Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
F.A. Boediarto
Abstrak :
Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang sudah dikenal sejak jaman purba. Berbagai nama seperti kusta ( Kushtha ), Lepra, Zaraath, Morbus Hansen diberikan pada penyakit ini dengan konsepsi serta interpretasi yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia.
Sebelum penyebab penyakit ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen, maka penyakit ini lebih banyak dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat supranatural. Bahkan di dalam Kitab Injil penyakit ini disebut dalam riwayat penyembuhan mukjizat yang dilakukan oleh Yesus Kristus.
Dengan ditemukannya Mycobacterium Leprae serta berkembangnya pengetatuan tentang sifat-sifat khususnya di bidang imunologi dari penyakit ini maka pemahaman terhadap penyakit kusta menjadi lebih rasional.
Karena sifat penyakit yang kronis dengan masa inkubasi yang panjang, serta prevalensi dan angka kematian yang rendah dapat dipahami kalau prioritas penanggulangan terhadap penyakit kusta di negara manapun termasuk Indonesia merupakan prioritas deretan belakang. Akibatnya hal tersebut hampir terlupakan di tengah-tengah hiruk pikuknya program Keluarga Berencana dan Imunisasi. Tetapi ironisnya akibat persepsi masyarakat yang dilatar belakangi konsepsi dam interpretasi yang tidak rasional selama berabad-abad, turun temurun, menyebabkan nasib penderita penyakit ini dikucilkan dari kehidupan masyarakat . Dengan demikian penanganan dini penyakit ini menjadi terhambat, yang berakibat timbulnya kecacatan menjadi lebih besar.
Adanya cacat tubuh yang mengganggu penampilan dan fungsi,ditambah peraepsi masyarakat yang negatif jelas akan menimbulkan dampak negatif dalam kesehatan jiwa penderita kusta khususnya dalam bentuk depresi. Penulisan-penulisan yang menyoroti aspek kejiwaan dari penyakit ini khususnya di Indonesia sangat kurang; sehingga mendorong penulis untuk mengungkap dampak penyakit kusta di bidang kejiwaan dengan penelitian ini. Mudah-mudahan rintisan ini merangsang peneliti berikut untuk melanjutkannya sehingga lebih melengkapi bahan-baban yang pen ting dalam upaya penanganan penyakit kusta baik di bidang prevensi terapi maupun rehabilitasi serta lambat laun merubah persepsi masyarakat menjadi lebih wajar dan rasional.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yos Suwardi
Abstrak :
Latar belakang : Pasien luka bakar sedang dan berat mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Morbiditas terjadi karena gangguan fisik maupun psikis. Sebanyak 46,6 % dari pasien luka bakar mengalami gangguan psikiatri. Gangguan stres pasca trauma merupakan salah satu gangguan psikiatri yang sering terjadi dan sering tidak terdiagnosis pada pasien luka bakar. Gangguan ini sering menjadi penyulit terhadap kesembuhan optimal dari pasien luka bakar. Angka prevalensi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan di luar negeri menunjukan hasil yang berbeda-beda, umumnya angka prevalensi meningkat dalam sate tahun pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa prevalensi gangguan stres pasca trauma yang terjadi pada pasien luka bakar di RSUPN DR.Ciptomangunkusumo Jakarta.
Metode: Penelitian menggunakan rancangan cross sectional, dilakukan pada 66 pasien luka bakar sedang dan berat yang berobat di RSUPN DR.Ciptomangunkusumo Jakarta. Sampel diambil secara consecutive sampling, observasi pada 34 subyek dilakukan di lingkungan RSUPN DR.Ciptomangunkusumo dan pada 32 subyek lainnya di rumah subyek. Instrumen yang digunakan adalah Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis-1 Disorder (SCID-I) dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Hasil dan Simpulan : Angka prevalensi gangguan stres pasca trauma adalah 16,2% (11 subyek). Prevalensi pada subyek pasca rawat inap 21,1% sedangkan subyek rawat inap 10,7%. Hasil uji statistik X2 pada berbagai faktor demografi dan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya gangguan stres pasca trauma menemukan satu variabel yaitu jenis kelamin wanita mempunyai nilai p = 0,035. Observasi pada 11 subyek yang mengalami gangguan stres pasca trauma menemukan bahwa karakteristik gejala gangguan stres pasca trauma dari SCID1/ DSM-IV yang terbanyak adalah gejala perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (kelompok C) dan respon kejut yang berlebihan yaitu 81,8% sedangkan yang paling sedikit adalah gejala tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma yaitu 27,3%.
