah. Kajian Paqueo dan Lammert menemukan indikator yang menunjukkan adanya kecenderungan para politisi lokal (penentu kebijakan) menggunakan dana untuk membiayai kegiatan - kegiatan fisik, dan program yang cepat dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek.
Kelima, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi implementasi kebijakan pendidikan baik di kabupaten Kendal maupun kota Surakarta secara minimal terpenuhi tetapi tidak didukung dengan biaya perawatan yang memadai. Penelitian ini juga mengindikasikan adanya kecenderungan yang konsisten dan menarik di kedua daerah tersebut, bahwa pengajuan anggaran pengadaan sarana dan prasarana baru lebih murah daripada pengajuan anggaran untuk perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana yarg sudah ada.
Keenam, Indonesia sebagai negara yang memiliki cakupan wilayah yang luas, menerapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu pertimbangan mendasar adalah bahwa tidak mungkin pemerintah mengurus pemerintahan sendiri tanpa membagi kewenangan, dan sekaligus tanggung jawab dengan pemerintah daerah, juga dengan masyarakat sebagai pengguna kebijakan.
Hasil penelitian juga memberikan beberapa saran cebagai berikut:
Bagi Pemerintah; Pertama untuk menghindari kekeliruan dalam penafsiran kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, perlu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah; Kedua, untuk mengurangi "beban" pemerintah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan otonomi daerah bidang pendidikan, perlu dilakukan peninjauan kembali kewenangan dan tanggung jawab bidang pendidikan yang diberikan kepada kabupaten/ kota, sesuai dengan translation ability dan kapasitas yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Salah satu kewenangan kabupaten/kota yang perlu dipertimbangkan kembali adalah kewenangan yang terkait dengan rekrutmen guru.
Bagi Pemerintah kabupaten/kota. Pertama agar implementasi kebijakan otonomi daerah lebih efektif, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; Kedua, agar implementasi kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah perlu memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang relevan dengan bidang pendidikan, dalam pengangkatan atau pengisian jabatan masing-masing aktor kebijakan di daerah; Ketiga, untuk mempercepat implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan pemerintah daerah perlu memiliki program-program aksi, antara lain: peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, peningkatan translation ability, penataan struktur organisasi dan manajemen, dan peningkatan anggaran pendidikan.
Bagi peneliti. Peneliti perlu melakukan kajian dan uji cobs lebih lanjut dengan menggunakan alternatif pendekatan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan untuk memperhatikan beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi implementasi otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota, yaitu: (1) politik, (2) translation ability, (3) Komitmen, (4) Kompetensi dan kapasitas sumberdaya manusia, (5) organisasi dan manajemen, (6) dana penunjang, (7) sarana dan prasarana, (8) Budaya dan karakterstik masyarakat, dan (9) kepastian hukum dan undang-undang yang menjadi dasar implementasi. Temuan penelitian ini mendukung pendapat Gerston mengenai faktor - faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan publik. Namun, ada beberapa faktor potensial lainnya yang direkomendasikan penelitian ini untuk dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan.

ABSTRACT
The Indonesian Government has adopted the decentralization and local autonomy policy to provide community with better, prompt, and accountable services in public sectors, including education. The implementation of the local autonomy policy in Indonesia still faces a number of conceptual and factual problems. If the problems are not resolved promptly, it may possibly lead to negative impacts such as disintegration of the nation. Therefore, the government, through the Law No. 20/2003 about the National Education System, dearly and explicitly supports the policy of local autonomy in education subject to the relevance to the system of national education within the framework of the Indonesian Government.
This research dims at investigating thoroughly the implementation of autonomy policy in education at the district/city. It encompasses the translation ability of the policy actors that includes the capacity of human resources and their understanding towards local autonomy policy in education, management and organization, financial support for education, and educational access and facilities, as adopted and modified from Gerston's theory (2002). This research is also aimed at investigating the future prospect of the implementation of the local autonomy policy in education at the district/city level. At this point, the district of Kendal and the city of Surakarta, Central Java, were selected to be places for eliciting the data of this research.
According to the characteristics of the research purposes, this research applied the qualitative/naturalistic approach as the researcher focused on the intended phenomena and events that occurred naturally. Using this qualitative approach, the data elicited are more sufficient, detail, and reliable. In addition, using this approach enabled the researcher to obtain required information dealing with the feelings, norms, values, beliefs, habits, mental attitudes, and culture of an individual as well as a group of certain community.
