Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
E. Wulandari S.
"Undang-undang Kepailitan yang berlaku saat ini adalah Undang-undang No.4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan. Undang-undang ini hanya mengubah Undang-undang Kepailitan yang lama, yaitu Faillissementsverordening. Berarti Faillissements-verordening tetap dinyatakan berlaku selama tidak diubah dengan Undang-undang. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan menyebutkan syarat-syarat seseorang dapat dipailitkan, yaitu sedikitnya memiliki dua orang kreditur dan sedikitnya memiliki satu utang yang telah jatuh waktu (jatuh tempo) da dapat ditagih. Perkara pailit harus dibuktikan secara sederhana atau sumir. Artinya Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi (pasal 6 ayat (3) Undang-undang Kepailitan). Setelah debitur dinyatakan pailit, maka debitur kehilangan hak untuk menguruh hartanya yang termasuk dalam harta pailit. Hak tersebut beralih kepada kurator sejak pernyataan pailit dijatuhkan. Menurut pasal 12 Undang-undang Kepailitan, jika nantinya ternyata putusan pernyataan pailit tersebut dibatalkan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, maka segala tindakan kurator tetap sah dan mengikat. Pada Pengadilan Niaga permohonan pailit terhadap PT Hutama Karya ditolak, PT Hutama Karya dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Namun, Putusan Pernyataan Pailit terhadap PT Hutama Karya tersebut dibatalkan pada tingkat Peninjauan Kembali."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S24066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daisy Irani
"Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara 2 (dua) orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia Negara Indonesia tidak membatasi lingkup pergaulan warga negaranya maka dari itu peluang terjadinya perkawinan campuran antar warga negara yang berbeda semakin terbuka. Dampak nyata dari perkawinan campuran adalah mengenai status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran tersebut. Sebelum Undang Undang Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 berlaku maka peraturan perundangan Kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia adalah Undang Undang Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958, undang undang ini menganut azas ius sanguinis, dimana jika terjadi perkawinan antara pria warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia maka anak hasil dari perkawinan campuran tersebut berkewarganegaraan asing mengikuti warga negara ayahnya. Keberadaan Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 tahun 1958 ini dinilai tidak adil dari segi kesetaraan gender karena anak tersebut yang masih mempunyai darah Indonesia dari ibunya dianggap sebagai orang asing . Oleh karena itu pada tanggal 1 Februari 2006 dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang Kewarganegaraan, Dewan Perwakilan Rakyat menerima usulan dua kewarganegaraan terbatas bagi anak-anak yang lahir datam perkawinan campuran, ini berarti, anak-anak tersebut mendapatkan dua kewarganeganaan sekaligus pada waktu ia dilahirkan, yaitu kewarganegaraan ayah dan ibunya sampai ia berumur 18 (delapan belas) tahun. Setelah itu mereka akan menentukan kewarganegaraan yang akan dipilihnya. Kemudian pada tanggal 11 July 2006 dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang Kewarganegaraan, Dewan Pertimbangan Agung mensahkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan dan sekaligus menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 62 Tentang Kewarganegaraan dinyatakan sudah tidak relevan dan tidak bertaku lagi bagi kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini.

