Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jason Anthony Wibowo
"Pengetahuan / pemahaman, persepsi, dan sikap dokter umum yang baik terhadap Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas (GPPH) merupakan suatu nilai tambah bagi mereka. Hal ini dikarenakan dokter umum yang bekerja pada pusat layanan primer berperan dalam diagnosis dan penanganan awal pasien dengan GPPH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan / pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH diantara dokter umum di Jakarta, serta hubungannya dengan lama pengalaman praktik mereka.
Penelitian menggunakan rancangan potong lintang. Sampel adalah 384 dokter umum di Jakarta yang dipilih dengan metode uji acak sederhana. Data diperoleh dari kuisioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya (Pearson alpha >0.25; Cronbach’s alpha >0.7). Data yang didapat dianalisis dengan piranti lunak SPSS versi 20 untuk Macintosh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar subjek penelitian mempunyai tingkat pengetahuan / pemahaman (54.9%), persepsi (58.1%), dan sikap (60.7%) terhadap GPPH yang rendah dan sangat rendah, dan adanya hubungan yang signifikan secara statistik dengan lama pengalaman praktik. Disimpukan bahwa diperlukan adanya edukasi lebih lanjut mengenai GPPH kepada dokter umum di Jakarta terlepas dari pengalaman praktik yang dimiliki.

A good knowledge / understanding, perception, and attitude among general practitioners towards Attention – Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD) is an own privilege. This is because general practitioners who work in primary health care have the role in early diagnosis and management of ADHD patients. This research has the objectives to know the level of knowledge / understanding, perception, and attitude towards ADHD among general practitioners in Jakarta, and to identify the association to their length of practice experience.
This research used cross-sectional design. The samples were 384 general practitioners in Jakarta who were selected through simple random sampling method. Data obtained from questionnaires that have been tested for its validity and reliability (Pearson alpha >0.25; Cronbach’s alpha >0.7), and were analyzed utilizing SPSS software 20th version for Macintosh.
The result showed that majority of the research subjects were have poor and very poor levels of knowledge / understanding (54.9%), perception (58.1%), and attitude (60.7%) towards ADHD, and there was a significant association with the length of practice experience statistically. Overall, further education regarding to ADHD is required to general practitioners in Jakarta regardless of their practice experience.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liu, Cindy Anastasia
"Mahasiswa kedokteran FKUI, terutama mahasiswa di tingkat klinik selayaknya mempunyai tingkat pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap yang baik terhadap GPPH. Oleh karena, mereka sudah mendapatkan edukasi mengenai GPPH pada saat mereka menjalani pendidikan mereka di tingkat klinik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH antara mahasiswa tingkat preklinik dan klinik di FKUI.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Sampel dipilih dari 683 mahasiswa preklinik dan 469 mahasiswa klinik BEM IKM FKUI dengan menggunakan metode acak sederhana untuk mendapatkan 96 mahasiswa preklinik dan 96 mahasiswa klinik. Kuesioner dibagikan kepada subjek penelitian dalam bulan September hingga Desember 2013. Kuesioner telah diuji validitas (Pearson alpha > 0.25) dan reliabilitasnya (Cronbach’s alpha > 0.7). Data dianalisis menggunakan program SPSS versi 20 untuk Mac.
Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar mahasisawa preklinik dan mahasiswa klinik masih memiliki tingkat pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap yang sangat rendah dan rendah. Selain itu, dijumpai adanya perbedaan yang signifikan dalam domain sikap terhadap GPPH antara mahasiswa tingkat preklinik dan klinik (p=0.016). Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan pada Modul Praktik Klinik Psikiatri dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa klinik untuk bertemu dengan anak dengan GPPH sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik.

