Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Rendra Hadi
"Latar belakang: DM masih menjadi masalah besar bidang kesehatan global, dengan beban yang sangat besar akibat dari penyakitnya secara langsung dan komplikasinya, terutama komplikasi kardiovaskular. Komplikasi tersebut dipengaruhi gangguan neuropati autonom, yang dapat dinilai dengan HRV. Gangguan autonom dipikirkan akan menurunkan fungsi jantung, yang secara dini mungkin dapat diprediksi dengan melihat global longitudinal strain. Hubungan antara HRV dan GLS belum banyak diteliti Tujuan: Mengetahui korelasi antara fungsi autonom kardiak dengan fungsi ventrikel kiri pada pasien DM Tipe 2 Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau Pasien DM tipe 2 berusia dewasa yang tinggal di DKI Jakarta pada bulan Desember 2020. Parameter HRV terdiri dari interval RR, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF) dan rasio LF/HF dan Global longitudinal strain dianalisis menggunakan ekokardiografi Hasil: Dilakukan analisis pada 167 sampel. rerata GLS didapatkan -20,30 (±1,57). Tidak terdapat korelasi antara interval RR dengan GLS (r = -0,07, p = 0,377), tidak terdapat korelasi antara SDNN dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189), tidak terdapat korelasi antara RMSSD dengan GLS (r = -0,12, p = 0,098), tidak terdapat korelasi antara LF dengan GLS (r = -0,003, p = 0,968), tidak terdapat korelasi antara HF dengan GLS (r = -0,09, p = 0,21), tidak terdapat korelasi antara LF/HF dengan GLS (r = -0,10, p = 0,189). Tidak terdapat faktor perancu yang berhubungan pada penelitian ini Kesimpulan: Tidak Terdapat korelasi antara heart rate variability dengan global longitudinal strain pada pasien DM Tipe 2.

Background: Diabetes Mellitus (DM) remains a major global health issue due to its direct consequences and complications, particularly cardiovascular complications. These complications are influenced by autonomic neuropathy, which can be assessed by Heart Rate Variability (HRV). Autonomic dysfunction is thought to impair heart function, which can potentially be predicted early by observing global longitudinal strain (GLS). The relationship between HRV and GLS has not been extensively studied. Objective: To determine the correlation between cardiac autonomic function and left ventricular function in Type 2 DM patients. Methods: A cross-sectional study with a population of adult Type 2 DM patients residing in Jakarta in December 2020. HRV parameters included RR interval, standard deviation of NN intervals (SDNN), root mean square of successive difference (RMSSD), low frequency (LF), high frequency (HF), and LF/HF ratio. Global longitudinal strain was analyzed using echocardiography. Results: Analysis was conducted on 167 samples. The average GLS was -20.30 (±1.57). There was no correlation between RR interval and GLS (r = -0.07, p = 0.377), no correlation between SDNN and GLS (r = -0.10, p = 0.189), no correlation between RMSSD and GLS (r = -0.12, p = 0.098), no correlation between LF and GLS (r = -0.003, p = 0.968), no correlation between HF and GLS (r = -0.09, p = 0.21), and no correlation between LF/HF ratio and GLS (r = -0.10, p = 0.189). There were no confounding factors associated with this study. Conclusion: There is no correlation between heart rate variability and global longitudinal strain in Type 2 DM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Trismiyanti
"Kadar trigliserida (TG) darah postprandial yang tinggi merupakan satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Minuman teh hijau dapat membantu menurunkan peningkatan kadar TG darah postprandial melalui penghambatan absorpsi lemak di lumen usus. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perubahan kadar TG darah postprandial antara kelompok perlakuan (KP) yang mendapat makanan tinggi lemak dan 200 mL minuman teh hijau (7328,29 mg katekin) dibandingkan dengan kelompok kontrol (KK) yang mendapatkan makanan tinggi lemak dan air putih (0 mg katekin), merupakan uji klinis dengan desain paralel, alokasi acak, tersamar tunggal, dilakukan terhadap 40 orang mahasiswi sehat. Data yang diperoleh meliputi karakteristik subjek serta kadar trigliserida darah puasa, dua, dan empat jam postprandial.
Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan. Rerata usia subjek penelitian adalah 20 tahun dengan rerata IMT subjek termasuk kategori normal untuk Asia Pasifik. Kadar TG darah empat jam postprandial pada KP didapatkan lebih rendah (88,26 ± 23,47 mg/dL) secara signifikan (p = 0,03) dibandingkan KK (107,84 ± 30,49 mg/dL). Perubahan kadar TG darah empat jam postprandial kedua kelompok juga terdapat perbedaan bermakna (p = 0,02), pada KP 18,26 ±12,75 mg/dL sedangkan KK 33,05 ± 22,86 mg/dL. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa peningkatan kadar TG darah empat jam postprandial didapatkan lebih rendah pada subjek yang mengonsumsi minuman teh hijau dibandingkan air putih.