In this era of globalization, with advances in technology and world travel, it’s becoming easier and easier for people to travel and integrate with other nationalities and ethnic groups often resulting in relationships and marriage between citizens of different countries. Problems which arise in marriages between people with different citizenships will also affect their children. One of the side effects of mixed marriages is the citizenship problem of the children resulting from such a marriage. Before the recentiy applied Act No. 12/2006 regarding citizenship, Indonesia previously used Act No. 62/1958 to regulate citizenship - based on “IUS SANGUINIS", meaning that when a marriage occurs between a male foreigner and an Indonesian woman, their children would automatically become foreigneis - following the citizenship of the father - something which many felt unfair and discriminatory. As well as using a Juridical Normatif for the research, I also undertook several interviews with couples of mixed marriages in Jakarta to obtain accurate Information and suggestions regarding the application of regulation No. 12/2006 regarding citizenship."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26407
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Valyana Ester
"Penjaminan bangunan secara fidusia dapat terjadi dengan kontruksi asas pemisahan horisontal, bahwa lembaga jaminan fidusia sebagai suatu sarana jaminan kebendaan dengan obyeknya kebendaan yang tidak dapat dijaminkan dengan lembaga gadai, hipotek dan hak tanggungan atas tanah. Penjaminan dilakukan dengan adanya suatu ijin berupa perjanjian tertulis antara pemilik tanah dengan orang yang memanfaatkan bangunan yang berdiri diatasnya dan tanah dan bangunan tersebut belum menjadi hak atas tanah dengan pembuktian sertpikat, oleh karena itu bangunan tersebut diikat dengan jaminan fidusia yang lahirnya didahului oleh perjanjian kredit maupun perjanjian lainnya yang mensyaratkan adanya suatu jaminan kebendaan dan menimbulkan utang-piutang diantara pihak yang terikat didalamnya. Perselisihan antara subyek-subyek hukum dapat terjadi disebabkan dari salah satu dari sekian perjanjian yang dibuat tersebut, dan penyelesaiannya dapat disepakati dengan sukarela atau karena perintah yang memaksa dari hukum yang berlaku dengan melalui mediasi, sebagai sarana alternatif penyelesaian sengketa. Kesepakatan yang disetujui secara tertulis dari hasil mediasi dituangkan ke dalam akta mediasi yang sifatnya final dan mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan eksekutorial, dengan kata lain dibutuhkan kekuatan akta yang sama kekuatannya dengan putusan atau penetapan majelis hakim di pengadilan atau majelis arbiter di arbitrase yaitu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, sebagai pejabat profesional yang dengan kewenangannya wajib bertindak secara tidak berpihak dan memberi kepastian hukum atas akta-akta yang dibuatnya, sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman dan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dimana peraturan mahkamah agung mengenai prosedur mediasi dan peraturan Bank Indoensia mengenai mediasi perbankan yang menentukan perselisihan perbankan yakni penjaminan bangunan secara fidusia adalah perkara perdata yang wajib dimediasikan demi perlindungan nasabah atau debitor. Tesis ini menggunakan metodologi penelitian normatif, dengan ruang lingkupnya alternatif penyelesaian sengketa, jaminan fidusia, perikatan dan jabatan notaris, adapun alat pengumpulan datanya yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, kemudian pengolahan, analisa dan konstruksi data dilakukan secara kualitatif dan atau kuantitatif, sesuai tipologi yang dipilih yaitu preskriptifeksplanatoris dalam rangka problem identification, dan dilakukan terhadap sistematika hukum positif. Akta mediasi yang dibuat dihadapan notaris sebagai alat pembuktian telah terjadi kesepakatan perdamaian atas perselisihan penjaminan bangunan secara fidusia, memenuhi kekuatan pembuktian lahiriah, material dan formil yang bersifat final, mengikat dan punya kekuasaan eksekusi.

Building a fiduciary assurance can occur with the construction principle of horizontal separation, that the fiduciary assurance agencies as a means to guarantee the object material with material that can not be guaranteed by institutions lien, mortgage and dependents rights to land. Guarantee done with permission in the form of a written agreement between the owners of the land with people who use buildings that stood on it and the land and building rights have become a proving ground sertpikat, therefore the building will be tied with the birth of fiduciary assurance preceded by a credit agreement or other agreement which requires the existence of a material and cause collateral debts between parties who are bound therein. Disputes between legal subjects may occur because of one of many such agreements, and the solution can be agreed upon voluntarily or because of orders that forced the law applicable to the mediation, as an alternative means of dispute resolution. The agreement approved in writing by the results of mediation is poured into the nature of mediation certificate final and binding on the parties and have eksekutorial power, in other words, the act required the same force strength with the decision or determination of the judges on the court or arbitral tribunal of arbitrators in an authentic deed made before a Notary, as a professional officer with the authority shall act impartially and provide legal certainty for deeds made, as required by laws and regulations governing the judiciary and arbitration and alternative dispute resolution, which the supreme court rules regarding mediation procedures and regulations of Bank Indonesia regading bangking mediation on a decisive mediating disputes banks underwriting the building of a fiduciary is obligated civil matters which are mediated by the customer or debtor protection. This thesis uses the methodology of normative research, the scope of alternative dispute resolution, fiduciary security, commitment and notary offices, as for the data collection tool, the study documents and library materials, and processing, analysis and construction data were qualitatively and or quantitatively, according to typology selected the prescriptive-explanatory in the context of problem identification, and done to systematic positive law. Mediation deed drawn up before a notary as a means of proving there was an agreement guaranteeing the peace of the dispute in fiduciary buildings, meet the evidentiary power of external, material and formal final, binding and execution power."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26711