Medical students in FMUI, especially those in clinical level, ought to have good level of knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD. It is because they have received education about ADHD during their study in clinical level. Thus, this research is aimed to identify the levels of knowledge/understanding, attitude, and perception toward ADHD of preclinical and clinical level students in FMUI.
The research was cross-sectional study. Sample was chosen from 683 preclinical students and 469 clinical students from BEM IKM FMUI by using simple random sampling to get 96 preclinical and 96 clinical students. Questionnaires were distributed to the research subjects from September until December 2013. Questionnaire had been tested for validity (Pearson alpha > 0.25) and reliability (Cronbach’s alpha > 0.7).
The result showed that majority of the respondents had very poor and poor level of knowledge/understanding, perception, and also attitude towards ADHD. Besides, there was significant different in the level of attitude towards ADHD between preclinical and clinical level student (p=0.016). Therefore, improvement to Psychiatry Clinical Practice Module is necessary to be done by giving chance for the clinical level students to meet real ADHD patients so that they could gain better knowledge about ADHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hening Madonna
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pendidikan dasar kepolisian merupakan situasi dan lingkungan yang penuh dengan penerapan disiplin yang tinggi. Situasi dan lingkungan tersebut diciptakan agar peserta didik terlatih untuk mempersiapkan diri mereka menghadapi berbagai kondisi yang berisiko tinggi, bahaya cedera maupun trauma psikis. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak negatif stresor psikososial dan berbagai strategi coping pada taruna-taruni Akademi Kepolisian (Akpol). Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan korelasi antara dampak negatif stresor psikososial dengan strategi coping pada taruna-taruni Akpol.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subyek penelitian berjumlah 124 taruna–taruni Akpol (taruna 104, taruni 20). Subyek penelitian dipilih dengan cara stratified random sampling. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah Life Experiences Survey (LES) dari Irwin G. Sarason yang terdiri dari 60 item yang dinilai dengan skala likert -3 sampai 3 dan Coping Orientation to the Problem Experienced (COPE) yang termasuk Religious Coping Scale yang terdiri dari 61 item dengan skala likert 1 sampai 4. Kedua alat ukur tersebut sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Pada instrumen LES untuk penelitian ini, hanya mngambil dampak negatif stresor psikososial. Data demografi yang meliputi umur, jenis kelamin, agama, suku, status ekonomi dan tingkat pendidikan juga dihimpun pada penelitian ini. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS untuk windows versi 20. Tingkat kemaknaan yang digunakan untuk uji statistik adalah p < 0,05.
Hasil. Dampak negatif stresor psikososial yang terbanyak pada subyek penelitian antara lain adalah kematian dari anggota keluarga dekat (57%), perubahan yang besar dari pola kebiasaan tidur (55%), gagal dalam mata ujian yang penting (50%), anggota keluarga sakit berat (50%) dan putus pacar (43%). Strategi coping yang paling sering digunakan taruna–taruni Akpol adalah active coping (50,4±6,76) dan religious coping (40,44±4,79). Dijumpai adanya korelasi positif antara dampak negatif stresor psikososial dengan penggunaan emotion coping pada taruna–taruni Akpol (r=0,304, p<0,05).
Simpulan. Semakin besar dampak negatif stresor psikososial yang dialami taruna-taruni Akpol, maka mereka cenderung menggunakan emotion coping yang bukan merupakan strategi coping yang efektif di lingkungan pendidikan dasar kepolisian. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi psikososial untuk mengembangkan coping yang berfokus masalah pada taruna–taruni Akpol.

