Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prachmatika
Abstrak :
ABSTRAK
Pada pertengahan abad ke XVI sampai awal abad ke XIX, Banten merupakan pusat kerajaan yang bercorak Islam dan juga merupakan pusat perdagangan yang penting di kawasan Asia Tenggara. Sekarang Banten termasuk dalam wilayah administratif kecamatan Kasemen, kabupaten Serang, propinsi Jawa Barat. Letaknya kira-kira sepuluh kilometer di sebelah utara kota Serang, empat kilometer di sebelah selatan pantai Teluk Banten (Ambary,1980a:117).

Sebagai bekas kota, Banten seringkali diteliti oleh para ahli, baik para ahli dari Indonesia maupun para ahli berkebangsaan asing. Namun tulisan-tulisan yang mengemukakan perihal air bersih di Banten Lama sangat sedikit dan bersifat fragmentaris. Sebagaimana telah diketahui bahwa air merupakan salah satu unsur alam yang mutlak dibutuhkan oleh makhluk hidup. Tanpa air tidak akan ada kehidupan. Manusia mampu mempertahankan hidupnya selama kira-kira dua bulan tanpa makan..
1984
S11603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Ikasari
Abstrak :
ABSTRAK
Mesjid Agung Banyumas merupakan salah satu mesjid tua yang ada di Banyumas Jawa Tengah yang belum pernah diteliti secara khusus. Mesjid ini pernah disebutkan keberadaannya oleh Suwedi Montana dalam Laporan Penelitian Arkeologi di Jawa Tengah bagian Selatan no.35, PuslitArkenas, Jakarta.

Penelitian terhadap Mesjid Agung Banyumas bertujuan untuk melihat adanya pemakaian budaya Pra-Islam yang berkesinambungan pada Benda-benda peninggalan budaya masa Islam yang berupa mesjid sebagaimana tercermin pada bentuk arsitektur dan ragam hias Mesjid Agung Banyumas. Untuk melihat adanya masalah kesinambungan budaya tersebut, maka pada penelitian ini digunakan teori Akulturasi.

Dalam penelitian ini digunakan metode secara bertahap. Pada tahap observasi dilakukan studi kepustakaan yang dilakukan analisis terhadap data yang telah terhimpun yaitu dengan membuat pemeriaan yang terinci terhadap unsur-unsur bangunan Mesjid Agung Banyumas. La1u setelah itu dilakukan studi komparasi terhadap data-data pembanding yang berupa bentuk dasar Arsitektur Candi di Jawa dan Ragam hiasnya, Arsitektur Tradisional Jawa serta Ragam hiasnya, Mesjid-mesjid Kuno di Jawa dan mesjid Kuno di Banyumas. Penggunaan data ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang adanya Kesinambungan Budaya yang tercermin pada Mesjid Agung Banyumas.

Dari Penelitian ini dapat diketahui bahwa bentuk arsitektur dan ragam hias Mesjid Agung Banyumas sangat jelas memperlihatkan pengaruh baik dari arsitektur sandi maupun arsitektur tradisional Jawa, selain adanya unsur-unsur asing yaitu unsur arsitektur Belanda.
1995
S11939
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sintawati
Abstrak :
Bagi masyarakat Asia Tenggara, keraton dianggap inti atau pusat dari jagat raya. Sebab keraton selain digunakan sebagai tempat tinggal raja juga sebagai pusat pemerintahan dan pusat budaya bagi suatu kerajaan. Oleh sebab itu dalam anggapan orang Indonesia raja masih diidentikkan dengan dewa. Dengan sendirinya bangunan keraton berbeda dengan bangunan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian meneliti mengenai keraton adalah hal yang menarik sebab keraton sebagai data arkeologi memang dibangun dengan aturan dan pola-pola tertentu yang melambangkan kesucian dan kekuasaan raja.