The elevated level of postprandial blood triglycerides (TG) may be a risk factor for cardiovascular disease. Green tea catechins is believed to lower the postprandial blood TG level by inhibiting intestinal absorption of dietary fat. The aim of this study was to evaluate the changes of two and four hours postprandial blood TG levels after given high fat meal with green tea beverage (738,29 mg catechins) compared with water (0 mg catechins) in healthy college student girls. This is a clinical trial with a parallel design, randomized allocation, single blind study conducted on 40 healthy college student girls. Data obtained include subject characteristics, blood TG levels, that were assessed before treatment, two and four hours after.
The statistical analyses used independent t-test. The mean age of study subject is 20 years with a mean BMI of subjects fall in to normal category for the Asia Pacific region. Consentrations of four hours postprandial blood TG in green tea group (treatment) is 88,26 ± 23,47 mg/dL and in water group (control) is 107,84 ±30,49 mg/dL. There is significantly different in both groups (p = 0,03). Changes of four hours postprandial blood TG in both groups is also significantly different (p = 0,02) which is in treatment group is 18,26 ±12,75 mg/dL and 33,05 ± 22,86 mg/dL in control group. This study suggests that the increase in blood TG levels obtained four hours postprandial were lower in subjects who consumed tea beverage than plain water.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Nareswari
"ABSTRAK
Ulkus kaki diabetik mengakibatkan mortalitas yang semakin meningkat terutama
pasca amputasi, beban yang signifikan pada pembiayaan kesehatan dan
menyebabkan hilangnya produktivitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas terapi kombinasi dari laserpunktur dan perawatan luka konvensional
dibandingkan dengan laserpunktur sham dan perawatan luka konvensional
terhadap penyembuhan ulkus kaki diabetik. Uji klinis acak tersamar ganda dengan
pembanding dilakukan terhadap 36 pasien yang dialokasikan ke dalam kelompok
kasus atau kelompok kontrol. Tindakan laserpunktur dilakukan pada titik LI4
Hegu, ST36 Zusanli, SP6 Sanyinjiao, dan KI3 Taixi bilateral serta penyinaran
pada ulkus dua kali seminggu, selama empat minggu. Rerata ukuran ulkus kaki
diabetik sebagai keluaran primer diukur setiap minggu. Hasil penelitian
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penurunan luas luka akhir di
kelompok laserpunktur dan perawatan luka konvensional dengan kelompok
laserpunktur sham dan perawatan luka konvensional (p=0,006). Dapat
disimpulkan bahwa terapi kombinasi laserpunktur dan perawatan luka
konvensional efektif mempercepat penyembuhan ulkus kaki diabetik dengan
frekuensi terapi dua kali seminggu. ABSTRACT
Diabetic foot ulcers result in mortality is increasing, especially after the
amputation, a significant burden on health financing and lead to loss of
productivity. This study aims to determine the effectiveness of the combination
therapy between laserpuncture and conventional wound care compared with
sham laserpuncture and conventional wound treatment for healing diabetic foot
ulcers. Double-blind randomized clinical trial with a control carried out on 36
patients allocated to the case group or control group. Laserpuncture actions
performed on LI4 point Hegu, Zusanli ST36, SP6 Sanyinjiao and Taixi KI3
bilateral as well as exposure to ulcers twice a week, for four weeks. The mean size
of diabetic foot ulcers as the primary output is measured every week. The results
showed a significant difference between the reduction in wound area at the end of
the group laserpuncture and conventional wound care compare with
laserpuncture sham group and conventional wound treatment (p = 0.006). It can
be concluded that the combination therapy laserpuncture and conventional wound
care effectively accelerate the healing of diabetic foot ulcers with frequency
therapy twice a week.;Diabetic foot ulcers result in mortality is increasing, especially after the
amputation, a significant burden on health financing and lead to loss of
productivity. This study aims to determine the effectiveness of the combination
therapy between laserpuncture and conventional wound care compared with
sham laserpuncture and conventional wound treatment for healing diabetic foot
ulcers. Double-blind randomized clinical trial with a control carried out on 36
patients allocated to the case group or control group. Laserpuncture actions
performed on LI4 point Hegu, Zusanli ST36, SP6 Sanyinjiao and Taixi KI3
bilateral as well as exposure to ulcers twice a week, for four weeks. The mean size
of diabetic foot ulcers as the primary output is measured every week. The results