ABSTRAK
Background. Police academy is full of highly discipline situation and environment. This situation and environment is created so that cadets are trained to prepare themselves to face a variety of high risk conditions , the danger of injury or psychological trauma. Therefore, this study aimed to identify the negative impact of psychosocial stressors and coping strategies on cadets of police academy. In addition, this study also aims to obtain a correlation between psychosocial stressors negative impact and coping strategies in cadets of Police Academy.
Method. This is cross-sectional study with total 124 subjects from Police Academy cadets (104 males and 20 females). The subjects of this study were selected through stratified random sampling. The instrument used in this study is the Life Experiences Survey ( LES ) from Irwin G. Sarason which consists of 60 items that assessed the Likert scale -3 to 3 and the Coping Orientation to Problems Experienced ( COPE ) which includes Religious Coping Scale, which consists of 61 items with a likert scale of 1 to 4. Both the instruments have been translated into Indonesian. In LES instrument for this study, only the negative impact of psychosocial stressors were taken. Demographic data including age, gender, religion, ethnicity, economic status and level of education are also collected in this study. Data were analyzed using SPSS for Windows version 20. Levels of significance were used for statistical tests was p < 0.05 .
Results . The most common negative impact of psychosocial stressors were the death of a close family member (57 %), disturbance of sleep pattern (55 %), failed in the important eye exams (50 %), serious illness of family members (50 %) and romantic relationship break up (43 %). Coping strategies that most frequently used were active coping (50.4 ± 6.76) and religious coping (40.44 ± 4.79). We found a positive correlation between the negative impact of psychosocial stressors and the used of emotion coping in cadet of police academy ( r = 0.304, p < 0.05 ).
Conclusion. The greater the negative impact of psychosocial stressors experienced by Police Academy cadets , the more often they tend to use emotion coping that were not an effective coping strategy in basic police education environment. Therefore, it is necessary to develop psychosocial coping intervention that problems focused coping on the Police Academy cadets problems."
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ridwan El Muhaimin
"Latar Belakang : Gangguan Pemusatan Perhatian/ Hiperaktivitas (GPPH) merupakan gangguan psikiatrik yang sering dijumpai dan diduga terkait dengan gangguan fungsi eksekutif serta defisiensi mikronutrien salah satunya zat besi (feritin). Feritin diperkirakan terkait dengan fungsi eksekutif pada GPPH dalam aktivitasnya pada sistem dopaminergik.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara kadar feritin dalam serum dan fungsi eksekutif pada anak dengan GPPH.
Metode : Desain penelitian ini adalah potong lintang memakai data sekunder, membandingkan rerata kadar feritin dalam serum 22 anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif , 22 anak GPPH tanpa fungsi eksekutif, dan 22 anak Sehat yang berusia 6-12 tahun. Uji Kruskal Wallis digunakan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna diantara ketiga kelompok tersebut dan uji analisis Mann-Whitney digunakan untuk mengetahui perbedaan bermakna pada kelompok anak GPPH. Penegakkan diagnosis GPPH memakai Mini-International Neuropsychiatric Interview-kid (MINI KID), Gangguan Fungsi Eksekutif ditentukan dengan Behavior Rating Inventory of Executive Function versi Bahasa Indonesia (BRIEF-BI).
Hasil : Nilai rerata feritin dalam serum sebesar 48,4 ng/mL pada kelompok anak GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif, sebesar 43,5 ng/mL pada kelompok anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, serta sebesar 44,0 ng/mL pada kelompok anak sehat. Dari uji Kruskal Wallis Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara rerata kadar feritin pada kelompok anak GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif, kelompok anak GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, dan kelompok anak sehat (p > 0,05). Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan juga antar kelompok GPPH dengan uji Mann-Whitney (p >0,05).
Kesimpulan : Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perbedaan rerata kadar feritin dalam serum antara GPPH dengan gangguan fungsi eksekutif, GPPH tanpa gangguan fungsi eksekutif, dan anak Sehat yang secara statistik signifikan. Diperlukan studi lebih lanjut untuk melihat peran feritin pada aktivitas dopaminergik otak pada anak GPPH.