This research results a number of points. First, from the point of view of policy implementation, the process of decision making to resolve public - related problems was not carried out objectively based on the need analysis, but decided based more on the political interest of the policy actors with short - term considerations. Such a decision making process resulted irrelevant educational policy with the actual needs of the public. Moreover, such a decision making process tended to create problem during the implementation. In the decision making process, public as the policy targets or users, have not been empowered and mobilised significantly.
Second, from the translation ability point of view, the capacity of the local government officials at the district/city in managing education services has not been effective. Despite the fact that most officials of the District Office of Education have highly sufficient formal education background and relevant previous working experience, their bargaining position was lower compared to the one possessed by the other policy actors i.e., Bupati/Walikota and Commission in charge of education (Komisi E) of the Local House of Representative. On the other hand, Bupati/Walikota, the main actor that has higher political bargaining position tended to have lower formal education background and irrelevant previous working experience. This condition leads to an imbalanced structure of interaction among the policy actors in the implementation of education policy. Consequently, the decisions taken and the implementation results of the decisions were likely to be unqualified. In such a condition, public as the policy target/users would have not be able to take any advantage from the policy that have been decided.
Third, the organization and management has not been able to provide facilities that support the implementation of the education policy. The officials of the District Office of Education (Dinas pendidikan) as the policy implementers tended to function as sub-ordinates of the other policy makers rather than to put into an equal position as the companion of the other policy actors in carrying out necessary innovation and improving the quality of education services. In doing their function as the policy implementers, the officials of the District Office of Education were likely not to focus on the public needs (demand driven) but to the political interest of the Bupati/Walikota. The nomenclature and organizational structure differences caused some difficulties in handling coordination among districts/cities, between local government and provincial government, and between local government and the central government, especially in the development of the institutional capacity.
Fourth, the allocations of funding to support the education policy implementation and the types or educational programs are varied from the district of Kendal to the city of Surakarta. The district government of Kendal allocated more: ending than the city government of Surakarta. Seeing from the utilization, both local governments utilized the allocated funding ter supporting physical programs. This in line with the results of the research conducted by Paqueo and Lammert who investigated the experience of several countries in implementing the local autonomy policy.
Fifth, the availability of the educational access and facilities in both in Kendal and Surakarta may be said to be minimally sufficient, but no financial support provided fog maintenance. The results of the research also indicated that proposing financial budget for providing/buying new access and facilities was easier than proposing budget for the maintenance of the existing facilities.
Sixth, Indonesia as a big country needs to implement the local autonomy policy. One of most prominent reasons is that it is impossible for the central government to manage all governance matters without sharing/delegating authority and responsibility with the local governments and community.
This research also recommends a number of things as follows:
For the central government First, to avoid of being interpreted incorrectly, the Laws and Regulations related to the decentralization and local autonomy policy should be periodically revised and improved. Second, to reduce the "burden" of the local government in implementing the local autonomy policy in education, the central government needs to revise and reconsider the authority and responsibility dealing with education delegated to the local government based on the translation ability and capacity of the local government. One of the local government authorities that need to be reconsidered is teacher recruitment.
For Local Government. First, to make the implementation of the local autonomy policy more effective, the local government needs to empower and provide an opportunity to the public to take part in the decision making process. Second, to make the implementation of the focal autonomy policy more efficient, the local government needs to consider the education background and previous working experience in recruiting and promoting the policy actors/makers. Third, to accelerate the implementation of the local autonomy policy in education, the local government needs to design action programs, such as improving human resource capacity, improving the translation ability of the policy makers, reforming the organizational structure and management, and improving budget allocated for education.
For researchers, Researchers and those whose work related to the implementation of the local autonomy policy in education need to carry out further research and try - out on the implementation of the local autonomy in education using alternative approaches appropriate to the local characteristics and condition. This research recommends a dumber factors that may potentially influence the implementation of the local autonomy policy in education, i.e., (1) politics, (2) translation ability, (3) commitment, (4) competency and capacity of human resources, (5) organization and management, (6) supporting budget, (7) access and facilities, (8) culture and characteristics of the community, and (9) reliable Laws and Regulations used as a basis of the implementation. The results of this research support Gerston's theory of factors in the public policy implementation. However, this research also recommends some factors which are not exist in Gerston's theory to be taken into consideration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D588
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kadjatmiko
"ABSTRACT
Each organization, regardless. the size, let alone the big one such as the organization of kabupaten and kota governments ln Indonesia unavoidably needs bureaucracy. Study of kabupaten or kota government is inseparable from the study of bureaucracy. The behaviour oft he bureaucracy as one of tire perspectives of the study of bureaucracy is not independent, but attributable to and affected by other factors, in particular leadership, organizational structure, and learning organization. This research is based on the fact that public service within kabupaten and kota governments has not demonstrated professional bureaucratic behaviour.
