Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmi Ulfah
Abstrak :
ABSTRAK
Gangguan kognitif ringan merupakan gejala awal dari perkembangan penyakit demensia yang dapat dicegah dan diperbaiki. Deteksi MCI menggunakan bantuan informan memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan langsung ke lansia. Salah satu pemeriksaan berdasarkan informan adalah IQCODE-S. Tujuan dari penelitian ini untuk melakukan adaptasi lintas budaya, uji validitas dan reliabilitas IQCODE-S Bahasa Indonesia.Metode Penelitian. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama meliputi adaptasi lintas budaya berdasarkan ketentuan World Health Organization WHO , dilanjutkan uji validitas interna, reliabilitas interna dan reliabilitas test-retest pada 30 pasien epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi. Tahap kedua adalah uji diagnostik. Hasil IQCODE-S dengan titik potong ge;3,19 dibandingkan dengan pemeriksaan neuropsikologi sebagai baku emas.Hasil. Kuesioner IQCODE-S versi bahasa Indonesia didapatkan melalui proses adaptasi lintas budaya menurut WHO. Hasil uji validitas interna dengan korelasi Spearman didapatkan koefisien korelasi 0,382 hingga 0,778. Uji reliabilitas konsistensi interna dengan Cronbach rsquo;s Alpha 0,854. Perbedaan nilai koefisien korelasi dan Cronbach rsquo;s Alpha antara pemeriksaan pertama dan retest menunjukkan reliabilitas test-retest yang baik. Dari 63 subyek uji diagnostik, proporsi MCI hasil pemeriksaan neuropsikologi sebanyak 87,3 . Dengan titik potong ge;3,19, IQCODE-S memiliki sensitivitas 76,4 dan spesifisitas 87,5 . Kesimpulan. Kuesioner IQCODE-S versi Indonesia terbukti valid dan reliabel sehingga dapat digunakan untuk menapis MCI. Dengan titik potong ge;3,19, IQCODE-S memiliki nilai akurasi yang tinggi tapi belum dapat menjadi alat skrining MCI di komunitas.Kata Kunci. MCI, IQCODE-S versi Indonesia, uji validitas dan reliabilitas, uji diagnostik.
ABSTRACT
Mild cognitive impairment MCI is the most early clinical symptom from the progression stage of dementia which this stage can be prevented or fixed. Detection of MCI by using informant based report has many advantages compared with objective screening test. One of informant based tools is Informant Questionnaire on Cognitive Decline in the Elderly short version IQCODE S . The aim of this study is to develop transcultural adaptation, validity and reliability test and diagnostic test with neuropsychological test of the IQCODE S.Method. The study was conducted in two phases. The first phase included transcultural adaptation based on World Health Organization WHO standards, followed by internal validity test, internal reliability test and test retest in 30 elderly patients within their informants who fulfill the inclusion criteria. The second phase was diagnostic test, in which, IQCODE S, with cut off point ge 3,19,will be compared with Neuropsychological test as the gold standard examination for diagnosing MCI.Results. The Indonesian version of IQCODE S was obtained by transcultural adaptation based on WHO standards. Internal validity test with Spearman correlation obtained the correlation coefficient 0.38 to 0.778 Internal consistency reliability test with Cronbach rsquo s Alpha was 0.854. The difference of correlation coefficient and Cronbach rsquo s Alpha between the first and the retest showed good test retest reliability. Out of 63 of subjects of diagnostic test, the proportion of MCI using neuropsychological test was 87.3 . With cut off point 3,19, IQCODE S had sensitivity rate of 76,4 and specificity 87,5 .Conclusion. The Indonesian version of the the IQCODE S was proven to be valid and reliable, also was found to be accurate but there should be cut off point determination as screening test so sensitivity could be higher than specificity. Keywords. MCI, IQCODE S Indonesian version, validity and reliability test, diagnostic test.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Prasasti Mutiadesi
Abstrak :
Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang mengharuskan orang untuk melakukan aktivitas lain sambil berjalan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa perubahan kinesia dan biomekanika subjek dengan Parkinsonisme saat melakukan aktivitas lain selama berjalan / tugas ganda. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Subjek dikelompokkan menjadi dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari 14 subjek dengan Parkinsonisme, dan kelompok kedua terdiri dari 14 subjek sehat dengan rentang usia yang sama (kontrol). Keadaan pola berjalan diukur dalam dua kondisi yang berbeda: (1) berjalan tanpa aktivitas lain (tugas tunggal) dan (2) berjalan sambil menjawab pertanyaan dari telepon (tugas ganda). Durasi satu siklus berjalan, panjang satu siklus berjalan, kecepatan berjalan, sudut ankle, dan episode freezing of gait dianalisa dengan Kinovea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara subyek kontrol untuk semua variabel pola berjalan. Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam semua variabel pola berjalan saat tugas ganda (P <0, 05) pada subjek dengan Parkinsonisme bila dibandingkan saat tugas tunggal. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa subjek dengan Parkinsonisme mengalami kesulitan melakukan aktivitas lain sambil berjalan / tugas ganda dan menyarankan terapi fungsional untuk peningkatan kualitas hidup.