showed a significant difference between the reduction in wound area at the end of
the group laserpuncture and conventional wound care compare with
laserpuncture sham group and conventional wound treatment (p = 0.006). It can
be concluded that the combination therapy laserpuncture and conventional wound
care effectively accelerate the healing of diabetic foot ulcers with frequency
therapy twice a week.;Diabetic foot ulcers result in mortality is increasing, especially after the
amputation, a significant burden on health financing and lead to loss of
productivity. This study aims to determine the effectiveness of the combination
therapy between laserpuncture and conventional wound care compared with
sham laserpuncture and conventional wound treatment for healing diabetic foot
ulcers. Double-blind randomized clinical trial with a control carried out on 36
patients allocated to the case group or control group. Laserpuncture actions
performed on LI4 point Hegu, Zusanli ST36, SP6 Sanyinjiao and Taixi KI3
bilateral as well as exposure to ulcers twice a week, for four weeks. The mean size
of diabetic foot ulcers as the primary output is measured every week. The results
showed a significant difference between the reduction in wound area at the end of
the group laserpuncture and conventional wound care compare with
laserpuncture sham group and conventional wound treatment (p = 0.006). It can
be concluded that the combination therapy laserpuncture and conventional wound
care effectively accelerate the healing of diabetic foot ulcers with frequency
therapy twice a week."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Adhiatma
"Latar Belakang. Populasi penderita DM tipe 2 semakin meningkat, seringkali disertai dengan komorbid, salah satunya depresi dengan prevalensi bervariasi. Depresi dapat mempengaruhi keluaran penyakit DM tipe 2. Beberapa obat antidepresan diketahui dapat mengganggu kontrol gula darah. Vitamin D, telah lama diketahui berkaitan dengan berbagai penyakit kronik, berpotensi memperbaiki gejala depresi, walaupun belum diketahui hubungannya.
Tujuan. Mengetahui adanya hubungan antara kadar vitamin D pada pasien DM tipe dengan kejadian depresi pada pasien dengan DM tipe 2.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi pada, dilakukan penapisan depresi menggunakan kuesioner BDI-II, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, depresi (BDI-II ≥14) dan tanpa depresi (BDI-II <14). Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, dan dilakukan analisis perbedaan rerata pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik terhadap variabel perancu.
Hasil. Dari 60 subjek dengan DM tipe 2 yang yang memenuhi kriteria, didapatkan 23 subjek (38,3%) yang depresi, dan 37 subjek (61,7%) yang tidak depresi. Didapatkan median kadar vitamin D 21,8 ng/mL (RIK 14,9-26,6) pada kelompok depresi, sementara median kadar vitamin D 26,5 ng/mL (RIK 23,96-34,08) pada kelompok tanpa depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p = 0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel perancu jenis kelamin, paparan sinar matahari, dan IMT, didapatkan adjusted odds ratio(adjusted OR) 1,123 (IK 95%: 1,003-1,259) dengan nilai p=0,045.
Kesimpulan. Kadar vitamin D yang lebih rendah meningkatkan kejadian depresi pada pasien DM tipe 2.

Background. The population of people with type 2 diabetes is increasing, which is often accompanied by comorbid, one of them is depression. The presence of depression can affect the outcome of type 2 diabetes mellitus. Some of antidepressants are known to interfere with blood sugar control. Vitamin D levels have long been known to be associated with a variety of chronic diseases, have the potential to improve symptoms of depression, although the relationship is not yet known.
Methods. This research is a cross sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with type 2 DM who met the inclusion criteria on an outpatient basis were screened for depression using BDI-II questionnaire, then divided into two groups, depressed (BDI-II ≥ 14), and without depression (BDI-II <14). Then both groups were examined for vitamin D levels using the ELISA method, and an analysis of the mean difference between the two groups was performed.
Results. From the 60 subjects with type 2 DM who met the criteria, 23 subjects (38.3%) were depressed, and 37 subjects (61.7%) were not depressed. The median of vitamin D level was 21.8 ng/mL (IQR 14.9-26.6) in the depressed group, while the median vitamin D level was 26.5 ng/mL (IQR 23.96-34.08) in the non-depressed group (p = 0.001). After doing multivariate analysis with confounding variables the adjusted odds ratio was 1.123 (95% CI: 1.003-1.259) with p value=0.045.