Salah satu kerajaan terbesar pada masa berkembangnya agama Islam di Indonesia adalah kerajaan Mataram yang berdiri sekitar abad 17-19 dimana sampai saat ini pening_galan bangunan berupa keraton masih berdiri tegak dan masih dihuni oleh para keturunan raja-raja Mataram. Bangunan keraton tersebut masih menunjukkan kekuasaan dan kebesaran raja-raja Mataram pada masa lalu. Pada puncak masa jayanya yaitu sekitar abad 17 kerajaan tersebut berhasil menduduki hampir seluruh pulau Jawa dan Madura. Kerajaan yang menjadi bawahannya pada masa itu salah satunya adalah Sumenep yang terletak di timur Madura. Dengan adanya penjajahan dan penaklukkan dari Mataram ke Sumenep maka pada penelitian ini akan dilihat pengaruhnya pada bangunan keraton terutama pada tata letak.

Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan antara kedua wilayah keraton tersebut yaitu keraton-keraton di Jawa Tengah yang mewakili kerajaan Mataram dan keraton Sumenep yang mewakili Madura. Dipilihnya keraton Sumenep sebagai wakil Madura sebab keraton ini hanya tinggal satu-satunya yang masih berdiri tegak sedangkan keraton lainnya yaitu di Bangkalan, Pamekasan dan Sampang sudah hancur.

Dari hasil penelitian telah disimpulkan adanya kesamaan pada keletakan bangunan dari kedua keraton wilayah tersebut walaupun tidak sama persis. Persamaan terutama antara keraton Pakualaman dan Mangkunegaran dengan keraton Sumenep. Persamaan tersebut terletak pada pembagian halaman dan keletakan bangunannya. Dari per_samaan kemudian ketiga keraton tersebut dibandingkan dengan rumah tradisional Jawa dan Madura. Ternyata ketiganya memiliki persamaan dengan rumah tradisional Jawa. Dan bahkan Sumenep sendiri yang berada di Madura justru memiliki persamaan pada rumah tradisional Jawa dan bukan pada rumah tradisional Madura. Hal ini juga terlihat pada rumah kalangan bangsawan di Sumenep yang candong mirip dengan rumah tradisional Jawa.

Hasil penelitian ini juga melihat adanya perbedaan antara keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan ketiga keraton tersebut yaitu keraton Pakualaman} Mangkunegaran dan Sumenep. Perbedaan yang jelas terlihat terutama pada pembagian halamannya dimana pembagian halaman ketiga keraton tersebut lebih sedikit jumlahnya dibandingkan keraton Kasultanan dan Kasunanan. Demikian pula. pada arah hadap keratonnya. Arah hadap keraton Kasultanan dan Kasunanan adalah menghadap utara sedangkan arah hadap keraton Pakualaman, Mangkunegaran dan Sumenep justru sebaliknya yaitu menghadap selatan.

