Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransiscus Januar Widjaja
"Awak pesawat memiliki lingkungan kerja yang dapat meningkatkan risiko terjadinya nyeri punggung bawah (NPB). Tujuan dari studi ini adalah untuk mencari tahu apakah lama bekerja seorang awak pesawat komersial berpengaruh terhadap NPB. Studi ini adalah sebuah laporan kasus berbasis bukti, dengan pencarian literatur yang dilakukan pada database PubMed, Cochrane, dan Ingenta. Kriteria inklusi dalam pencarian ini adalah literatur dengan subyek penelitian awak pesawat dan adanya kejadian NPB. Penilaian kritis dilakukan sesuai dengan metode pada literatur yang diperoleh. Seleksi literatur mendapatkan tiga literatur. Ketiganya adalah studi prevalensi dengan metode potong lintang. Berdasarkan penilaian kritis, hanya ada satu studi yang memiliki kualitas yang paling baik, dimana hasil studi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan jumlah penderita NPB pada periode lama bekerja 10-24 tahun (Rasio Odds: 0,93 dan Interval Kepercayaan 95%: 0,78-1,03). Bukti-bukti yang kami dapatkan masih belum cukup untuk membuktikan bahwa semakin tinggi lama bekerja seorang awak pesawat berpengaruh terhadap kejadian NPB, karena level of evidence dari semua studi yang kami dapatkan adalah rendah.

Flight crew has a work environment that can increase the risk of low back pain (LBP). The aim of this study is to find out whether the length of work resulted in commercial flight crews suffering from LBP. This study is an evidence-based case report, with literature searches conducted in the PubMed, Cochrane, and Ingenta databases. The inclusion criteria in this search were literature with research subjects as crew members and the presence of LBP. Critical appraisal was carried out in accordance with the methods in the articles. We found three literatures after selecting literatures based on inclusion and exclusion criteria. The selected articles applied cross-sectional method. Only one study has the best quality, where the results of the study showed that there was no increase in the number of LBP sufferers within the 10-24 years working period (Odds Ratio: 0.93 and 95% Confidence Interval: 0.78-1.03). These evidences are still insufficient to prove that the longer length of work increases the risk of LBP in commercial flight crews, because the articles were low level of evidence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deby Heratika
"Latar belakang: Seorang pilot yang bertugas di ketinggian dapat terpapar hipoksia, baik ringan maupun berat. Kejadian hipoksia di penerbangan dapat menjadi fatal, terutama jika hipoksia dialami seorang pilot saat bertugas. Salah satu manifestasi hipoksia adalah penurunan fungsi kognitif. Pilot dituntut untuk melakukan operasi multitasking dengan menggunakan fungsi kognitif, terutama saat darurat. Sehingga penurunan fungsi kognitif akibat hipoksia pada seorang pilot saat bertugas dapat menyebabkan kecelakaan dalam penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan fungsi kognitif pada paparan hipoksia di beberapa zona ketinggian.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji eksperimental one group pretest-post test . Subjek penelitian adalah pilot militer yang mengikuti Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi di Lakespra Saryanto, Jakarta. Subjek mengisi kuesioner 6 CIT pada ground level, physiological efficient zone (10.000 feet) dan physiological defficient zone (25.000feet) dalam hipobarik chamber.
Hasil: Terdapat perubahan score 6 CIT di 10.000ft dibandingkan dengan ground level (Friedman post hoc Wilcoxon, P = 0.001). Terdapat juga perubahan score 6 CIT di 25.000ft dibandingkan dengan ground level (Friedman post hoc Wilcoxon, P < 0.001).
Kesimpulan: Terdapat perubahan fungsi kognitif di physiological efficient zone dan physiological defficient zone jika dibandingkan dengan di ground level.

Background: A pilot on duty at altitude can be exposed to hypoxia, both mild and severe hypoxia. The incidence of hypoxia on flight can be fatal, especially if hypoxia is experienced by pilot on duty. One manifestation of hypoxia is decreased cognitive function. Pilot is required to carry out multitasking operations using cognitive functions, especially at emergency. Therefore, decreased cognitive function due to hypoxia on pilot can cause accidents in flight. The aim of this study was to determine changes in cognitive function in hypoxia exposure at several altitude zones.