Background : Attention Deficit/ Hiperactivity Disorders (ADHD) is a common psychiatric disorder and associated with impaired executive function as well as one of micronutrient deficiencies such iron (ferritin). It has been suggested that ferritin was associated with executive function in ADHD trough activity on the dopaminergic system.
Objectives : To find the relationship between ferritin serum levels and executive function in children with ADHD.
Methods : This study is cross-sectional using secondary data, comparing the mean levels of ferritin serum in 22 ADHD children with impaired executive function, 22 ADHD children with normal executive functions, and 22 healthy children aged 6-12 years. Kruskal Wallis test was performed to determine significant differences among the three groups and Mann-Whitney test analysis test was performed to determine significant differences between ADHD group. The diagnosis of ADHD was diagnosed by MINI KID, while executive function were assessed with BRIEF-Indonesian version.
Results : Mean values obtained in ferritin serum was 48.4 ng / mL in ADHD children with normal executive function, 43.5 ng / mL in ADHD children with impaired executive function, and 44.0 ng / mL in healthy children . With Kruskal Wallis test analysis, there were no significant differences between ferritin serum levels in the group of ADHD children with normal executive function, ADHD children with impaired executive function, and a group of healthy children (p > 0.05). There were also no significant differences between ADHD group with mann-Whitney test analysis (p >0.05).
Conclusions : In this study, there has been found no statistical significant differences in ferritin serum levels between ADHD with impaired executive function, ADHD with normal executive function, and healthy children. Further study is needed to look at the role of ferritin in dopaminergic activity within the brain of ADHD children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Jessica Audrey
"Adiksi gim merupakan suatu masalah yang dicirikan dengan kontrol buruk terhadap gim, memprioritaskannya di atas kepentingan sehari-hari dan minat lain, serta tetap dilanjutkan meski telah muncul dampak negatif. Saat ini, adiksi gim telah berkembang menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan terutama pada kalangan remaja. Berbagai penelitian telah menunjukkan dampak negatif adiksi gim terhadap kesehatan mental seseorang. Namun, hal ini belum pernah diteliti pada kalangan remaja di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara adiksi gim dengan masalah emosi dan perilaku pada pelajar SMA di Jakarta. Penelitian potong-lintang ini melibatkan subjek berusia 14-17 tahun dari siswa kelas X-XII pada salah satu SMA swasta di Jakarta yang dilakukan pada bulan Maret 2020. Adiksi gim dinilai dengan kuesioner Game Addiction Scale-21 (GAS-21) dan masalah emosi dan perilaku dinilai dengan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) yang keduanya sudah divalidasi dalam bahasa Indonesia. Analisis hubungan antara adiksi gim dan masalah emosi dan perilaku dilakukan dengan uji Chi-square dan Fischer, sementara uji korelasi antara durasi bermain gim dengan masalah emosi dan perilaku dilakukan dengan uji Spearman. Seluruh analisis data dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Mac versi 23. Sebanyak 53 subjek terlibat dalam penelitian ini. Proporsi kecenderungan adiksi gim pada pelajar SMA ditemukan sebesar 28,3%. Sementara itu, proporsi subjek berisiko masalah emosi dan perilaku adalah sebesar 43,4%, dengan proporsi risiko gejala emosional sebesar 62,3%, masalah perilaku sebesar 26,4%, hiperaktivitas sebesar 39,6%, masalah peer sebesar 49,1%, dan masalah perilaku prososial sebesar 30,2%. Terdapat hubungan yang signifikan antara adiksi gim dengan masalah emosi dan perilaku secara keseluruhan (OR=5,96 [1,57-22,60], p=0,006), secara spesifik pada domain masalah perilaku (OR=3,88 [1,05-14,28], p=0,046), dan hiperaktivitas (OR=4,91 [1,36-17,69], p=0,011). Selain itu, ditemukan pula korelasi positif lemah yang signifikan antara durasi bermain gim dengan masalah perilaku (r=0,374, p=0,006). Adiksi gim berhubungan secara signifikan dengan masalah emosi dan perilaku pada pelajar SMA di Jakarta. Dengan demikian, masyarakat terutama remaja perlu dianjurkan untuk tidak bermain gim secara berlebih guna mencegah adiksi gim mengingat dampaknya terhadap masalah emosi dan perilaku. Penelitian lebih lanjut yang meneliti faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko timbulnya masalah emosi perilaku pada remaja juga masih dibutuhkan.

