Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Partini Pudjiastuti
Abstrak :
Latar Belakang Sarnpai saat ini batu saluran kemih (BSK) pada anak masih merupakan masalah kesehatan anak di negara yang sedang berkembang ( Aurora dkk.,1970; Remzi dkk.,1984 ). Urolitiasis atau batu saluran kemih telah dikenal sejak beberapa abad yang lampau. Ruffer (dikutip oleh Aurora dkk.,1970) melaporkan penemuan batu buli-buli di sela kerangka Predinasti Mesir; namun hingga saat kini BSK masih merupakan hal yang menarik dalam ilmu kedokteran untuk dibicarakan. Beberapa laporan dari Eropa dan Amerika yang dikutip oleh Walther dkk.(1980) menunjukkan adanya penurunan frekuensi kejadian BSK pada anak. Namun di beberapa negara Asia, penyakit ini masih bersifat endemis ( Malek, 1976; Tellaloglu dan Ander, 1984). Indonesia terletak pada kelompok negara dunia yang termasuk dalam daerah 'sabuk batu' ('stone belt'). Batu saluran kemih pada anak mempunyai frekuensi kejadian, komposisi batu dan keadaan Minis yang berbeda-beda, dari satu negara ke negara lain, dan dari masa ke masa. Bahkan di negara-negara yang penyakit ini bersifat endemis, terdapat perbedaan lokasi batu dan hubungannya dengan infeksi saluran kemih (Tellaloglu dan Ander, 1984). Penyakit ini berhubungan erat dengan faktor sosioekonomi. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dengan perbaikan status sosio-ekonomi, frekuensi kejadian BSK bagian bawah akan menurun, namun frekuensi kejadian BSK bagian atas akan meningkat (Sinno dkk., 1979). Penyakit ini juga menunjukkan adanya predisposisi dalam keluarga ( Aurora dkk.,1970; Malek,1976; Smith,1981; Noe dkk.,1983 ). Baru saluran kemih merupakan bagian yang besar dari penyebab kunjungan ke unit gawat darurat maupun perawatan bedah di rumah sakit. Bahkan bagian terbesar dari operasi urologi adalah pengangkatan batu dari saluran kemih (Remzi,1980; Asworth dan Hill, 1988). Di Jakarta, dalam kurun waktu 1979 - 1980, Rahardjo dan Firdaoessaleh (1982), menemukan 319 kasus (20,49 %) batu saluran kemih dari 1557 kasus urologi yang dirawat. Akibat yang ditimbulkan oleh batu saluran kemih ialah obstruksi, infeksi, rasa nyeri dan metaplasia, yang sangat merugikan penderita. Obstruksi dan infeksi yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal, bahkan dapat sampai ke taraf gagal ginjal. Sedang rasa nyeri yang hebat, dapat menyebabkan seorang penderita Herman dari Binjai (Sumatera Utara) pada tahun 1988, nekat mengoperasi dirinya sendiri untuk mengeluarkan batu dari dalam buli-bulinya (Tempo, 1988). Meskipun penelitian yang ekstensif telah banyak dilakukan, namun sampai sekarang etiologi dan patogenesis pembentukan BSK masih belum jelas (Aurora dkk.,1970; Remzi, 1980 ). Penyakit batu saluran kemih sebenarnya merupakan penyakit kronik. Penyelidikan faktor penyebab terjadinya BSK pada setiap kasus perlu dilakukan untuk dapat mengatur cara pencegahan kekambuhan. Oleh karena belum semua faktor pembentukan batu dapat diterangkan dengan jelas, maka pemantauan untuk mengawasi hasil operasi dan kemungkinan kekambuhan sangat penting. Namun sangat disayangkan, pada kasus-kasus BSK , usaha yang dilakukan sering kali masih dititikberatkan pada pengangkatan batu itu sendiri, sehingga meskipun pengobatan BSK mengalami kemajuan yang pesat akhir-akhir ini, tetapi usaha pencegahan kekambuhan masih merupakan tantangan bagi para peneliti (Ohkawa dan Morimoto, 1987).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainul Arifin
Abstrak :