Methods: This study used an experimental one group pretest-post test design. The subjects were 31 military pilots who participated in Indoctrination and Aerophysiology Training. Subjects filled 6 CIT questionnaire at ground level, physiological efficient zone (10,000 feet) and physiological defficient zone (25,000 feet) in a hypobaric chamber.
Result: There was change of 6 CIT score at 10.000ft compared to ground level (Friedman post hoc Wilcoxon, P = 0.001). There was also change of 6 CIT score at 25,000 ft compared to ground level (Friedman post hoc Wilcoxon P <0.001).
Conclusion: There was change in cognitive function in physiological efficient zone and physiological defficient zone, compared to ground level.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kerenhapukh Dwiputri
"Latar Belakang Hipoksia hipobarik merupakan kondisi hipoksia akibat menurunnya tekanan parsial oksigen dalam darah. Saat keadaan hipoksia, terjadi peningkatan produksi radikal bebas yang menyebabkan peroksidasi lipid dengan hasil akhir malondialdehid (MDA). Hipoksia hipobarik intermiten dapat menginduksi berbagai mekanisme adaptasi untuk melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan dapat diukur salah satunya dengan penurunan kadar MDA. Metode Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan melibatkan 30 ekor tikus yang dibagi ke dalam 6 kelompok, yakni kelompok hipoksia hipobarik akut, hipoksia hipobarik (HH) 7 kali, HH 14 kali, HH 21 kali, HH 28 kali, dan kelompok kontrol. Pajanan hipoksia hipobarik intermiten dilakukan dengan prosedur hypobaric chamber training. Kadar MDA diukur melalui metode Will’s dengan absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Hasil Kelompok 1 (HH akut) dan 2 (HH 7 kali) mengalami peningkatan kadar MDA dibandingkan dengan kadar MDA pada kelompok kontrol. Kelompok 3 (HH 14 kali) mengalami penurunan kadar MDA dibandingkan dengan kelompok 2. Peningkatan kadar MDA kembali terjadi pada kelompok 4 (HH 21 kali) dan kadar MDA kelompok 5 (HH 28 kali) sama dengan kelompok 4. Dapat terlihat tren perubahan antar kelompok perlakuan meskipun secara statistik perbedaan tidak signifikan. Kesimpulan Perlakuan hipoksia hipobarik akut dan hipoksia hipobarik 7, 21, dan 28 kali pada ketinggian setara 10.000 kaki meningkatkan kadar MDA. Akan tetapi pemberian hipoksia hipobarik 14 kali menurunkan kadar MDA.

Introduction Hypobaric hypoxia is a hypoxic condition resulting from a decrease in the partial pressure of oxygen in the blood. During hypoxia, there is an increase in the production of free radicals which causes lipid peroxidation with the final result being malondialdehyde (MDA). Intermittent hypobaric hypoxia can induce various adaptation mechanisms to protect the body from damage caused by free radicals and can be measured, one of which is a decrease in MDA levels. Method This study used an experimental design involving 30 rats divided into 6 groups, namely the acute hypobaric hypoxia (1 time), 7 times of hypobaric hypoxia (HH), 14 times of HH, 21 times of HH, 28 times of HH, and the control group. Intermittent hypobaric hypoxia exposure was carried out using the hypobaric chamber training procedure. MDA levels were measured using the Will’s method with absorbance read with a spectrophotometer at a wavelength of 530 nm. Results Groups 1 (acute HH) and 2 (7 times of HH) experienced increased MDA levels compared to MDA levels in the control group. Group 3 (14 times of HH) experienced a decrease in MDA levels compared to group 2. An increase in MDA levels occurred again in group 4 (21 times of HH) and group 5 (28 times of HH) MDA levels were the same as group 4. A trend of change between groups can be seen even though the differences are not statistically significant. Conclusion Acute hypobaric hypoxia treatment and 7, 21, and 28 times of hypobaric hypoxia at an altitude equivalent to 10,000 feet increased MDA levels. However, treatment of 14 times of hypobaric hypoxia reduced MDA levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Rahmat Hidayat