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Triani Puspita Sari
"Adopsi adalah suatu lembaga hukum yang terletak di bidang Hukum Perdata, khususnya Hukum Perorangan dan Kekeluargaan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W) yang kita warisi dari Pemerintah Hindia-Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga pengangkatan anak. Hanya bagi golongan Tionghoa yang diadakan pengaturannya secara tertulis di dalam Staatsblaad tahun 1917 No. 129. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam masalah menyangkut ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, apabila kita mempelajari ketentuan tentang eksisitensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumbersumber hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik hukum Barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW), hukum adat yang merupakan ?the living law? yang berlaku di masyarakat Indonesia, maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama Islam. Oleh sebab itu bagaimana hukum positif Indonesia mengatur mengenai pelaksanaan atau tata cara pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia dan bagaimana kewenangan seorang Notaris terhadap pembuatan akta Notariil pengangkatan anak sebelum dan sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta bagaimana permasalahan hukum yang timbul dari pengangkatan anak terhadap hubungan kewarisan antara orang tua angkat terhadap anak adopsi tersebut. Hukum positif Indonesia mengatur mengenai pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia melalui tiga sistem hukum yaitu, secara hukum adat, perundang-undangan dan hukum Islam, hal ini disebabkan karena keanekaragaman kulktur budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia tetapi ketidaksinkronan pengaturan hukum tentang pengangkatan anak tersebut dapat diatasi dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007. Pengangkatan anak melalui notaris merupakan perintah Staatsblad 1917 Nomor 129, dalam perkembangannya, tujuan pengangkatan anak sudah berbeda dengan tujuan semula dan calon anak angkat tidak hanya orang Tionghoa laki-laki saja sehingga melibatkan pengadilan, pengangkatan anak melalui notaris sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dalam masyarakat Indonesia. Pengangkatan anak melalui pengadilan akan memberikan perlindungan kepentingan anak dan kepastian hukum. Dasar hukum untuk pengaturan hak waris anak adopsi dalam sistem kewarisan di Indonesia adalah menggunakan hukum adat, hukum Islam, dan hukum perdata barat, bagi hukum waris adat dipergunakan kebiasaan adat yang berlaku dan dapat melihat kepada yurisprudensi atas kasus yang sama, dalam hukum waris Islam berpegang kepada wasiat wajibah atau hibah atau peraturan dalam Al-Quran dan Kompilasi Hukum Islam pasal 209 KHI (mengenai wasiat wajibah) sedangkan hukum perdata dapat dilihat pada pasal-pasal yang menyangkut mengenai kewarisan.

Adoption is a legal entity which is placed in Private Law, especially in Individual and Family Law. Civil Law Compilation Book (BW) which we inherited from The Dutch does not recognize regulation regarding child adoption. It is only regulated for the Chinese community in Staatsblad No. 129/1917. The existance of adoption in Indonesia as a legal entity has not been synchronized yet; therefore adoption is still a problem for Indonesian people, especially in regards with positive prevailling regulation in Indonesia. The non-synchronization is clearly visible if we study about the regulation about the existance of the adoption entity in all the positive law sources in Indonesia, either the western law which are taken from the regulations in Burgerlijk Wetboek (BW), the traditional law which is considered as ?the living law? applicable in Indonesian community, or Islam Law which is the logical concequences of the Moslem majority in Indonesia. Therefore how Indonesian Law regulates the execution or procedures about child adoption in Indonesia and what is the power posessed by a notary in making the adoption deed before and after the application of Government Regulation No. 54/2007 regarding the Procedures of Child Adoption and what is the legal concequences that occur from the child adoption regarding parental imheritance of the foster parents to the adopted child. Indonesian positive law regulates the procedures of child adoption in Indonesia with three law system, which are; traditional law, private law and Islam law, it is caused by the cultural diversity in Indonesian sociey but the non-synchronization of the regulating law could be settled with the formation of Government Regulation No. 54/2007. Child adoption through the notary is an order of Staatsblad No. 129/1917, in the current development, the purpose of child adoption has differ from the original purpose, and the adopted child is not only male Chinese so it involves the court, child adoption through notary is no longer accordance with the law development in Indonesian society. Adoption through court will give protection for the child?s prosperity and ensure law. Legal base for inheritance roghts adopted child in Indonesian inheritance system is by using traditional law, Islam law and western private law, for the traditional law, it is regulated bt the pravailling tadition and could refer to jurisprudence in similar cases, in Islam inheritance law it refers wajibah inheritance or donation (hibah) or the regulation in Al-Quran and Islamic Law Compilation 209 KHI (regarding wajibah inheritance) while the private law could be seen in the articles regarding inheritance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26919
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Mayasari
"Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendifinisikan anak sah sebagai anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah. Sedangkan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah dikenal sebagai anak luar nikah. Dalam pasal 43 ayat (2) UU No. l Tahun 1974 disebutkan bahwa kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Namun hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur perihal anak luar kawin itu. Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 1 Tahun 1974, mengenai anak luar kawin akan digunakan ketentuan yang lama yaitu KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata pada umumnya membedakan kedudukan serta perlindungan hukum antara anak luar kawin dan anak sah.
