Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamida Fatimah Zahra
"Diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian berbagai jenis kanker pada banyak studi. Namun demikian, hubungan nya dengan risiko tumor otak masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan adanya korelasi positif, negatif, atau bahkan tidak sama sekali antara keduanya. Tumor otak tidak menyumbang pada sebagian besar kasus kanker, tetapi memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dengan rata-rata kelangsungan hidup yang rendah, sementara terapi masih sangat terbatas. Penulisan review ini bertujuan untuk menilai hubungan antara diabetes melitus dengan risiko tumor otak dan kaitannya dengan kelangsungan hidup pasien, serta melihat potensi terapi antidiabetes terhadap tumor otak. Review bersifat sistematik berdasarkan acuan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) tahun 2009 dan menggunakan pendekatan kualitatif. Pencarian literatur dilakukan pada Oxford Journals, ProQuest, PubMed, ScienceDirect, Scopus, SpringerLink, dan Wiley, serta melalui daftar referensi pada artikel terkait. Hasil pencarian didapatkan delapan artikel yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Berdasarkan analisis pada artikel tersebut, perbedaan hubungan antara diabetes melitus dengan tumor otak dapat terjadi akibat sub kelompok yang berbeda, yaitu jenis kelamin, ras, serta jenis studi. Tingginya nilai HbA1c dapat dijadikan prediktor bagi kelangsungan hidup yang lebih rendah. Meskipun hasil ini tidak bersifat independen, kontrol glikemik merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tumor otak. Terkait hubungannya dengan terapi antidiabetes, metformin menunjukkan adanya potensi sebagai terapi adjuvan bagi pasien tumor otak dikarenakan meningkatkan kelangsungan hidup yang lebih lama pada pasien glioma stadium III dibandingkan dengan insulin dan sulfonilurea, adanya potensi efek antiproliferatif pada sel glioma, dan tidak menyebabkan hipoglikemia."
Lengkap +
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amanda Nabilah
"Latar Belakang. Clopidogrel adalah salah satu pilihan antiplatelet pada kasus stroke iskemik yang bekerja dengan menghambat ikatan adenosine diphosphate (ADP) dengan reseptor P2Y12. Gen ABCB1 diketahui mengkode transporter P-glikoprotein (P-gp) multidrug resistance-1 (MDR1) yang mempengaruhi absorpsi clopidogrel di usus, sehingga mempengaruhi efektivitasnya dalam mencegah agregasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran polimorfisme gen ABCB1 terhadap variabilitas respons clopidogrel yang dilihat dari agregasi trombosit serta mengetahui frekuensi genotip ABCB1 pada populasi.
Metode. Studi potong lintang dilakukan pada pasien stroke iskemik yang mengkonsumsi clopidogrel di RSUI/RSCM pada 2020-2023. Dilakukan pemeriksaan polimorfisme ABCB1 C3435T dan C1236T serta agregasi trombosit dengan VerifyNow PRU. Variabilitas respons clopidogrel dikelompokkan menjadi tidak respons (>208 PRU), respons (95-208 PRU), dan risiko perdarahan (<95 PRU).
Hasil. Sebanyak 124 subjek direkrut dalam penelitian, dengan 12,9% subjek tidak respons, 45,9% respons, dan 41,9% lainnya memiliki risiko perdarahan terhadap pemberian clopidogrel. Genotip homozigot wildtype (CC) pada ABCB1 C1236T memiliki kemungkinan risiko perdarahan pada konsumsi clopidogrel 3,76 kali lebih tinggi (p=0,008; 95%CI 1,41-10,07) dibandingkan varian lainnya (CT/TT). Frekuensi genotip ABCB1 C3435T subjek pada kelompok homozigot wildtype, heterozigot, dan homozigot varian berturut-turut sebesar 35,9%, 43,5% dan 16,9%. Sementara itu, pada genotip C1236T berturut-turut sebesar 17,8%, 39,5%, dan 42,7%.
Kesimpulan. Genotip ABCB1 C1236T varian homozigot wildtype memiliki kemungkinan risiko perdarahan 3,76 kali lebih tinggi pada pemberian clopidogrel. Frekuensi genotip terbanyak pada ABCB1 C1236T adalah homozigot varian, sementara pada ABCB1 C3435T adalah heterozigot.

