Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harsanto Nursadi
"Pengelolaan B3 dan limbah B3 dilakukan oleh instausi yang bertanggung jawab , yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup. Instansi ini membentuk norma hukum urnum-kongkret berupa Peraturan Menteri Negara yang merupakan kewenangan atribusi dari UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meneg LH juga membentuk norma hukum individual-kongkret berupa perizinan-perizinan yang berkaitan dengan B3 dan limbah B3. Instansi sektoral berwenang membentuk norma hukum umum kongkret berupa kewenangan , misalnya Undang-undang tentang Perindusirian, tentang Kesehatan, tentang Pertambangan atau Mineral dan Batubara, tentang Tenaga Kerja, tentang Tenaga Atom/Nuklir, tentang Lalu Lintas Jalan. Kewenangan tersebut diwujudkan dalam pembentukan norma hukum Peraturan Menteri mengenai hal-hal tenentu, misalnya Peraturan Menteri Perindustrian tenumg Impor Bahan Berbahan Beracun. Instansi sektoral tersebut juga melakukan pengurusan dalam bentuk pembuatan norma hukum individual-kongkret berupa perizinan yang berkaitan dengan lingkungan seperti Izin Impor B3; Izin Penggunaan B3 untuk Industri, Pertambangan, Kesehatan; Izin Pengangkutan B3 dan limbah B3. Perizinan yang dikeluarkan oleh instasni sektoral memerlukan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab, karena instansi yang bertanggung jawab memang bertugas untuk menjaga dampak dari B3 dan limbah B3, sedangkan instansi yang berwenang lebih kepada perizinan dalam hal kegiatan di bidang masing-masing. Hasil penelitian nommatif menunjukkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab kepada masyarakatnya dalam hal perlindungan lingkungan. Bentuk pertanggtuxgiawaban dari Daerah tersebut adalah melakukan pengaturan dan pengurusan terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Daerah membuat nonna hukum abstrak-umum dalam bentuk Peraturan Daerah bagi objek-objek tenentu yang langsung mengatur atau hanya berkaitan dengan lingkungan.Contoh Perda yang langsimg mengatur objek lingkungan, adalah Perda tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaiian Pencemaran Air; tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan; tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis; tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi; tentang Pengelolaan Hutan; tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah; dan Perda tentang Izin Hinder Ordommxie (Izin HO). Contoh Peraturan Daerah yang ?l1anya? berkaitan dengan pengaturan linglcungan diantaranya adalah Perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah (salu di antaranya adalah pembentukan Badan Lingkungan Hidup Daerah) termasuk pembentukan Dinas-dinas Daerah tentang Pengelolaan Panas Bumi; tentang Irigasi; tentang Ketertiban Umum; tentang Pajak dan/atau Retribusi Daerah yang berkaitan dengan lingkungan; tentang Perikanan dan Usaha Kelautan; tentang RPJMD; teniang RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota; tentang Pemberian izin yang berkaitan dengan lingkungan. Perda-perda tersebut disebut berkaitan, karena yang diatur sebenarnya adalah objek yang lain, tetapi dekatfberkaitan dengan lingkungan. Daerah juga mengeluarkan norma hukum yang umum-konkret, berupa Peraturan Kepala Daerah tentang hal tertentu, rnisalnya tentang Baku Mutu Lingkungan di Jawa Timur. Nomm hukum yang individual-kongkret mempakan bentuk perwujudan kewenangan dan tanggung jawab daerah yang paling banyak, yaitu keluamya perizinan yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Pengaturan dan pengurusan mengenai B3 dan limbah B3 kemudian didesentralisasikan ke Daerah berdasarkan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Umsan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khusus pada lampiran mengenai bidang Lingkungan Hidup. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan tersebut tergannmg pada Iuas daerah, lingkup Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Kabupatenfliota, sedangkan bila urusan pemerintahan sub-sub bidang B3 dan limbah B3 tersebut lintas Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Provinsi. Meskipun Daerah hanya memiliki kewenangan yang terbatas , tetapi Daerah tetap dapat melindungi daerahnya dalam bentuk pcngatumn dan pengurusan yang tidak langsung pada objek B3 dan Iimbah B3. Misalnya pengaturan lokasi khusus industri (yang mungkin menggunakan, menghasilkan dan mengolah limbah B3) dalam Perda tentang RTRW, pengaturan mengenai pengangkutan lintas batas daerah Provinsi-Kabupaten-Kota dengan tidak membebani retribusi tetapi pengaturan pengangkutannya, pengaturan bersama mengenai kemungkinan menyebar/mengalimya limbah B3 dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi atau bahkan amar provinsi. Selain itu, Daerah juga dapat melakukan pengurusan terhadap B3 dan limbah B3 yang menjadi kewenangannya dalam bentuk pengendalian perlzinan. Beberapa hal mengenai B3 dan lirnbah B3 saat ini sudah menjadi kewenangan Daerah, dan hal tersebut dilaksanakan dengan ketat dan konsekugn. Seperti misalnya, Daerah dapat menolak suatu lokasi Industri yang tidak sesuai dengan RTRW yang sudah ditetapkan, atau menolak berdasarkan tingkat bahaya dari indusrri B3 dan limbah B3 yang akan ditempatkan didaerahnya. Pada sisi lain, diluar kewenangan yang dimilild oleh Daerah yang berasal dari kewenangan atributif undang-lmdang, Daerah juga dapat memiliki pertimbangan dalam hal pengaturan dan pengurusan B3 dan limbah B3 dari sumber lain. Sumber lain yang dimaksud adalah prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Prinsip-prinsip tersebut memang tidak mengikat secara langsung subyek hukum Daerah, karena Daerah bukan merupakan subyek hukum intemasional, tetapi prinsip-prinsipnya dapat dijadikan rujukan dalam hal pembentukan norma hukum di Daerah.