Dengan demikian kesimpulan secara keseluruhan adalah bahwa ada persamaan antara keraton di wilayah Madura se_bagai wilayah jajahan dan wilayah taklukan dengan keraton dari wilayah pusat atau wilayah penguasa. Selain itu ketiga keraton yaitu Pakualaman, Mangkunegaran dan Sumenep mempunyai status yang lebih rendah dari keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam hal ini status ketiga keraton tersebut adalah setingkat Kadipaten. Bertolak dari penelitian ini maka diharapkan akan ada penelitian selanjutnya mengenai keraton di berbagai tempat di Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12018
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjahjopurnomo
Abstrak :
Keraton Mangkunegaran merupakan keraton dari masa Islam yang telah mendapat pengaruh gaya bangunan Eropa. Keraton Mangkunegaran didirikan oleh Mas Said atau Pange_ran Samber Nyawa yang bergelar Mangkunegara I pada tahun 1757 . Berdasarkan Monumenten Ordonnantie tahun 1931 bangunan keraton Mangkunegaran yang berumur lebih dari. 50 tahun itu dapat dinyatakan sebagai monumen hidup (bangunan yang masih dipakai oleh permiliknya). Dipandang dari sudut arkeologi, keraton merupakan salah satu data yang penting untuk mengungkapkan cara-cara hidup manusia masa lalu. Kemegahan dan keindahan bangunan keraton dapat dipergunakan sebagai salah satu petunjuk mengenai tingkat ekonomi dan tingkat budaya negara yang bersangkutan.
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S12032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desrika Retno Widyastuti
Abstrak :
Kebudayaan suatu masyarakat bersifat dinamis, selalu berubah. Salah satu bentuk perubahan kebudayaan adalah melalui akulturasi/percampuran. Proses akulturasi dapat terjadi bila dua kebudayaan dalam masyarakat atau bangsa, masing-masing memiliki kebudayaan. tertentu lalu saling berhubungan. Selain itu proses akulturasi juga ditentukan pula oleh tingkat kebudayaan suatu bangsa, jika tingkat kebudaayan kedua bangsa sama atau hampir sama, maka kemungkinan menerima kebudayaan asing sangat besar, begitu pula sebaliknya. Penelitian ini terbatas hanya pada Kompleks Asta Tinggi Sumenep sebagai salah satu hasil kebudayaan yang bernafaskan Islam (yang sudah tercampur dengan hasil proses pra Islam). Penelitian dilakukan untuk mengetahui adanya akulturasi dengan unsur kebudayaan asing (Eropa dan Cina, Islam) dan mengetahui besarnya pengaruh tersebut pada Kompleks Asta Tinggi Sumenep. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan adalah melalui (a) pengumpulan data, (b) pengolahan data, (c) penafsiran data. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah adanya pengaruh unsur kebudayaan Cina, Islam dan Eropa. Pengaruh Cina tidak begitu besar, terbatas pada seni hias dan ukir yang terdapat pada rana kayu cungkup B, C dan D serta pada prasasti di dalam cung_kup F. Pengaruh Islam hanya terlihat pada kaligrafi yang berbentuk prasasti di Gapura D, kelir, prasasti dalam cungkup F, pada rana batu cungkup D serta pada nisan. Unsur kebudayaan Eropa besar pengaruhnya pada arsitektur di Kompleks Asta Tinggi Sumenep yang terli_hat pada pagar keliling, gapura dan bentuk cungkup F (cungkup Pnb. Sumolo). Ciri-ciri arsitektur Eropa yang menonjol di Asta Tinggi adalah arsitektur Inggris. Hal ini menguatkan pendapat Soekmono yang mengatakan gapura di halaman timur Kompleks Asta Tinggi mendapat pengaruh Inggris (Soekmono, 1985 : 114). Walaupun di Kompleks Asta Tinggi Sumenep banyak mendapat pengaruh asing namun pada bagian-bagian yang dianggap suci masih berakar pada unsur kebudayaan pra Islam, seperti bentuk makam, keletakan makam, penem_patan gapura berdasarkan jenisnya. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah bersifat sementara. Oleh karena itu penelitian serta pengujian lebih dalam masih dibutuhkan.
1995
S11584
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iroh Siti Zahroh
Abstrak :
Di Asia Tenggara sejak masa pra-Islam telah dikenal kepercayaan mengenai kesejajaran makrokosmos dengan mikrokos_mos, antara jagat raya dengan dunia manusia (Geldern 1972:1). Akibat kepercayaan itu, masyarakat selalu menjaga keselarasan makrokosmos dengan makrokosmos, antara jagat raya dengan dunia manusia. Penjagaan ini disebabkan oleh keinginan manusia supaya keadaan dunia selalu tenteram. Pada masa pra-Islam satu pusat kota, keraton, dan raja dianggap sebagai salah satu hubungan dari kesejajaran makrokosmos dengan mikrokosmos. Masyarakatnya rnenganggap bahwa pusat kota, keraton, dan raja selain dianggap sebagai pusat politik, sosial, ekonomi, keagamaan dan budaya juga dianggap sebagai pusat magis. Hal seperti ini pada masa Islam masuk dan berkembang, di Jawa pemikiran seperti ini masih ada walau pun samar-samar (Tjandrasasmita 1981/1982:236). Salah satu bentuk nyata dari pemikiran ini yaitu pusat kota, keraton, Sering di kelilingi termbok, parit , atau kedua_rya. Fungsi pertama tembok dan parit tersebut untuk menjaga segala serangan dari luar. Fungsi kedua yaitu sebagai tanda batas antara daerah sakral dan profan.
Depok: Universitas Indonesia, 1985
S11772
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Faisal Alamsyah
Abstrak :
ABSTRAK
Masjid agung Pondok Tinggi adalah salah satu masjid yang terletak di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Masjid ini belum pemah diteliti secara khusus. Pada tahun 1998 SPSP Jambi, Sumsel, Bengkulu melakukan pemerian dan studi konservasi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk arsitektur dan ragam hias Masjid Agung Pondok Tinggi, Kerinci sebagai masjid kuno juga untuk mengungkapkan percampuran budaya akulturasi antara budaya Islam dengan budaya lokal ( Kerinci ) dan budaya Minangkabau di dalam pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi.