Game addiction is characterized by impaired control over gaming, increased priority of gaming over daily activities and other interests, as well as its continuation despite the occurrence of negative consequences. Currently, game addiction has increasingly become an alarming issue especially among adolescents. Various studies have documented the negative effects of game addiction in mental health. However, such association has not been investigated among adolescents in Jakarta. Therefore, the aim of this study is to investigate the association between game addiction and emotional and behavioral problems among high school students in Jakarta. This cross-sectional study involves subjects aged 14-17 years old from grade 10-12 students in a private high school in Jakarta, conducted in March 2020. Game addiction was evaluated with Game Addiction Scale-21 (GAS-21), while emotional and behavioral problems were assessed with Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ), in which both questionnaires have been validated in Indonesian language. Analysis of association between game addiction and emotional and behavioral problems was performed with Chi-square and Fischer’s exact test. Meanwhile, correlation between gaming time and emotional and behavioral problems scores was analysed with Spearman test. All analyses were performed with Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Mac version 23. Fifty-three subjects were involved in this study. The proportion of game addiction tendency among the high school students was 28,3%. Meanwhile, the proportion of subjects at risk of emotional and behavioral problems was 43,4%. Within each domain, the proportion of risk of emotional problems was 62,3%, conduct problems 26,4%, hyperactivity 39,6%, peer problems 49,1%, and prosocial behavior problems 30,2%. A significant association was found between game addiction and emotional and behavioral problems in general (OR=5,96 [1,57-22,60], p=0,006), specifically in the domains of conduct problems (OR=3,88 [1,05-14,28], p=0,046), dan hyperactivity (OR=4,91 [1,36-17,69], p=0,011). Moreover, there was also a significant weak positive correlation between gaming duration and conduct problems (r=0,374, p=0,006). Game addiction was significantly associated with emotional and behavioral problems among high school students in Jakarta. Therefore, playing games excessively should be avoided in order to prevent game addiction considering its impacts on emotional and behavioral problems especially in adolescents. Further research such as studies investigating other factors which could increase the possibility of developing emotional and behavioral problems among adolescents are also still required."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Carnation Tandri
"

Pendahuluan: Adiksi gim merupakan gangguan pola bermain gim yang tergolong berlebihan ketika individu lebih memprioritaskan gim dibandingkan aktivitas sehari-hari dan minat lainnya, sehingga menimbulkan gangguan. Fenomena ini terus meningkat seiring perkembangan zaman dan dapat mengganggu kondisi bio-psiko-sosial seseorang, salah satunya dengan menimbulkan perilaku agresif. Perilaku agresif merupakan tindakan dengan tujuan untuk merugikan, membahayakan, dan menyakiti orang lain, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara adiksi gim dengan perilaku agresif pada pelajar SMA di Jakarta.

Metode: Penelitian ini dilakukan secara potong lintang menggunakan data primer yang diambil dari pelajar salah satu SMA swasta di Jakarta pada bulan Maret 2020.Kuesioner adiksi gim(GAS-21) dan kuesioner kecenderungan perilaku agresif (BPAQ) disebarkan ke seluruh siswa/i dan subjek penelitian dipilih secara acak. Kedua kuesioner yang digunakan telah divalidasi dalam versi bahasa Indonesia. Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan uji korelasi Pearson dan korelasi Spearman. Pengolahan data dilakukan dengan aplikasi Statistical Package for Social Sciences(SPSS) versi 23.

Hasil: Berdasarkan pengisian GAS-21, didapatkan 17 dari 59 subjek penelitian (28,8%) yang memiliki kecenderungan adiksi gim.Sementara itu, berdasarkan pengisian BPAQ, didapatkan 9 orang (15,3%) yang memiliki kecenderungan perilaku agresif dengan rata-rata jumlah skor BPAQ 66,220 ±12,729. Adiksi gimdan perilaku agresif memiliki korelasi positif yang bermakna secara statistik (r=0,432), dan menyumbang sebesar 18,7% dari varian proporsi perilaku agresifDi antara domain perilaku agresif, adiksi gim memiliki korelasi terkuat dengan domain agresi fisik (r=0,469), diikuti domain amarah (r=0,307), dan permusuhan (r=0,285). 

Simpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwaadiksi gimmemiliki korelasi yang bermakna dengan perilaku agresif pada pelajar SMA dengan koefisien korelasi yang bermakna, kekuatan sedang, dan arah positif. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberi edukasi untuk remaja terkait penggunaan gim dan menyebarkan hasil penelitian pada sekolah, orang tua, atau psikiater untuk pengembangan ilmu kesehatan jiwa. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk melihat pengaruh faktor lain terhadap perilaku agresif seperti genre gim, pola asuh orang tua, atau sosioekonomi keluarga.