Laktosa merupakan salah satu unsur penting sumber kalori yang terdapat dalam susu, baik itu air susu ibu (ASI), susu sapi murni maupun susu formula. Laktosa adalah disakarida yang tidak dapat diabsorpsi secara langsung oleh usus halus, tetapi harus dihidrolisis rnenjadi glukosa dan galaktosa1. Hidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa dilakukan oleh enzim laktase yang terdapat di brush border sel enterosit. Sejak 10.000 tahun yang lalu, yaitu saat manusia mulai mengkonsumsi susu atau produk susu, maka aktivitas enzim laktase pada populasi yang mengkonsumsi susu tersebut tetap tinggi sampai dewasa. Seperti yang terjadi pada populasi manusia di Eropa Utara dan Tengah, Anglo Amerika dan suku Haruki di Afrika Tengah yang secara tradisional banyak bergantung pada susu ternyata mempunyai aktivitas enzim laktase yang tetap tinggi pada masa dewasa (pencema laktosa atau lactose absorber). Sebaliknya orang Cina, Korea, Jepang, Indonesia, Indian atau Eskimo yang secara kultural tidak bergantung pada susu hewan, aktivitas enzim laktasenya rendah (bukan pencerna laktosa atau Iactose malabsorber). Hal ini diduga akibat telah terjadi mutasi genetik yang berlangsung sekitar 10.000 tahun Perhatian dunia kedokteran terhadap intoleransi laktosa mulai intensif pada tahun 60-an setelah pemahaman mengenal pencemaan dan absorpsi laktosa berkembang pesat dengan ditemukannya berbagai metoda uji toleransi atau malabsorpsi laktosa.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Sudewi
Abstrak :
Sejumlah besar penyakit pada anak memiliki manifestasi pada kulit, yang merupakan bagian tubuh terluas dan paling mudah diamat. Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai adalah timbulnya ruam kemerahan. Ruam kemerahan dapat disebabkan oleh proses setempat pada kulit, misalnya akibat penetrasi suatu mikoorganisme pada stratum korneum yang selanjutnya bermultiplikasi secara lokal, namun dapat pula merupakan bagian dari suatu penyakit yang bersifat sistemik. Lebih dari 50 infeksi virus serta beberapa infeksi bakteri dan parasit dapat menyebabkan terjadinya ruam kemerahan pada kulit seorang anak. Ruam juga dapat terjadi pada penyakit yang bukan disebabkan oleh proses infeksi, misalnya pada kasus reaksi obat. Terdapatnya ruam kemerahan, terutama yang berupa eksantema, sering menimbulkan kekhawatiran orangtua. Hal ini disebabkan karena ruam pada eksantema timbul secara serentak dalam waktu singkat dan umumnya didahului oleh demam. Dari suatu penelitian dengan 126 pasien anak yang menderita penyakit meningococcemis temyata 66 pasien dibawa berobat karena timbulnya ruam makulopapular, 41 pasien karena demam, 32 karena alergi dan hanya 5 pasien dibawa berobat karena sakit kepala dan kaki kuduk. Meskipun ruam pada beberapa penyakit dengan eksantema memiliki gambaran yang cukup spesifik, namun tidak jarang diagnosis sulit ditegakkan karena gambaran ruam yang membingungkan. Hal tersebut terjadi pada 103 pasien anak berusia di bawah 2 tahun yang secara klinis didiagnosis sebagai campak dan rubela, ternyata 88 pasien (85%) sebenarnya menderita eksantema subitum yang dibuktikan dengan basil uji serologi yang positif terhadap Human Herpesvirus-6.Identifikasi awal sera kewaspadaan bahwa suatu ruam sebenarnya merupakan bagian dari suatu penyakit sistemik sanO dahlia menentukan tata laksana selanjutnya, terutama pada penyakit berlangsung progresif. Kesalahan intepretasi ruam pada penyakit Kawasaki sebagai penyakit kulit biasa akan mengakibatkan keterlambatan dalam pemberian imunoglobulin intravena yang dapat berakhir fatal dengan terjadinya areurisma pembuluh darah koroner. Dalam praktek sehari-hari penyakit dengan eksantema seringkali dianggap sebagai penyakit kulit biasa sehingga pasien umumnya langsung dirujuk ke dokter spesialis kulit Manifestasi eksantema yang kerap membingungkan juga menambah kecenderungan dilakukannya rujukan tersebut Hal demikian sebenarnya merupakan tindakan yang kurang tepat karena penyakit dengan eksantema tidak selalu merupakan penyakit kulit yang bersifat lokal, terlebih lagi bila didahului oleh demam. Oleh karena itu seorang dokter spesialis anak seyogyanya memiliki cara pandang serta pola berpikir secara terpadu dan komprehensif agar mampu mengidentifikasi ruam yang sebenarnya merupakan bagian dan suatu penyakit sistemik.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daisy Widiastuti