Many daily activities require people to complete another task while walking. The purpose of this study was to analyze the change of kinesia and biomechanics of the subjects with Parkinsonism when perform another tasks during walking / dual tasking.This research is an observational analytic research with cross sectional design. Subjects were classified into two different groups. The first group consisted of 14 subjects with Parkinsonism, and the second group consisted 14 age-matched healthy subjects (control). Gait performance was measured under two different conditions: (1) preferred walking (single task) and (2) walking while answering questions from telephone (dual task). Gait cycle time, gait cycle length, gait velocity, angkle joint angle, and freezing of gait episode were examined with Kinovea. Our results showed that there were no significant differences between control subjects for all gait variables. However, there were significant differences in all dual-task-related gait variables (P < 0, 05) in Parkinsonism subjects compared with single task. The findings of this study suggest that subjects with Parkinsonism have difficulty performing another task while walking / dual tasking and recommend for planning physiotherapy to improve the quality of life of the Parkinsonism.

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T52883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raesa Yolanda
Abstrak :
Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) merupakan manifestasi terberat infeksi TB dan prognosisnya bergantung pada kecepatan memulai terapi. Studi ini bertujuan mengetahui alur perjalanan pasien TBM serta faktor-faktor yang memengaruhi keterlambatan dalam mendapatkan pengobatan. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari pasien TBM yang sudah mendapatkan terapi OAT dan dirawat di RSCM pada bulan Januari 2020 – April 2022. Data diperoleh melalui wawancara terhadap pasien atau pendamping dan telusur rekam medis. Hasil: Sebanyak 99 orang subjek yang memenuhi kriteria. Terdapat 6 pola alur perjalanan pasien dengan yang terbanyak adalah mengalami gejala umum diikuti gejala neurologis, mencari pertolongan kesehatan, terdiagnosis, dan mendapatkan pengobatan (52,5%). Fasilitas kesehatan pertama terbanyak dikunjungi pasien adalah praktek dokter swasta (L1b) (35,4%). Median jumlah kunjungan yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan adalah 6 (4-9) kunjungan dengan durasi keterlambatan sebagai berikut: keterlambatan pasien 17 (3-33) hari, keterlambatan diagnosis 44 (16-101) hari, keterlambatan pengobatan 1 (0-1) hari, dan keterlambatan total adalah 78 (33-170) hari. Faktor yang secara signifikan berhubungan dengan keterlambatan yang lebih panjang (>78 hari) adalah jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan aOR=3,51 (CI95=1,36-9,10; p=0,01) dan pendidikan rendah aOR=0,30 (CI95=0,01-0,89; p=0,03). Kesimpulan: Pasien TBM di RSCM menjalani kunjungan multipel dan membutuhkan waktu 2,5 bulan sejak mengalami gejala hingga mendapatkan pengobatan dengan keterlambatan terbesar berasal dari sistem kesehatan. ......Background: Tuberculous meningitis (TBM) is the worst manifestation of TB infection. Its prognosis is depend on timely treatment initiation. This study intend to know TBM patient pathway and factors that affect treatment delay. Methods: This was a crossectional study of TBM patients who have received antituberculous medication and were admitted at the RSCM January 2020-April 2022. Data were obtained from interview to either patient or caregiver and medical reccord. Results: A total of 99 subjects met the criteria. There were 6 patterns of patient pathway with the most prevalent is having general symptoms followed by neurological symptoms, first healthcare visit, diagnosed, and treated (52.5%). The first healthcare visited by most patients was private doctor's practice (L1b) (35.4%). Median number of visits before recieving treatment was 6 (4-9) visits. Delay duration are as follow: patient delay 17 (3-33) days, diagnosis delay 44 (16-101) days, treatment delay 1 (0-1) day, and total delay 78 (33-170) days. Factors that significantly associated with longer delays were number of visits to healthcare facilities aOR=3.51 (CI95=1.36-9.10; p=0.01) and lower education aOR=0.30 (CI95=0 .01-0.89; p=0.03). Conclusions: TBM patients experienced multiple visit and had 2.5 months delay from first symptoms to treatment with the longest delay coming from the healthcare system.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Devianca
