Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Caroline Padang
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kepositivan infeksi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum serta hubungannya dengan cuci vagina sebagai faktor risiko terkait pada populasi wanita penjaja seks di Jakarta Timur. Di Indonesia, data dasar mengenai hal ini belum ada, sedangkan data dasar ini sangat penting untuk menyusun standar tatalaksana dan pencegahan infeksi Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis yang optimal. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan studi potong lintang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kepositivan infeksi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum di Jakarta Timur tergolong tinggi (130 dari 180 subyek penelitian; 72%). Tidak ada perbedaan antara subyek penelitian yang melakukan cuci vagina atau tidak dengan kejadian infeksi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum.

This study aim to determine the proportion of Mycoplasma Hominis and Ureaplasma Urealyticum’ infection and its correlation with vaginal douching in female sex workers in East Jakarta. In Indonesia these data are not yet available, meanwhile these data are needed to set standards management and prevention of Mycoplasma hominis and Ureaplasma urealyticum’ infection. The study design is analytical cross-sectional study.
Result shows that the proportion of Mycoplasma Hominis and Ureaplasma Urealyticum’ infection in East Jakarta is high (130 out of 180 subjects; 72%). There is no correlation between vaginal douching and proportion of Mycoplasma Hominis and Ureaplasma Urealyticum infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melyawati
"Latar belakang: Melasma adalah kelainan kulit hiperpigmentasi simetris, didapat, umumnya ditandai oleh makula coklat hingga coklat gelap pada daerah kulit yang terpajan sinar matahari. Patogenesis melasma masih belum diketahui dengan jelas. Berdasarkan perkembangan terkini, interaksi antara vaskularisasi kulit dan melanosit diduga memiliki peranan pada lesi melasma.
Tujuan: Untuk megetahui proporsi telangiektasis pada pasien melasma dan menilai korelasi skor telangiektasis dengan derajat keparahan pigmentasi lesi melasma.
Metode: Sejumlah 48 wanita dengan melasma diikutsertakan apada penelitian observasional potong lintang ini. Mereka dipilih berdasarkan metode consecutive sampling. Wajah dari masing-masing subyek penelitian (SP) diperiksa dan kemudian dibagi dalam 4 area: dahi, malar kiri, malar kanan, dan dagu. Keparahan pigmentasi lesi melasma dievaluasi menggunakan skor pigmentasi berdasarkan Melasma Area and Severity Index (MASI). Skor telagiektasis dinilai menggunakan 5-point dermoscopic scale yang telah tervalidasi, dengan bantuan alat dermoskopi. Analisis statistik dilakukan untuk menilai hubungan antara skor telangiektasis dengan derajat keparahan pigmentasi lesi melasma.
Hasil: Dengan bantuan dermoskopi, ditemukan telangiektasis pada 35,4% (n=17/48) SP. Dari total 192 area wajah yang diperiksa, 124(64,5%) di antaranya memilik lesi pigmentasi. Derajat pigmentasi 1 sejumlah 64,8%, derajat 2 sebanyak 26,4%, dan derajat 3 sejumlah 8,8%. Dari 124 lesi pigmentasi didapatkan 29(23,3%) lesi dengan telangiektasis. Skor telangiektasis 1 pada 7,2% lesi, skor 2 pada 13,6% lesi, dan skor 3 pada 2,4% lesi pigmentasi. Berdasarkan analisis statistik, terdapat korelasi positif bermakna antara derajat pigmentasi dengan skor telangiektasis melasma (r = 0.474, p < 0.0001).

Background: Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis characterized by irregular light to dark brown macules and patches on sun-exposed areas of the skin. The pathogenesis of melasma is still poorly understood. Recently, interaction between skin vascularity and melanocytes has been proposed to have influence in melasma pigmentation.
Purpose: To investigate the proportion of telangiectases in melasma and its correlation with pigmentation severity of melasma.
Methods: A total of 48 woman with melasma were included in this cross-sectional observational study. They were selected based of consecutive sampling method. The face of each subject were examined and divided into 4 regions: forehead, left malar, right malar, and chin area. Pigmentation severity of facial melasma skin was evaluated using the pigmentation score of Melasma Area and Severity Index (MASI). Telangictases score was assessed using a validated 5-point dermoscopic scale with the aid of a hand-held noncontact polarized dermoscope. Statistical analyses were performed to assess the association between pigmentation severity and telangiectases score.