Conclusion. Lower levels of vitamin D increase the incidence of depression in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramantyo Dwiputra Marsetia
"Latar belakang: Pandemi COVID-19, selanjutnya disebut pandemi, menyebabkan keterbatasan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat menyebabkan hiperglikemia tidak terkontrol dan Ketoasidosis Diabetikum (KAD). Studi ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan angka kejadian, karakteristik dan luaran pasien KAD sebelum dan selama pandemi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik kohort retrospektif dengan subjek pasien KAD di RSCM yang datang pada bulan bulan April 2018 – April 2020 (kelompok sebelum pandemi) dan April 2020 – April 2022 (kelompok selama pandemi). Angka kejadian, karakteristik dan luaran pasien diambil dari rekam medis. Studi analitik akan dilakukan menggunakan uji Chi square dan Mann Whitney.
Hasil: Sebanyak 354 pasien diikutsertakan dalam penelitian. Angka kejadian KAD meningkat sebelum dan selama pandemi (IRR: 2v13; p: 0,027). Sebagian besar pasien merupakan laki-laki (57,06%) berusia <65 tahun (76,27%) dengan riwayat Diabetes Melitus/ DM (91,81%). Selama masa pandemi, jumlah pasien yang baru terdiagnosis DM dan mengalami KAD lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi (10,98% vs 1,01%). Pasien dengan DM yang telah terdiagnosis (RR: 1,38 95% CI: 1,251-1,526; p <0,001) memiliki risiko yang secara signifikan lebih tinggi mengalami KAD selama pandemi dengan pencetus berupa pneumonia (RR: 1,25 95% CI: 1,08-2,11; p: 0,002). Selama pandemi, mortalitas (RR: 1,23 95% CI: 1,087-1,389; p: 0,001) dan tingkat keparahan KAD secara signifikan meningkat menjadi sedang-berat (RR: 1,3 95% CI: 1,021-1,353; p:0,014).
Kesimpulan: Selama masa pandemi COVID-19, terdapat peningkatan jumlah pasien dan angka mortalitas KAD. Terdapat perbedaan karakteristik dan perburukan gambaran KAD selama pandemi COVID-19. Gambaran klinis harus diutamakan dalam tatalaksana pasien.

Background: The COVID-19 pandemic, hereinafter referred to as a pandemic, causes limited access to health care facilities which leads to uncontrolled hyperglycemia and diabetic ketoacidosis (DKA). This study aims to determine the differences in the incidence, characteristics and outcomes of DKA patients before and during the pandemic.
Methods: This study was a retrospective analytic cohort study comparing the DKA patients presented in April 2018 – April 2020 (as pre-pandemic group) and April 2020 – April 2022 (as during the pandemic group). Incidence rates, characteristics and outcomes were taken from medical records. An analytical study will be carried out using the Chi square and Mann Whitney tests.
Results: A total of 354 patients were included in the study. The incidence of DKA increased during the pandemic (IRR: 2.13; p: 0.027). Most of the patients were male (57.06%) aged <65 years (76.27%) with pre-existing Diabetes Mellitus/DM (91.81%). Newly diagnosed DM proportion was higher in the during pandemic group (10.98% vs 1.01%). Based on the analysis, patients with pre-existing DM (RR: 1.38 95% CI: 1.251-1.526; p <0.001) had a significantly higher risk of experiencing DKA during a pandemic with pneumonia as a precipitating factor (RR: 1.25 95% CI: 1.08-2.11;p: 0.002). During the pandemic, mortality significantly increased (RR: 1.23 95% CI: 1.087-1.389; p: 0.001). DKA severity significantly worsened to moderate-severe (RR: 1.3 95% CI: 1.021-1.353; p:0.014).
Conclusion: During the COVID-19 pandemic, there was an increase of DKA incidence and mortality rate. Different characteristics and worsening features of DKA were found during the pandemic. Clinical features should be prioritized in patient management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Putri Pratama
"Pendahuluan: Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Komplikasi DM dapat menyerang banyak organ. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah dan saraf menyebabkan morbiditas dan disabilitas yang tinggi. Neuropati perifer ditemukan pada setengah penderita DM. Neuropati menyebabkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan autonomik. Hal tersebut dapat mengganggu sensasi protektif pada kaki, menurunkan kekuatan otot, keseimbangan, dan gangguan pola jalan. Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor, aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial, serta kecepatan berjalan antara kelompok DM dengan neuropati dan tanpa neuropati.
 
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan melibatkan 58 subjek, yang terdiri atas 29 subjek neuropati diabetik dan 29 subjek DM tanpa neuropati. Skrining untuk neuropati menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10 gram. Luaran yang diukur dalam penelitian ini adalah kekuatan otot, aktivasi otot, dan kecepatan berjalan. Pengukuran kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor menggunakan hand-held dynamometer. Pengukuran aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial menggunakan surface EMG. Pengukuran kecepatan berjalan dilakukan dengan uji jalan 4 meter. Seluruh luaran dibandingkan antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.
