Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Praba Ginandjar
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Penentuan daerah endemis merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan dalam program eliminasi filariasis. Dalam program eliminasi filariasis global WHO menganjurkan penggunaan metode serodiagnosis. Untuk filariasis brugia, metode serodiagnosis terbaik yang ada saat ini adalah deteksi antibodi IgG4 anti-filaria. Deteksi tersebut telah dikembangkan dalam bentuk dipstik (disebut brugia rapid) yang pengerjaannya sangat mudah dan singkat. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah brugia rapid dapat digunakan untuk mendeteksi IgG4 anti-filaria terhadap B. timori dan menentukan daerah endemis filariasis timori.
Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik dengan desain cross-sectional. Sebagai pembanding digunakan metode baku emas diagnosis filariasis secara mikroskopis melalui deteksi mikrofilaria dengan teknik membran filtrasi (data sekunder), Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mainang di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, menggunakan 500 sampel. Untuk melihat perbedaan hasil membran filtrasi dan brugia rapid dalam mendeteksi infeksi filariasis digunakan uj: Chi-square Mc-Nemar.
Hasil dan kesimpulan: Dalam peneltitian ini diperoleh angka infeksi filariasis berdasarkan pemeriksaan membran filtrasi sebesar 27,2%, sedangkan berdasarkan brugia rapid sebesar 77%. Uji McNemar menyatakan kedua metode tersebut memiliki perbedaan bermakna (p=0,000). Hasil pemeriksaan dengan brugia rapid memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 31,59% terhadap membran filtrasi.
Disimpulkan bahwa: Metode brugia rapid dapat digunakan sebagai indikator daerah endemis filariasis timori. Brugia rapid dapat mendeteksi adanya infeksi filariasis timori, namun tidak dapat digunakan untuk memperkirakan angka mikrofilaria. Brugia rapid memberikan hasil yang lebih sensitif dibandingkan membran filtrasi. Brugia rapid dapat mendeteksi populasi normal endemik, karier mikrofilaremia dan pasien filariasis kronis di daerah endemis filariasis timori.

Scope and method: Identification of endemic area is needed to initiate global elimination program of filariasis. In such program, WHO proposed a serodiagnostic method to determine the endemic areas. The best serodiagnostic method for brugian filariasis is anti-filarial IgG4 antibody detection, which is now being available in dipstick format (named brugia rapid test). The test is easy to perform and the result can be read in ten minutes. In this study I intended to test the ability of brugia rapid to detect filariasis infection in order to determine timorian filariasis endemic area.
This was a cross-sectional diagnostic test study done in Mainang Puskesmas, Alor Island, East Nusa Tenggara. A total of 500 people were participated in this study. Conventional method, filtration membrane technique, was used as control method (secondary data). The result was analyzed by McNemar Chi-square test.
Result and conclusion: This present study showed that filariasis infection rate based on filtration membrane technique (mf rate) was 27.2%, while brugia rapid was 77.0%. McNemar test clarified that both methods were significantly different (p=0.000). Examination using brugia rapid has 100% sensitivity and 31.59% specificity against filtration membrane.
Based on the results, it was concluded that: Brugia rapid method could be applied as indicator to determine timorian filariasis endemic areas. Brugia rapid was able to detect timorian filariasis infection, but mf rate cannot be predicted by brugia rapid. However, brugia rapid gave more sensitive result compared to filtration membrane. Besides, brugia rapid was able to detect endemic normal, microfilaraemic carriers and chronic lymphoedema patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esther Sri Majawati
"Ruang lingkup dan Cara penelitian:
Diagnosis filariasis umumnya dilakukan dengan pemeriksaan sediaan darah tebal atau teknik membran filtrasi. Kendala pada kedua teknik tersebut antara lain memerlukan waktu lama dan menjemukan. Dengan kemajuan bioteknologi dikembangkan diagnosis filariasis secara serologi dan biologi molekuler. Sampai saat ini diagnosis serologi melalui deteksi antigen hanya tersedia untuk filariasis bancrofti. Untuk filariasis brugia harus dilakukan deteksi DNA melalui Polymerase Chain Reaction {PCR}. Namun teknik ini masih mahal jika harus dilakukan secara individual. Pada penelitian ini dikembangkan teknik PCR dengan sampel yang dikelompokkan dalam pool sehingga lebih hemat, yaitu pool 10 dan pool 5.
Penelitian ini merupakan studi korelatif dengan desain cross sectional untuk pengukuran angka mikrofilaria menggunakan teknik PCR-pool. Metode pembandingnya adalah teknik membran filtrasi. Sampel diambil dari 10 daerah endemis filariasis di Indonesia. Untuk mendapatkan angka mikrofilaria dari teknik PCR-pool, data diolah dengan menggunakan program Pool Screen versi 2. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan hasil membran filtrasi dengan PCR-pool dalam mengukur angka mikrofilaria digunakan uji Wilcoxon, dan untuk melihat ada tidaknya keselarasan diantara kedua teknik tersebut digunakan uji korelasi-regresi Pearson.
Hasil dan Kesimpulan:
Teknik PCR-pool merupakan teknik diagnostik yang cepat, mudah dan akurat. PCR-pool dapat untuk memperkirakan angka mikrofilaria pada membran filtrasi, dengan persamaan garis Y = -3,476 + 2,492 X untuk pool 10 dan Y = 9,870 + 0,964 X untuk pool 5 (keterangan Y = teknik membran filtrasi, X = teknik PCR-pool). Dengan demikian teknik PCR-pool dapat digunakan untuk pemetaan daerah endemis filariasis dan lebih jauh lagi dapat digunakan untuk memantau keberhasilan program eliminasi filariasis.