The responsibility for hazardous substance and hazardous waste management lies with the State Minister of Environment. In this regard, the Minister has an attributive authority, being an authority directly attributed by the Indonesian Environmental Management Act, to establish general-concrete legal norms, in the form of ministerial regulations. In addition to establishing these norms, the Minister has also an authority to issue individual-concrete legal norms in the fomis of various licenses related to hazardous substances and hazardous wastes. In addition to the Minister of Environment, other sectoral departments or agencies also share responsibility in managing hazardous substances and wastes. These departments or agencies have the responsibility to create general-concrete legal norms based on various sectoral acts, such as industrial, public health, mineral and coal, labour, nuclear energy, and road traffic acts. Although not focusing on environmental management, these sectoral acts may to some extent still be applicable to hazardous substance and waste management Hence, one could find various regulations issued by sectoral departments or agencies, which regulate hazardous substance and waste management within their relevant sector. One example of this type of sectoral regulation is the regulation of Minister of Industry concerning the Importation of Hazardous Substances. The sectoral departments or agencies have also the authority to create individual-concrete legal norms in form of various licenses, such as the license to import hazardous substances, the license to use hazardous substances in industry, mining, and public health sectors, and the license of hazardous substance and waste transportation. When issuing sectoral licenses, departments or agencies should base their decisions on the recommendation given by the Minister of Environment as the authority responsible for controlling the impacts of hazardous substances and wastes. Regional government has also responsibility and authority in environmental management. For this, autonomous local government may create general-abstract legal norms in the form of bylaws that directly or indirectly regulate environmental protection. Examples of environmental bylaws are bylaws concerning water quality management and water pollution control, bylaws concerning the utilization of surface water, bylaws concerning forest and critical land rehabilitation, bylaws concerning control on production forest, bylaws concerning forest management, bylaws concerning underground water, and bylaws concerning nuisance license (license derived from Hinder Ordonanrie -the nuisance ordinance). Meanwhile, examples of bylaws that indirectly relate to environmental management are bylaws on organization and management of regional agencies, including provincial and district agency for the environment, bylaws on geothermal energy, bylaws on public order, bylaws on regional environmental taxes and charges, bylaw on fisheries, bylaws concerning regional development planning, bylaws conceming regional spatial planning, bylaws on licenses or authorization related to the environment. Local Regional government has also the authority to create general-concrete legal norms, in the form of govemor or regent/mayor regulation related to certain environmental issues, such as environmental quality standards. Local government has also the authority to create individual~concrete legal norms in the form of various licenses that directly correspond to environmental management. The latter authority appears to be the most frequently exercised authority at the local level. According to Government Regulation No. 38 of 2007 concerning the Distribution of Government Affairs among Central Government, Province, and District government (in particular in its annex on environmental management), the responsibility and authority for hazardous substance and waste management are decentralized to local govemrnent. Decentralization of hazardous substance or waste management to regions applies only to the extent that [its impacts of] are confined to each region. If the scope of management of the substance or waste is considered to be limited to one district, it will become the responsibility and authority of the respective district. If the scope of management of the substance or waste is considered a cross-district issue, it will become the authority of the provincial government in which those districts are located. Although local government has a rather limited authority in regulating and managing hazardous substances and waste, it may nevertheless Provide protection by enacting bylaws which are not directly intended to regulate the substances and wastes. For example, the regional govemment has certainly the authority, in their spatial planning, to designate certain areas for industry that uses, produces, or treats hazardous Wastes. They could also enact bylaws that specify how hazardous substances and wastes are to be properly and safely transported. In another example, a group of regional governments might form a joint bylaw concerning the possibility of hazardous wastes to spread or flow trom one district to others within one province or even to districts in other provinces. Furthermore, regional government may play a role in the management of hazardous substances and wastes by excersing its control over various licenses. Several aspects in the management of hazardous substances and wastes have indeed become the authority of local govemment. For example, regional government may retiise a proposal for an industrial use that it considers not in compliance with the previously determined regional spatial planning; or it may also refuse the proposal based on the magnitude of harms likely to result from the proposed industry. In addition to various attributive authorities, regional government may also resort to other sources of authority when it intends to play a role in the management of hazardous substances and wastes. These sources are intemational environmental principles. Although not directly binding for local government, since it is not part of multinational environmental agreements, these principles could nevertheless be used as references forthe formulation of legal norms at the local level."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D988