 
Hasil: Kekuatan otot dorsifleksor secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.019). Aktivasi otot tibialis anterior secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.029). Kekuatan otot plantarfleksor, aktivasi otot gastroknemius medial, dan kecepatan berjalan tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok.
 
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan otot dorsifleksor dan aktivasi otot tibialis anterior antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.

Background: Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by increased blood sugar that caused by abnormality of insulin secretion, insulin action, or both. DM complications may affect many organs. Complications that affect blood vessels and nerves cause high morbidity and disability. Peripheral neuropathy is found in almost half of total DM patients. Neuropathy causes impairment in sensory, motor, and autonomic function. It can impair protective sensation of foot, decrease muscle strength, balance and gait disturbance. This study aims to see the differences of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength, activation of tibialis anterior and medial gastrocnemius, and gait speed between neuropathy diabetic patient and DM without neuropathy.
 
Methods: The research method is rcross-sectional on 58 DM subjects, that consist of 29 subjects neuropathy and 29 subjects without neuropathy. Neuropathy screening method use Semmes-Weinstein monofilament 10 gram. 3 outcomes measured in this study, muscle strength, muscle activation, and gait speed. Measurement of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength used hand-held dynamometer. Muscle activation measurement used surface EMG on tibialis anterior and medial gastrocnemius. Gait speed was measured on 4 meter distance. All outcomes was compared between neuropathy diabetic and DM without neuropathy group.
 
Results: Dorsiflexor muscle strength significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.019). Plantarflexor muscle strength and medial gastrocnemius muscle activation do not different significantly. Tibialis anterior muscle activation significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.029). There is no significant different in gait speed between groups.
 
Conclusion: There are significant different in dorsiflexor muscle strength and tibialis muscle activation between neuropathy diabetic and DM without neuropathy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Savitri Koeswardhani
"ABSTRACT
LATAR BELAKANG: Neuropati diabetes adalah komplikasi diabetes melitus tipe dua DMT2 yang paling sering terjadi. Polineuropati sensori motor distal simetris merupakan tipe yang paling banyak, dimana terdapat gangguan sensoris yang menyebabkan sensori ataxia dan gangguan motorik yang menyebabkan penurunan massa dan kekuatan otot tungkai. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan fungsional berupa gangguan keseimbangan yang dapat ditatalaksana dengan pemberian latihan keseimbangan dengan atau tanpa disertai latihan penguatan otot tungkai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian latihan keseimbangan yang disertai latihan penguatan otot tungkai pada penderita neuropati diabetes terhadap fungsi keseimbangan dibandingkan dengan pemberian latihan keseimbangan saja. METODE: Desain penelitian ini adalah quasi experimental. Populasi terjangkau adalah perempuan dan laki-laki usia 45-65 tahun dengan neuropati diabetes yang datang berobat ke poliklinik endokrin dan saraf rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Kelompok perlakuan diberi latihan keseimbangan disertai latihan penguatan otot tungkai dan kelompok kontrol diberi latihan keseimbangan saja. Intervensi dilakukan selama 8 minggu. Penilaian fungsi keseimbangan dilakukan dengan pemeriksaan Berg Balance Scale BBS dan posturografi statik. Penilaian kekuatan empat kelompok otot tungkai menggunakan hand held dynamometer. HASIL: Sebanyak 12 responden mengikuti program latihan sampai selesai, kelompok perlakuan 8 orang dengan rerata skor BBS 49,13 2,90 dan kelompok kontrol 4 orang dengan rerata skor BBS 49,75 1,26. Setelah 8 minggu didapatkan perbaikan skor BBS pada kedua kelompok, yaitu 4,00 1,2 pada kelompok perlakuan dan 2,25 0,9 pada kelompok kontrol dengan perbedaan signifikan p = 0,030 . Pada pemeriksaan posturografi, terdapat kecenderungan perbaikan parameter posturografi. Pada penilaian kekuatan otot didapatkan perbaikan kekuatan otot pada keempat kelompok otot tungkai kedua kelompok. Perbedaan signifikan didapatkan pada kelompok otot hip abduktor dekstra, sebesar 5,53 1,94 pada kelompok perlakuan dan 1,80 2,38 pada kelompok kontrol p = 0,006 dan pada kelompok otot hip abduktor sinistra, sebesar 6,26 2,82 pada kelompok perlakuan dan 2,03 3,24 pada kelompok kontrol p = 0,042 . KESIMPULAN: Pemberian latihan keseimbangan disertai latihan penguatan otot tungkai lebih efektif dalam meningkatkan fungsi keseimbangan dibandingkan dengan pemberian latihan keseimbangan saja pada pasien neuropati diabetes.