Background: Patients with moderate and severe burn wounds have high morbidity and mortality. Morbidity occurs due to physical as well as psychological disorders. Up to 46.6% of the burn wound patients develop psychiatric disorders. Post-traumatic stress disorder constitutes one of the common psychiatric disorders and is frequently under diagnosed in burn wound patients. This disorder often becomes a complicating factor for optional recovery of burn wound patients. The prevalence rates from a variety of studies in other countries reveal different outcomes; generally the prevalence rate increase in the first year. The purpose of this study was to elicit information on how high the prevalence of post-traumatic stress disorder was among the burn wound patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods: This study was cross-sectional, performed on 66 moderate and severe burn wound patients who presented to Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The samples were taken by consecutive sampling. The observation of the 34 subjects was conducted on the premises of Cipto Mangunkusumo Hospital and the other 32 subjects were observed in their homes. The used instrument was structured clinical interview for D5M-IV Axis-1 Disorder (SCID-1) in the Indonesian version.
Result and conclusion: The prevalence rate of post-traumatic stress disorder was 16.2% (11 subjects). The prevalence in the post-hospitalized subjects was 21.1% and 10.7% for the hospitalized subjects. The result of X2 statistic tests of a variety of demographic factor and factors that influenced the incidence of post-traumatic stress disorder found one variable, namely female gender whose p value was 0.035. Observation of 11 subjects who developed post-traumatic stress disorder found the most common characteristics of post-traumatic stress disorder from SCID-1/DSM-IV were a feeling that the future became short (group C), and response of excessive surprise (81.8%) whereas the least common was the symptom of being unable to recall the significant aspect of the trauma (27.3%).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Yongky
Abstrak :
Pendahuluan
Gejala depresi pada anak maupun dewasa mempunyai gambaran utama yang sama yaitu: Trias Depresi, yang terdiri dari perasaan yang tertekan atau sedih, Cara berpikir yang lamban atau terhambat dan terjadinya kelambanan psikomotor.(1.6) Walaupun demikian gambaran penyertanya dapat berbeda-beda sesuai dengan tahapan umur. Sering kali gambaran penyerta ini lebih dominan dari pada gambaran utamanya. Bayi dan anak-anak pra sekolah dapat tampak; spastis, cengeng, menarik diri, sukar tidur dan terhambat dalam perkembangannya. Pada anak-anak usia sekolah dan pra remaja dapat timbul cemas perpisahan yang akan menyebabkan anak itu menjadi lekat pada orang tuanya, menolak sekolah atau takut bahwa dirinya atau orang tuanya akan meninggal dunia. Pada anak remaja terutama yang laki-laki dapat timbul tingkah laku menentang atau anti sosial. Yang sering timbul juga adalah keinginan untuk meninggalkan rumah atau perasaan bahwa dirinya tidak dimengerti dan disayangi oleh orang tuanya, kegelisahan, cepat marah dan agresif. Juga sering terdapat rasa murung, keenganan dalam ikut serta pada kegiatan keluarga, penarikan diri dari keaktifan sosial, kadang-kadang mengunci diri dalam kamar. Kesukaran disekolah, kurangnya perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dilingkungannya dan penyalah gunaan obat dengan segala akibatnya sering kita dapatkan. Berhubung gambaran depresi pada
anak dan remaja itu bermacam-macam sehingga sukar untuk menegakkan diagnosis maka kita perlu mendeteksi keadaaan itu secara dini dan diperlukan alat untuk mengukur keadaan tersebut yang sesuai dengan keadaan di Indonesia.
11. Permasalahan
Sampai sekarang belum ada alat untuk mengukur keadaan depresi pada anak-anak umur 8-15 tahun. Bila ada alat untuk mengukur keadaan depresi tersebut, maka kita dapat melakukan deteksi dini adanya keadaan ini kemudian dapat dilakukan usaha-usaha untuk meringankan penderitaan tersebut dan membebaskan anak dari hambatan perkembangannya. Seringkali diagnosis depresi pada anak-anak sulit ditegakkan, karena gejala-gejalanya tidak seperti depresi pada orang dewasa. Pada anak-anak gejala-gejala depresi dapat bervariasi, antara lain hiperaktivitas, perilaku agresif dengan "acting out", kenakalan-kenakalan yang mirip delinkwensi dan gangguan-gangguan psikosomatik serta gangguan belajar. (15')
Ada beberapa pegangan untuk mendeteksi depresi sedini mungkin yaitu:
1. Perhatikan apakah anak memperlihatkan gejala-gejala adanya afek dan perilaku depresif.
2. Adakah sebelumnya terjadi hal-hal yang berhubungan dengan perpisahan dari orang yang bermakna dalam kehidupan anak itu, atau terjadinya perubahan dalam hubungan antara anak dengan orang yang dicintainya.
3. Keterangan salah seorang dalam keluarganya menderita depresi.
4. Mencoba mengerti proses pikir anak dengan mengadakan?
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library