Secara hukum, anak sah memiliki kedudukan dan perlindungan hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan anak luar kawin. Perbedaan ini dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan, kepatutan dan kemanusiaan. Apabila dibandingkan dengan di Belanda, sebagai negara asal KUHPerdata yang berlaku di Indonesia, perbedaan kedudukan antara anak sah dengan anak luar kawin ini sudah tidak terlalu jelas terlihat. Belanda telah banyak melakukan perkembangan dan perubahan terhadap ketentuan perundang-undangan mereka terkait kedudukan dan perlindungan hukum anak luar kawin sehingga antara anak sah dan anak luar kawin mempunyai kedudukan hukum yang setara.
Tesis ini akan membahas mengenai kedudukan dan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin di Indonesia serta perbandingannya dengan di Belanda. Seilain itu dalam tesis ini juga akan dibahas dan dianalisa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2142K/Pdt/1989. Penelitian ini adalah penelitian berjenis hukum yuridis normatif dengan metode kualitatif dan desain deskriptif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa kedudukan dan perlindungan hukum anak Iuar kawin di Indonesia cukup berbeda dengan yang ada saat ini di Belanda. Ketentuan perundang-undangan terhadap kedudukan dan perlindungan hukum anak Iuar kawin di Belanda sudah banyak mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Sedangkan mengenai anak luar kawin di Indonesia masih diberlakukan ketentuan dalam KUHPerdata.
Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah meninjau ulang permasalahan serta ketentuan perundang-undangan di Indonesia guna menjamin perlindungan hukurn yang penuh terhadap kedudukan anak luar kawin di Indonesia.

Article 42 of Law Number I ofthe year 1974 defined legitimate child as child born in or as a result of a legitimate marriage. While children bom outside a legitimate marriage is known as an illegitimate child. Article 43 point (2) of Law Number l of the year 1974 stated that the status of an illegitimate child shall be Further regulated on a Govemment Regulation. But up until now, there is no Government Regulation governing the subject. Therefore, pursuant to Article 66 of Law Number 1 of the year 1974, concerning the illegitimate children, will be used the old provisions of the Indonesian Civil Code. The provisions of the Indonesian Civil Code generally distinguish the legal status and protection between an illegitimate and legitimate child.
Legally, legitimate children have a stronger legal status and protection than illegitimate children. This distinction is considered incompatible with the sense of justice, decency and humanity. Compared with the Netherlands, as the country of origin of the Indonesian Civil Code, the difference between legitimate children mtd children born out of wedlock is not so clearly visible. The Dutch have done many developments and changes to their statutory provisions related to the legal status and protection of children bom out of wedlock so that there is an equal standing between legitimate children and children born outside a legitimate marriage.
This thesis will discuss the legal, status and protection of illegitimate children in Indonesia and its comparison with the Netherlands. In this thesis will also be discussed and analyzed the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2142K/Pdt/1989. This research is a normative juridical law manifold with qualitative methods and descriptive design.
The results stated that the legal status and protection of illegitimate children in Indonesia is quite different from those currently in the Netherlands. Statutory provisions on legal status and protection of illegitimate children in the Netherlands has come trough a great progress in accordance with the development ofthe society. As for children outside of marriage in Indonesia, the provisions of the Indonesian civil code are still applicable.