Introduction: Game addiction is a disruption in the pattern of playing games that is classified as excessive when individuals prioritize games over daily activities and other interests, causing disorder. This phenomenon continues to increase over time and can affect bio-psycho-social condition, one of which is by causing aggressive behavior. Aggressive behavior is an action with the intention of harming and hurting others, physically, verbally, and psychologically. This study aims to identify the correlation between game addiction and aggressive behavior among high school students in Jakarta.

Methods: This research was conducted in a cross-sectional manner using primary data taken from students in one private high school in Jakarta on March 2020. The 21 Item Game Addiction Scale (GAS-21) and Buss and Perry Aggression Questionnaire (BPAQ) were distributed to all students and the subjects were selected randomly. The two questionnaires used have been validated in the Indonesian version. The collected data were then analyzed using Pearson correlation test and Spearman correlation test. The data analysis was performed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 23 application.

Results: Based on GAS-21, 17 subjects out of 59 (28.8%) have a tendency to game addiction. Meanwhile, based on BPAQ, 9 subjects (15.3%) have a high tendency to aggressive behavior with an average BPAQ score of 66,220 ±12,729. Game addiction and aggressive behavior had a statistically significant positive correlation (r=0.432), and contributed 18.7% of the proportion variance of aggressive behavior. Among the domains of aggressive behavior, game addiction has the strongest correlation with the domain of physical aggression (r = 0.469), followed by the anger (r = 0.307), and hostility (r = 0.285).

Conclusion: This study concluded that game addiction has a significant correlation with aggressive behavior in high school students with a significant correlation coefficient, moderate strength, and positive direction. Prevention efforts can be done by educating adolescents regarding the use of games and disseminating research results to schools, parents, or psychiatrists for the development of mental health science. Further research can be conducted to see the influence of other factors on aggressive behavior such as game genre, parenting style, or family socioeconomics.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiona Valerie Muskananfola
"Tidur merupakan aspek substansial dalam tumbuh kembang anak, mulai dari aspek kesehatan hingga fungsi sehari-hari anak. Salah satu faktor yang diduga memengaruhi adalah kualitas bonding ibu-anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kualitas bonding ibu-anak terhadap kualitas tidur anak usia batita (0-36 bulan) serta mencari proporsi kedua variabel tersebut.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subjek penelitian yaitu ibu beserta anak usia batitanya. Sebanyak 63 ibu beserta anak usia batitanya ikut dalam penelitian ini. Pemilihan subjek penelitian sampel secara konsekutif melalui kesediaan ibu untuk mengikuti penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan dua buah kuesioner dalam bahasa Indonesia yaitu, Mother-Infant Bonding Scale (MIBS) untuk menilai bonding ibu-anak dan Brief Infant Sleep Questionnaire (BISQ) untuk menilai kualitas tidur anak usia batita. Pengisian kuesioner dilakukan oleh ibu. Analisa data dilakukan dengan uji korelasi Spearmans melalui SPSS versi 23. Proporsi anak dengan gangguan kualitas tidur sebesar 33,3%.
Pada bonding ibu-anak, ditemukan adanya rasa takut atau panik pada sebagian besar ibu dengan kadar yang berbeda. Meskipun terdapat perasaan negatif terhadap anak, 100% responden ingin melindungi anaknya. Selain itu, ditemukan korelasi berbanding lurus dengan kekuatan korelasi lemah pada bonding ibu-anak dan kualitas tidur anak p<0,05; r=0,392). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gangguan kualitas tidur pada anak memiliki prevalensi cukup tinggi. Ibu dengan nilai MIBS tinggi memiliki risiko gangguan tidur pada anak batitanya.