Background. Clopidogrel has been the primary choice of antiplatelet in ischemic stroke that inhibits adenosine diphosphate (ADP)-induced platelet aggregation. P-glycoprotein (P-gp) multidrug resistance-1 (MDR1) is a transmembrane efflux transporter in intestinal cells that plays a significant role in clopidogrel absorption, therefore may affect platelet aggregation. P-gp is encoded by the ABCB1 gene. This study aims to evaluate the effect of ABCB1 polymorphism on clopidogrel response variability in ischemic stroke patients and its genotype frequency.
Methods. A cross-sectional study was conducted in ischemic stroke patients who received clopidogrel between 2020-2023 in RSUI/RSCM. All subjects were assessed for ABCB1 polymorphisms C3435T and C1236T. Platelet aggregation were measured using VerifyNow PRU. Clopidogrel response variability was classified into unresponsive (>208 PRU), responsive (95-208 PRU), and bleeding risk (<95 PRU).
Results. 124 subjects enrolled in this study, with 12,9% of subjects classified as non-responsive/resistant, 49,5% as responsive, and 41,9% as bleeding risk. ABCB1 C1236T homozygote wildtype (CC) was associated with 3,76 times higher bleeding risk than other variants (p=0,008; 95%CI 1,41-10,07). Genotype frequency of ABCB1 C3435T homozygote wildtype, heterozygote, and homozygote variants were 35,9%, 43,5% and 16,9%, respectively; while the genotype frequency of ABCB1 C1236T were 17,8%, 39,5%, and 42,7%, respectively.
Conclusion. ABCB1 C1236T homozygote wildtype was associated with 3,76 times higher bleeding risk than other variants. The most common genotype frequency of ABCB1 C1236T was homozygote variant; while for ABCB1 C3435T was heterozygote.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Amalia
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejang merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor primer intrakranial dan penyebab utama morbiditas terhadap pasien.Pemeriksaan EEG diperlukan untuk menentukan kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor pada MRI yang akan menentukan prognosis kejang serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor. Belum adanya data mengenai kejang pada tumor primer intrakranial serta kesesuaian berdasarkan gambaran EEG dan MRI menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan.Mengetahui kesesuaian antara aktivitas epileptiform pada EEG dan lesi tumor dengan MRI pada pasien tumor primer intrakranial dengan klinis kejang. Metode.Desain penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional).Subyek penelitian adalah semua pasien dengan tumor primer intrakranial yang ada di ruang rawat inap dan rawat jalan neurologi, bedah saraf, radiologi RS Cipto Mangunkusumo yang sudah dilakukan EEG dan MRI.Ditentukan aktivitas epileptiform dan dianalisa kesesuaiannya dengan lokasi tumor berdasarkan MRI. Hasil.Dari 33 subyek dengan tumor primer intrakranial dengan klinis kejang , didapatkan hanya 17 subyek yang menunjukkan aktivitas epileptiform (51,5%), perempuan lebih banyak dari lelaki, dengan rerata usia adalah 34 tahun. Sebagian besar mengalami kejang parsial dan secondary generalized seizure(SGS) merupakan tipe kejang parsial terbanyak (16 dari 17 subyek). Kejang sering ditemukan pada tumor di frontal (11 dari 17 subyek) dan pada jenis tumor primer Low grade(8 dari 17 subyek). Kesesuaian aktivitas epileptiform dengan lokasi tumor didapatkan pada 8 dari 17 subyek dengan lebih banyak yang sesuai pada lobus temporal. Kesimpulan.Dari seluruh pasien tersangka tumor primer intrakranial dengan klinis kejang hanya didapatkan 8 dari 17 subyek yang sesuai antara aktivitas epileptiform pada EEG dengan lesi tumor pada MRI.Gambaran aktivitas epileptiform pada EEG tidak dipengaruhi oleh usia, bentuk bangkitan kejang, jenis tumor, lokasi berdasarkan lobus, lokasi berdasarkan parenkim otak, durasi sakit, dan ukuran tumor.