The rstructuring of the organization of kabupaten and kota governments in many cases in fact makes the organization inefficient and triggers resistance by working units that feel that their authorities have been taken over. The research tries to address die organizational problem of the kabupaten and kota governments from the point of view of organizational behaviour and other relevant factors. Starting from the said issue, the research is aimed at discovering the behaviour, the leadership, organizational structure and learning organization of the bureaucracy of kabupaten and kota governments; testing and analyzing the significance of the effect of leadership, organizational structure, and learning organization on the behaviour of bureaucracy of kabupaten and kota governments; describing the model of the effect of leadership organizational structure, and learning organization on the behaviour of bureaucracy of kabupaten and kota governments.

ABSTRAK
Setiap organisasi, sekecil apa pun, apalagi yang besar seperti organisasi pemda kabupaten dan kota di Indonesia, pasti memerlukan birokrasi. Kajian tentang organisasi pemda tidak dapat dilepaskan dari kajian tentang birokrasi. Perilaku birokrasi sebagai salah satu perspektif kajian tentang birokrasi tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor lain, khususnya kepemimpinan, budaya organisasi, dan organisasi pembelajaran. Permasalahan penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa pelayanan publik dalam konteks pemda belum berjalan dalam koridor perilaku birokrasi yang profesional.
Restrukturisasi organisasi pemda - dalam banyak kasus - justru membengkakkan organisasi dan memunculkan resistensi unit kerja yang merasa kewenangannya diambil alih. Penelitian ini berusaha membedah permasalahan organisasi pemda tersebut dari kacamata perilaku birokrasi dan faktor yang mempengaruhi. Dengan bertitik tolak pada perasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui perilaku blrokrasi pemda; mengetahui kepemimpinan, budaya organisasi, dan organisasi pembelajaran dalam birokuasi pemda; menguji dan menganalisis signifikansi pengaruh kepemimpinan, budaya organisasl, dan organisasi pembelajaran berhadap perilaku birokrasi pemda; mendeskripsikan model pengaruh kepemimpinan, budaya organisasi, dan organisasi pembelajaran terhadap perilaku birokrasi pemda.
"
2005
D809
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Supriyono
"Local Govemment Institution Development has continuously been performed in line with the changes of decentralization policy. A basic question interesting to study is ?Can institution development which has continuously been performed created tl1e ability of local government institution to carry out government autonomy regions? This question is relevant to propose knowing that there have still been complex problems for an institution ability to cany out local government.
Realizing that the complex problems, his research is aimed to describe and analyze the ability of local govemment institution in carrying out the provision of urban infrastructures based on three dimensions of institutional development. Firstly, the effectiveness of local government institution in carrying out the functions of planning and performing. Secondly, the direction changes of local government institution in response to decentralization policy. Thirdly, institutionalizations process in local government institution. The other aim of this research is constructing models of the systems of local government institution to solve the three problems mentioned above.
Based on the above aims, approaches of qualitative and system thinking are used to carry out this research. The usage of qualitative approach was needed to examine the capability of local government institution in implementing the function of providing urban infrastructures through understanding of understanding process, while the system approach was used to analyze the relationship among the phenomenon systemically and as an effort to solve the institution development problems which was also faced systemically. The system approach used is Sof? System Methodology (SSM). The working principles of this methodology are examining phenomenon in the real world based on understanding of understanding to the phenomenon and then building a system model of solving problems through learning process based on the Same of system thinking.
Referring to the analysis results and their relevance to the research aims, some conclusions could be drawn. Firstly, the development of the structure and function of local government institution in Malang Regency in implementing the function of providing urban infrastructures shows that there are local institutions having double Emotion and post. It is indicated by the existance of conflict configuration in implementing those two functions. Secondly, based on some standardization indicators of either planning process or working implementation, local govemment institution in implementing the limction of providing urban infrastructures proves ineffective.