Diagnosis of filariasis is usually done at night, either by thick blood smear or membrane filtration. There is a constraint, time consuming, in using the two methods of diagnostic new diagnostic tools such as serology and molecular biology has been developed to overcome the problem. Immunodiagnostic, antigen detection, is only available for bancroftian filariasis. Detection of parasite DNA by Polymerase Chain Reaction, which is sensitive and species specific, is the only choice for Brugian filariasis. However, individual diagnostic using PCR is still expensive. In the present study, PCR technique will be used to detect infected people from the endemic area of filariasis. The samples are grouped in a pool consisted of 10 or 5 samples.
The study is a correlative-diagnostic test with cross-sectional design to determine microfilaria rate using PCR-pool technique and membrane filtration, as control. Samples were collected from 10 endemic areas of filariasis in Indonesia. The microfilaria rate from the PCR-pool technique was anal sized by Pool Screen version 2 program. Wilcoxon test was used to analyze the difference of microfilaria rates obtained by membrane filtration technique and PCR-pool technique whereas correlation-regression Pearson's test was used to check the correlation of the two techniques.
Results and Conclusion:
The result of the study showed that PCR-pool technique is simple, rapid and accurate. The PCR-pool is able to predict microfilaria rate with the equation of regression lines for PCR-pool 10 is Y = -3,476 + 2,492X, and for PCR-pool 5 is Y = 9,870 + 0,964 X. (Y = membrane filtration technique and X = PCR-pool technique). Based on the findings above, the PCR-pool technique can be used to determine filarial endemic and to monitor the elimination program annually, especially in endemic areas with limited transportation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolazenia
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Infeksi cacing dan atopi akan meningkatkan respon Th2. Pada infeksi cacing terjadi peningkatan IgE poliklonal yang dapat menekan atopi. Hipotesis tentang adanya efek proteksi dari infeksi cacing terhadap atopi telah lama menjadi kontroversi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara infeksi cacing dan atopi pada ibu hamil di daerah endemis filariasis. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional. Sebanyak 286 orang ibu hamil dari daerah endemis filariasis, Kelurahan Jati Sampuma dan Jati Karya, Bekasi, diperiksa tinja untuk infeksi cacing usus, dan serologi Immunochromatographic test untuk infeksi filaria (Wuchereria bancrofi). Atopi pada ibu hamil dilihat dari Skin prick test yang positif dan riwayat alergi. ELISA digunakan untuk menentukan kadar IgE total, dan pengisian kuesioner untuk menilai status sosial ekonomi, pendidikan, dan riwayat alergi.
Hasil : Ada kecenderungan bahwa infeksi cacing (filaria dan atau cacing usus) mempunyai efek proteksi terhadap atopi (OR = 0,63 (95%CI: 0,37-1,08); P=0,09). Kadar IgE total rata-rata paling tinggi pada infeksi cacing filaria dengan prosentase atopi paling rendah (OR=0,51), diikuti oleh subjek yang terinfeksi cacing usus (4R=0,76) dan subjek tanpa infeksi cacing kadar IgE total rata-ratanya paling rendah dengan prosentase atopi paling tiriggi (DR=1,58). Infeksi cacing lebih banyak ditemukan pada sosial ekonomi dan pendidikan kurang, tetapi tidak terdapat perbedaan kasus atopi pada sosial ekonomi dan pendidikan baik dibanding kurang. Dengan mengontrol variabel sosial ekonomi, pendidikan, infeksi cacing usus, infeksi cacing campur (cacing usus dan atau filaria) dan kadar IgE total terdapat perbedaan bermakna kasus atopi pada ibu hamil yang terinfeksi filaria dengan tidak terinfeksi (DR=0,45, 95%CI(0,21-0,98); p=0,04).
Kesimpulan : Infeksi cacing (terutama filaria) mempunyai efek proteksi terhadap atopi pada ibu hamil di daerah endemis filariasis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Deasy
"Filariasis limfatik disebabkan cacing nematoda dari superfamili Filarioidea dan ditularkan nyamuk. WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis dengan strategi pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan DEC 6mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg. Penelitian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan masal selama 5 tahun dalam menurunkan prevalensi hingga kurang dari 1% di Pulau Alor, NTT, sebagai daerah endemis filariasis Brugia timori. Peneliti menggunakan data sekunder dari desain studi eksperimental berupa prevalensi penderita filariasis sebelum dan setelah masa pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan pengobatan selama 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi infeksi filaria. Disimpulkan bahwa metode pengobatan filariasis dengan kombinasi DEC dan albendazol terbukti mampu memenuhi target eliminasi filariasis WHO.