ABSTRAT
Background.Seizures are a common symptom in primary intracranial tumors and a major cause of morbidity to the patient. EEG examination is necessary to determine the suitability of the seizure focus to the location of the tumor on MRI that will determine the prognosis of seizures as well as a lot of factors that affect compatibility between focal seizures with tumor location. The absence of data on seizures in primary intracranial tumors and suitability based on EEG and MRI picture is the basis of this study. Purpose.Knowing the correspondence between epileptiform activity on EEG and MRI tumor lesions in patients with primary intracranial tumors with clinical seizures. Method.Design research is a cross-sectional study (cross-sectional). Subjects were all patients with primary intracranial tumors that exist in the inpatient and outpatient neurology, neurosurgery, radiology Cipto Mangunkusumo already done EEG and MRI. Epileptiform activity determined and analyzed for compliance with the location of the tumor by MRI. Result. From 33 subjects with primary brain tumors with clinical seizures, obtained only 17 subjects demonstrated epileptiform activity (51.5%), more women than men, with a mean age was 34 years. Most had partial seizures and secondary generalized seizures (SGS) is a type of partial seizure majority (16 of 17 subjects). Seizures are often found in tumors in the frontal (11 of 17 subjects) and the type of primary tumor Low grade (8 of 17 subjects). Suitability of epileptiform activity by tumor location obtained in 8 of 17 subjects with more appropriate in the temporal lobe. Conclusion.From all patients suspected of primary brain tumors with clinical seizures obtained only 8 of the 17 subjects that fit between epileptiform activity on EEG with tumor lesions on MRI. Picture of epileptiform activity on EEG was not influenced by age, shape seizures, tumor type, location based lobes, based on the location of the brain parenchyma, duration of illness, and tumor size."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julius Oentario
"Tujuan: membandingkan perbedaan luaran klinis antara pasien metastasis otak yang diberikan whole brain radiation therapy (WBRT) dan WBRT dengan simultaneous integrated boost (SIB) pada pasien metastasis otak. Metode: antara tahun Januari 2018 dan Januari 2023, 47 pasien metastasis otak diberikan radioterapi paliatif otak. Diantaranya, 30 pasien menjalani WBRT dan 17 pasien menjalani WBRT-SIB. Hasil akhir pada penelitian ini termasuk kontrol intrakranial, respons tumor dan kesintasan keseluruhan (OS). Hasil: median follow-up pada kelompok WBRT dan WBRT-SIB yaitu 5,4 bulan dan 7,1 bulan secara berurutan. Median kontrol intrakranial pada kelompok WBRT adalah 4,8 bulan dan 9 bulan pada kelompok WBRT-SIB. Kontrol intrakranial 6 bulan pada kelompok WBRT-SIB lebih tinggi dibandingkan kelompok WBRT (76,4% vs 30%, p=0,002). Tidak terdapat perbedaan signifikan pada kesintasan keseluruhan dan respons tumor. Analisis multivariat menunjukkan Penyakit primer terkontrol, kemoterapi pasca RT dan metode WBRT-SIB dapat meningkatkan angka kontrol intrakranial pada pasien metastasis otak. Tidak dijumpai toksisitas radiasi derajat 3 atau lebih pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan signifkan penurunan fungsi kognitif pada kedua kelompok. Kesimpulan: WBRT-SIB dapat meningkatkan kontrol intrakranial dibandingkan WBRT saja pada pasien metastasis otak. Namun, tidak dijumpai perbedaan signifikan OS dan respons tumor pada kedua kelompok.