Sleep is a substantial aspect in a childs development which is reflected in their health and daily functions. Mother-child bonding quality has been said to influence the quality of sleep. This research aims at identifying how the quality of mother-child bonding influences toddlers sleep quality and at analyzing the proportion of the two variables.
The cross-sectional study that analyzes data from a representative subset is adopted in this research with mothers and their toddlers (0-36 months) as the subjects. A group of 63 mother-toddler pairs from consecutive sampling participated in the study.
Two sets of questionnaires in Bahasa Indonesia which are Mother-Infant Bonding Scale (MIBS) to assess the mother-child bonding, and Brief Infant Sleep Questionnaire (BISC) to assess the sleep quality of toddlers were used. The questionnaires were completed by the mothers. Spearmans correlation test was used in the analysis using SPSS v.23. The findings of the study indicate that the proportion of toddlers with sleep problem was 33.3%.
In the mother-child bonding analysis it was found that the majority of mothers experienced various levels of fear and panic attack during parenting. However, despite the negative feelings towards the child, 100% of the respondents are determined to protect their children. The mother-child bonding was found to be significantly correlated with sleep quality of the child. And although there is a statistically weak relationship between the two variables, the direction is positive where stronger bonding between mothers and their toddlers results in higher quality of the children sleep (p<0.05; r=0.392). It can also be concluded that there is a high prevalence of toddlers sleep quality problem and that toddlers of mothers with high MIBS are susceptible to sleeping problem risks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenny Harsono
"Guru Sekolah Dasar berperan sangat penting untuk mendeteksi anak dengan GPPH, oleh karena mereka berhubungan langsung dengan anak didik di dalam kelas dan sekolah pada umumnya. Dengan demikian guru Sekolah Dasar seyogyanya memiliki pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH yang baik agar bisa melakukan deteksi dini kasus tersebut di antara anak didiknya. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran tingkat pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH pada guru Sekolah Dasar di Jakarta serta hubungannya dengan lama pengalaman mengajar di Sekolah Dasar. Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancang potong lintang. Pengetahuan, pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH diidentifikasi dengan menggunakan kuesioner yang dibuat khusus untuk penelitian ini, dan terbukti sah dan handal berdasarkan uji validasi dan reliabilitas dengan Cronbach alpha sebesar 0.873 dan Pearson’s r > 0.25. Kuesioner tersebut disebarkan pada 422 guru Sekolah Dasar di Jakarta yang berasal dari 21 sekolah, kemudian dengan uji acak sederhana didapatkan 384 subjek penelitian. Data dianalisa dengan menggunakan program SPSS 20th untuk Mac. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan/pemahaman yang sangat rendah (58.9%), tingkat persepsi yang rendah (56.5%), dan tingkat sikap yang cukup (60.7%). Lama mengajar berhubungan secara signifikan dengan tingkat pengetahuan/pemahaman terhadap GPPH. Dengan demikian, diperlukan peningkatan pengetahuan/pemahaman, persepsi, dan sikap terhadap GPPH pada guru Sekolah Dasar melalui program edukasi yang tepat dan pelatihan keterampilan dalam deteksi dini GPPH.

Elementary School Teachers play a very important detecting children with ADHD, because they deal with students directly in the classroom and in the school generally. Thus elementary school teachers should have a good knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD so that they can make early detection among their students. The aim of this study is to get an overview about the level of knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD among elementary school teacher in Jakarta and its relationship with teaching experience in elementary schools. This study uses cross-sectional design. Knowledge, understanding, perception, and attitude towards ADHD are identified using a questionnaire created specifically for this research, and proven valid and reliable based on validation and reliability with a Cronbach's alpha of 0.873 and Pearson's r > 0.25. The questionnaires were distributed to 422 elementary school teachers in Jakarta from 21 schools, then with simple random sampling, 384 research subjects were found. Data were analyzed using SPSS 20th for Mac. The results showed the level of knowledge/understanding is very poor (58.9%), poor level perception (56.5%), and moderate level of attitude (60.7%). Teaching experience is significantly related with the level of knowledge/understanding towards ADHD. Thus, it is necessary to increase the knowledge/understanding, perception, and attitude towards ADHD among elementary school teachers through appropriate educational programs and workshops about early detection of ADHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>