Lymphatic filariasis is caused by nematodes from superfamily of Filaroidea, with mosquito as its vector. Yearly medication based on the community treatment of risked population using DEC 6mg/kg and albendazol 400 mg is the strategy set by WHO. This research is proposed to know the success of 5 years mass treatment run in Alor Island, NTT, an endemic area for filariasis Brugia timori, to decrease the prevalency of filariasis until less than 1%. This research uses secondary data from the experimental study design in form of prevalency of people with filariasis before and after the medication. The result shows the five-year-medication with DEC and albendazol succeeds in decreasing the prevalence of filarial infection. The medication method of filariasis using the combination of DEC and albendazol is proved to fulfill the target set by WHO to eliminate filariasis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09047fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfie
"Hingga saat ini, filariasis adalah salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Sebagai upaya eliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan program pengobatan masal yang berlangsung selama enam tahun menggunakan kombinasi DEC – albendazol. Adapun program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor, NTT, sudah dimulai sejak tahun 2002. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan program tersebut melalui pengukuran kadar antibodi spesifik filaria IgG4 dengan Pan LF. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada anak Sekolah Dasar di Kabupaten Alor, NTT. Sampel darah dikumpulkan dari 1232 anak SD usia 3 hingga 10 tahun, yang terdiri dari 629 anak laki – laki dan 603 anak perempuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi positif IgG4 secara signifikan. Prevalensi IgG4 tidak dipengaruhi oleh umur (p=0,765) maupun jenis kelamin (p=0,941), akan tetapi dipengaruhi oleh kecamatan tempat tinggal (p=0,042). Disimpulkan bahwa pengobatan massal yang dilakukan di Kabupaten Alor berhasil menurunkan prevalensi positif IgG4 pada anak SD.

Until now, filariasis is one of the infectious diseases troubling the world. To eliminate it, WHO implements a six year mass drug administration program using the combination of DEC-albendazol. The elimination program in Alor district, NTT, has been started since 2002. The purpose of this research is to evaluate the program by measuring IgG4 antibody titre with Pan LF. This study uses cross sectional design to elementary school students in Alor district, NTT. The blood samples were collected from 1232 elementary school students whose ages ranged from three to ten years old, consisted of 629 boys and 603 girls. The result shows a significant decrease of positive IgG4 prevalence. The prevalence is not influenced by age (p=0,765) and sex (p=0,941), but is influenced by subdistrict (p=0,042). It is concluded that the mass drug administration held in Alor district succeed to lower the positive IgG4 prevalence on elementary school students."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christian, Michael
"Penelitian ini dilakukan sehubungan dengan sulitnya skrining filariasis dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik di lapangan. Dengan penelitian ini, diharapkan Pan LF dapat diukur nilai diagnostiknya sehingga dapat ditentukan apakah Pan LF dapat menjadi alat skrining yang sesuai standar dan mudah digunakan dalam evaluasi program pengobatan filariasis. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan desain potong lintang. Hasil penelitian ini menunjukkan Pan LF memiliki sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 93%. Sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi menjadikan Pan LF berpotensi sebagai alat skrining filariasis di lapangan dan dapat menggantikan pemeriksaan mikroskopik.