"Hipoksia hipobarik merupakan kondisi ketika konsentrasi oksigen mengalami penurunan seiring bertambahnya ketinggian. Fenomena ini dapat memicu stres oksidatif melalui peningkatan produksi radikal bebas yang menyerang komponen molekuler. Pemaparan hipoksia hipobarik intermiten (HHI) disinyalir dapat melatih kemampuan adaptasi jaringan sehingga menjadi lebih toleran terhadap kondisi hipoksia. Penelitian eksperimental ini menggunakan 30 tikus Sprague-Dawley jantan yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat perlakuan selama 1, 7, 14, 21, dan 28 hari. Pemberian pajanan hipoksia hipobarik setara 10.000 kaki (523 mmHg) dilakukan setiap hari selama satu jam dengan menggunakan hypobaric chamber. Kadar malondialdehid (MDA) setiap sampel kemudian diukur dengan melakukan metode Wills yang dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Rata-rata kadar MDA secara perlahan mengalami penurunan pada kelompok yang terpajan hipoksia hipobarik intermiten ketika dibandingkan dengan kelompok yang terpajan hipoksia hipobarik akut. Meskipun uji statistik menunjukkan bahwa perubahan ini tidak signifikan, pajanan hipoksia hipobarik intermiten setara 10.000 kaki selama satu jam per hari dapat memengaruhi kadar MDA di jaringan paru tikus Sprague-Dawley.

A condition known as hypobaric hypoxia occurs when the concentration of oxygen falls with increasing altitude. This phenomenon can trigger oxidative stress through increased production of free radicals, which damage molecules. It is believed that exposure to intermittent hypobaric hypoxia (IHH) can train tissue adaptation mechanisms, increasing the tissues' tolerance to hypoxic environments. Thirty male Sprague-Dawley rats were utilized in this experiment as they were split into six groups: the control group and the groups that were exposed to IHH for 1, 7, 14, 21, and 28 days. Using a hypobaric chamber, exposure to hypobaric hypoxia equal to 10,000 feet (523 mmHg) was done once a day for an hour. The malondialdehyde (MDA) levels of each sample were measured using the Wills method which was read using a spectrophotometer at a wavelength of 530 nm. Compared to the acutely exposed to hypobaric hypoxia group, the average MDA level gradually decreased in the group that was exposed to intermittent hypobaric hypoxia. Despite the insignificant result, exposure to intermittent hypobaric hypoxia equivalent to 10,000 feet for one hour per day can affect MDA levels in the lung tissue of Sprague-Dawley rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parmadi Komalajaya
"Latar Belakang: Kejadian Nyeri Punggung Bawah yang muncul tiba-tiba, tidak dapat diprediksi, dan kekambuhan yang dapat sering terjadi berisiko terjadinya ketidaknyamanan serta disabilitas pada pilot yang bahkan dapat meningkatkan resiko inkapasitasi yang dapat mengancam keselamatan penerbangan. Tujuan Penelitian ialah untuk mengetahui hubungan NPB dengan faktor risiko yang dialami oleh pilot fixed-wing penerbangan komersial di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada pilot fixed-wing penerbangan komersial yang melaksanakan pengujian kesehatan di Balai Kesehatan Penerbang pada bulan September-Oktober 2021. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner yang telah disiapkan dan melalui rekam medis. Untuk parameter penelitian penentuan nyeri punggung bawah, digunakan kuesioner ODI (Oswestry Disability Index) bahasa Indonesia yang sudah divalidasi pada penelitian lainnya.
Hasil: didapatkan jumlah reseponden sebesar 410 orang, yang terdiri dari 394 responden laki-laki dan 16 responden perempuan. Dari keseluruhan didapatkan 24 responden (5,85%) mengalami NPB. Analisis lebih lanjut menunjukkan faktor jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna terhadap NPB (p = 0,01) dibandingkan dengan faktor lainnya (usia, index masa tubuh, dan total jam terbang).
