Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Poppy Alia
Abstrak :
ABSTRAK
Keluhan efek samping pada kulit akibat penggunaan kosmetik pemutih merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi peningkatan setiap tahunnya di seluruh dunia. penelitian ini ingin mengetahui pengaruh jenis dan lama penggunaan kosmetik pemutih terhadap keluhan efek samping di kulit di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Surabaya. Penelitian merupakan analisis data sekunder Survei Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2009. Analisis data menggunakan stratifikasi dan analisis multivariat menggunakan Cox regression. Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi keluhan efek samping pada kulit sebesar 24,8%; proporsi responden dengan jenis kosmetik pemutih skin bleaching sebesar 21,5%; proporsi responden dengan lama penggunaan kosmetik pemutih lebih dari 3 bulan sebesar 58,9%; jenis kosmetik pemutih skin bleaching berisiko 1,690 kali terhadap keluhan efek samping pada kulit tanpa dikontrol oleh kovariat; lama penggunaan lebih dari 3bulan berisiko 1,755 kali terhadap keluhan efek samping pada kulit tanpa dikontrol oleh kovariat; jenis kosmetik pemutih skin bleaching beresiko 1,577 kali terhadap keluhan efek samping pada kulit setelah dilakukan pengontrolan terhadap faktor risiko lainnya.
ABSTRACT
side effects complaints on the skin due to the use of cosmetics whitening is one of the health problems that increase every year throughout the world. This study investigates correlation between the type and duration of use more than 3 months of whitening cosmetics againts side effect complains on the skin in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi and Surabaya. The study was conducted with a cross sectional analytic design, using survey data from the National Agency of Drug and Food Control in 2009. Stratification was used in data analysis while multivariate analysis uses Cox regression. The result of analyses showed that prevalence of side effects complain on the skin was 24,8%; the proportion of people using skin bleaching was 21,5%; the proportion of people with duration use more than 3 months was 58,9%. the data showed that people who used skin bleaching whitening cosmetics was at risk of 1,690 times before controlling the coariate factors while 1,544 times after controlling to covariate factors to have complaints of the side effect on skin. As for people with duration of use more than 3 months was at risk of 1,755 times before controlling the covariate factors while 1,577 times after controlling the covariate factors to have complaints of side effect on skin.
2013
T41439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurvika Widyaningrum
Abstrak :
Terapi antiretroviral mampu menekan replikasi HIV, mencegah morbilitas dan mortalitas. Kepatuhan pengobatan dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan terapi, mencegah resistensi obat antiretroviral dan risiko penularan HIVDR ditengah masyarakat. Efek samping obat antiretroviral umumnya terjadi pada 3 bulan pertama setelah inisiasi yang dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien di tahun pertama pengobatan antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efek samping obat antiretroviral lini pertama terhadap kepatuhan pengobatan pasien HIV/AIDS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2010-2015. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif berbasis rumah sakit dimana sebanyak 376 naïve-patient HIV/AIDS dipilih sebagai sampel dan diamati selama 12 bulan setelah inisiasi ART. Kepatuhan pengobatan diukur dengan dua metode yaitu berdasarkan self report dan ketepatan waktu ambil obat. Data dianalisa dengan menggunakan cox proportional hazard regression dengan perangkat lunak STATA12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek samping obat ARV lini pertama berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat (RR12=1,45, 95% CI 1,009?2,021 dan RR34=0,85, 95% CI 0,564-1,273) namun tidak berpengaruh terhadap kepatuhan ambil obat (RR12=1,23, 95% CI 0,851-1,839 dan RR34=0,70, 95% CI 0,437-1,108). ......Antiretroviral therapy suppresses HIV replication, preventing morbidity and mortality. Adherence to antiretroviral therapy is needed to achieve successful treatment, prevent resistance to antiretroviral drugs and the risk of transmission of HIVDR in the community. The side effects of antiretroviral drugs generally occur in the first 3 months after initiation that could affect adherence in the first year of antiretroviral treatment. The aim of this study analyzed the effect of first-line antiretroviral side effect and adherence of HIV/AIDS patients in RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso period 2010 until 2015. This study is hospital based retrospective cohort. A total of 376 HIV/AIDS naïve-patient had been selected as samples. Adherence was measured by two methods, based on self report and drug pick-up. Data was analyzed using cox proportional hazard regression with STATA12 software. Based on self report, HIV/AIDS patients who experience first-line ARV drugs side effect significantly associated with non-adherent (RR12=1.45, 95% CI 1.009 to 2.021 and RR34=0.85, 95% CI 0.564 to 1.273). Based on drug pick up, patients who experience first-line ARV drugs side effect not significantly associated with non-adherent (RR12=1.25, 95% CI 0.851 to 1.839 and RR34=0.70, 95% CI 0.437 to 1.108).
