Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Trismiyanti
Abstrak :
Kadar trigliserida (TG) darah postprandial yang tinggi merupakan satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Minuman teh hijau dapat membantu menurunkan peningkatan kadar TG darah postprandial melalui penghambatan absorpsi lemak di lumen usus. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perubahan kadar TG darah postprandial antara kelompok perlakuan (KP) yang mendapat makanan tinggi lemak dan 200 mL minuman teh hijau (7328,29 mg katekin) dibandingkan dengan kelompok kontrol (KK) yang mendapatkan makanan tinggi lemak dan air putih (0 mg katekin), merupakan uji klinis dengan desain paralel, alokasi acak, tersamar tunggal, dilakukan terhadap 40 orang mahasiswi sehat. Data yang diperoleh meliputi karakteristik subjek serta kadar trigliserida darah puasa, dua, dan empat jam postprandial. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan. Rerata usia subjek penelitian adalah 20 tahun dengan rerata IMT subjek termasuk kategori normal untuk Asia Pasifik. Kadar TG darah empat jam postprandial pada KP didapatkan lebih rendah (88,26 ± 23,47 mg/dL) secara signifikan (p = 0,03) dibandingkan KK (107,84 ± 30,49 mg/dL). Perubahan kadar TG darah empat jam postprandial kedua kelompok juga terdapat perbedaan bermakna (p = 0,02), pada KP 18,26 ±12,75 mg/dL sedangkan KK 33,05 ± 22,86 mg/dL. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa peningkatan kadar TG darah empat jam postprandial didapatkan lebih rendah pada subjek yang mengonsumsi minuman teh hijau dibandingkan air putih. ......The elevated level of postprandial blood triglycerides (TG) may be a risk factor for cardiovascular disease. Green tea catechins is believed to lower the postprandial blood TG level by inhibiting intestinal absorption of dietary fat. The aim of this study was to evaluate the changes of two and four hours postprandial blood TG levels after given high fat meal with green tea beverage (738,29 mg catechins) compared with water (0 mg catechins) in healthy college student girls. This is a clinical trial with a parallel design, randomized allocation, single blind study conducted on 40 healthy college student girls. Data obtained include subject characteristics, blood TG levels, that were assessed before treatment, two and four hours after. The statistical analyses used independent t-test. The mean age of study subject is 20 years with a mean BMI of subjects fall in to normal category for the Asia Pacific region. Consentrations of four hours postprandial blood TG in green tea group (treatment) is 88,26 ± 23,47 mg/dL and in water group (control) is 107,84 ±30,49 mg/dL. There is significantly different in both groups (p = 0,03). Changes of four hours postprandial blood TG in both groups is also significantly different (p = 0,02) which is in treatment group is 18,26 ±12,75 mg/dL and 33,05 ± 22,86 mg/dL in control group. This study suggests that the increase in blood TG levels obtained four hours postprandial were lower in subjects who consumed tea beverage than plain water.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Adhiatma
Abstrak :
Latar Belakang. Populasi penderita DM tipe 2 semakin meningkat, seringkali disertai dengan komorbid, salah satunya depresi dengan prevalensi bervariasi. Depresi dapat mempengaruhi keluaran penyakit DM tipe 2. Beberapa obat antidepresan diketahui dapat mengganggu kontrol gula darah. Vitamin D, telah lama diketahui berkaitan dengan berbagai penyakit kronik, berpotensi memperbaiki gejala depresi, walaupun belum diketahui hubungannya. Tujuan. Mengetahui adanya hubungan antara kadar vitamin D pada pasien DM tipe dengan kejadian depresi pada pasien dengan DM tipe 2. Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi pada, dilakukan penapisan depresi menggunakan kuesioner BDI-II, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, depresi (BDI-II ≥14) dan tanpa depresi (BDI-II <14). Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, dan dilakukan analisis perbedaan rerata pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik terhadap variabel perancu. Hasil. Dari 60 subjek dengan DM tipe 2 yang yang memenuhi kriteria, didapatkan 23 subjek (38,3%) yang depresi, dan 37 subjek (61,7%) yang tidak depresi. Didapatkan median kadar vitamin D 21,8 ng/mL (RIK 14,9-26,6) pada kelompok depresi, sementara median kadar vitamin D 26,5 ng/mL (RIK 23,96-34,08) pada kelompok tanpa depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p = 0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel perancu jenis kelamin, paparan sinar matahari, dan IMT, didapatkan adjusted odds ratio(adjusted OR) 1,123 (IK 95%: 1,003-1,259) dengan nilai p=0,045. Kesimpulan. Kadar vitamin D yang lebih rendah meningkatkan kejadian depresi pada pasien DM tipe 2. ......Background. The population of people with type 2 diabetes is increasing, which is often accompanied by comorbid, one of them is depression. The presence of depression can affect the outcome of type 2 diabetes mellitus. Some of antidepressants are known to interfere with blood sugar control. Vitamin D levels have long been known to be associated with a variety of chronic diseases, have the potential to improve symptoms of depression, although the relationship is not yet known. Methods. This research is a cross sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with type 2 DM who met the inclusion criteria on an outpatient basis were screened for depression using BDI-II questionnaire, then divided into two groups, depressed (BDI-II ≥ 14), and without depression (BDI-II <14). Then both groups were examined for vitamin D levels using the ELISA method, and an analysis of the mean difference between the two groups was performed. Results. From the 60 subjects with type 2 DM who met the criteria, 23 subjects (38.3%) were depressed, and 37 subjects (61.7%) were not depressed. The median of vitamin D level was 21.8 ng/mL (IQR 14.9-26.6) in the depressed group, while the median vitamin D level was 26.5 ng/mL (IQR 23.96-34.08) in the non-depressed group (p = 0.001). After doing multivariate analysis with confounding variables the adjusted odds ratio was 1.123 (95% CI: 1.003-1.259) with p value=0.045. Conclusion. Lower levels of vitamin D increase the incidence of depression in type 2 DM patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marissa Putri Pratama
Abstrak :
Pendahuluan: Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan gula darah yang disebabkan karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Komplikasi DM dapat menyerang banyak organ. Komplikasi yang mengenai pembuluh darah dan saraf menyebabkan morbiditas dan disabilitas yang tinggi. Neuropati perifer ditemukan pada setengah penderita DM. Neuropati menyebabkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan autonomik. Hal tersebut dapat mengganggu sensasi protektif pada kaki, menurunkan kekuatan otot, keseimbangan, dan gangguan pola jalan. Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor, aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial, serta kecepatan berjalan antara kelompok DM dengan neuropati dan tanpa neuropati.
 
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan melibatkan 58 subjek, yang terdiri atas 29 subjek neuropati diabetik dan 29 subjek DM tanpa neuropati. Skrining untuk neuropati menggunakan monofilamen Semmes-Weinstein 10 gram. Luaran yang diukur dalam penelitian ini adalah kekuatan otot, aktivasi otot, dan kecepatan berjalan. Pengukuran kekuatan otot dorsifleksor dan plantarfleksor menggunakan hand-held dynamometer. Pengukuran aktivasi otot tibialis anterior dan gastroknemius medial menggunakan surface EMG. Pengukuran kecepatan berjalan dilakukan dengan uji jalan 4 meter. Seluruh luaran dibandingkan antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati.
 
Hasil: Kekuatan otot dorsifleksor secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.019). Aktivasi otot tibialis anterior secara signifikan lebih rendah pada kelompok neuropati diabetik (nilai p 0.029). Kekuatan otot plantarfleksor, aktivasi otot gastroknemius medial, dan kecepatan berjalan tidak berbeda signifikan antar kedua kelompok.
 
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan otot dorsifleksor dan aktivasi otot tibialis anterior antara kelompok neuropati diabetik dan DM tanpa neuropati. ......Background: Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by increased blood sugar that caused by abnormality of insulin secretion, insulin action, or both. DM complications may affect many organs. Complications that affect blood vessels and nerves cause high morbidity and disability. Peripheral neuropathy is found in almost half of total DM patients. Neuropathy causes impairment in sensory, motor, and autonomic function. It can impair protective sensation of foot, decrease muscle strength, balance and gait disturbance. This study aims to see the differences of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength, activation of tibialis anterior and medial gastrocnemius, and gait speed between neuropathy diabetic patient and DM without neuropathy.