Abstrak :
Latar belakang: Prevalensi ketidakpatuhan pasien pada pengobatan epilepsi cukup besar. Penyebab ketidakpatuhan terdiri dari banyak faktor, yang dapat diklasifikasikan menjadi intensional ataupun non intensional. Perilaku kepatuhan pasien dibentuk oleh bagaimana pasien melakukan representasi terhadap penyakit yang dideritanya, sehingga pengetahuan, sikap, dan perilaku (PSP) pasien epilepsi dinilai dapat berhubungan dengan kepatuhan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan tersebut. Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang. Populasinya adalah pasien epilepsi yang berobat ke poli neurologi RSUPNCM bulan Agustus – September 2022. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Analisis statistik menggunakan regresi logistik. Hasil: Rerata nilai pengetahuan sebesar 15,41+/-3,827 dengan rentang 7-35 (nilai 7 mengindikasikan ukuran pengetahuan paling baik). Median nilai sikap adalah 18 (10-27)dengan rentang 8-40 (nilai 8 mengindikasikan sikap paling baik). Median nilai perilaku adalah 10 (5-20), dengan rentang 5-25 (nilai 5 menunjukkan perilaku paling baik). Nilai kepatuhan pasien pada penelitian ini adalah 55,7%. Analisis multivariat menunjukkan bahwa semakin buruk nilai pengetahuan maka akan meningkatkan probabilitas terjadinya ketidakpatuhan sebesar 1,271 kali. Kesimpulan: Pengetahuan mengenai epilepsi memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan, sedangkan sikap dan perilaku pasien epilepsi tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan ......Background: There was a high prevalence of patient’s non-adherence to anti-seizure medication (ASM). It caused by many factors and classified as intentional or non intentional. Patient’s adherence was formed when they represent their ilness, so knowledge, attitudes, and behavior of patient with epilepsy (PWE) are considered to be related to their adherence. This study was aimed to assess this relationship. Methods: We conducted a cross sectional study on PWE who came to RSUPNCM Neurology outpatient clinic from August to September 2022. All consecutive patients were asked to complete the given questionnaire. We used a logistic regression for statistical analysis. Results: The mean score of knowledge was 15,41+/-3,827 (range, 7-35), with score of 7 indicated the best knowledge. The median score of attitudes was 18, interquartile range (IQR) 10-27 (range, 8-40), with score of 8 indicated the best attitudes. The median score of behavior was 10, IQR 5-20 (range, 5-25), with score of 5 indicated the best behavior. Fifty-five-point seven percent were estimated to be adherent. The multivariate analysis showed that with the worse score of knowledge, the probability of non-adherence will increase by 1,271 times. Conclusion: Knowledge about epilepsy has a relationship with ASM adherence, while attitude and behavior of PWE has no relationship with ASM adherence
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Chandra Nugraheni
Abstrak :
Latar belakang: Pasien NMOSD cenderung menunjukkan progresifitas/perburukan defisit neurologis pada setiap relaps. Pemberian terapi rumatan pada NMOSD bisa mencegah relaps dan mempertahankan remisi. Hingga saat ini belum ada studi yang meneliti mengenai kepatuhan pengobatan pasien NMOSD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai tingkat kepatuhan pengobatan pasien NMOSD, mengetahui karakteristik serta faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan pengobatan. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang dengan populasi seluruh pasien NMOSD yang berobat di RSCM sejak tahun 2019 hingga Mei 2023. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling. Kriteria inklusi yaitu pasien dengan diagnosis NMOSD sesuai kriteria diagnosis IPND tahun 2015, usia ≥ 18 tahun, konsumsi obat untuk NMOSD minimal selama 1 bulan. Kriteria eksklusi yaitu tidak bersedia ikut serta dalam penelitian. Kepatuhan berobat dinilai dengan kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 versi Bahasa Indonesia (MMAS-8), depresi dinilai dengan kuesioner Beck Depression Inventory versi Bahasa Indonesia (BDI-II), kognitif dinilai dengan kuesioner Montreal Cognitive Assesmenet versi Bahasa Indonesia (Moca-INA), dan persepsi terhadap penyakit dinilai dengan kuesioner Beck Depression Inventory versi Bahasa Indonesia (B-IPQ. Data karakteristik demografi, pengobatan, dan klinis didapatkan dari rekam medis/anamnesis.  Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 42 orang dengan rasio pria:wanita= 1: 13. Pasien yang terkategori patuh berobat sebesar 57,1%. Kepatuhan berobat berhubungan dengan status pernikahan (p=0,037), jenis obat saat ini (p=0,033), nilai EDSS (p=0,035), depresi (p=0,018), dan gangguan kognitif (p=0,029). Hasil analisis multivariat mendapatkan bahwa subjek yang tidak depresi 4,60 kali (IK 95% 1,03-20,4) lebih patuh dibandingkan depresi dan setiap kenaikan 1 poin EDSS (perburukan klinis) dapat 1,33 kali meningkatkan kepatuhan pengobatan (IK95% 1,02-1,76).  Simpulan: Pada penelitian ini, sebagian besar pasien NMOSD patuh pengobatan. Faktor independen yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien NMOSD di RSCM adalah depresi dan derajat disabilitas. ......Background: NMOSD patients tend to show progressive/worsening neurologic deficits in each relapse. Maintenance therapy for NMOSD can prevent relapse and maintain remission. Until now there have been no studies that examined the medication adherence of NMOSD patients. The aim of this study was to assess the level of medication adherence of NMOSD patients, to find out the characteristics and factors that influence treatment adherence. Methods: We conducted a cross sectional study on NMOSD patients who came to RSCM from 2019 to May 2023. Samples were taken by consecutive sampling. The inclusion criteria were patients with a diagnosis of NMOSD according to the 2015 IPND diagnosis criteria, age ≥ 18 years, consumption of drugs for NMOSD for at least 1 month. Exclusion criteria were not willing to participate in the study. Medication adherence was assessed by the Indonesian version of the Morisky Medication Adherence Scale 8 questionnaire (MMAS-8), depression was assessed by the Indonesian version of the Beck Depression Inventory questionnaire (BDI-II), cognitive was assessed by the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment questionnaire (Moca-INA), and perceptions of illness were assessed by the questionnaire Beck Depression Inventory Indonesian version (B-IPQ). Data on demographic, treatment, and clinical characteristics were obtained from medical records/anamnesis. Results: There were 42 subjects in this study with a male:female ratio = 1: 13. Patients who were categorized as adherent to medication were 57.1%. Medication adherence was related to marital status (p=0.037), current type of medication (p=0.033), EDSS score (p=0.035), depression (p=0.018), and cognitive impairment (p=0.029). The results of multivariate analysis found that subjects who were not depressed were 4.60 times (95% CI 1.03-20.4) more adherent than depressed subjects and for every 1 point increase in EDSS (clinical worsening) could be 1.33 times increased medication adherence (95% CI). 1.02-1.76). Conclusion: In this study, the majority of NMOSD patients adhered to treatment. Independent factors that influence NMOSD patient medication adherence at RSCM are depression and the degree of disorder.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sekarsunan Setyahadi
Abstrak :
Latar Belakang. Gangguan memori merupakan konsekuensi epilepsi lobus temporal (ELT) dan salah satu acuan penentuan zona epileptogenik, disesuaikan semiologi kejang, EEG iktal serta neuroimaging. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan tatalaksana komprehensif termasuk terapi pembedahan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuan. Mengetahui gambaran gangguan memori penyandang ELT di RSCM. Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang. Subyek adalah penyandang ELT kiri atau kanan, diperoleh secara konsekutif, kemudian dilakukan pemeriksaan Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) dan Rey Osterrieth Complex Figure Test (ROCFT) .Hasil. Diperoleh 85 subyek, 63.5% menderita gangguan memori. Dari 24 subyek gangguan memori visual, 29.6% dengan fokus kanan, dan 14.8% dari kiri. Dari 16 subyek gangguan memori auditorik, 25.9% dari fokus kiri dan 3.7% dari kanan. Gangguan memori visual dan auditorik pada 14 orang, dengan fokus kiri 11.1% dan kanan 14.8%. Fokus cetusan kanan berhubungan signifikan dengan gangguan memori visual dan kiri berhubungan signifikan dengan memori auditorik (p=0.001). Penggunaan OAE (p<0.10, OR 2.300,IK 95% 0.874,6.050) mempengaruhi