The results of this study suggest that the government should review the issues and the provisions of legislation in Indonesia in order to ensure full legal protection against the position of a child outside marriage in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27423
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riana suryati
"Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun, banyakvsuami isteri yang tidak dapat mempertahankan tujuan perkawinan mereka,vsehingga perceraian dianggap jalan yang terbaik. Perceraian membawa akibat hukum salah satunya terkait pembagian harta bersama. Dalam penulisan ini pokok permasalahan yang diangkat ialah Bagaimanakah pengaturan pembagian harta bersama akibat perceraian dan bagaimanakah analisis hukum terkait pertimbangan Hakim dalam memutus permohonan pembagian harta bersama melalui proses lelang terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 587/Pdt./2006/PN.JAK.SEL ditinjau dari Undang ? Undang yang berlaku. Metode yang dipilih Penulis dalam penelitian ini ialah penelitian yuridis normatif dengan sifat deskriptif analitis. Kasus dalam penulisan ini berawal dimana Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat terkait harta bersama yang mereka miliki, yang masih berada di bawah penguasaaan Tergugat. Gugatan Penggugat diantaranya agar Hakim menetapkan harta bersama mereka dibagi 2 bagian sama besar dan pembagian tersebut dilakukan dengan cara menjualnya secara lelang di muka umum. Atas gugatan yang diajukan, Hakim pun menjatuhkan putusan mengabulkan gugatan tersebut; karena dalam Undang ? Undang Perkawinan Pasal 37 telah diatur bahwa akibat perceraian, harta bersama diatur menurut hukum agama, adat, maupun hukum lainnya. Ketentuan tersebut dapat dikaitkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Pasal 232 J.o 128 dimana harta bersama dibagi 2 bagian sama besar antara suami dan isteri. Atas ketentuan tersebut, maka menurut Penulis , putusan serta pertimbangan Hakim telah tepat dan sesuai, dan terkait pembagian harta bersama melalui lelang, cara tersebut dapat dibenarkan mengingat ketentuan dalam Pasal 37 tersebut di atas bahwa harta bersama dapat dibagi berdasarkan hukum lainnya, yang dalam kasus ini dapat diterapkan melalui cara lelang.

Due to Law No.1 of 1974 regarding to a marriage law, the purpose of marriage is for creating an eternal and happy family. But in fact, so many husbands dan wives cann?t maintain their purpose of marriage, so they decided to divorce as the best way for them. Divorce brings a legal consequences accociated wife the division of their property. The main issue in this thesis is how to arrange the joint property sharing due to divorce and how the legal analysis of the Judge?s consideration for making a decision though an auction process with South Jakarta Court decision No.587/Pdt.G/2006/PN.Jak.Sel reviewed by applicable laws. The method chosen by the writer in this thesis is normative Juridicial research form with descriptive analytical system. The case is based from the plaintiff who filed suit against the defendant related to their property which is still owned by the defendant. The plaintiff?s lawsuit included how to make the Judges take a decision to divide their property into two equal parts after selling it in a public auction. Regarding to a lawsuit filed, The Judges decided to grant the lawsuit based on article 37 of Law No.1 of 1974 which provided that the joint property due to divorce governed by religious laws, customs, and other laws. This provision can be related to article 232 J.o 128 of Civil Law which regulated that the joint property must be divided into two equal parts between husband and wife. Based on that provision, the writer agree that The Judge?s consideration and decisions on this case is appropriate and the division of joint property by auction is correct based on the provision on article 37 of Law No.1 of 1974 which regulated that the division of joint property can be divided by other laws, and in this case, the division of joint property divided by auction process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28710
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Kartika Puji Karishma
"Jaman telah berganti, hal tersebut adalah hal yang tidak dapat kita elakkan. Dahulu mayoritas hanya pria sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah untuk keluarganya, sedangkan sang istri dirumah untuk mengurus keluarga. Seiring perubahan zaman dan tuntutan akan kesetaraan wanita mulai bekerja dan bersama dengan pria mulai bergerak dalam perekonomian di berbagai bidang dan pekerjaan. Hal tersebut tidak dapat kita pungkiri telah membawa pandangan baru dalam perkawinan, masyarakat kini telah merasa perlu untuk melindungi hak-hak yang merupakan harta pribadinya, melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan perjanjian perkawinanlah hal tersebut dapat dilakukan, dimana didalamnya suami dan istri sepakat untuk memisahkan harta mereka. Di dalam peraturan hukum mengenai perkawinan yaitu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa perjanjian kawin dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan, permasalahan muncul tatkala terdapat pasangan yang ingin membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung dan mempertanyakan kemungkinan hal tesebut dapat dilakukan. Penulis kemudian meneliti permasalahan ini dengan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturan-atauran hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan ini secara deskriptif analitis. Melalui penelitian penulis menemukan jawabannya bahwa, hal tersebut dimungkinkan dengan sebelumnya mengajukan permohonan terlebih dahulu dan ijin untuk membuatnya baru muncul ketika Pengadilan melalui Hakim mengabulkan permohonan tersebut.