Untuk mecapai tujuan di atas maka diperlukan langkah - langkah penelitian secara bertahap yang dapat mengidentifikasikan :a. Bentuk arsitektur dan ragam hias Masjid Agung Pondok Tinggi secara menyeluruh sehingga dapat diketahui ciri khas yang dimiliki Masjid Agung Pondok Tinggi Sebagai masjid kuno. b.Ciri - ciri khas dari komponen - komponen bangunan masjid agar dapat diketahui ada tidaknya ciri - ciri yang asalnya bukan dari daerah Kerinci.

Dengan demikian tahap kerja yang harus dilakukan pada tingkat observasi adalah memerikan unsur - unsur bangunan masjid yang meliputi : Pondasi dan denah, ruang utama, mihrab, tiang, ruang tempat adzan, atap, ragam hias, bedug, dan mimbar. Pada tingkat deskripsi/ analisa akan dilakukan perbandingan. Perbandingan dilakukan antara komponen - komponen tertentu dari masjid dengan literatur maupun bangunan dari berbagai daerah untuk membuktikan yang mana komponen asli dari daerah Kennel dan yang mana yang bukan. Perbandingan dilakukan dengan memperbandingan langsung komponen masjid seperti atap masjid dengan atap-atap bangunan tradisional kerinci maupun minangkabau. Pemilihan unsur - unsur tersebut didasari atas pertimbangan bahwa komponen tersebut merupakan satu kesatuan arsitektur bangunan masjid. Digunakannya sumber dari Minangkabau disebabkan oleh latar sejarah yang menyebutkan bahwa proses lslamisasi yang terjadi di Kerinci berasal dari Minangkabau. Pada tahap akhir adalah melakukan penjelasan terhadap data yang telah dianalisa, baik penjelasan berupa tulisan maupun gambar.

Dengan masuknya agama Islam ke dalam masyarakat Islam, tidak berarti semua unsur dalam kebudayaan Kerinci berubah. Salah satunya adalah arsitektur. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Masjid Agung Pondok Tinggi diketahui bahwa bentuk arsitektur dan ragam hiasnya sangat jelas memperlihatkan pengaruh arsitektur lokal yang kemudian menjadi ciri khas /keunikan dari masjid tersebut.
2001
S11835
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Ariesna Elvijanny
Abstrak :
Mesjid Agung Palembang adalah salah satu mesjid tua di Palembang sekaligus yang terbesar. Mesjid ini memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki oleh mesjid tua lainnya di Indonesia yaitu denah bujursangkar, beratap tumpang, memiliki serambi. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah: a. Metode deskriptif; b. Metode komparatif. Teknik yang digunakan adalah teknik wawancara dan teknik pengamatan. Sebagai perbandingan dilakukan pengamatan terhadap Mesjid Agung Banten serta Rumah Limas Palembang.
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S11937
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Herrystiadi
Abstrak :
Mesjid Agung Banten adalah salah satu komponen penting di dalam situs arkeologi kota Banten Lama yang belum pernah diteliti secara khusus dari begitu banyak penelitian di situs tersebut. Penelitian terhadap Mesjid Agung Banten ini bertujuan memaparkan gaya bangunan (arsitektural) dan seni hias (orna_mental) yang terdapat di komplek mesjid tersebut. Di samping itu mencoba memberi gambaran mengenai arti serta fungsi bangunan-bangunan kuno di sana, memperkirakan kronologi pembangunannya serta berusaha mengetahui peran dan fungsi mesjid tersebut di masa lampau. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini selain meng_gunakan sumber kepustakaan, juga diadakan pengamatan lang_sung terhadap objek yang diteliti serta mengadakan pemerian terhadapnya. Kemudian dilakukan pula kaji banding dengan data-data yang diperoleh dari kajian kepustakaan serta bangunan-bangunan lain sebelum menarik kesimpulan. Dari penelitian di atas diketahui bahwa Mesjid Agung Banten memiliki dua unsur arsitektural, yakni arsitektur lokal yang meneruskan tradisi dari masa sebelum Islam dan arsitektur asing, dalam hal ini arsitektur Belanda. Seni hiasnya (ornamental) hampir keseluruhannya juga memakai motif-motif yang telah dikenal pada masa sebelum Islam. Mesjid Agung Banten ternyata dibangun secara bertahap dan setiap bangunan yang terdapat di sana memiliki fungsi khusus. Menara misalnya, selain berguna sebagai tempat azan, juga berfungsi sebagai sarana pengawas pantai. Mesjid Agung Banten sebagai mesjid kerajaan mempunyai peran penting pada zamannya. Peran dalam pemerintahan dan kemasyarakatan turut pula dimilikinya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S11533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, John Barny
Abstrak :