"
"
"ABSTRACT
"
BACKGROUND. Diabetic neuropathy is the most common complication of type two diabetes melitus. Distal symmetrical sensorimotor polyneuropathy is the most common type, where sensory deficit will cause sensory ataxia and motor deficit will cause decrease muscle mass and strength. These will cause balance problems in patients. One of treatments for balance problems is balance exercise with or without lower extremity strengthening exercise. The aim of this study is to determine the efficacy of balance and lower extremity strengthening exercise on balance functions compare to balance exercise alone in patient with diabetic neuropathy. METHODS. Design of the study is quasi experimental. The population was male and female patient with diabetic neuropathy aged 45 65 years old who came to endocrine and neurology Outpatient Department Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta who fit the criteria. Sampling was done by consecutive sampling, and were divided into two groups by randomizations. The intervention group was given balance and lower extremity strengthening exercise, and the control group was given balance exercise alone. Balance function measurement was done by using Berg Balance Scale BBS and static posturography. Measurement of muscle strength on four lower extremity muscle group was done by using hand held dynamometer. RESULTS. Twelve respondents were completed the exercise program, the intervention group 8 people with mean BBS score 49,13 2,90 and control group 4 people with mean BBS score 49,75 1,26. After 8 weeks of exercise, there are improvements in BBS score in both groups, 4,00 1,2 on intervention group and 2,25 0,9 on control group with significant difference p 0,030 . On static posturography examination there were tendency of improvements in posturography parameters. On muscle power measurements, there are improvements in muscle power in all four muscle groups in both groups. Significant difference was found in right hip abductor muscle group 5,53 1,94 on intervention group and 1,80 2,38 on control group p 0,006 and on left hip abductor muscle group 6,26 2,82 on intervention group and 2,03 3,24 on control group p 0,042 . CONCLUSIONS. Balance and lower extrimity strengthening exercise is more effective in improving balance function compare to balance exercise alone in patient with diabetic neuropathy."
2016
T55625
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Ayu Chitrasmara
"Latar belakang dan tujuan : Nodul tiroid banyak ditemukan pada populasi dewasa. Kebanyakan merupakan lesi jinak yang tidak memerlukan tindakan lanjutan, namun 7-15% dapat ganas. Modalitas paling sensitif untuk evaluasi adalah ultrasonografi (USG), namun untuk memastikan jenis nodul tetap diperlukan diagnosis invasif dengan lini pertama yaitu pemeriksaan sitopatologi dengan fine needle aspiration biopsy (FNAB). Saat ini berkembang elastografi untuk menilai kekakuan jaringan, dengan teori semakin ganas nodul maka semakin padat jaringan dan elastisitas berkurang. Elastografi kualitatif menggunakan skoring dengan kriteria Rago berdasarkan warna nodul yang semakin gelap dengan meningkatnya kepadatan. Diharapkan elastografi dapat menjadi tambahan untuk evaluasi nodul tiroid. Tujuan penelitian untuk mengetahui kesesuaian antara pemeriksaan strain elastografi kualitatif kriteria Rago dengan hasil sitopatologi.
Metode : Uji kesesuaian menggunakan data primer elastografi nodul tiroid berdasarkan sistem skoring Rago dengan hasil sitopatologi berdasarkan klasifikasi Bethesda, dengan desain potong lintang (cross sectional), di RSCM bulan Juli-Agustus 2018. Subjek penelitian adalah 39 nodul yang dikategorikan menjadi benign, intermediate, dan malignant. Analisis statistik menggunakan uji McNemar dan Kappa.
Hasil : Didapatkan kesesuaian antara hasil strain elastografi dengan FNAB dengan hasil McNemar test p=0,214, nilai Kappa R=0,52 dan p=0,000.
Kesimpulan : Terdapat kesesuaian antara elastografi menggunakan sistem skoring kategori Rago dengan sitopatologi dengan tingkat kesesuaian moderate sehingga elastografi dapat menjadi pemeriksaan tambahan untuk evaluasi nodul tiroid.

Introduction : Thyroid nodule is common condition in adult populations, which mostly are benign. Nevertheless, malignancy can be found in 7-15% nodules. The most sensitive modality to evaluate thyroid nodule is ultrasonography (USG), although invasive examination is still necessary to confirm benignity or malignancy with first line is cytopathology with fine needle aspiration biopsy (FNAB). Elastography is developed to asses tissue elasticity, with theory that higher malignancy the cells are denser and elasticity is decreasing. In qualitative elastography there is Rago scoring system criteria based on colors appearing in nodules which darker as nodule grows denser. Elastography may become additional examination to evaluate thyroid nodules. The objective of this research is to acknowledge the concordance between qualitative strain elastography and cytopathology result.