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdyaningsih
"Perkembangan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan perbankan di Indonesia ditandaidengan meningkatnya jumlah perbankan syariah atau unit usaha syariah. Penyelesaiansengketa pada perbankan syariah di Indonesia dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, salahsatunya adalah mediasi. Mediasi sebagai alternatif bagi pelaku usaha untuk menyelesaikansengketa dengan waktu dan biaya yang efisien, dan sebagai jalan keluar dari keterbatasanpengadilan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun dalam pelaksanaannya,mediasi belum menjadi pilihan utama dalam penyelesaian sengketa. Mengingat Indonesiasebagai negara dengan mayoritas muslim yang menjunjung prinsip musyawarah dansemangat sejalan dengan perbankan syariah yang membutuhkan proses penyelesaiansengketa melalui mediasi. Pokok permasalahan penelitian ini adalah: landasan pemikiran dankonsep alternatif penyelesaian sengketa menurut hukum Islam dan peraturan di Indonesia; islah sebagai upaya penyelesaian sengketa untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia dibidang muamalah; mediasi untuk mewujudkan islah dalam penyelesaian sengketa pada padabank syariah; dan pengaturan pelaksanaan mediasi pada Bank Syariah agar dapatdilaksanakan sesuai dengan prinsip kemaslahatan. Penelitian ini menggunakan metodeanalisis normatif dengan menggunakan teori maslahah, teori musyawarah dan teori positivasihukum Islam di Indonesia. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa APS menurutsyariah dan mediasi di Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan mendasar. Proses islahharus mengacu pada prinsip syariah. Penyelesaian sengketa melalui islah menggunakanpendekatan musyawarah yang telah biasa dilakukan dan menjadi prinsip kehidupanmasyarakat di Indonesia. Pendekatan ini dapat diterapkan pada sengketa di bank Syariah.Penyelesaian sengketa perbankan syariah harus sesuai dengan landasan operasionalperbankan syariah yaitu kerjasama dan kemitraan. Oleh karena itu prinsip dasar mediasi padaBank Syariah di LAPSPI dan Pengadilan Agama mengacu pada prinsip mediasi padaumumnya, dengan menerapkan maslahahpada pelaksanaannya, yang memiliki konsepsengketa yang lebih luas, adanya peran mediator yang lebih fleksibel dan harus memahamiprinsip islah serta kesepakatan perdamaian yang berdasarkan prinsip syariah. Untuk itupositivisasi hukum Islam dalam proses penyelesaian sengketa pada perbankan syariah perludidukung oleh pemerintah, pelaku usaha, dan mediator untuk mencapai kemaslahatan umat.

The development of sharia principles in banking business in Indonesia is marked by theincreasing number of sharia banks or sharia business units. Dispute settlement in shariabanking in Indonesia takes many forms, one of which is mediation. Mediation can be analternative for business actors to resolve disputes which is time and cost efficient and a wayout of many limitations of courts in settling sharia banking disputes. But in itsimplementation, mediation has not been a primary choice in dispute settlement. Given thatIndonesia is a country with a majority Muslim population that upholds the principle of mutualconsensus musyarawah and islah spirit is in line with sharia banking that requires disputeresolution process through mediation. The subject matter of this research are: the groundideas and alternative concepts of dispute resolution according to Islamic law and regulationsin Indonesia; islah as a dispute settlement effort able to accommodate the best interest forpeople in the field of muamalah; mediation can realize islah in sharia banking disputesettlement; the arrangement of mediation implementation in sharia banks to be implementedin accordance with the principle of best interest. This research uses normative analysismethod by using best interest maslahah theory, mutual consensus musyawarah theory andpositivization theory of Islamic law in Indonesia. The findings of this study indicate thatalternative dispute resolution according to sharia and mediation in Indonesia has fundamentalsimilarities and differences. Islah process should be based on sharia principles. Disputesettlement via islah is undertaken through mutual consensus approach as commonlyexercised and become one of customary principles in Indonesia's society. This approach canbe applied to any disputes in sharia banking. Settlement of sharia banking disputes must bein accordance with the operational foundations of sharia banking, namely cooperation andpartnership. Therefore, the basic principles of mediation in the Islamic Bank in LAPSPI andthe Religious Courts refer to the principle of mediation in general, by applying the principlesto their implementation, which have broader dispute concepts, the role of mediators whoshould flexible and understand the principle islah as well as a sharia-compliant peaceagreement. In that case, positivization of Islamic law in the process of dispute resolution onsharia banking needs to be supported by the government, business actors, and mediators toachieve the best interest of the people.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
D2468
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library