gangguan memori secara umum. Lama menderita epilepsi (p<0.10;OR2.953;IK 95%0.863,10.110), penggunaan OAE (p<0.10;OR9.253;IK 95%1.355,63.168) dan fokus cetusan (p<0.10;OR 19.620; IK 95% 2.012,191,312) mempengaruhi gangguan memori auditorik. Onset bangkitan awal (p<0.10;OR 3.043,IK95%,0.110, 1.136) mempengaruhi gangguan memori visual. Lama menderita epilepsi (p<0.10;OR 2.383; IK95% 0.899,6.318) mempengaruhi gangguan memori visual dan auditorik. Kesimpulan. Sebagian besar penyandang ELT menderita gangguan memori. Gangguan memori visual atau auditorik menunjukkan efek lateralisasi yang signifikan. Penggunaan OAE, lama menderita epilepsi, usia saat bangkitan awal dan fokus cetusan dapat mempengaruhi gangguan memori. ......Background. Memory impairment was a consequence of temporal lobe epilepsy (TLE). Memory impairment with semiology, ictal EEG and neuroimaging were used in determining the epileptogenic zone of TLE, so we could improve the comprehensive management of TLE, and improve patient?s quality of life. Objectives.To determine the proportion of memory impairment in people with TLE in RSCM. Methods A cross-sectional study, subjects were those with left or right TLE. The memory function were assessed using Rey Osterrieth Complex Fugure Test (ROCFT) and Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT). Results. There were 85 eligible subjects. Memory impairment was found in 63.5% subjects. Visual memory impairment were found in 24 subjects, 29.6% with right focus and 14.8% left focus. Auditory memory impairment were found in 16 subjects, 25.9% with left focus and 3.7% right focus. Visual and auditory memory impairment were 14 people, 11.1% with left focus and 14.8% were right. The right sided focus was associated with visual memory impairment and auditory memory impairment was associated with leftfocus (p = 0.001). The use of Anti Epileptic Drugs (AED) (p <0,10; OR 2.300; 95% CI 0.874; 6.050) affected memory impairment in general. Duration of epilepsy (p <0.10; OR 2.953;95% CI 0.863;10.110) , the use of AED (p <0.10; OR 9.253; 95% CI 1.355;63.168) and focal discharges (p <0.10; OR 19,620; 95% CI 2.012;191,312) affected the auditory memory impairment. Early seizure onset (p <0.10; OR 3.043; 95% CI 0.110; 1136) affected visual memory impairment. Duration of epilepsy (p <0.10; OR 2,383; 95%CI 0.899;6.318) affected visual and auditory memory impairment. Conclusion. Most of subjects were suffering from memory impairment. Subjects with visual or auditory memory impairment showed significantly effects of lateralization. The use of AEDs, duration of epilepsy, early onset of seizure affected memory impairment.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Saraswati
Abstrak :
Latar belakang: Malnutrisi berhubungan dengan patologi struktural dan fungsional di otak yang dapat mengganggu maturitas sistem saraf pusat (SSP). Hal ini dapat menyebabkan gangguan belajar dan mempengaruhi kecerdasan anak. Salah satu instrumen untuk menilai maturitas SSP adalah dengan pemeriksaan soft sign neurology yang dapat menilai kelainan motorik atau sensorik tanpa adanya lesi struktural di SSP. Tujuan: Melihat perbandingan neurodevelopment anak dengan gangguan gizi dan anak gizi normal. Metode: Penelitian potong lintang secara konsekutif nonrandom sampling pada anak usia 5-18 tahun dengan gizi normal dan ganguan gizi di wilayah Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dilakukan wawancara dengan orang tua, recall makanan, dan pemeriksaan soft sign neurology dengan instrumen Physical and Neurological Examination for Soft Sign (PANESS). PANESS terdiri dari 43 aitem untuk menilai gerakan motorik, graphesthesia, stereognosis, keseimbangan, gerakan berkelanjutan, gerakan bergantian dan string test. Hasil: Dari 170 subyek didapatkan soft sign neurology pada 135 subyek (79,4%) terdiri dari 72 laki-laki (53,3%) dan 63 perempuan (46,7%); 70 subyek (77,8%) kelompok gizi normal dan 65 subyek (81,2%) kelompok gangguan gizi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok gizi normal dengan kelompok gangguan gizi usia 5-12 tahun pada penilaian total graphesthesia, total keseimbangan, dan total PANESS (p<0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok gizi normal dengan kelompok gangguan gizi usia 13-18 tahun pada penilaian gerakan bergantian (p=0,047). Kesimpulan: Terdapat perbedaan soft sign neurology yang bermakna antara kelompok anak gizi normal dengan kelompok anak gangguan gizi terutama pada kelompok usia 5-12 tahun. Hal ini menunjukkan keterlambatan dalam maturitas SSP.
