Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Trianto
Abstrak :
Setiap bentuk pemberian kredit memiliki risiko untuk mengurangi risiko dalam penyaluran kredit adalah melakukan kerja sama pemberian kredit atau disebut juga kerja sama pembiayaan antarbank. Bentuk kerja sama pembiayaan yang umum dilakukan oleh bank-bank lebih dikenal dengan kredit sindikasi. Dalam praktik, permasalahan mengenai kredit macet tetap saja muncul. Salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk masalah tersebut adalah melalui hukum kepailitan. Permasalahan yang sering dihadapi dalam hal kepailitan kredit sindikasi adalah siapa yang berwenang untuk melakukan permohonan pailit kepada debitor apabila para kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi, apakah pernyataan pailit tersebut harus dilakukan oleh seorang agen ataukah dibolehkan pula kreditur itu sendiri mengajukan permohonan pailit dengan atau dengan tanpa persetujuan kreditur lainnya? Menurut UUKPKPU, seorang debitor dapat dipailitkan oleh satu atau lebih kreditornya. Akan tetapi, dalam UUKPKPU tidak dijelaskan secara terperinci perihal kreditor mana yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit apabila kreditor terikat perjanjian kredit sindikasi. UUKPKPU menyebutkan hanya satu kali perihal kreditor sindikasi, yaitu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut ?Bilamana terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing Kreditor adalah Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2?. Sedangkan Pasal 1 angka 2 menyebutkan ?Kreditor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan?.Hal ini berarti, UUKPKPU tidak membedakan kedudukan kreditur dari suatu perjanjian biasa atau perjanjian sindikasi. Seorang debitor dapat dipailitkan oleh salah satu atau lebih kreditornya. Mengingat dalam skema sindikasi kredit, terdapat agen fasilitas yang mendapatkan kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama para kreditor termasuk untuk mewakili ke pengadilan. Kepailitan dapat terjadi dikarenakan debitur dalam keadaan tidak membayar hutangnya pada kreditor yang sudah jatuh tempo, dan bila kepailitan tersebut terjadi terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi, maka hal ini akan menimbulkan masalah bagi peserta kreditur sindikasi yang berhak mengajukan permohonan pailit, mengingat kreditor dalam kredit sindikasi dianggap sebagai kreditor Pasal 1 angka 2 UUKPKU. Dalam kredit sindikasi terdapat agen bank mempunyai peran yang besar, yaitu mewakili dan bertindak untuk kepentingan serta untuk dan atas nama para kreditur, pihak agen bank ini diangkat oleh para kreditur, serta hak atau kewenangan agen tersebut sudah diatur oleh para kreditor dengan agen itu. Masing-masing peserta sindikasi tidak mempunyai hubungan hukum yang langsung dengan debitur, karena itu tidak dapat berhubungan langsung dengan debitur, dengan demikian anggota dari peserta sindikasi tidak berhak menegur atau menagih pembayaran kredit pokok atau bunganya kepada debitur apabila debitur menunggak pembayaran, segala perbuatan hukum termasuk menyurati debitur hanya dapat dilakukan oleh agen. Penelitian ini akan berupaya untuk menjawab permasalahan-permasalahan berikut: Bagaimanakah ketentuan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diterapkan (ditaati) oleh para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan di dalam kredit sindikasi? Bagaimanakah hakim menerapkan Pasal 2 ayat (1) disertai penjelasannya dalam putusan pengadilan yang dibuatnya? Bagaimanakah para pihak yang terlibat dalam kredit sindikasi khususnya peserta kredit sindikasi dan agen fasilitas mencari celah (loophole) untuk melakukan pengajuan permohonan pailit, mengingat ketentuan mengenai kepailitan terhadap kredit sindikasi masih belum diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004? Analisis yang dilakukan untuk menjawab pokok permasalahan tersebut akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan ialah pendekatan (approach) dari sudut pendekatraktan ilmu hukum, baik secara yuridis (apa yang tertulis di dalam undang-undang) maupun empiris (apa yang terjadi di dalam praktik). ...... Every form of credit has an inherent risk along with it. To reduce the risk in credit provision, a distribution of the risk can be done by the means of credit provision cooperation or also known as interbank financing cooperation, with its most common form known as syndicated loan. In its application, the problem of nonperforming loan still arises. One of the solutions to such problem is the mechanism of Bankruptcy Law. The most common issue to the bankruptcy of syndicated loan is determining the party authorized to file for the bankruptcy of the debtor. When creditors are bound by syndicated loan agreement, does the bankruptcy filing fall within the duty of an agent or can any creditor file by himself with or without the approval of other creditors? According to the Bankruptcy Law, a debtor can face a bankruptcy charge from one or more of her creditors. However, the Law does not elaborate on which creditor reserves the right to file for bankruptcy in the case of syndicated loan. Only once does the Law mention the syndicated loan, that is in the Explanation of Article 2 number (1) as follows: "When there is a syndication of creditors, then each creditor is a creditor as mentioned in Article 1 number 2". Where Article 1 number 2 stipulates "Creditor is a person owning a debt which, by agreement or law, is collectible in front of Court". This means that the Bankruptcy Law does not apply any differentiation to the creditor within either a normal agreement or a syndication agreement. A debitor can be made bankrupt by one or more of her creditors. Taking into account the credit syndication scheme, an agent is authorized to act for and on behalf of the creditors, including the presence in the Court. A bankruptcy can take place due to the debtor's failure in paying her debts in due time to her creditors. And when such bankruptcy happens to a debtor bound by the syndicated credit agreement, the creditors in the syndicated loan will face an issue given that creditors in such syndicated loan is treated as a creditor in accordance to Article 1 number 2 of Bankruptcy Law. In a syndicated credit, there is a bank agent playing an important role, that is to represent and to act for the interest of and on the behalf of all the creditors. This bank agent is appointed by the creditors, and the rights and