Time has changed, it is something we can not avoid. Formerly is majority that only men as heads of households who make a living for his family, while his wife at home, take care of the family. With the change of times and demands for equality, women began working too in various fields and jobs. It brought a new view of marriage, society has now felt the need to protect the rights which are personal property, and the possibility to do that is through an agreement called marriage agreement. In which husband and wife agreed to separate the they property. In the legislation on marriage that is in Civil Law and Law Number 1 of 1974 About Marriage states that marriage agreement can be performed before or during marriage. Problems arise when there are couples who want to make a marriage agreement after the marriage and questioning the possibility to do so. The author then examines these issues with the method of juridical normative research, which examined in reference to the existing rules of law to then be able to answer this problem in a descriptive analytic. Through the study authors found the answer that, it is possible to do by previously apply for permission in advance and if the Court of Justice granted the request."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28856
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sendy Yudhawan
"Di Indonesia, perkawinan adalah sah menurut hukum apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama. Didalam perkembangan masyarakat sekarang ini munculah istilah kawin kontrak, dimana perkawinan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, dan adanya imbalan materi bagi salah satu pihak, serta ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam suatu kontrak atau kesepakatan tertentu. Hal tersebut menjadi permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Didalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah empiris yuridis, dengan menggunakan metode analisis kualitatif, sehingga akan menghasilkan suatu data deskriptif, yaitu data yang melukiskan keadaan obyek atau peristiwa yang diteliti. Diperlukan upaya hukum untuk mencegah kawin kontrak, seperti upaya pemerintah memasukkan Rancangan Undang- Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan ke dalam program legislasi nasional 2010-2014 yang melarang praktek kawin kontrak, atau diperlukan upaya hukum lainnya seperti membuat para pihak dalam perjanjian kawin kontrak tersebut mempunyai kedudukan yang seimbang.

In Indonesia, the marriage is legally valid if done in accordance with the religion and belief each and were listed in the registry office marriages. Law No. 1 Year 1974 on Marriage view that marriage was not only seen from purely formal aspect, but also viewed from the aspect of religion. In the development of today's society comes the term marriage contract, where the marriage conducted in a certain period of time, and the material rewards for either party, as well as other provisions stipulated in a contract or specific agreement. This becomes the issue raised in this study.
In this study, the method used is empirical juridical, using methods of qualitative analysis, so it will generate some descriptive data, ie data that describes the state of the object or event under study. Necessary legal measures needs to be taken to prevent the marriage contract, such as government efforts to incorporate the Bill (the Bill) Religious Courts Law on Marriage Material into the national legislation program from 2010 to 2014 that prohibiting the practice of marriages contract, or other legal efforts as necessary to make the parties to the agreement marriage contract has a balanced position.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
t28852
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tutut Roes Kartika
"Dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 seorang anak yang lahir akibat perkawinan campuran kedua orang tuanya secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Sejak berlakunya Undang?Undang Nomor 12 Tahun 2006, anak dalam perkawinan campuran memperoleh hak kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan kedua orang tuanya hingga berusia 18 tahun. Dalam penulisan ini pokok permasalahan yang diangkat ialah Bagaimanakah Status Kewarganegaraan anak akibat perkawinan campuran beda kewarganegaraan sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 dan Bagaimana status hukum harta benda dalam perkawinan campuran beda kewarganegaraan terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 598 K/Pdt/2006 antara Surtiati Wu dan Dr. Charlie Wu alias Wu Chia Hsin ditinjau dari Undang-Undang yang berlaku. Untuk menjawab hal tersebut metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan sifat penulisan deskriptif analisis yang memberikan gambaran dan memaparkan keseluruhan dari objek yang diteliti dan menganalisisnya dengan mengacu pada asas?asas hukum doktrin?doktrin serta peraturan perundang?undangan. Kasus yang diangkat dalam penulisan ini berawal dimana Penggugat mengajukan gugatan perceraian kepada tergugat yang membawa akibat kepada anak, kewarganegaraan dan harta benda, dimana hak pengasuhan jatuh kepada ayah yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, dalam hal ini hakim mengacu kepada Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama yang mana kurang memberikan perlindungan terhadap hak wanita warga negara Indonesia dan terhadap harta benda tergantung kepada ada atau tidaknya perjanjian kawin yang dibuat pada saat sebelum dilakukan pernikahan.