Abstrak :
Kejang pada neonatus (neonatal fit) merupakan suatu tanda penyakit yang menyerang susunan saraf pusat (SSP), kelainan metabolik dan penyakit lain yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Kejang pada neonatus sukar diklasifikasikan, dikenali maupun diobati. Pada neonatus cukup bulan (NCB) maupun neonatus kurang bulan (NKB) kejang dapat menyebabkan kerusakan SSP yang permanen dan menimbulkan gangguan neurologis di masa datang seperti gangguan kognitif yang berkepanjangan serta meningkatkan risiko kejadian epilepsi. Kejang pada masa neonatus dibandingkan dengan anak besar frekuensinya relatif tinggi. Disamping hal tersebut diagnosis kejang pada neonatus juga lebih sulit karena bentuk kejang subtle yang menyerupai gerakan-gerakan normal. Angka kejadian kejang yang sebenarnya tidak diketahui karena manifestasi klinis kejang sangat bervariasi dan sering sulit dibedakan dengan gerakan normal. Penelitian terhadap kejang pada neonatus yang telah dilakukan di Departemen IKA FKUI RSCM sebelumnya adalah penelitian Hendarto S.K dkk di Jakarta (1971) membahas beberapa aspek dari kejang pada neonatus seperti angka kejadian kejang, jenis kelamin, berat lahir, etiologi kejang, morbiditas dan mortalitas. Angka kejadian kejang pada neonatus yang diperoleh dari penelitian tersebut sebesar 0,7%. Di bangsal perinatologi, neonatal intesive care unit (NICU) dan pediatric intensive care unit (PGD) Departemen IKA FKUI RSCM didapatkan kejadian kejang salaam tahun 2003 sebanyak 17 neonatus. Meskipun angka kejadian kejang pada neonatus kecil akan tetapi mengenali bentuk (tipe) kejang neonatus menjadi satu hal penting karena kejang pada neonatus mungkin merupakan satu-satunya tanda adanya gangguan SSP. Selain itu manifestasi klinis kejang juga berguna untuk menentukan prognosis. Etiologi kejang pada neonatus ada beberapa macam, pada sebagian besar disebabkan oleh Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE), perdarahan intrakranial, infeksi intrakranial, gangguan metabolik dan kelainan bawaan.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2006
T58749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miesien
Abstrak :
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan bertumbuh dan berkembangbiaknya bakteri dalam saluran kemih. Dalam keadaan normal saluran kemih adalah steril kecuali ujung uretra. Saluran kemih merupakan tempat yang relatif sering mengalami infeksi pada bayi dan anak kecil. Demam dengan sebab tidak jelas pada anak berusia 2 bulan - 2 tahun sekitar 5% disebabkan oleh ISK. Pada usia ini prevalensi ISK pada anak perempuan dua kali lebih tinggi dari pada anak laki-laki. Gejala klinis ISK bervariasi tergantung kepada usia, intensitas reaksi inflamasi dan lokasi infeksi pada saluran kemih. Anak berusia 2 bulan - 2 tahun yang menderita ISK perlu mendapat perhatian khusus oleh karena gejala klinis yang tidak khas, cara mendapatkan sampel urin yang invasif, dan mempunyai risiko terbesar terjadi kerusakan ginjal. Diagnosis ISK yang akurat sangat penting karena 2 alasan, pertama untuk identifikasi dan tata laksana anak yang mempunyai risiko kerusakan ginjal. Kedua untuk mencegah intervensi yang mahal, potensial bahaya dan tidak bennanfaat pada anak yang tidak mempunyai risiko kerusakan ginjal. Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, serta dipastikan dengan biakan urin kuantitatif. Escherichia coli adalah penyebab ISK pertama terbanyak pada anak yaitu sekitar 80 - 90% kasus. Pada awal abad ke - 20 mortalitas neonatus dan bayi yang dirawat karena pielonefritis sekitar 20%. Pendekatan diagnostik dan terapiutik yang agresif dan modem, serta perkembangan antibiotik saat ini telah dapat menekan mortalitas mendekati 0%. Adanya ISK akan membawa dampak jangka panjang terhadap fungsi ginjal yaitu berkembangnya uremia, terjadinya hipertensi dan adanya komplikasi selama kehamilan. Sebuah survey di Swedia tahun 1992 - 1995 pada 2000 anak berusia 2 bulan - 2 tahun yang menderita ISK pertama, didapatkan refluks pada 36% anak perempuan dan 24% anak laki - laki serta 50% di antaranya sudah menunjukkan dilatasi saluran kemih bagian atas. Dengan bervariasinya profil ISK maka perlu diketahui bagaimana profil ISK pada anak yang berobat di RSCM saat ini.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Rosida
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnita
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57270
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, James L. Alvin
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Widyasari Oswari
Abstrak :
ABSTRAK
Deteksi mutasi sangat penting dilakukan terutama untuk diagnosis pranatal maupun staining neonatal. Dengan pemeriksaan DNA, kasus-kasus HAK dapat dideteksi sebelum gejala salt wasting, muntah, dan dehidrasi muncul sehingga dapat mengurangi morbiditas bahkan mortalitas yang mungkin terjadi. Pada kasus kehamilan yang dicurigai HAK, diagnosis HAK pranatal memungkinkan terapi sedini mungkin untuk mencegah virilisasi pranatal sehingga genitalia ambigus tidak terjadi dan operasi serta beban psikologis akibat kebingungan gender dapat dihindari. Sebaliknya bila HAK dapat disingkirkan maka terapi yang tidak perlu seperti pemberian deksametason pranatal juga dapat dihindari. Pengetahuan mengenai mutasi-mutasi tersering dalam populasi akan mempermudah deteksi mutasi pada kasus-kasus HAK Baru, mempercepat penegakan diagnosis dan menyingkirkan keraguan diagnosis. Rumusan Masalah 1. Berapa proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non klasik (NK) pada HAK karena karena defisiensi enzim 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM? 2. Berapa frekuensi delesi/large gene conversion, mutasi I172N, I2 splice, dan R356W pada kasus-kasus HAK-21 hidroksilase dan apakah mutasi-mutasi tersebut seragam dengan yang dilaporkan di Asia? 3. Apakah terdapat konsistensi kesesuaian antara fenotip dan genotip pada kasuskasus HAK tersebut?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non Wasik, pola mutasi dan konsistensi hubungan antara fenotip dan genotip pada kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim defisiensi 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM. Tujuan Khusus a. Memperoleh data karakteristik HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase antara lain perbandingan jenis kelamin, penentuan gender, suku, konsanguinitas, usia gestasi, berat lahir, kematian saudara kandung, kejadian HAK pada saudara kandung, dan riwayat infertilitas pada keluarga. b. Memperoleh data fenotip kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase (proporsi tipe klasik dan non kiasik kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan derajat virilisasi genital). c. Memperoleh data mengenai pola mutasi kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dengan acuan mutasi-mutasi yang sering ditemukan di wilayah Asia (delesi/large gene conversion, mutasi I172N, 12 splice, dan R356W). d. Memperoleh data/bukti kesesuaian fenotip dan geno tip (mutasi) pasien HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian lain.
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>