Kesimpulan dan saran: Penerbang perempuan memiliki resiko lebih besar daripada penerbang laki-laki untuk mengalami NPB, sebaiknya menjaga kondisi tubuh baik dari aktivitas maupun berat badan agar dapat mengurangi resiko terjadinya NPB

Background: The incidence of low back pain that appears suddenly, unpredictable, and often relapses has the risk of discomfort and disability for pilots which can even increase the risk of incapacitation which can threaten flight safety. Aim of this study was to determine the correlation between NPB and its risk factors among fixed-wing commercial flight pilots in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study was conducted on fixed-wing commercial flight pilots who conducting medical examination at Civil Aviation Medical Center in September-October 2021. Data collection was carried out through filling out prepared questionnaires and through medical records. For research parameters determining low back pain, the Indonesian language Oswestry Disability Index questionnaire was used which has been validated in other studies.
Results: among 410 respondents, consisting of 394 male respondents and 16 female respondents, 24 respondents (5.85%) experienced LBP. Further analysis showed that gender had a significant relationship with LBP (p = 0.01) compared to other factors (age, body mass index, and total flight hours).
Conclusions and suggestions: Female pilots have a greater risk than male pilots to experience LBP, it is better to maintain their condition both from activity and body weight in order to reduce the risk of LBP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Jamtani
"Pendahuluan: Efikasi neoadjuvan kemoembolisasi transarterial (N-TACE) pada karsinoma hepatoseluler (KSH) yang dapat direseksi masih diperdebatkan. Meskipun N-TACE dapat mengurangi ukuran tumor, dampaknya terhadap luaran jangka panjang masih belum dapat disimpulkan.
Metode: Meta-analisis ini meninjau studi terkait N-TACE vs. Reseksi Hati (RH) pada karsinoma sel hati soliter besar (KSHSB) hingga Maret 2023 dari empat database online.
Hasil: 5 penelitian dengan total sampel 1556 pasien (N-TACE = 474; LR = 1082) dilakukan analisis. Dari hasil analisis, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok N-TACE dan RH yang diamati pada KS dan KBT 1, 3, atau 5 tahun. Odds Ratio yang didapatkan adalah 0,91 (95% CI 0,54 – 1,54), 0,80 (95% CI 0,56 – 1,15), dan 0,88 (95%CI 0,47 – 1,65) untuk KS 1, 3, dan 5 tahun dan 0,66 ( 95% CI 0,32 – 1,34), 0,70 (95% CI 0,37 – 1,33), dan 0,75 (95% CI 0,28 – 1,98) masing- masing untuk KBT 1, 3, dan 5 tahun. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada kehilangan darah intraoperatif antar kelompok. Analisis subgroup menunjukkan KS 1, 3, dan 5 tahun yang mengarah ke N-TACE pada kombinasi kemoterapi dan KS 1 tahun yang lebih baik pada kelompok RH di kemoterapi agen tunggal. Selain itu, KBT 5 tahun lebih mengarah pada RH di kelompok agen kemoterapi tunggal (OR 2,82 95% CI 1,18 – 6,72) dan N-TACE pada kelompok kombinasi (OR 0,75 95%CI 0,28 – 1,98).
Kesimpulan: Pengelolaan KSHSB memerlukan pertimbangan yang rumit dan diperlukan peningkatan strategi pengobatan untuk subkelompok HCC yang ini. Pengaruh N-TACE terhadap kelangsungan hidup jangka panjang dan kehilangan darah intraoperatif pada KSHSB memiliki hasil tidak signifikan. Namun, kombinasi kemoterapi pada N-TACE memberikan hasil yang lebih baik terhadap kesintasan pasien KSHSB.

Introduction: The efficacy of neoadjuvant transarterial chemoembolization (N- TACE) in resectable hepatocellular carcinoma (HCC) remains debated. While N- TACE may reduce tumor size, its impact on long-term outcomes is inconclusive. Methods: This meta-analysis reviewed studies on N-TACE before surgical resection vs. LR SLHCC up to March 2023 from four online databases.