Background: Malnutrition is associated with structural and functional pathology of the brain, which can disrupt maturity of central nervous system (CNS). Furthermore, this condition will cause learning disability and influence child intellegency. One of instrument to assess maturity of the CNS by using Neurological soft signs (NSSs) which can assess abnormal of motor and sensory findings without a structural lesion in the CNS. Aim: This study is aimed to assess association of neurodevelopment between malnutrition and normal nutrition children. Method: This cross-sectional study used consecutive non-randomized sampling by enrolled to children range between 5-18 years old within normal nutrition and undernutrition based at Jakarta regions which had met with inclusion and exclusion criteria, and had undergone interview with their parents, 24 hours recall nutrition, and NSSs examination using Physical and Neurological Examination for Soft Sign (PANESS) instrument. PANESS consist of 43 items was used for the assesment of motor movement, graphestesia, stereognosis, balance, continuity of movement, alternating movement and string test. Result: From total of 170 subjects, there were 135 subjects (79.4%) have NSSs, consist of 72 boys (53.3%) and 63 girls (46.7%). In normal nutrition group there were found 70 subjects (77.8%) have NSSs and at malnutrition group there were found 65 subjects (81.2%) have NSSs. It showed that there was significant difference between normal nutrition between 5-12 years old compared to malnutrition group in total assessment of graphesthesia, total balance, and total score of PANESS (P<0.05). There were significant difference between normal nutrition group of 13-18 years old with malnutrition group at alternating movement (P=0.047). Conclusion: There is significant difference of NSSs between normal nutrition and malnutrition especially for children between 5-12 years old. This finding showed delay of the CNS maturity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Maharani
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan komplikasi neurologis tersering pada pasien HIV. Stavudin, yang dikaitkan dengan risiko neuropati perifer, mulai ditinggalkan sebagai pilihan pertama terapi antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian neuropati pada pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin menggunakan multimodalitas pemeriksaan, dan faktor risiko yang berhubungan. Metode Penelitian: Penelitian berdesain potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian JakCCANDO ditambah dengan data primer dari pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin minimal 12 bulan yang berobat di Unit Pelayanan Tepadu (UPT) HIV Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Anamnesis dan penelusuran data faktor risiko, skrining klinis Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), elektroneurografi, dan Stimulated Skin Wrinkling (SSW) dengan krim lidokain:prilokain 5% dilakukan pada setiap subjek penelitian. Data dianalisis dengan SPSS 17.0. Hasil: Angka kejadian polineuropati simetris distal (PSD) pada 68 subjek penelitian berdasarkan BPNS, elektroneurografi, SSW, dan kombinasi ketiga modalitas ialah 16,2%, 25%, 29,4%, dan 52,9%. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l memiliki risiko PSD sebesar 2,85 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok subjek dengan CD4 nadir yang lebih tinggi (IK 95% 1,99-8,29). Subjek yang memiliki tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm (p<0,03) dan viral load lebih dari sama dengan 35.000 kopi/ml (p<0,05) memiliki rerata kecepatan hantar saraf sensorik tungkai bawah lebih rendah dibandingkan subjek dengan tinggi badan dan viral load yang lebih rendah. Kesimpulan: Angka kejadian neuropati perifer pada pasien HIV masih cukup tinggi yaitu 52,9% dari subjek penelitian, meskipun stavudin tidak lagi digunakan. Penggunaan multimodalitas pemeriksaan memberikan kemampuan deteksi neuropati lebih banyak dibandingkan modalitas pemeriksaan tunggal. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l, 2,85 kali lebih berisiko mengalami PSD. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm dan viral load lebih dari sama 35.000 kopi/ml terhadap abnormalitas parameter elektroneurografi saraf sensorik tungkai bawah.