Purpose: To compare the differences in clinical outcomes between brain metastasis patients treated with Whole Brain Radiation Therapy (WBRT) alone and WBRT with Simultaneous Integrated Boost (SIB). Method: Between January 2018 and January 2023, 47 brain metastasis patients received palliative brain radiotherapy. Among them, 30 patients underwent WBRT, and 17 patients underwent WBRT-SIB. The primary outcomes assessed in this study included intracranial control, tumor response, and overall survival (OS). Results: The median follow-up in the WBRT and WBRT-SIB groups was 5.4 months and 7.1 months, respectively. The median intracranial control in the WBRT group was 4.8 months, while in the WBRT-SIB group was 9 months. The 6-month intracranial control in the WBRT-SIB group was significantly higher compared to the WBRT group (76.4% vs. 30%, p=0.002). There were no significant differences in overall survival and tumor response between the two groups. Multivariate analysis showed that controlled primary disease, post-RT chemotherapy, and WBRT-SIB method could improve intracranial control rates in brain metastasis patients. No grade 3 or higher radiation toxicity was observed in both groups. There were no significant differences in cognitive function decline between the two groups. Conclusion: WBRT-SIB can improve intracranial control compared to WBRT alone in brain metastasis patients. However, there were no significant differences in overall survival and tumor response between the two groups."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ansi Rinjani
"Latar belakang: Insidens metastasis otak lebih tinggi dibanding tumor primer otak dan berisiko menimbulkan kematian dengan penyebab terbanyak berasal dari kanker paru (36,5%) di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Keterlambatan diagnosis berisiko menyebabkan herniasi otak, sehingga terjadi kecacatan dan kematian. Dibutuhkan data mengenai durasi penegakan diagnosis di RSCM.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan rancangan kohort retrospktif untuk mengetahui kesesuaian antara durasi penegakan diagnosis tumor otak metastasis akibat kanker paru dengan pedoman praktik klinis (durasi ≤2 minggu). Subjek merupakan pasien rawat inap di RSCM pada Januari 2019 s/d Desember 2021.
Hasil: Terdapat 12 subjek (30%) dapat ditegakkan dalam waktu ≤2 minggu dengan  median durasi 18,5 hari (IQR (12-34 hari). Selain itu didapatkan durasi 7 hari (IQR 4-11 hari) untuk sampai didapatkannya massa di paru,  durasi 8 hari (IQR 4.5-13 hari) sampai dilakukannya biopsi, dan 6 hari (IQR 3.5-7 hari) sampai keluarnya hasil patologi anatomi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel yang dinilai dengan durasi penegakan diagnosis ≤2 minggu (14 hari).
Kesimpulan: Hanya 30% subjek dengan durasi yang sesuai dengan panduan praktik klinis di RSCM. Dibutuhkan diseminasi hasil dan kolaborasi antar bagian agar penegakan diagnosis lebih cepat.

Background: Incidence of brain metastases is higher than primary brain tumors, with lung cancer as common etiology (36.5%) at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM). Delay in diagnosis can cause brain herniation, resulting in disability and death. Data is needed regarding the duration of diagnosis in RSCM.
Method: This is a descriptive analytic study with a retrospective cohort design to determine the conformity between the duration of diagnosis of metastatic brain tumors due to lung cancer in daily clinical practice with clinical practice guidelines (duration 2 weeks). Subjects were inpatients at RSCM from January 2019 to December 2021
Results: There were 12 subjects (30%) who could be diagnosed within 2 weeks with a median duration of 18.5 days (IQR (12-34 days). Duration of 7 days (IQR 4-11 days) to obtain a lung mass, 8 days (IQR 4.5-13 days) until a biopsy was performed, and 6 days (IQR 3.5-7 days) until anatomic pathology results were released. There is no statistically significant relationship between the variables assessed and the duration of diagnosis 2 weeks.
Conclusion: Only 30% of subjects with the duration matched the clinical practice guidelines at RSCM. Dissemination of results and collaboration between departments is needed to make diagnosis faster.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadio Ali Khazatsin
"Latar belakang: Metilasi dari gen promoter O6-methylguanine-DNA methyltransferase (MGMT) adalah salah satu faktor yang berperan pada karsinogenesis dan berkembang menjadi marker dalam menilai progresivisitas dan respons terapi astrositoma.
Tujuan: Untuk mendapatkan gambaran frekuensi status metilasi gen promoter MGMT pada pasien astrositoma menggunakan methylation specific polymerase chain reaction (MS-PCR) dan methylation specific high resolution melting (MS-HRM).
Metode: Dilakukan pengumpulan data klinis, imajing dan blok parafin jaringan astrositoma di RSCM dalam kurun waktu 2008-2012. Status metilasi gen promoter MGMT dianalisis menggunakan MS-PCR dan MS-HRM serta dihubungkan dengan berbagai faktor prognostik klinis. Penelitian ini adalah penelitian potong-lintang.