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmi Setyorini
Abstrak :
Obat tradisional telah diterima secara luas hampir diseluruh negara di dunia. Bertumbuh dengan cepat dalam sistem kesehatan dan penting diperhitungkan dari segi ekonomi. Obat tradisional di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai jamu. Jamu digunakan sebagai obat alternatif pengganti obat konvensional. Kebijakan pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka telah termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 760 tahun 1992 tentang Fitofarmaka. Jamu yang telah teruji secara praklinik disebut obat herbal terstandar, sedangkan jamu yang telah teruji secara klinik disebut fitofarmaka. Masih sedikitnya jumlah obat herbal terstandar dan fitofarmaka mengindikasikan ada masalah dalam implementasi kebijakan ini. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi secara mendalam. Untuk mendapatkan hasil yang valid digunakan data primer dan data sekunder serta dilakukan triangulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pengembangan jamu menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka menyangkut komponen komunikasi yang belum jelas dan konsisten, industri kecil kesulitan dana untuk penelitian, instrumen kebijakan tidak aplikatif, bahan baku belum tersedia secara berkesinambungan dan belum adanya koordinasi antar instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.
Traditional medicines have been widely established almost all over the world. They have been growing so fast in health system and have been measured from economy point of view. In the beginning, traditional medicine in Indonesia was known as Jamu. Jamu was used to replace conventional medicines as an alternative. The policy in developing jamu into a standardized herbal medicine and phytoparmaca has been issued in Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 760 year 1992 about phytopharrmaca. Jamu that was tested pra clinically and approved is called standardized herbal medicines. Meanwhile, Jamu that has been clinically approved is called phytopharmaca. There is still a few number of standardized herbal medicines and phytopharmaca is an sign of problem in implementing this policy. Therefore, the goal of this research is to analyze implementation of jamu development policy into standardized herbal medicine and phytoparmaca. This research is utilizing qualitative approach to discover further information. In order to get a valid result, it uses primary and secondary data and employs data triangulation. The result of this research shows that government is facing problems in developing jamu as standardized herbal medicine and phytoparmaca. They are untransparent and inconsistent communication, difficulty in funding the research for small industries, instruments policy that are not applicable, unavailability of raw materials, and lack of coordination between agencies involved in the implementation of policy.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T28487
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan
Abstrak :
Tesis ini membabas gambaran permasalahan implementasi kebijakan cara Pembuatan obat tradisional yang baik di Propimi DKI Jakarta tabun 2009, mengingat sampai tabun 2008 secara nasional baru 2,9% industri yang mendapatkan Sertifikat cara Pembuatan obat tradisional yang baik, sedangkan di Propinsi DKI Jakarta baru I ,9 %. Penelitian ini adalah penelltian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukan babwa rendahnya implementasi cara pembuatan obat tradisional yang baik disebabkan belum optimalnya sosialisasi kebijakan, masih beratnya industri menerapkan kebijakan dan masih lemabnya monitoring kebijakan.. Belum optimal sosialisasi karena belum jelasnya kegiatan pengembangan obat asli Indonesia, minimnya anggaran dan kurangnya koordinasi Beratnya industri rnenerapkan kebijakan karena keterbatasan dana dan rendahnya komitmen pemilik Masih lemahnya monitoring karena keterbatasan anggaran dan data yang terpercaya dan terkini belum jelasnya koordinasi antar instansi dan belurn adanya sanksi yang jelas. Diketahui juga skala penerapan cara pembuatan obat tradisional yang baik sangat dipengaruhi oleh komitmen pernilik yang diwujudkan dangan dana yang dialokasikan untuk menerapkan cara pembuatan obat tradisional yang baik. ......This thesis discussed describing problems of policy implementation on practices of manufacturing good traditional medicine at province of DKI Jakarta in 2009, considering until 2008 nationally where almost 2,9% of industries which got certificates on Practices of Manufacturing Good Traditional Medicine, where 1,9% of them was at province of DKI Jakarta. This study was a qualitative research with descriptive design. Study result indicated that low implementation on Practices of Manufacturing Good Traditional Medicine was caused by socialization of policy was not optimal yet, industry was still herd in implementing policies and monitoring policy was still low. Socialization was not optimal yet because development activities of Indonesian traditional medicine did not be understood yet, inadequate budget and the lack of coordination. Industry was still herd in implementing policies because of limited funds and low commitment of owner. Monitoring was still weak because of limited budget and the latest and trusted data, coordination inter institution was not explained and there was no sanction yet. It also found that scale of implementation on practices manufacturing of good traditional medicine was affected by owner commitment which was implemented by allocated funds to implement practices manufacturing good traditional medicines.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T32059
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library