Thirdly, in giving response to decentralization policy local government tends to choose dynamic conservatism strategy and the model of local government performed by Malang Regency is traditional bureaucratic authority model. Fourthly, institutionalization within local government institution either in the institutional level or in the perspectives of inter-actor relationship in implementing the function of providing urban infrastructures is not yet optimal. Fiithly, based on using soft system analyses, it can be constructed four models of development systems of local government institution oriented on solving problems. The four models are: the effectivity system models of local government institution in performing the function of planning and of implementing, the direction system model of local government changes, and the institutionalization system model within local govemment institution.
This research gives tive recommendations. Firstly, the development of local government institution to increase the quality of urban infrastructure provision should be based on definite standardization conforming to the authority and function implemented by local institutions. The usage of the standardization should be directed to the efforts of overcoming the conflict happens in the unit of local government institution in carrying out its function. Secondly, local government institution should, in implementing the function of urban structure provision, involve private and commtmity participation. The institution involvement refers to the implementation of local government using either community enabling authority or marker enabling authority model, its implementation should be conformed with the social structure of local community. Thirdly, government institution needs to increase its institutionalization process in carrying out the function of urban infrastructure provision by building shared value in terms of bringing the balance between high and low formalization, independence and interdependence, and also the transformation balance between top-down and bottom-up actor behavior. Fourthly, local government institution needs to construct local government institution model system to implement the function of urban infrastructure provision along with monitor and control subsystem whose function is to control the function. The monitor and control subsystem should be formulated by stakeholders using clear performance measurement and its implementation is performed by an institution having an authority in its field."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D804
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Patar
"Efektivltas merupakan tema sentral dalam semua pekerjaan pakar dan peneliti yang melakukan kajian tentang organisasi. Signifikansi dan relevansi efektivitas dijadikan sebagai variabel pengukuran kinerja organisasi didasarkan pada pendapat pakar dan hasil penelitian bahwa efektivitas reIevan dijadikan sebagai ukuran kinerja. Efektivitas organisasi saling berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor organisasional. Ada dua permasalahan yang mengacaukan pemahaman tentang efektifitas organisasi, yakni sifat konstruk efektivitas organisasi yang tidak pernah dibicarakan secara tuntas dan adanya perbedaan penggunaan istilah efektivitas oleh praktisi dan teoritisi. Pada Sekretariat Negara RI, gejala inefektivitas dipicu oleh perubahan Struktur organisasi dan pergantian kepemimpinan yang menerapkan budaya kerja tertentu. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas organisasi dengan menggunakan model nilai yang bersaing dilihat dan pengaruh struktur organisasi, kepemimpinan, dan budaya organisasi.
Studi ini menganut paradigma positivisme dengan struktur logika deduktif dan menggunakan pendekatan eksplanatif. Unit analisisnya ialah kegiatan pegawai dilihat dari pendekatan nilai yang bersaing bagi efektivitas organisasi. Populasi penelitian ini meliputi pegawai Golongan II, III, IV sebanyak 2058, dengan jumlah sampel yang ditarik secara stratified proportional random sebanyak 203 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan teknik angket. Setiap item pertanyaan dilengkapi lima opsi jawaban. Data dianalisis dengan SEM menggunakan LISREL.
Hasil penelitian dan implikasinya ialah kedelapan indikator nilai yang bersaing bagi efektivitas organisasi pada Sekretariat Negara meneguhkan pemahaman bahwa efektivitas merupakan dimensi pengukuran kinerja. Ini sesuai dengan realitas bahwa organisasi yang dinamis selalu menetapkan tujuannya melalui pengembangan SDM, fleksibilitas, pengelolaan informasi, stabilitas, akuisisi sumber daya, produktivitas, kohesi, dan perencanaan. Selanjutnya, hasil analisis faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas organisasi adalah kepemimpinan pengembangan, budaya organisasi, dan struktur organisasi. Kepemimpinan pengembangan diwakili oleh empat fokus orientasi yaitu: kinerja pelaksanaan tugas, organisasi, pekerja, dan intrinsik. Budaya organisasi diwakili oleh hakekat hubungan antara manusia, hakekat ruang, hakekat kegiatan manusia, hakekat waktu, hakekat sifat manusia, keterkaitan Iingkungan organisasi, dan hakekat realitan dan kebenaran. Struktur organisasi diwakili oleh aspek standardisasi, formalisasi, spesialisasi, hiraki, profesionalisme, dan sentralisasi. Hasil modifikasi indeks dengan nilai signifikansi 0.99990 memberikan makna tidak ada perbedaan yang berarli antara matriks kovarian model teoritik dengan matriks kovarlan data. Kesesuaian model yang dihasilkan menguatkan pemahaman awal bahwa setiap organisasi yang hidup, berkembang, dan mengikuti dinamika perubahan Iingkungan memerlukan sesuatu yang imperatif berupa tujuan yang akan dicapai melalui berbagai cara. Ketiga faktor organisasi yang berpengaruh terhadap efektivilas organisasi menunjukkan "persaingannya" dilihat dari bobot nilai signifikansinya. Artinya, secara terintegrasi tergambar bahwa budaya organisasi lebih kuat pengaruhnya daripada kepemimpinan pengembangan dan struktur organisasi terhadap efektivitas organisasi. Efektivitas organisasi dalam koridor model nilai yang bersaing yang dlwakili oleh delapan indikator divisualkan ke dalam kurva Iaba-laba (radar) untuk menunjukkan tingkat kontribusinya.