Hasil: Didapatkan 13 sampel yang terdiri dari 7 astrositoma derajat rendah dan 6 astrositoma derajat tinggi. Metilasi gen promoter MGMT didapatkan pada 1/13 sampel astrositoma dengan MS-PCR dan 4/13 sampel dengan MS-HRM yang seluruhnya adalah astrositoma derajat rendah. Terdapat perbedaan yang bermakna antara status metilasi gen promoter MGMT dengan derajat keganasan astrositoma yaitu astrositoma derajat rendah 4/7 sampel, tanpa ditemukan pada astrositoma derajat tinggi (p=0.049) sedangkan faktor lain seperti usia, jenis kelamin, karnofsky performance scale (KPS), lokasi astrositoma dan derajat WHO tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p= 1,000; p= 0,657; p= 0,354; p= 0,538).
Simpulan: Penelitian saat ini menunjukkan frekuensi status metilasi gen promoter MGMT pada astrositoma sedikit berbeda dengan berbagai penelitian lain sebelumnya yaitu hipermetilasi hanya terjadi pada astrositoma derajat rendah. Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang melaporkan gambaran status metilasi gen promoter MGMT pada pasien astrositoma.

Background: Astrocytoma is the most common primary central nervous system tumor with difficult management as it requires a combination of surgery, chemotherapy and radiotherapy. This multimodal approach increases patients survival rate significantly, however chemotherapy resistance is now commonly seen. One of the potential causes of chemotherapy resistance is the epigenetic factors from O6 methylguanine-DNAmethyltransferase (MGMT) gene. MGMT gene has role in DNA repair and also have a protective effect against exyogen and endogeneous alkylating agent. The methylation of MGMT gene promoter leads to the decrease of MGMT protein, attenuating its function. Therefore, the methylation status of MGMT gene promoter can act as an indicator for astrocytomas progresivity and treatment aggressiveness.
Objective: To determine the frequency of MGMT gene promoter methylation among patients with astrocytomas using methylation specific polymerase chain reaction (MS-PCR) and methylation sensitive high resolution melting (MS-HRM).
Methods: Clinical data, imaging and parafin blocks from astrocytoma patients were collected in RSCM from 2008-2012. The methylation status of MGMT gene promoter was confirmed using MS-PCR and MS-HRM. This is cross-sectional study.
Results: The total of 13 samples collected including 7 low-grade and 6 high-grade astrocytomas. The MGMT gene promoter was methylated in 1/13 cases using MS-PCR and 4/13 cases using MS-HRM. All methylated cases were low-grade astrocytoma. There was significant association between methylation status of MGMT gene promoter with degree of malignancy which is 4/7 samples hypermethylated in low-grade with no hypermethylation in high-grade astrocytomas (p=0.049). While other factors like age, sex, KPS and astrocytomas location have no significant association (p= 1,000; p= 0,657; p= 0,354; p= 0,538).
Conclusions: The present study showed difference of methylation of MGMT gene promoter in astrocytomas with others studies which is hypermethylated MGMT only found in low grade astrocytomas. Our study was the first to report the frequency of MGMT promoter methylation among Indonesian astrocytoma patients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Tjuatja
"Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.

Aims: Identifying the role of the Ki-67 proliferation index as a prognostic factor in
estimating radiation therapy response in meningiomas. Methods: A systematic review of
PubMed, Scopus, EBSCOhost/CINAHL was performed following the Preferred
Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guideline. Data extraction
was completed manually from selected studies. Results: 465 of the literature were
compiled from a literature search for the two study questions and finally, 15 articles met
the eligibility criteria. Twelve studies demonstrated that Ki-67 proliferation index had a
significant correlation with the grade in meningiomas. Meanwhile, two studies reported
that in meningiomas treated with radiation therapy a higher Ki-67 proliferation index
would provide better local control than a lower Ki-67 proliferation index. One other study
found no correlation between Ki-67 and radiation response. Conclusion: Ki-67
proliferation index has a unidirectional correlation with the grade of meningioma. A total
of two out of 3 studies on the correlation of Ki-67 with radiation response in meningiomas
reported that higher Ki-67 responded better to radiation.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library