 
Methods: The research method is rcross-sectional on 58 DM subjects, that consist of 29 subjects neuropathy and 29 subjects without neuropathy. Neuropathy screening method use Semmes-Weinstein monofilament 10 gram. 3 outcomes measured in this study, muscle strength, muscle activation, and gait speed. Measurement of dorsiflexor and plantarflexor muscle strength used hand-held dynamometer. Muscle activation measurement used surface EMG on tibialis anterior and medial gastrocnemius. Gait speed was measured on 4 meter distance. All outcomes was compared between neuropathy diabetic and DM without neuropathy group.
 
Results: Dorsiflexor muscle strength significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.019). Plantarflexor muscle strength and medial gastrocnemius muscle activation do not different significantly. Tibialis anterior muscle activation significantly lower in neuropathy diabetic group (p value 0.029). There is no significant different in gait speed between groups.
 
Conclusion: There are significant different in dorsiflexor muscle strength and tibialis muscle activation between neuropathy diabetic and DM without neuropathy.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramantyo Dwiputra Marsetia
Abstrak :
Latar belakang: Pandemi COVID-19, selanjutnya disebut pandemi, menyebabkan keterbatasan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat menyebabkan hiperglikemia tidak terkontrol dan Ketoasidosis Diabetikum (KAD). Studi ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan angka kejadian, karakteristik dan luaran pasien KAD sebelum dan selama pandemi. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik kohort retrospektif dengan subjek pasien KAD di RSCM yang datang pada bulan bulan April 2018 – April 2020 (kelompok sebelum pandemi) dan April 2020 – April 2022 (kelompok selama pandemi). Angka kejadian, karakteristik dan luaran pasien diambil dari rekam medis. Studi analitik akan dilakukan menggunakan uji Chi square dan Mann Whitney. Hasil: Sebanyak 354 pasien diikutsertakan dalam penelitian. Angka kejadian KAD meningkat sebelum dan selama pandemi (IRR: 2v13; p: 0,027). Sebagian besar pasien merupakan laki-laki (57,06%) berusia <65 tahun (76,27%) dengan riwayat Diabetes Melitus/ DM (91,81%). Selama masa pandemi, jumlah pasien yang baru terdiagnosis DM dan mengalami KAD lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi (10,98% vs 1,01%). Pasien dengan DM yang telah terdiagnosis (RR: 1,38 95% CI: 1,251-1,526; p <0,001) memiliki risiko yang secara signifikan lebih tinggi mengalami KAD selama pandemi dengan pencetus berupa pneumonia (RR: 1,25 95% CI: 1,08-2,11; p: 0,002). Selama pandemi, mortalitas (RR: 1,23 95% CI: 1,087-1,389; p: 0,001) dan tingkat keparahan KAD secara signifikan meningkat menjadi sedang-berat (RR: 1,3 95% CI: 1,021-1,353; p:0,014). Kesimpulan: Selama masa pandemi COVID-19, terdapat peningkatan jumlah pasien dan angka mortalitas KAD. Terdapat perbedaan karakteristik dan perburukan gambaran KAD selama pandemi COVID-19. Gambaran klinis harus diutamakan dalam tatalaksana pasien. ......Background: The COVID-19 pandemic, hereinafter referred to as a pandemic, causes limited access to health care facilities which leads to uncontrolled hyperglycemia and diabetic ketoacidosis (DKA). This study aims to determine the differences in the incidence, characteristics and outcomes of DKA patients before and during the pandemic. Methods: This study was a retrospective analytic cohort study comparing the DKA patients presented in April 2018 – April 2020 (as pre-pandemic group) and April 2020 – April 2022 (as during the pandemic group). Incidence rates, characteristics and outcomes were taken from medical records. An analytical study will be carried out using the Chi square and Mann Whitney tests. Results: A total of 354 patients were included in the study. The incidence of DKA increased during the pandemic (IRR: 2.13; p: 0.027). Most of the patients were male (57.06%) aged <65 years (76.27%) with pre-existing Diabetes Mellitus/DM (91.81%). Newly diagnosed DM proportion was higher in the during pandemic group (10.98% vs 1.01%). Based on the analysis, patients with pre-existing DM (RR: 1.38 95% CI: 1.251-1.526; p <0.001) had a significantly higher risk of experiencing DKA during a pandemic with pneumonia as a precipitating factor (RR: 1.25 95% CI: 1.08-2.11;p: 0.002). During the pandemic, mortality significantly increased (RR: 1.23 95% CI: 1.087-1.389; p: 0.001). DKA severity significantly worsened to moderate-severe (RR: 1.3 95% CI: 1.021-1.353; p:0.014). Conclusion: During the COVID-19 pandemic, there was an increase of DKA incidence and mortality rate. Different characteristics and worsening features of DKA were found during the pandemic. Clinical features should be prioritized in patient management.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prisca Ockta Putri