Results: Using dermoscope, we found telangiectases with various severity in 35.4%(n=17/48) of the subjects. Of the total 192 facial areas examined, 124(64,5%) of which, have melasma pigmentation. The percentage of pigmentation degree is 64,8% for grade 1, 26,4% for grade 2, dan 8,8% for grade 3. Of these area with pigmentation, 29(23,3%) had telangiectases. Telangiectases score of 1, 2, and 3 present in 7,2%, 13,6%, dan 2,4% of pigmentation lesion, respectively. There was significant relationship between telangiectases and pigmentation in melasma, as increased pigmentation was correlated modestly with telangiectases score (r = 0.474, p < 0.0001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Evelyn Lina, auhor
"Latar Belakang: Prevalensi akne vulgaris (AV) pada perempuan dewasa tinggi dengan morbiditas psikososial bermakna. Akne vulgaris yang timbul saat remaja dan berlanjut hingga umur lebih dari 25 tahun disebut sebagai AV menetap (AVM). Hormon androgen memiliki peranan terpenting dalam patogenesis AVM. Indeks Androgen Bebas (IAB) adalah metode yang bagus untuk mengevaluasi kadar hormon androgen. Perbedaan ras berpengaruh pada variasi kadar hormon androgen antara individu.
Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM dan tanpa AV.
Metode: Penelitian kasus kontrol.
Hasil: Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM memiliki median 1,93 (minimum 0,46 - maksimum 9,88). Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa tanpa AV memiliki median 1,05 (minimum 0,24 - maksimum 2,42). Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM lebih tinggi dibandingkan tanpa AV, dengan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,014).
Kesimpulan: Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM lebih tinggi dibandingkan tanpa AV.

Background: The prevalence of acne vulgaris (AV) in adult women is high with significant psychosocial morbidity. Acne vulgaris which occur in adolescence and continue until age more than 25 years is mentioned as persistent acne vulgaris (PAV). Androgen hormone has the most important role in PAV pathogenesis. Free Androgen Index (FAI) is a good methode to evaluate androgen hormone level. Race difference influent the variation of androgen hormone level between individual.
Objective: To investigate the comparison of blood FAI in adult women with PAV and without AV.
Methods: Case control study.
Result: The blood FAI in adult women with PAV has median 1,93 (minimum 0,46 - maksimum 9,88). The blood FAI in adult women without AV has median 1,05 (minimum 0,24 - maksimum 2,42). The blood FAI in adult women with PAV is higher than without AV, with difference which is statisticaly significant. (p=0,014).
Conclusion: The blood FAI in adult women with PAV is higher than without AV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Pradana
"Latar belakang dan tujuan: Pilihan utama terapi kondilomata akuminata KA di Poliklinik Divisi Infeksi Menular Seksual Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM adalah tingtur podofilin 25 yang mengharuskan pasien untuk datang ke rumah sakit secara teratur. Larutan kalium hidroksida KOH 5 merupakan alternatif terapi yang dapat dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas dan efek samping terapi topikal larutan KOH 5 dibandingkan dengan tingtur podofilin 25 pada KA genitalia eksterna dan/atau perianus.
Metode: Uji klinis acak terbuka paralel tidak berpasangan terhadap 50 subyek penelitian SP. Pada kelompok KOH kelompok K dilakukan aplikasi terapi setiap hari oleh pasien sendiri di rumah, sedangkan pada kelompok podofilin kelompok P dilakukan aplikasi oleh dokter satu kali seminggu. Evaluasi dilakukan setiap minggu selama enam minggu.
Hasil: Respons terapi baik pada kelompok K adalah 56 dan kelompok P adalah 64 . Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok p= 0,468. Efek samping pada kedua kelompok berupa rasa gatal, nyeri, eritema dan erosi yang sifatnya sementara dan dapat ditoleransi. Efek samping tidak berbeda bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Larutan KOH 5 dapat dijadikan alternatif pengobatan KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien.

Background and objectives: 25 podophyllin tincture, a first line therapy in Sexually Transmitted Division of Dermatology and Venereology Department Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo RSCM , requires patient to come regularly to the health facilities, while a 5 potassium hydroxide KOH solution is an alternative therapy that can be done byself. This study compares the effectiveness and side effects of 5 KOH solution and 25 podophyllin tincture in the treatment of external genitalia and or perianal condylomata acuminata.