This research was conduct considering the difficulties in filariasis screening by microscopic examination which is found on field. It is expected that, by this research, the diagnostic value of Pan LF can be measured in order to decide if Pan LF can be used as a screening device which fit the standard and easy to use. This research is an analytic research with cross- sectional design. The result shows that Pan LF has 100% sensitivity and 93% specificity. By that means Pan LF can be used as screening device for filariasis on field and replace the role of microscopic examination."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robert
"Filariasis limfatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis denganstrategi pengobatan massal menggunakan kombinasi DEC Albendazol yangdiberikan setiap tahun pada populasi berisiko selama 4 6 tahun Kabupaten Alortelah melaksanakan program eliminasi filariasis dari tahun 2002 2007 Penelitiandilakukan untuk mengetahui prevalensi antigen filaria W bancrofti pada anaksekolah dasar dan mengevaluasi hasil pengobatan massal di Kabupaten Alor NTT Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang berupa prevalensipenderita filariasis sesudah pengobatan selama 6 tahun Deteksi antigen padasampel darah dilakukan dengan menggunakan ICT Sebanyak 1295 sampel telahdikumpulkan dan antigen masih terdeteksi pada 6 sampel 0 46 Uji statistikmenunjukkan hasil deteksi antigen tidak menunjukkan perbedaan bermakna padaberbagai usia p 0 875 jenis kelamin p 0 438 dan wilayah kecamatan p 0 322 Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan prevalensi antigenfilaria dan respons pengobatan massal sama baiknya pada berbagai umur jenis kelamin dan wilayah kecamatan

Lymphatic filariasis remains public health problem in Indonesia WHO setfilariasis elimination program to endemic countries with DEC Albendazolecombination every year during 4 6 years for risky population Kabupaten Alor hasimplemented filariasis elimination program in 2002 2007 This research isproposed to know prevalence of W bancrofti filarial antigen in primary schoolstudents and to evaluate medication result in Kabupaten Alor NTT This researchuses cross sectional study design in form of prevalence of people with filariasisafter the medication Filarial antigen from blood sample is detected by ICT Totalof 1295 samples were collected and 6 samples 0 46 showed positive antigenresult Statistical test shows that antigen detection results is not significantlydifferent for each ages p 0 875 sexes p 0 438 and sub district area p 0 322 The result shows decreasing the prevalence filarial antigen and wellmedication response for each ages sexes and sub district area"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joses Saputra
"Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal DEC-Albendazol divKabupaten Alor. Obat diberikan setiap tahun selama 6 tahun dari tahun 2002-2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi filariasis setelah program eliminasi melalui pemeriksaan serologi pada murid SD dan orang dewasa. Deteksi serologi, antibodi anti-filaria IgG4, dilakukan dengan menggunakan uji Pan LF.
Desain potong lintang telah digunakan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Sebanyak 1232 murid SD ( 629 anak laki dan 605 anak perempuan) dan 427 orang dewasa (206 laki-laki dan 221 perempuan) telah diambil darah jari pada malam hari dan diperiksa adanya antibodi anti-filaria IgG4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 sampel (0,97%) positif IgG4 pada murid SD dan 14 sampel (3,27%) pada orang dewasa. Analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut (p = 0.001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa laki-laki memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,39%) dibandingkan dengan murid SD laki-laki (0,95%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,022) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa perempuan memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,16%) dibandingkan dengan murid SD perempuan (0,99%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,034) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Dari penelitian ini dapatlah disimpulkan bahwa ada penurunan prevalensi IgG4 positif yang cukup signifikan pada murid SD dibandingkan pada orang dewasa.