Abstrak :
Diabetes melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan komplikasi yang sering terjadi adalah ulkus kaki. Salah satu penyebab terjadinya ulkus kaki adalah keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) pada pasien DMT2 akibat kerusakan jaringan ikat tendon yang dipengaruhi oleh produksi Advanced Glycation End Products (AGE) secara cepat pada kondisi hiperglikemia. AGE merupakan zat yang membentuk suatu ikatan dengan kolagen yang dapat merubah struktur tendon. Produksi yang berlebihan dapat menyebabkan penebalan struktur periartikuler seperti tendon, ligamen, dan kapsul sendi, menyebabkan terjadi penyempitan sehingga menimbulkan kekakuan sendi dan kemudian terjadi keterbatasan LGS. Penelitian ini bertujuan Mengetahui hubungan antara LGS pergelangan kaki dengan derajat ulkus kaki pada pasien DMT2 sebagai salah satu dasar tindakan promotif dan preventif terhadap ulkus kaki diabetik.Penelitian menggunakan studi potong lintang. Kami melaporkan ada 34 sampel (laki-laki 55,9% dan perempuan 44,1%)ulkus kaki pada pasien DMT2 yang memiliki ulkus kaki di regio hindfoot (26,5%), midfoot (5,9%) dan forefoot (67,6%).Pengukuran lingkup gerak sendi pada pergelangan kaki menggunakan goniometri digital untuk gerakan dorsifleksi, plantarfleksi, inver­si dan eversi. Kemudian dihubungkan dengan usia, Indeks Massa Tubuh (IMT), level aktivitas fisik, lama ulkus, lama DM. Terdapat korelasi negatif bermakna signifikan antara lingkup gerak sendi dengan indeks masa tubuh (p=0,019; r=-0,401) dan korelasi positif bermakna signifikan dengan level aktivitas fisik (p=0,004; r=0,484). Semakin meningkat IMT, maka akan menurunkan LGS dan semakin rendah level aktivitas fisik maka akan menurunkan LGS.Tidak terdapat hubungan bermakna signifikan antara LGS dengan usia, lama ulkus dan derajat ulkus. Didapatkan hubungan yang bermakna pada semua gerakan LGS dengan lama DM dengan p-value <0.05. Semua sampel tidak memiliki kejadian yang tidak diinginkan selama penelitian. Kesimpulan dari studi ini adalah tidak ada hubungan antara LGS pergelangan kaki dengan derajat ulkus kaki pada penderita DMT2. ......Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a group of metabolic diseases with the most common complication being foot ulcers. One of the causes of foot ulcers is the limited range of joint motion in T2DM patients due to damage of tendons connective tissue which is affected by the rapid production of Advanced Glycation End Products (AGE) in hyperglycemia conditions. AGE is a substance that forms a bond with collagen that can change the structure of the tendon. Excessive production can cause thickening of periarticular structures such as tendons, ligaments and joint capsules, causing narrowing to occur resulting in joint stiffness and then limiting the range of joint motion. This study aims to determine the relationship between the range of motion of the ankle joint and the degree of foot ulcers in T2DM patients as one of the basic promotive and preventive measures for diabetic foot ulcers. This study is a cross-sectional study. We reported that there were 34 samples (55.9% males and 44.1% females) foot ulcers in T2DM patients who had foot ulcers in the hindfoot (26.5%), midfoot (5.9%) and forefoot (67.6%) regions. Measurement of the range of motion at the ankle using digital goniometry for dorsiflexion, plantarflexion, inversion and eversion. It is related to age, body mass index (BMI), level of physical activity, time of ulcer,time of DM.There was a significant negative correlation between range of motion and body mass index (p=0.019; r=-0.401) and a significant positive correlation with the level of physical activity (p=0.004; r=0.484). The higher of BMI, the range of motion of the joints is lower and the lower level of physical activity, the lower the range of motion of the joints. There was no significant relationship between the range of motion of the joints and age, ulcer duration and degree of ulcer. A significant relationship was found in all range of motion range of motion with duration of DM with p-value <0.05. All samples did not have major adverse events. The conclusion of this study is that there is no relationship between the range of motion of the ankle joint and the degree of foot ulcers in T2DM patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