authorities of the agent are already part of the agreement between the creditors and the appointed agent. Each of the participants to the syndication does not have any direct legal connection to the debtor and thus is not able to communicate directly to the debtor. As such, any participant to the syndication has no right to collect payments to the credit, both of the principal or the interest, from ttrak Bhe debtor in the case of payment arrears. All legal action including the correspondence to the debtor is only performable by the agent. This research attempts to answer the following issues: How is the stipulation of Article 2 number (1), along with its explanation, of Act No. 37 Year 2004 applied (or abided) by the parties involved in the bankruptcy proceedings in syndication credit? How do the Judges apply Article 2 number (1), along with its explanation, in rendering their Judgement? How can the parties involved in credit syndication, particularly the participants to the syndicated credit and the agent find a loophole in filing for the bankruptcy, taking into account that stipulations regarding bankruptcy in a syndicated loan are still seeing gaps in Act No. 37 Year 2004? Analysis held to answer the main issue employs the normative research methods, with both legal (according to the letters of law) and empirical (according to the real-life application) approaches.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erinaldi
Abstrak :
ABSTRAK
Di dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa, merek memegang peranan yang sangat penting untuk membedakan suatu produk dengan produk lainnya dan untuk menjaga terjadinya persaingan yang sehat. Ketentuan pemberian perlindungan hukum untuk merek diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang antara lain terdapat pada pasal 5 ayat (d) yang menyatakan bahwa ?suatu merek tidak dapat didaftarkan apabila merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftarannya?. Namun pada beberapa permohonan permintaan pendaftaran merek dimana pemohon yang cenderung membuat suatu merek dengan menggunakan kata-kata yang sama atau merupakan kata-kata keterangan dari barang atau jasa dapat juga lolos dari ketentuan pasal 5 ayat (d) tersebut dan pemohon mendapatkan sertifikat merek. Di dalam perdagangan internasional, merek yang pengertiannya sama dengan barang atau jasa disebut dengan Merek Generik dan merek yang merupakan keterangan dari barang atau jasa disebut dengan Merek Deskriptif. Terhadap permasalahan di atas diperlukan penelitian pada pengaturan pemberian hak merek pada Undnag-Undang Merek dan penerapannya pada permohonan merek serta kajian terhadap teori-teori hukum yang terkait sehingga tidak lagi terjadi kekeliruan pemberian hak merek di masa mendatang.
ABSTRACT
In the commerce of goods and services, the trademark has a very important to differentiate a product with other products and to keep in the fair competition. The provision for trademark protection has regulated in Trade Mark Law No. 15/2001 contained in Article 5 point (d) which states that "trademark can not be registered if the description or in connection with goods or services for a registration". However, some applications where the applicant for registration of a trademark that tends to create a trademark by using the same words or a description word of the goods or services traded and the applicant obtain a certificate of trademark . In the international trading, meaning the same brand of goods or services referred to as ?Generic Mark? and mark which is a description of the goods or services referred to in ?Descriptive Marks?. According to the above problems need to research on the regulation of trademarks as well as its application to request a review of the legal theories are relevant to generic mark and descriptive mark for managed trademark registration entitlements for the future.
2012
T30662
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilla Octaviani
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai 3 hal, yaitu mengenai penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik) dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal di Indonesia, kewajiban perusahaan terbuka terkait transaksi afiliasi dan benturan kepentingan, dan penerapan prinsip-prinsip GCG dalam rangka transaksi penjualan 2 (dua) unit mesin/engine antara PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU). Sebagaimana kita ketahui, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 silam disebabkan oleh lemahnya penerapan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan di Indonesia. Pemerintah melalui BAPEPAM membuat berbagai peraturan bagi perusahaan terbuka dengan menerapkan prinsip-prinsip GCG. Penerapan prinsip tersebut dipercaya dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi serta melindungi kepentingan para pemegang saham minoritas dalam suatu perusahaan. PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk pada pertengahan tahun 2011 melakukan transaksi penjualan mesin pesawat dengan TNI AU. Transaksi tersebut merupakan transaksi afiliasi namun bukan merupakan transaksi yang mengandung benturan kepentingan. Penerapan prinsip-prinsip GCG pada transaksi ini pun sudah dilaksanakan dengan baik oleh perusahaan.
This thesis is mainly discuss about 3 (three) problems. First, the implementation of Good Corporate Governance (GCG) principles in Indonesia?s capital market regulations. Second, the responsibility of listed company on doing affiliated transaction and conflict of interest. The last is the implementation of GCG principles in the Selling of 2 (two) unit of engines between PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk and Indonesian Air Force. As we all know, economic crisis on 1998 caused by the lack of GCG implementation in Indonesia?s company. Government through BAPEPAM make certain regulations for listed company with absorbing GCG principles. The implementation of GCG principles are believed can increase the effectivity and efficiency as well as protection for stakeholder?s interest in company. In the middle of 2011, PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk sold the aircraft?s engine to Indonesian Air Force. This transaction is an affiliated transaction without conflict of interest. The GCG?c principles are also implemented well by the company.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42435
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library