Results: 5 studies with 1556 patients (N-TACE = 474; LR = 1082) were analyzed. No significant differences between N-TACE and LR groups were observed in 1-, 3-, or 5-year OS and DFS. The pooled HRs were 0.91 (95% CI 0.54 – 1.54), 0.80 (95% CI 0.56 – 1.15), and 0.88 (95%CI 0.47 – 1.65) for the 1-, 3-, and 5-year OS and 0.66 (95% CI 0.32 – 1.34), 0.70 (95% CI 0.37 – 1.33), and 0.75 (95% CI 0.28 – 1.98) for 1-, 3-, and 5-year DFS respectively. No significant differences were observed in intraoperative blood loss between groups as well. Subgroup analysis showed favorable 1-, 3-, and 5-year OS with combination chemotherapy N-TACE (combination group) and better 1-year OS in the LR group with single-agent chemotherapy N-TACE (single-agent group). In addition, 5-year DFS favored LR in the single-agent group (OR 2.82 95% CI 1.18 – 6.72) and N-TACE in the combination group (OR 0.75 95%CI 0.28 – 1.98).
Conclusion: Managing SLHCC requires intricate considerations and enhancement of treatment strategies for this challenging subgroup of HCC is needed. The influence of N-TACE on long-term survival and intraoperative blood loss in SLHCC appears limited. However, combination chemotherapy in N-TACE results in better outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurbowo Ardi
"ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Handoko Triweda
"Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten merupakan kondisi hipoksia akibat menurunnya tekanan parsial oksigen dalam darah yang terjadi secara berulang yang dapat dinyatakan sebagai preconditioning hypoxia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hipoksia intermiten dapat menyebabkan adaptasi fisiologis pada berbagai jaringan dan organ tubuh, salah satunya adalah neovaskularisasi. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi otot jantung dengan fokus pada pertambahan jumlah vaskularisasinya yang dilakukan pada ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit dalam interval 7 hari.Metode: Penelitian eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Kelompok pertama dimasukkan ke dalam chamber hipobarik 1 kali saja. Kelompok kedua dimasukkan 2 kali dalam interval 7 hari, kelompok ketiga 3 kali dalam interval 7 hari dan keleompok keempat 4 kali dalam interval yang sama selama lima menit setiap paparan. Sementara kelompok lima tidak dimasukkan ke dalam chamber sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya jantung semua tikus diambil sebagai sampel untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Parameter yang dievaluasi adalah pertambahan jumlah vaskularisasi pada otot jantung.Hasil: Pada perlakuan hipoksia hipobarik akut 1 kali paparan terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah 1,2 kali dari kontrol dengan nilai p yang tidak bermakna 0,476. Selanjutnya peningkatan bermakna terjadi pada paparan 2 kali hingga mencapai maksimal pada paparan 3 kali dengan peningkatan sebasar 2 kali dari kontrol dengan nilai p yang bermakna 0,001 dan tidak mengalami pertambahan lagi setelah paparan 4 kali. Kesimpulan: Terdapat peningkatan jumlah pembuluh darah otot jantung pada hewan coba tikus Wistar yang mengalami hipoksia hipobarik baik akut maupun intermiten pada ketinggian 25.000 kaki di atas permukaan laut. Peningkatan bermakna terjadi mulai dari paparan 2 kali atau lebih dan pertambahan maksimal terjadi pada paparan 3 kali. Kata kunci: Hipoksia hipobarik intermiten; hypobaric chamber; neovaskularisasi

Background: Intermittent hypobaric hypoxia is a hypoxic condition caused by decreased oxygen partial pressure in blood which occurs repetitively and can be stated as preconditioning hypoxia. Several studies showed that intermittent hypoxia can cause physiological adaptation in various tissues and organs, one of which is neovascularization. This study was conducted to prove the effect of intermittent hypobaric hypoxia on histological changes of cardiac muscles that focused on the increase of vascularization amount which was conducted at 25,000 feet high for 5 minutes in 7 days interval. Methods: In vitro experimental study was conducted on 25 male Wistar rats Rattus norvegicus aged 40-60 days, weighing more than 220 grams that were divided into 5 groups, each group contained 5 rats. First group was placed into hypobaric chamber only once, second group was placed twice with 7 days interval, third group was placed 3 times with 7 days interval, and fourth group was placed 4 times with the same interval for 5 minutes for every exposure. Meanwhile, the fifth group was not placed into the chamber as control group. Afterwards, the hearts of every rats were taken as samples and histological examination was performed under light microscope. The parameter evaluated was increase vascularization of cardiac muscle. Results: There was an increase of blood vessels number on acute hypobaric hypoxia treatment one exposure as many as 1.2 times compared to control with insignificant p value of 0.063. Significant increase occurred on second exposure until it reached maximum on third exposure with 2 times increased compared to control with significant p value of 0.001 and no further increase was observed after 4 times exposure. Conclusion: There was an increase of cardiac muscle blood vessels in Wistar rats animal models that experienced both acute and intermittent hypobaric hypoxia at 25,000 feet above sea level. Significant increase occurred from two or more exposure and maximum increase occurred on third exposure. Keywords: Intermittent hypobaric hypoxia; hypobaric chamber; neovascularization. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Kokohana Arisutawan
"Latar belakang: Keadaan hipoksia hipobarik intermiten menyebabkan penurunan tekanan atmosfer sehingga terjadi penurunan tekanan partial oksigen. Salah satu respon fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoksia adalah melakukan angiogenesis. Penelitian ini untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi jumlah pembuluh darah otot rangka.