Abstrak :
Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD. Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21. Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ. Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815). Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21. ......Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear. Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment. Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software. Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815). Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumampouw, Marshal
Abstrak :
Latar Belakang: Peningkatan kasus kanker tiroid belakangan ini menimbulkan pertanyaan tentang overdiagnosis. ACR-TIRADS merupakan sistem stratifikasi yang dikembangkan untuk mengurangi overdiagnosis dalam mendeteksi kanker tiroid dengan menggunakan ultrasonografi. AI-TIRADS merupakan modifikasi baru dari ACR-TIRADS yang diklaim memiliki nilai diagnostik yang lebih baik, namun AI-TIRADS belum pernah diuji pada populasi Indonesia. Tujuan: Peneliti ingin mengetahui apakah AI-TIRADS memang benar lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS dalam menentukan keganasan suatu nodul tiroid. Metode: Penelitian ini mengevaluasi 124 nodul tiroid yang terdiri atas 62 nodul jinak dan 62 nodul ganas berdasarkan ACR-TIRADS dan AI-TIRADS. Setiap penentuan keganasan didasarkan dari lima kategori yang dipakai oleh TIRADS (komposisi, ekogenisitas, bentuk, tepian dan fokus ekogenik). Hasil temuan kedua sistem stratifikasi risiko ini kemudian dibandingkan nilai diagnostiknya dengan pemeriksaan sitopatologi berdasarkan kriteria Bethesda. Hasil: AI-TIRADS secara umum menunjukkan nilai diagnostik yang lebih baik daripada ACR-TIRADS. Tingkat kesesuaian AI-TIRADS terhadap pemeriksaan sitopatologi lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS (0,387 dan 0,242). Spesifisitas AI-TIRADS lebih baik (58,06% vs 41,94%; p< 0,00) dibandingkan ACR-TIRADS, namun sensitivitas AI-TIRADS sedikit lebih rendah dibandingkan ACR-TIRADS (80,65% vs 82,26%; p<0,00). AI-TIRADS juga memiliki nilai duga positif dan nilai duga negatif yang lebih baik dibandingkan ACR-TIRADS (AI-TIRADS: 65,79% dan 75% vs ACR-TIRADS: 58,62% dan 70,27%). Kesimpulan: AI-TIRADS memiliki nilai diagnostik yang lebih baik dan dapat mengurangi jumlah positif palsu, namun AI-TIRADS masih memiliki kesulitan dalam mendeteksi keganasan pada nodul tiroid yang padat kistik. Diperlukan pengembangan lebih lanjut dari AI-TIRADS untuk meningkatkan kemampuan diagnostik dalam menentukan keganasan nodul tiroid, khususnya pada nodul padat kistik. ......Background: The recent increase in thyroid cancer cases has raised questions about overdiagnosis. ACR-TIRADS is a risk stratification system developed to reduce overdiagnosis in thyroid cancer detection using ultrasound. AI-TIRADS is a recent modification of ACR-TIRADS claimed to have better diagnostic value, but it has not been tested in the Indonesian population. Objective: The author aimed to determine whether AI-TIRADS is indeed superior to ACR-TIRADS in assessing the malignancy of thyroid nodules. Methods: This study evaluated 124 thyroid nodules, consisting of 62 benign and 62 malignant nodules, based on ACR-TIRADS and AI- TIRADS. Malignancy determinations were based on five categories used by TIRADS (composition, echogenicity, shape, margins, and echogenic foci). The findings of both risk stratification systems were then compared with their diagnostic values in cytopathological examinations based on Bethesda criteria. Results: AI- TIRADS, in general, demonstrated superior diagnostic value compared to ACR- TIRADS. The concordance rate of AI-TIRADS with cytopathological examinations was better than that of ACR-TIRADS (0.387 and 0.242). AI-TIRADS exhibited better specificity (58.06% vs. 41.94%; p < 0.00) compared to ACR-TIRADS, although AI-TIRADS had slightly lower sensitivity (80.65% vs. 82.26%; p < 0.00) compared to ACR-TIRADS. AI-TIRADS also had better positive predictive values and negative predictive values (AI-TIRADS: 65.79% and 75% vs. ACR-TIRADS: 58.62% and 70.27%). Conclusion: AI-TIRADS has better diagnostic value and managed to reduces the number of false positives. However, AI-TIRADS still faces challenges in detecting malignancy in solid cystic thyroid nodules. Further development of AI-TIRADS is needed to enhance its diagnostic capabilities in determining the malignancy of thyroid nodules, especially in solid cystic nodules.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Savitri Koeswardhani