Methods : This research is suitability test using primary data of thyroid nodules elastography and cytopathology results in RSCM between July to August 2018. The design is cross sectional. The subjects are 39 nodules and every nodule is grouped into three categories which is benign, intermediate, and malignant. Statistical analysis is performed using McNemar and Kappa test.
Result : Concordance can be found between scoring system strain elastography with FNAB results with McNemar test p=0,214, Kappa R=0,52 and p=0,000.
Conclusion : There is concordance between scoring system strain elastography using Rago criteria with FNAB results with moderate level of agreement. Thus, elastography can be used as additional examination to evaluate thyroid nodules.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwitasari Darmaputri
"Latar Belakang: Luka kaki diabetes merupakan masalah paling umum pada penyandang DM. Tanpa perawatan yang tepat, luka dapat mengakibatkan infeksi, amputasi atau kematian. Tingkat mortalitas 3 tahun setelah amputasi akibat luka diabetes tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir, walaupun dengan kemajuan medis dan pembedahan. LLLT merupakan salah satu terapi adjuvan yang dapat mempercepat penyembuhan luka kronis seperti luka diabetes, namun belum ada pedoman yang pasti mengenai dosis LLLT. Hingga saat ini, belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan densitas energi terhadap penyembuhan luka diabetes.
Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas penyembuhan luka kaki diabetes dengan kedua densitas energi.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan 28 subjek dengan luka kaki diabetes yang dirandomisasi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Kelompok A mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 5 J/cm2. Kelompok B mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 10 J/cm2. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, dengan frekuensi 2x/minggu. Penilaian yang diambil adalah selisih ukuran luka dan kecepatan penyembuhan luka setiap minggu.
Hasil: Selisih ukuran luka setelah intervensi 4 minggu antara kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 mm2 dan 7.5 mm2 (p=0.178). Total kecepatan pemulihan luka pada kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 (-10-34.5) mm2/4 minggu and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 minggu (p=0.168).
Kesimpulan: Pemberian LLLT dengan 5 J/cm2 maupun 10 J/cm2 tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara statistik terhadap penyembuhan luka kaki diabetes.

Background: Diabetic foot ulcer is one of the most common complications in DM patients. Without proper management, the ulcer may lead to infection, amputation or even death. Three-year mortality rate after the amputation due to diabetic ulcer has not changed much for the last thirty years, despite the advancement in medical and surgical aspects. LLLT is one of the adjuvant therapies that are used to enhance healing of chronic wound, such as diabetic ulcer, however there is no established guideline for LLLT dosage. Thus far, there has been no research conducted in Indonesia comparing the energy density of LLLT on diabetic foot ulcer healing.
Aim: To compare the effectiveness between two energy densities in diabetic foot ulcer healing.
Method: This research is an experimental study on 28 randomized subjects with diabetic foot ulcer. Sampling was done consecutively. Group A received standard treatment of ulcer and LLLT 5 J/cm2. Group B received standard treatment of ulcer and LLLT 10 J/cm2. Intervention was carried out twice a week for 4 weeks. The outcomes are wound size and healing rate every week.
Result: The difference of wound size between group A and group B after 4 weeks were 4.15 mm2 and 7.5 mm2 (p=0.178). The healing rate of group A and group B were 4.15 (-10-34.5) mm2/4 weeks and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 weeks (p=0.168).
Conclusion: There was no statistically significant difference between group receiving LLLT 5 J/cm2 or 10 J/cm2 in diabetic foot ulcer healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan Ali Alhabsyi
"Pendahuluan. Adenoma pituitari atau pituitary neuroendocrine tumor (PitNET)
meliputi 10% hingga 15% dari seluruh tumor intrakranial. Sekitar 30%-40% pasien
adenoma pituitari membutuhkan tatalaksana pembedahan. Dari pasien yang
dilakukan operasi tersebut sekitar 25%-40% memiliki luaran yang kurang baik
seperti menginvasi secara lokal, resisten terhadap terapi konvensional, memiliki
tingkat rekurensi yang tinggi serta dapat mengalami metastasis. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui apakah faktor-faktor klinikopatologi tertentu yaitu ukuran
adenoma, tipe/ subtipe adenoma, sifat invasif, sifat proliferatif (Ki-67, mitosis, dan
p53), dan grade adenoma mempengaruhi luaran yang agresif pada adenoma
pituitari pasca operasi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi meta analisis dengan menggunakan sumber
data elektronik maupun pencarian manual. Studi-studi yang disertakan adalah studi
observasional. Pemilihan studi didasarkan pada strategi penelusuran literatur sesuai
panduan PRISMA dan kriteria eligibilitas yang telah ditentukan sebelumnya.