In Act No. 62 of 1958, a child who born from parents? mixed marriages automatically follow his father's nationality. Since the enactment of Act No. 12 of 2006, children in mixed marriages have a limited right to dual nationality which follows the nationality of their parents until the age of 18 years-old. The main issue of this essay is how the citizenship status of the children due to mixed marriage in different nationality before and after the enactment of Citizenship Act No. 12 of 2006 and how the legal status of the property in inter-nationality marriages toward to the Supreme Court Decision No. 598 C / Rev. / 2006 between Surtiati Wu and Dr. Charlie Wu aka Wu Chia Hsin in terms of the applied Act. In order to answer that issue, the method which is been used in this essay is the method of writing with juridical normative character with descriptive analysis which provides an overview and describes the entirety of the object of study and analyzing it based on the reference of the principles of legal doctrines and statutory regulations. The case in this paper begins where the plaintiff sued the defendant to divorce where the result of the divorce impacting the children , citizenship and property, which falls to the father custody of a United States citizen, in this case the judge simply refers to the prior Citizenship Act which provide less protection for women's rights of the Indonesian citizens, and for the property,it depends on the existence or in-existence of the prenuptial agreement which made at the time before the marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28914
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ranny Alfianti
"Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan pengertian perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegaraan Indonesia. Perkawinan dalam Hukum Islam pada dasarnya menganut asas monogami dan bukan poligami. Namun agama Islam pada dasarnya tidak melarang poligami dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan kepadanya. Berkaitan dengan perkawinan poligami, menurut Penjelasan Umum poin 4 huruf c Undang-Undang Perkawinan menyatakan, bahwa pada dasarnya undang-undang menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.
Permasalahan dalam penulisan tesis ini yaitu akibat hukum dilangsungkannya perkawinan poligami dalam perkawinan campuran beda kewarganegaraan dan apakah tepat pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan pada Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk. Kemudian dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, dengan data utama yang digunakan yaitu data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sementara itu, metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif, yaitu mengacu pada data penelitian yang diteliti oleh peneliti.
Sedangkan kesimpulan berdasarkan permasalahan di atas adalah akibat hukumnya adalah dapat memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan salah satu pihak, tidak mempunyai penguasaan hak milik atas tanah di Indonesia, dan terhadap status kewarganegaraan terhadap anak yang dilahirkan memperoleh kewarganegaraan ganda sebelum berumur 18 tahun atau telah kawin, Sedangkan dalam putusan Pengadilan Agama Depok 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk, Majelis Hakim menggunakan Pasal 24 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang intinya seorang yang masih terikat perkawinan dirinya dengan salah satu dari kedua pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Marriage is inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and everlasting family (household) based on Belief in God. The provisions on marriage set out in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage. While the definition of mixed marriage is a marital union of two individuals in Indonesia which subject to different laws, because of nationality difference and one of the couple is Indonesia citizen. Marriage in Islamic Law is basically adheres to the principle of monogamy instead of polygamy. But basically, the religion does not prohibit polygamy provided that applicable special requirements as well as the provisions are met. With regard to polygamous marriage, according to the General Explanation of point 4 letter c of Marriage Law states that basically the law embraces the principle of monogamy, only if required by the individual due to the laws and religion of the individual permit polygamy, a husband can have more than one wife. This thesis draws up the problem of legal consequences of polygamous marriage of different citizenship and whether the judge provided proper consideration in the nullity of marriage in the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk.
The author applies the juridical-normative literature research method, with the main data used are secondary data obtained from the literature in the form of primary, secondary and tertiary legal materials. The method of data analysis used in this study is qualitative research that refers to the data examined by the author.
The conclusion developed based on the above problem regarding the legal consequences are the possibility of gaining and losing the citizenship status of either party, either party does not have tenure rights to land in Indonesia, and their children will obtain dual citizenship status before the age of 18 or married. While in the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk, the Judges used Article 24 of Law No. 1 of 1974 regarding Marriage which states that basically, a person who is still married to one of the two parties and on the basis of the persistence of the marriage may apply the nullity without prejudice to the provisions of Article 3 paragraph (2) and Article 4 of this Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28671
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>