Abstrak :
ABSTRACT
LATAR BELAKANG: Neuropati diabetes adalah komplikasi diabetes melitus tipe dua DMT2 yang paling sering terjadi. Polineuropati sensori motor distal simetris merupakan tipe yang paling banyak, dimana terdapat gangguan sensoris yang menyebabkan sensori ataxia dan gangguan motorik yang menyebabkan penurunan massa dan kekuatan otot tungkai. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan fungsional berupa gangguan keseimbangan yang dapat ditatalaksana dengan pemberian latihan keseimbangan dengan atau tanpa disertai latihan penguatan otot tungkai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian latihan keseimbangan yang disertai latihan penguatan otot tungkai pada penderita neuropati diabetes terhadap fungsi keseimbangan dibandingkan dengan pemberian latihan keseimbangan saja. METODE: Desain penelitian ini adalah quasi experimental. Populasi terjangkau adalah perempuan dan laki-laki usia 45-65 tahun dengan neuropati diabetes yang datang berobat ke poliklinik endokrin dan saraf rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Kelompok perlakuan diberi latihan keseimbangan disertai latihan penguatan otot tungkai dan kelompok kontrol diberi latihan keseimbangan saja. Intervensi dilakukan selama 8 minggu. Penilaian fungsi keseimbangan dilakukan dengan pemeriksaan Berg Balance Scale BBS dan posturografi statik. Penilaian kekuatan empat kelompok otot tungkai menggunakan hand held dynamometer. HASIL: Sebanyak 12 responden mengikuti program latihan sampai selesai, kelompok perlakuan 8 orang dengan rerata skor BBS 49,13 2,90 dan kelompok kontrol 4 orang dengan rerata skor BBS 49,75 1,26. Setelah 8 minggu didapatkan perbaikan skor BBS pada kedua kelompok, yaitu 4,00 1,2 pada kelompok perlakuan dan 2,25 0,9 pada kelompok kontrol dengan perbedaan signifikan p = 0,030 . Pada pemeriksaan posturografi, terdapat kecenderungan perbaikan parameter posturografi. Pada penilaian kekuatan otot didapatkan perbaikan kekuatan otot pada keempat kelompok otot tungkai kedua kelompok. Perbedaan signifikan didapatkan pada kelompok otot hip abduktor dekstra, sebesar 5,53 1,94 pada kelompok perlakuan dan 1,80 2,38 pada kelompok kontrol p = 0,006 dan pada kelompok otot hip abduktor sinistra, sebesar 6,26 2,82 pada kelompok perlakuan dan 2,03 3,24 pada kelompok kontrol p = 0,042 . KESIMPULAN: Pemberian latihan keseimbangan disertai latihan penguatan otot tungkai lebih efektif dalam meningkatkan fungsi keseimbangan dibandingkan dengan pemberian latihan keseimbangan saja pada pasien neuropati diabetes. "
" "ABSTRACT
" BACKGROUND. Diabetic neuropathy is the most common complication of type two diabetes melitus. Distal symmetrical sensorimotor polyneuropathy is the most common type, where sensory deficit will cause sensory ataxia and motor deficit will cause decrease muscle mass and strength. These will cause balance problems in patients. One of treatments for balance problems is balance exercise with or without lower extremity strengthening exercise. The aim of this study is to determine the efficacy of balance and lower extremity strengthening exercise on balance functions compare to balance exercise alone in patient with diabetic neuropathy. METHODS. Design of the study is quasi experimental. The population was male and female patient with diabetic neuropathy aged 45 65 years old who came to endocrine and neurology Outpatient Department Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta who fit the criteria. Sampling was done by consecutive sampling, and were divided into two groups by randomizations. The intervention group was given balance and lower extremity strengthening exercise, and the control group was given balance exercise alone. Balance function measurement was done by using Berg Balance Scale BBS and static posturography. Measurement of muscle strength on four lower extremity muscle group was done by using hand held dynamometer. RESULTS. Twelve respondents were completed the exercise program, the intervention group 8 people with mean BBS score 49,13 2,90 and control group 4 people with mean BBS score 49,75 1,26. After 8 weeks of exercise, there are improvements