Variabel bebas yang dinilai antara lain ukuran adenoma, tipe/ subtipe, sifat invasif,
sifat proliferatif, ki-67, tingkat mitosis, p53, dan grade. Luaran yang dinilai adalah
agresivitas pasca operasi yang terdiri atas rekurensi atau progresi. Penilaian kualitas
dan risiko bias pada tiap studi terpilih mengunakan perangkat Newcastle Ottawa
Scale. Analisis data dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua
tahapan dalam penelitian ini dilakukan oleh setidaknya 2 peneliti.
Hasil. Dari 736 studi awal yang terjaring terdapat 10 studi terpilih. Jumlah subjek
penelitian 2727 orang dengan 632 orang kasus. Durasi pemantauan berkisar antara
3 hingga 11 tahun. Seluruh studi memiliki kualitas sedang hingga baik. Meta
analisis dilakukan pada masing-masing variabel bebas terhadap agresivitas
adenoma pituitari pasca operasi dengan hasil ukuran adenoma ≥10mm dengan
<10mm OR 1,79 (CI 1,29-2,48), tipe kortikotrof dengan non kortikotrof OR 1,91
(CI 1,41-2,58), sifat invasif dengan non invasif OR 3,67 (CI 1,95-6,90), sifat
proliferatif dengan non proliferatif OR 4,78 (CI 3,61-6,32), Ki-67 ≥ 3% dengan <
3% OR 4,13 (CI 2,94-5,81), tingkat mitosis > 2 dengan ≤2 OR 3,91 (CI 2,74-5,57),
p53 positif dengan negatif OR 1,92 (CI 1,28-2,90), dan grade 2b dengan non 2b
OR 4,56 (CI 3,0-6,91).
Simpulan. Faktor-faktor klinikopatologi tertentu yaitu ukuran adenoma, tipe/
subtipe adenoma, sifat invasif, sifat proliferatif (Ki-67, mitosis, dan p53), dan grade
adenoma mempengaruhi luaran yang agresif pada adenoma pituitari pasca operasi.

Introduction. Pituitary adenoma/ pituitary neuroendocrine tumor (PitNET)
comprise of 10% up to 15% of intracranial tumor. About 30%-40% of pituitary
adenoma patients need surgery. For those who have undergone surgery about 25%-
40% will have bad outcomes like locally invasive, resistant to conventional
treatment, high rate of recurrence, and malignant tendency. The aim of this study
was to determine whether certain clinicopathologic factors consisting of size, type/
subtype, invasiveness, proliferative (ki-67, mitotic rate, and p53), and grade
influenced the aggressive outcome of post-operative pituitary adenoma.
Methods. This meta-analysis study used electronic and manual data source.
Included studies were observational studies. Study selection was based to literature
searching strategy according to PRISMA guideline and predetermined eligibility
criteria. Independent variables reviewed were size, type/ subtype, invasiveness,
proliferative, ki-67, mitotic rate, p53, and grade. Outcome reviewed were postoperative
aggressiveness comprised of recurrence or progressive. Quality and risk
of bias assessment to each study included were based on Newcastle Ottawa Scale.
Data analysis was carried out both qualitatively and quantitatively. All stages in this
study were carried out by at least 2 reviewers.
Results. Of the 736 initial studies, 10 were selected. The number of research
subjects were 2727 people with 632 cases. The duration of monitoring ranged from
3 to 11 years. All studies had moderate to good quality. Meta-analysis were carried
out on each independent variable on the aggressiveness of post-operative pituitary
adenoma with the results were size ≥10mm vs <10mm OR 1,79 (CI 1,29-2,48),
corticotroph vs non-corticotroph OR 1,91 (CI 1,41-2,58), invasive vs non-invasive
OR 3,67 (CI 1,95-6,90), proliferative vs non proliferative OR 4,78(CI 3,61-6,32),
Ki-67 ≥ 3% vs < 3% OR 4,13 (CI 2,94-5,81), mitotic rate > 2 vs ≤2 OR 3,91 (CI
2,74-5,57), p53 positive vs negative OR 1,92 (CI1,28-2,90), and grade 2b vs non
2b OR 4,56 (CI 3,0-6,91).
Conclusions. Certain clinicopathologic factors consisting of size, type/ subtype,
invasiveness, proliferative (ki-67, mitotic rate, and p53), and grade influenced the
aggressive outcome of post-operative pituitary adenoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>