Methods: A randomized open controlled trial on 50 patients. In the KOH group, patients were instructed to apply the medication at home byself to the lesions once daily, while in the podophyllin group the doctor applying the medication once weekly. The evaluation was performed every week for six weeks.
Results: Good response was achieved by 56 and 64 in KOH and podophyllin groups, respectively. No statistical difference between groups p 0,468. Side effect in both groups includes a temporary pruritus, pain, erythema and erosion. No statistical difference in side effect between groups.
Conclusion: A 5 potassium hydroxide solution is a self applied alternative treatment for condylomata acuminata.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58844
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Astasari Widodo
"ABSTRAK
Latar Belakang: Fototerapi NB-UVB merupakan salah satu modalitas terapi penyakit kulit pada lansia, terlebih populasi ini sering kali memiliki komorbiditas untuk mengonsumsi obat sistemik. Penentuan dosis awal yang akurat penting, karena dosis yang terlalu rendah akan memperpanjang waktu respons terapi sedangkan dosis yang terlalu tinggi dapat meningkatkan risiko efek fototoksik. Penentuan dosis awal fototerapi NB-UVB menggunakan pengukuran DEM merupakan metode yang lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan tipe kulit Fitzpatrick karena respons tiap individu terhadap pajanan sinar dapat berbeda. Kulit lansia berbeda dibandingkan kulit dewasa akibat proses penuaan. Sejumlah perubahan yang terjadi dapat memengaruhi respons kulit terhadap pajanan sinar ultraviolet, termasuk respons eritema. Perbedaan respons eritema pada lansia dapat mengakibatkan perubahan DEM. Penentuan dosis fototerapi berdasarkan DEM yang tepat akan memberikan hasil terapi yang lebih optimal. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis dengan analisis statistik yang membandingkan DEM pada lansia dan dewasa. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan DEM berdasarkan respons eritema kulit relatif terhadap enam dosis pajanan sinar NB-UVB yang berbeda pada lansia berumur di atas 60 tahun dan dewasa berumur 18-45 tahun. Total 69 sampel dibagi menjadi kelompok dewasa dan lansia. Penyinaran dilakukan dengan alat fototerapi Waldmann UV109 TL-01 pada jendela yang dibuka. Jendela diradiasi sesuai dosis dimulai dari 300, 500, 700, 900, 1100, dan 1300 mJ/cm2. Hasil penyinaran dibaca pada 24 jam dan 48 jam pasca penyinaran oleh tiga orang penilai berbeda dengan pemahaman yang sama terhadap pembacaan DEM nilai ICC mendekati 1 Hasil: Pada kelompok dewasa, rerata DEM 24 jam didapatkan sebesar 554 182 mJ/cm2 dan rerata DEM 48 jam sebesar 606 167 mJ/cm2. Rerata DEM 24 jam lansia adalah 702 340 mJ/cm2 dan DEM 48 jam 836 341 mJ/cm2. DEM 24 jam dan 48 jam lansia lebih tinggi dibandingkan dewasa, namun hanya DEM pada 48 jam yang bermakna secara statistik p=0,026 . Pada kelompok lansia, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara DEM 24 dan 48 jam p

ABSTRACT
Background UVB phototherapy is one of therapy modalities of skin diseases in elderly, in which comorbidities are often present thus taking systemic agent. To determine initial dosage is important. A dosage that is too low would lengthen the therapy response period, whereas a dosage that is too high could increase phototoxic side effect. The determination of UVB phototherapy initial dosage using MED measurement is a more accurate method compared with Fitzpatrick skin type due to different response of each individual to light exposure. Elderly rsquo s skin is different compared with adult rsquo s skin because of aging. Such changes could influence skin response to ultraviolet light exposure, for instance, erythema response. The difference of erythema response in elderly could lead to MED change. The determination of phototherapy dosage based on accurate MED would yield better therapy outcome. Methods This study was a clinical trial with statistical analysis to compare MED in elderly and adults. In this study, MED calculations were based on skin erythema responses relative to six different exposure doses of NB UVB in elderly people aged over 60 years and adults aged 18 45 years. The irradiation is done with a Waldmann UV109 lamp on the opened window. Window irradiated according to dosage starting from 300, 500, 700, 900, 1100, and 1300 mJ cm2. Responses were examined at 24 hours and 48 hours post irradiation by three different assessors with the same understanding of the DEM reading ICC values approaching 1 Results In adult group, the mean of 24 hours MED was 554 182 mJ cm2 and 48 hours MED was 606 167 mJ cm2. In elderly group, the mean of 24 hours MED was 702 340 mJ cm2 and 48 hours MED was 836 341 mJ cm2. 24 hours MED and 48 hours MED in elderly were higher compared with adults rsquo , although only 48 hours DEM that was statistically significant p 0.026 . In elderly group, a statistically significant difference between 24 hours MED and 48 hours MED was found p"
Depok: 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Gandha
"Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis. Psoriasis dihubungkan dengan berbagai penyakit penyerta. Penyakit perlemakan hati nonalkoholik (PPHNA) merupakan salah satu penyakit penyerta yang sering ditemukan dan dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis, begitu pula sebaliknya. Penelitian untuk mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan perlemakan hati nonalkoholik (PHNA) belum pernah dilakukan.