ABSTRAK
Bangunan benteng menara merupakan salah satu bentuk bangunan benteng yang dibangun oleh Belanda di Indonesia. Ada empat buah bangunan benteng menara di Indonesia dan keempatnya berada di perairan Teluk Jakarta. Sisa bangunan benteng menara yang dapat kita jumpai hingga saat ini ada di Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Bidadari, dan Pulau Kelor. Sisa bangunan benteng menara yang ada di Pulau Kelor kemudian dijadikan obyek penelitian ini.

Melihat kondisi bangunan benteng menara Pulau Kelor yang sudah tidak utuh lagi, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk utuh bangunan benteng menara di Pulau Kelor sebelum mengalami kerusakan dengan menguji kembali pendapat yang diajukan oleh Francois Valentijn tentang konsep pendirian bangunan Belanda di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui fungsi serta peranan bangunan benteng menara di Pulau Kelor dalam sistem pertahanan di perairan Teluk Jakarta pada saat bangunan-bangunan benteng menaranya masih berfungsi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian arkeologi keruangan (spatial archaeology), Penelitian ini juga menggunakan pendekatan komparatif dan analogi sejarah dalam proses pengolahan data dan penafsiran data. Pada pendekatan komparatif, bangunan benteng menara Pulau Kelor dibandingkan dengan sisa bangunan benteng menara di Pulau Onrust, Pulau Cipir dan Pulau Bidadari serta beberapa bangunan benteng menara di Belanda. Sedangkan analogi sejarah digunakan untuk menjawab permasalahan yang timbul pada saat melakukan analisis khusus dan analisis konstektual ataupun pendekatan komparatif dengan menggunakan data atau sumber sejarah.

Dari analisis yang dilakukan dengan metode-metode yang ada maka disimpulkan bahwa bentuk bangunan benteng menara Pulau Kelor sebelum mengalami kerusakan adalah berdenah lingkaran dengan diameter sisi luar dinding lingkar 14 meter. Dinding terbuat dari bata dan memiliki ketebalan 2,5 meter. Bangunannya terdiri dari dua lantai dengan pintu masuk berada di lantai kedua pada sisi Tenggara. Lantai pada tingkat kedua terbuat dari kayu berbentuk balok dan papan. Tidak ditemukan adanya pembagian ruang dalam bangunan, parit keliling, dan kakus. Fungsi bangunan benteng menara pada umumnya adalah sebagai bagian dari sistem pertahanan, demikian pula dengan bangunan benteng menara di Pulau Kelor, Pulau Bidadari, Pulau Cipir, dan Pulau Onrust yang terletak di perairan Teluk Jakarta. Bangunan benteng menara di keempat pulau di perairan Teluk Jakarta dibangun antara tahun 1851-1853 dan memiliki tugas mengamankan Pulau Onrust, yang saat itu berfungsi sebagai galangan kapal Belanda (VOC).
1998
S11747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>