ABSTRACT Background: Peripheral neuropathy was a common neurologic complications in HIV patients. Stavudine, which was often associated with neuropathy risk, is no longer used as first line HAART. This study was aimed to determine prevalence of neuropathy in HIV patients receving HAART without stavudine using multi modalities examination, and associated risk factors. Materials and Method: A cross-sectional study was undertaken using secondary data from JakCCANDO study subjects and primary data from HIV patients receiving antiretroviral therapy without stavudine for minimum 12 months in Integrated HIV Outpatient Clinics of Cipto Mangunkusumo General Hospital. All subjects were performed history taking, Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), electroneurography, and Stimulated Skin Wrinkling (SSW) using lidocaine:prilocaine 5% cream. Data analysis was done using SPSS 17.0. Results:Prevalence of symmetric distal polyneuropathy (DSP) from 68 study subjects based on BPNS, electroneurography, SSW, and combination of three modalities were 16,2%, 25%, 29,4%, and 52,9%. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l were at increased risk of DSP 2,85 times larger than subjects with higher nadir CD4 (CI 95% 1,99-8,29). Subjects with a height of equal or more than 170 cm (p<0,03) and viral load of equal or more than 35.000 copies/ml (p<0,05) had significantly decrease mean of lower extremities sensory nerve conduction velocities based on electroneurography compared to subjects with lower height and viral load. Conclusions: Peripheral neuropathy remained a numerous neurological complication, as much as 52,9% of study subjects, even when stavudine was no longer used. Multiple diagnostic tools used in this study gave higher neuropathy number compared to single diagnostic modality. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l had 2,85 times higher risk of having DSP. There were also correlation between height equal or more than 170 cm and viral load equal or more than 35.000 copies/ml with electroneurographic parameter abnormalities of sensory nerve in lower extremities.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meity Asyari Rahmadhani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka kematian dan disabilitas di dunia dengan etiologi utama iskemik. Stroke iskemik disebabkan emboli atau trombus yang menyumbat arteri otak sehingga timbul inti infark yang dikelilingi penumbra iskemik. Untuk mengembalikan sirkulasi penumbra iskemik diperlukan terapi reperfusi, salah satunya trombolisis intravena dengan Alteplase. Dari berbagai pusat studi penggunaan Alteplase berbeda-beda dalam waktu awitan-terapi dan dosis terapi, yaitu awitan terapi 3 hingga 6 jam dan dosis standard 0,9 mg/kgBB dibandingkan dengan dosis rendah 0,6 mg/kgBB. Metode Penelitian: Penelitian berupa studi potong lintang serial untuk menilai manfaat persentase perbaikan NIHSS dan mRS serta keamanan angka kejadian perdarahan intraserebral simtomatik dan kematian penggunaan alteplase dosis 0,6 mg/kgBB pada stroke iskemik akut 4 nilai NIHSS pada 24 jam pasca-trombolisis. 55,4 memiliki luaran baik berdasarkan mRS 90 hari. 7,4 mengalami perdarahan intraserebral 7 hari pasca-trombolisis. Sebanyak 10,2 subjek mengalami kematian dengan 5,6 meninggal dengan penyebab serebral. Kesimpulan: Alteplase dosis 0,6 mg/kgBB bermanfaat dan aman diberikan pada stroke iskemik akut
ABSTRACT<>br> Background Stroke is a leading cause of mortality and disability globally with major ischemic etiology. Ischemic stroke caused by thrombus or embolus that lodges in cerebral artery causing infarct core and surrounded by ischemic penumbra. To restore ischemic penumbral circulation, reperfusion therapy is required, one of them is intravenous thrombolysis with Alteplase. Many centers have different use of Alteplase within onset to treatment time and therapeutic doses, i.e. onset to treatment 3 to 6 hours and the standard dose of 0.9 mg kg compared with low dose 0.6 mg kg. Methods Serial cross sectional study to assess the efficacy percentage improvement of NIHSS and mRS and safety symptomatic intracerebral haemorrhage and death with Alteplase 0.6 mg kg in acute ischemic stroke 4 point NIHSS at 24 hours post thrombolysis. 55.4 had good outcomes based on mRS 90 days. 7.4 experienced intracerebral hemorrhage at 7 days post thrombolysis. 10.2 of subjects suffered death with 5.6 died with cerebral causes. Conclusion Alteplase dose 0.6 mg kg is beneficial and safe for acute ischemic stroke