Tujuan: Mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan derajat PHNA.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap pasien psoriasis dewasa di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017-Februari 2018. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan nilai derajat keparahan psoriasis (psoriasis area and severity index; PASI) dan dicatat pula nilai body surface area (BSA). Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan derajat PHNA pada semua pasien dengan menggunakan controlled attenuation parameter (CAP).
Hasil: Didapatkan total 36 subjek dengan rerata umur 49,08 tahun (+15,52 tahun). Proporsi psoriasis derajat ringan, sedang, dan berat berturut-turut adalah 50%, 27,8%, dan 22,2%. Median PASI 6,1 (2-38,4) dan median BSA 7,5 (2-93). Proporsi PPHNA berdasarkan CAP adalah 77,8%. Rerata skor CAP 250,03+45,64. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA berdasarkan CAP (r=0,258; p=0,128). Namun bila digunakan BSA pada penilaian derajat keparahan psoriasis, didapatkan hasil korelasi yang bermakna (r=0,382; p=0,021). Ditemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut berkorelasi positif secara bermakna dengan skor CAP (berturut-turut r=0,448, p=0,006 dan r=0,485, p=0,003).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA. Namun ditemukan korelasi yang bermakna antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan BSA dengan derajat PHNA. Luas lesi kulit psoriasis berpengaruh terhadap derajat PHNA. Selain itu terdapat beberapa faktor, misalnya IMT dan lingkar perut, yang dapat memengaruhi derajat keparahan PHNA pada pasien psoriasis.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and thick scales. Psoriasis is associated with various comorbidities. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) is one of the most common comorbidities that can affect the severity of psoriasis, vice versa. Research regarding the correlation of the severity of psoriasis and nonalcoholic fatty liver (NAFL) has never been done.
Objective: To measure the correlation of the severity of psoriasis and the degree of NAFL. Methods: A cross-sectional study of adult patients with psoriasis was conducted in Dermatovenereology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from December 2017 through February 2018. Psoriasis severity (psoriasis area and severity index; PASI) and body surface area (BSA) were recorded and compared with NAFL severity by controlled attenuation parameter (CAP).
Results: A total of 36 subjects were enrolled with an average age of 49.08 years (+15.52 years). The proportions of mild, moderate, and severe psoriasis were 50%, 27.8%, and 22.2%, respectively. Median PASI was 6.1 (2-38.4) and BSA was 7.5 (2-93). The proportion of NAFLD was 77.8%. The mean of CAP score was 250.03+45.64. There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and CAP score (r = 0.258; p = 0.128). However, based on BSA, we found significant correlation (r = 0.382; p = 0,021). The body mass index (BMI) and abdominal circumference were significantly correlated with CAP score (r = 0.448, p = 0.006 and r = 0.485, p = 0.003, respectively).
Conclusion: There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and nonalcoholic fatty liver degree, but a statistically significant correlation was found when using BSA in measuring the severity of psoriasis. In psoriasis, the extent of skin lesions may be influential to the degree of nonalcoholic fatty liver. In addition there are several factors, such as BMI and abdominal circumference, which may affect the severity of nonalcoholic fatty liver in psoriasis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library