Metode: Penelitian ini adalah eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus), jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Setiap kelompok mendapat perlukan berbeda-beda yaitu dimasukkan ke chamber hipobarik sebanyak 1x, 2x, 3x 4x dan kelompok kontrol. Pajanan 1 kali merupakan pajanan hipoksia akut. Pajanan hipobarik dilakukan selama 5 menit dengan interval tujuh hari. Selanjutnya otot rangka semua tikus diambil sebagai untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Variabel yang dievaluasi adalah jumlah pembuluh darah otot rangka pada masing-masing kelompok coba.
Hasil: Keadaan hipoksia dicapai pada setiap kelompok uji. Saturasi dalam setiap ujicoba dibawah 60%. Perubahan perilaku akibat hipoksia di temukan pada semua uji coba. Rerata jumlah pembuluh darah otot rangka kelompok kontrol adalah 45,60 ± 7,96. Jumlah pembuluh darah pada kelompok satu dan dua dibawah kelompok kontrol (38,60 ± 3,44 dan 41,00 ± 6,44). Pada kelompok yang mendapat pajanan 3 dan 4 kali, jumlah pembuluh darah di atas kelompok kontrol (48,00 ± 5,87, dan 46,20 ± 8,29). Pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI terjadi peningkatan dibandingkan hipoksia akut. Pada uji Anova, tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik terhadap perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada semua kelompok.
Simpulan: Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI dibandingkan dengan hipoksia akut. Terdapat perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada hewan coba tikus Wistar, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.

Background: Hypoxia hypobaric intermittent condition may cause a decrease of atmospheric pressure that leads to a decrease in partial oxygen pressure. One of the body physiologic response to hypoxia are angiogenesis. This research aims to prove the effect of intermittent hypoxia hypobaric on histological changes of skeletal muscle
Methods: This research is an experimental in vivo study on 25 Wistar rats (Rattus norvegicus), male aged 40-60 days, with body weight of 220 grams that is divided into 5 groups, each group has 5 mice. Each of the group got different treatment : once, twice, thrice and four time exposed into hypobaric chamber and control group. Once time exposed is acute hypoxia. Hypobaric exposure were given for 5 minutes with interval of 7 days. Skeletal muscle of the mouse were taken to do histological examination beneath light microscopy Variable that should be evaluated are number of blood vessels in the skeletal muscle in each of the group.
Results: Hypoxia condition can be achieved in test group. Saturation in the test group are beneath 60%. Changes in behavior in hypoxic condition can be found in all test group. The average of all skeletal muscle in control groups are 45,60 ± 7,956. The number of skeletal muscle in group 1, 2 are beneath control group (38,60 ± 3,435 dan 41,00 ± 6,442). In the group that has been exposed three or four times, the number are higher compared to control groups (48,00 ± 5,874, dan 46,20 ± 8,289). Skeletal muscle vassels that have HHI occour increase compared to acute hypoxia. In ANOVA test group, we cannot find any statistically significant difference between the number of skeletal muscle between all groups.