in BBS score in both groups, 4,00 1,2 on intervention group and 2,25 0,9 on control group with significant difference p 0,030 . On static posturography examination there were tendency of improvements in posturography parameters. On muscle power measurements, there are improvements in muscle power in all four muscle groups in both groups. Significant difference was found in right hip abductor muscle group 5,53 1,94 on intervention group and 1,80 2,38 on control group p 0,006 and on left hip abductor muscle group 6,26 2,82 on intervention group and 2,03 3,24 on control group p 0,042 . CONCLUSIONS. Balance and lower extrimity strengthening exercise is more effective in improving balance function compare to balance exercise alone in patient with diabetic neuropathy.
2016
T55625
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purwitasari Darmaputri
Abstrak :
Latar Belakang: Luka kaki diabetes merupakan masalah paling umum pada penyandang DM. Tanpa perawatan yang tepat, luka dapat mengakibatkan infeksi, amputasi atau kematian. Tingkat mortalitas 3 tahun setelah amputasi akibat luka diabetes tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir, walaupun dengan kemajuan medis dan pembedahan. LLLT merupakan salah satu terapi adjuvan yang dapat mempercepat penyembuhan luka kronis seperti luka diabetes, namun belum ada pedoman yang pasti mengenai dosis LLLT. Hingga saat ini, belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan densitas energi terhadap penyembuhan luka diabetes. Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas penyembuhan luka kaki diabetes dengan kedua densitas energi. Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan 28 subjek dengan luka kaki diabetes yang dirandomisasi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Kelompok A mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 5 J/cm2. Kelompok B mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 10 J/cm2. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, dengan frekuensi 2x/minggu. Penilaian yang diambil adalah selisih ukuran luka dan kecepatan penyembuhan luka setiap minggu. Hasil: Selisih ukuran luka setelah intervensi 4 minggu antara kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 mm2 dan 7.5 mm2 (p=0.178). Total kecepatan pemulihan luka pada kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 (-10-34.5) mm2/4 minggu and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 minggu (p=0.168). Kesimpulan: Pemberian LLLT dengan 5 J/cm2 maupun 10 J/cm2 tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara statistik terhadap penyembuhan luka kaki diabetes.
Background: Diabetic foot ulcer is one of the most common complications in DM patients. Without proper management, the ulcer may lead to infection, amputation or even death. Three-year mortality rate after the amputation due to diabetic ulcer has not changed much for the last thirty years, despite the advancement in medical and surgical aspects. LLLT is one of the adjuvant therapies that are used to enhance healing of chronic wound, such as diabetic ulcer, however there is no established guideline for LLLT dosage. Thus far, there has been no research conducted in Indonesia comparing the energy density of LLLT on diabetic foot ulcer healing. Aim: To compare the effectiveness between two energy densities in diabetic foot ulcer healing. Method: This research is an experimental study on 28 randomized subjects with diabetic foot ulcer. Sampling was done consecutively. Group A received standard treatment of ulcer and LLLT 5 J/cm2. Group B received standard treatment of ulcer and LLLT 10 J/cm2. Intervention was carried out twice a week for 4 weeks. The outcomes are wound size and healing rate every week. Result: The difference of wound size between group A and group B after 4 weeks were 4.15 mm2 and 7.5 mm2 (p=0.178). The healing rate of group A and group B were 4.15 (-10-34.5) mm2/4 weeks and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 weeks (p=0.168). Conclusion: There was no statistically significant difference between group receiving LLLT 5 J/cm2 or 10 J/cm2 in diabetic foot ulcer healing.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
Abstrak :
Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000). Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas. ......Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity. Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000). Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>