Filariasis elimination program through DEC-albendazole mass treatment in Alor District. The drug is given every year for 6 years from 2002-2007. This study aims to determine the prevalence of filariasis after elimination program through serology test in primary school students and adult. Serological detection, anti-filarial IgG4 antibodies, carried out by using the test LF Pan.
Cross-sectional design was used in this study. The data used in this study is a secondary data from the Department of Parasitology Faculty of medicine. There are total of 1232 elementary school students (629 boys and 605 girls) and 427 adult (206 men and 221 women) had blood taken from finger at night finger and checked the anti-filarial IgG4 antibodies.
The results showed that 12 samples (0.97%) positive IgG4 in elementary school students and 14 samples (3.27%) in the adult. Statistical analysis using Chi square test showed a significant difference between the two groups (p = 0.001).
The results showed that adult male have a higher IgG4 positive prevalence (3.39%) compared with male primary school students (0.95%) with the results of Fisher's test (p = 0.022) indicating a significant difference.
The results showed that adult women have a higher IgG4 positive prevalence (3.16%) compared with girls of elementary school children (0.99%) with the results of Fisher's test (p = 0.034) indicating a significant difference. From this study it can be concluded that there is a significant decrease of IgG4 positive prevalence in elementary school students compared to adult.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Filariasis limfatik merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Pada tahun 2000 WHO mencanangkan program eliminasi filariasis limfatik dengan strategi pengobatan massal selama minimal lima tahun menggunakan kombinasi dietilkarbamazin(DEC) 6mg/kg berat badan dan albendazol 400mg. Untuk mengevaluasi keberhasilan program tersebut, maka dilakukan penelitian melalui pengukuran kadar antibodi IgG4 dengan Pan LF.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi uji cross sectional pada populasi dewasa di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur setelah enam tahun pengobatan. Sebanyak 427 sampel darah malam telah diperiksa antibodi IgG4 dengan Pan LF yang terdiri dari 206 orang laki-laki dan 221 orang wanita dengan kisaran umur 18-85 tahun.
Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan prevalensi positif IgG4, tidak terdapat perbedaan prevalensi yang bermakna pada berbagai kelompok umur (p=0,555), jenis kelamin (p=0.894), dan kecamatan tempat tinggal (p=082). Dapat disimpulkan bahwa prevalensi IgG4 pada populasi tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin maupun kecamatan dan terbukti program pengobatan massal telah berhasil menurunkan prevalensi positif IgG4 di Kabupaten Alor.

Lymphatic Filariasis is an infectious disease caused by Filaria worms and is transmitted through mosquito bites. In 2000, WHO launched a program of elimination of lymphatic filariasis by mass treatment strategies for at least five years using a combination of dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg and albendazole 400 mg. To evaluate the success of the program, the research carried out by measuring the levels of IgG4 antibodies using Pan LF.
The research was conducted using cross-sectional study design in the adult population in Alor regency, East Nusa Tenggara after six years of treatment. A total of 427 night blood samples were examined by Pan LF IgG4 antibody consisting of 206 men and 221 women with age range of 18-85 years.
The results show a decrease in the prevalence of IgG4 positive, there were no significant differences in prevalence in different age groups (p = 0.555), gender (p = 0894), and sub-district residence (p = 082). It is concluded that the prevalence of IgG4 in the population is not influenced by age, gender and district and the mass treatment program has proven successful in reducing the prevalence of IgG4 positive in Alor district.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Edwin Budiman
"Dalam upaya mengeliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan GPELF (Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis) yaitu pengobatan massal menggunakan kombinasi obat DEC- Albendazol. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keberhasilan pengobatan massal tersebut dengan menilai prevalensi antigen W. bancrofti pada anak SD di daerah endemis yaitu Kabupaten Alor, NTT setelah menjalani enam tahun program. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi Mf < 1%, mengindikasikan keberhasilan program ini. Dari uji statistik menggunakan Fisher test, prevalensi antigen W. bancrofti tidak berkorelasi dengan persebaran kelompok umur (p=0,872), jenis kelamin (p=0,687), maupun letak kecamatan asal (p=0,061). Penelitian ini juga membandingkan dua pemeriksaan yaitu mikroskopis (gold standard) dan ICT. Uji diagnostik menunjukkan ICT mempunyai sensitivitas 0% dan spesifitas 99,54%, mengindikasikan ICT masih perlu dikaji lebih lanjut. Namun, ICT lebih praktis digunakan, sehingga dapat direkomendasikan untuk screening apabila pemeriksaan mikroskopis tidak tersedia.

GPELF (Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis) is a mass drug administration program by WHO using the combination of DECAlbendazole to eliminate lymphatic filariasis around the globe, including Indonesia as one of the endemic countries. As a global-scale program which demands great amount of money, GPELF needs to be evaluated consistently. Thus, this study is designed to evaluate the program by measuring the prevalence of W. bancrofti antigen in elementary students living in Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Alor is one of the endemic regions in Indonesia that had been joining the program for six years from 2002 to 2007. The result shows that Mf rate below 1% indicates the program has been succesful in eliminating lymphatic filariasis. This study also analyzes the correlation between the prevalence of W. bancrofti antigen with age group, sex, and district. Fisher test shows that there is no correlation between the prevalence of W. bancrofti with age group (p=0,872), sex (p=0,687), and district (p=0,061). This study also tries to determine whether ICT can be used as the only diagnostic test in endemic areas by analyzing its result compared with microscopic examination result. It shows that ICT has very low sensitivity but very high specifity compared to the gold standard. Moreover, ICT has practical advantages over microscopic examination so that this serology test can be considered to be used when microscopic examination is not available."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>