Conclusion: An increasing in the number of skeletal muscle vessels that are experiencing HHI compared with acute hypoxia. There was a change in the number of skeletal muscle vessels in Wistar rats, but not statistically significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widiananta
"Latar Belakang: Penerbang militer berisiko mengalami hipoksia selama melaksanakan tugas terbang oleh karena penurunan tekanan parsial oksigen (O2) yang terjadi seiring pesawat mencapai ketinggian. Tubuh beradaptasi terhadap hipoksia dengan berbagai mekanisme seperti menjaga kestabilan kadar hypoxia inducible factor (HIF) dan merangsang pelepasan heat shock protein (HSP) untuk menjaga kondisi homeostasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons tubuh terhadap kondisi hipoksia hipobarik dikaitkan dengan kadar HIF-1α dan HSP 70 serum pada penerbang militer yang melaksanakan uji latih hipoksia di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan one group pretest-posttest design yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2023. Subjek penelitian adalah penerbang militer aktif yang terjadwal melaksanakan uji latih hipoksia, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent. Oksigenasi diberikan setelah pajanan hipoksia sebagai bagian dari prosedur latihan. Pengambilan darah diambil sebelum dan sesudah uji latih hipoksia selanjutnya diperiksa dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Sebanyak 31 orang penerbang militer diikutsertakan dalam penelitian ini dengan rincian 13 (41,9 %) penerbang pesawat angkut, 7 (22,6%) penerbang pesawat helikopter, 6 (19,4%) penerbang pesawat tempur dan 5 (16,1%) penerbang pesawat tanpa awak. Analisis dengan uji t berpasangan mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,910) antara kadar HSP 70 serum sebelum (5,59 (1,88- 20,17) ng/dl) dan sesudah (5,59 (1,88-20,17) ng/dl) uji latih hipoksia. Analisis dengan uji Wilcoxon mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,008) antara HIF-1α serum sebelum (534,03±261,48 pg/dl) dan sesudah (465,48±209,83 pg/dl) uji latih hipoksia.
Kesimpulan: Uji latih hipoksia tidak memengaruhi kadar HSP 70 serum pada penerbang militer. Terdapat penurunan kadar HIF-1α serum yang bermakna pada penerbang militer setelah melaksanakan uji latih hipoksia.

Background: Military pilots are at risk of experiencing hypoxia during flight duties due to the decrease in oxygen partial pressure that occurs as the aircraft reaches altitude. The body adapts to hypoxia through various mechanisms, such as stabilizing the levels of hypoxia inducible factor (HIF) and stimulating heat shock protein (HSP) release to maintain homeostasis. This study aims to determine physiological response to hypobaric hypoxia conditions in relation to serum HIF-1α and HSP 70 levels in military pilots who carry out hypoxia training tests at Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Methods: This research is an experimental study with a one group pretest-posttest design conducted from May to July 2023. The research subjects were active military pilots who were scheduled to carry out hypoxia training tests, met the inclusion and exclusion criteria and were willing to sign informed consent. Oxygenation is administered after hypoxic exposure as part of the training procedure. Blood samples were taken before and after the hypoxia training test and then examined using the enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Result : A total of 31 military pilots were included in this study, consist of 13 (41.9%) transport aircraft pilots, 7 (22.6%) helicopter pilots, 6 (19.4%) fighter aircraft pilots and 5 (16.1%) unmanned aircraft pilot. Paired t test revealed that there was no significant difference (p = 0.910) between serum HSP 70 levels before (5.59 (1.88-20.17) ng/dl) and after (5.59 (1.88 -20.17) ng/dl) hypoxia training test. Data analysis using the Wilcoxon test revealed that there was a significant difference (p = 0.008) between serum HIF-1α before (534.03 ± 261.48 pg/dl) and after (465.48 ± 209.83 pg/dl) hypoxia training test.
Conclusion: Hypoxia training test did not affect serum HSP 70 levels in military pilots. There was a significant decline in serum HIF-1α levels in military pilots after performing hypoxia training test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>