Relevansli dan signifikansi kontribusi kedelapan indikator efektivitas organisasi menguatkan dandangan pakar mengenai model nilai bersaing sebagai salah satu dari enam model efektivitas organisasi, selain model tujuan rasional, model sistem terbuka, model proses internal, model inefektivitas, dan model hubungan manusia. Prinsip dan fokus orientasi kepemimpinan pengembangan dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap kekuatan pengaruh pimpinan dalam mengkoordinasikan dan menyamakan visi dan misi pegawai selaku keluarga besar Sekretariat Negara. Kekuatan pengaruh pimpinan ini meminimalisasi dan menetralisasi permasalahan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab antar individu dan antar unit kerja. Pemahaman dan aplikasi nilai-nilai budaya organisasi dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap minimalisasi pemasalahan dalam hubungan kerja dan pelaksanaan tugas pegawai, karena salah satu asumsli dasar budaya organisasi adalah pemahaman dan aplikasi hakekat hubungan antar manusia. Selain itu, menguatkan pendapat Schein bahwa budaya organisasi berfungsi melakukan integrasi internal dan adaptasi eksternal. Dengan demikian, semangat integrasi dan kolaborasi yang dibangun oleh pegawai selama berlahun-tahun selain menjadi perekat yang mengikat kebersamaannya, juga sekaligus dapat mencegah dan mengeliminasi permasalahan dalam hubungan kerja dan pelaksanaan tugasnya.
Struktur organisasi Sekretariat Negara yang lebih berciri mekanistik daripada berciri organik dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap dinamika dan efektivitas organisasi. Dinamika kegiatan pegawai yang diwadahi oleh struktur organisasi ini mengeliminasi permasalahan koordinasi, pembagian tugas, dan rentang kendali. Kenyataan ini didukung oleh pendapat Mintzberg mengenai dua elemen dasar struktur organisasi yang menjadikan organisasi efektif yakni pembagian tugas dan koordinasi kegiatannya.
Berdsarkan realitas (anti tesis) dan pandangan pakar (tesis) diperoleh sintesis pemikiran (hasil uji konnrmalif) mengenai keefektifan dan kedinamisan kegiatan pegawai pada Sekretariat Negara yang diarahkan oleh kepemimpinan pengembangan berbasis nilai budaya birokrasi publik dalam struktur organisasi yang cenderung lebih berciri mekanistik daripada berciri organik. Dengan demikian, keefektifan organisasi (birokrasi) publik dapat dipotret berdasarkan kedelapan indikator dalam model nilai yang bersaing yang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan pengembangan, budaya organisasi, dan struktur organisasi.
Saran penelitian, untuk menghindari timbulnya permasalahan organisasi yang dipicu oleh Peraluran Presiden Nomor 31 Tahun 2005, perlu diperjelas kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab Menteri Skretaris Negara berdasarkan pembagian tugas dan rentang kendali yang diemban, dengan menetapkan ?fungsi koordinasi? Menteri Sekretaris Negara menjadi ?fungsi pengaturan?, sehingga kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab, Serta pembagian tugas dan rentang kendali Menteri Sekretaris Negara semakin jelas dan kuat dalam membawahi dan mengatur Rumah Tangga Kepresidenan, Sekretariat Militer, dan Sekretariat Wakil Presiden."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D807
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library