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Firdausia
Abstrak :
Latar Belakang: Multipel sklerosis (MS) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi dan demielinasi pada sistem saraf pusat. Proses tersebut mengakibatkan penurunan volume, tidak hanya di substansia alba namun juga di substansia grisea. Laju atrofi tersebut berlangsung lebih cepat 0,5-1,3% per tahun dibandingkan orang normal 0,1-0,4% per tahun. Proses inflamasi dan atrofi tersebut menyebabkan semakin beratnya disabilitas pada pasien dan nantinya memengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara atrofi baik di substansia alba dan grisea dengan derajat disabilitasnya serta mencari faktor-faktor yang memengaruhi atrofi. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif potong lintang yang melibatkan 28 pasien MS. Seluruh pasien MS dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan EDSS, pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal, dan MRI kepala kontras. Gambaran MRI potongan 3DT1 diambil dan dilakukan penghitungan volume otak dengan piranti lunak freesurfer 6.0. Hasil: Volume substansia alba maupun grisea pasien MS lebih rendah signifikan dibandingkan kontrol sehat (p<0,001 dan p=0,001). Untuk proporsi atrofi juga lebih banyak dibandingkan kontrol sehat. EDSS pasien dengan atrofi substansia alba berbeda bermakna dibandingkan dengan yang tidak atrofi (p=0,009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia alba adalah usia, usia onset, jenis kelamin, pendidikan, tipe MS, dan jumlah lokasi lesi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan atrofi substansia grisea adalah jumlah lokasi lesi. Kesimpulan: Volume substansia alba dan grisea pasien MS lebih rendah dibandingkan kontrol sehat. Atrofi substansia alba memengaruhi disabilitas pasien. ......Background : Multiple sclerosis (MS) is an autoimmune disease that causes inflammation and demyelination in the central nervous system. The process resulted in a decrease in volume, not only in the white matter but also in the gray matter. The rate of atrophy is 0.5-1.3% per year faster than normal people 0.1-0.4% per year. These inflammatory and atrophic processes cause more severe disability in patients and later affect the quality of life of patients. This study aims to assess the relationship between atrophy both in gray and white matter with the degree of disability and to look for factors that influence atrophy. Methods : This research was a cross-sectional descriptive study involving 28 MS patients. All patients underwent history taking, physical examination and EDSS examination, laboratory tests of kidney function, and contrast head MRI. MRI images of 3DT1 pieces were taken and the brain volume was calculated using freesurfer 6.0 software. Results : The volume of white and gray matter of MS patients was significantly lower than healthy controls (p <0.001 and p = 0.001). For the proportion of atrophy also more than healthy controls. EDSS of patients with white matter atrophy was significantly different compared to those without atrophy (p = 0.009). Factors related to white matter atrophy are age, age of onset, sex, education, type of MS, and number of lesion locations. Factors associated with gray matter atrophy are the number of lesion sites. Conclusions: The volume of white and gray matter of MS patients is lower than that of healthy controls. Atrophy of the substance of the alba affects the disability of the patient.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>