Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizka Mardhiani
Abstrak :
Fenitoin merupakan obat antibangkitan yang digunakan dalam pengobatan kejang dalam bentuk monoterapi maupun kombinasi dengan obat antibangkitan lainnya. Namun, fenitoin memiliki rentang indeks terapi yang sempit yaitu 10 – 20 μg/mL, sehingga untuk mencapai efek terapi yang optimal perlu dilakukan pemantauan kadar obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kondisi preparasi sampel yang optimum untuk analisis fenitoin dalam VAMS, serta mendapatkan metode analisis tervalidasi untuk analisis fenitoin dalam VAMS dengan internal standard karbamazepin menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan mengaplikasikannya untuk pemantauan kadar fenitoin dalam darah pasien epilepsi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan rejimen dosis 2 x 100 mg dan 3 x 100 mg secara monoterapi maupun kombinasi. Kondisi optimasi preparasi sampel yang optimum diperoleh dengan menggunakan pelarut metanol, sonikasi selama 15 menit, dan vorteks selama 2 menit. Metode analisis yang dikembangkan dinyatakan valid sesuai dengan guideline dari FDA 2018 dengan nilai LLOQ yang didapatkan sebesar 0,1 μg/mL dengan rentang kurva kalibrasi 0,1 – 30,0 μg/mL dengan nilai r ≥ 0,9997. Aplikasi pemantauan kadar fenitoin dalam darah dilakukan terhadap 30 subyek pasien epilepsi diperoleh rentang kadar fenitoin dari 0,81 – 17,45 μg/mL, dimana hanya 9 subyek yang kadarnya berada dalam rentang terapi obat yang seharusnya. ......Phenytoin is an anticonvulsant drug that is used for treatment of seizures as monotherapy or combination with other anticonvulsant drugs. However, phenytoin has a narrow therapeutic index range of 10 – 20 μg/mL, so to achieve an optimal therapeutic effect it is necessary to monitor drug levels. The purpose of this study was to obtain the optimum sample preparation conditions for the analysis of phenytoin in VAMS, as well as to obtain a validated analytical method for the analysis of phenytoin in VAMS with the internal standard of carbamazepine using high performance liquid chromatography (HPLC) and apply it for monitoring blood levels of phenytoin in epilepsy patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo with a dosage regimen of 2 x 100 mg and 3 x 100 mg as monotherapy or in combination. Optimum conditions for sample preparation were obtained using methanol as solvent, sonicated for 15 minutes, and vortexed for 2 minutes. The analytical method developed was declared valid in accordance with the guidelines from the FDA 2018 with an LLOQ value of 0.1 μg/mL with a calibration curve range of 0.1 – 30.0 μg/mL with correlation coefficient r ≥ 0.9997. The application of monitoring blood levels of phenytoin was carried out on 30 subjects with epilepsy patients. The range of phenytoin levels was from 0.81 to 17.45 μg/mL, where only 9 subjects had levels within the range of proper drug therapy.
Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamia Aisha
Abstrak :

Latar belakang: Prevalensi wanita dengan epilepsi (WDE) usia reproduktif di Rumah Sakit Pusat Umum Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah 61,7% pada tahun 2019. Pada sebagian WDE, frekuensi bangkitan dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Fungsi reproduksi WDE di RSCM sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik gangguan fungsi reproduksi pada WDE di RSCM.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data primer. Kriteria inklusi adalah WDE berusia diatas 18 tahun, yang didiagnosis epilepsi oleh spesialis saraf, yang berobat di RSCM dari bulan September 2020 – November 2021. Ganguan fungsi reproduksi terdiri dari ganngguan siklus menstruasi, infertilitas, gangguan kehamilan atau gangguan persalinan.

Hasil Penelitian: Dari 136 subjek penelitian yang didapatkan, 41,2% mengalami gangguan fungsi reproduksi. Gangguan siklus menstruasi didapatkan pada 31,6% subjek. Subjek yang sudah menikah sebanyak 34,6%, dengan gangguan fertilitas didapatkan pada 45,5% subjek. Dari subjek yang sudah menikah, 77,3% pernah hamil. Gangguan kehamilan didapatkan pada delapan (47,1%) subjek, berupa riwayat abortus sebanyak 23,5%. Perubahan frekuensi bangkitan selama kehamilan ditemukan pada 94,1% subjek, berupa frekuensi bangkitan meningkat (23,5%), frekuensi menurun (23,5%) dan bebas bangkitan (47,1%). Lima belas (68,2%) subjek pernah melahirkan, dan sebanyak 66,7% melahirkan dengan sectio sesaria. Dua subjek mengalami gangguan saat persalinan, berupa persalinan prematur dan kejang saat persalinan.

Kesimpulan: Gangguan fungsi reproduksi pada WDE didapatkan pada 41,2% subjek, dengan jenis gangguan terbanyak adalah gangguan siklus menstruasi dan gangguan fertilitas.

Kata Kunci: gangguan fertilitas, gangguan fungsi reproduksi, gangguan menstruasi, wanita dengan epilepsi.

 


Background: Women with epilepsy (WWE) in reproductive age prevalence at Cipto  Mangunkusumo Nasional Hospital (RSCM) is 61,7% in 2019. Seizure frequencies in WWE could be influenced by hormonal changes. Reproductive function of WWE in RSCM has not been exactly known until now. The purpose of this study is to know the characteristic of reproductive system disorder in WWE at RSCM.

Methods: A cross-sectional study using primary and secondary data. Inclusion criteria are WWE older than 18 years old and has been diagnosed with epilepsy by the doctors at RSCM from September 2020 until November 2021. Reproductive system disorder consist of menstrual cycle disorder, infertility, pregnancy problems or delivery problems.

Results: There were 136 subjects, 41,2% have reproductive system disorder. Menstrual cycle disorder found in 31,6% subjects. There were 34,6% married subjects, and 77,3% of them have pregnancy experience, while infertility found in 45,5% subjects. Eight (47,1%) subjects were having problem during their pregnancy. Spontaneous abortion found in 23,5%. Seizure frequency increased in 23,5% subjects, decreased in 23,5% subjects and 47,1% subjects. Seizure free during their pregnancy. Fifteen (68,2%) subjects have delivery experiences and 66,7% subjects were using C-section methods. Two subjects were having problem during their delivery. One subject has premature delivery while the other one was having seizure during delivery.

Conclusion: Reproductive system disorder found in 41,2% subjects. Menstrual cycle disorder and infertility are the greatest disorder found in this study.

Keyword: infertility, menstrual cycle disorder, reproductive system disorder, women with epilepsy

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Martasukma Gita Apsari
Abstrak :
Latar belakang. Overall neuropathy limitation scale (ONLS) merupakan skala untuk menilai disabilitas pasien CIDP. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji validitas dan reliabilitas ONLS ke dalam bahasa Indonesia. Metode. Dilakukan translasi dan adaptasi lintas budaya sesuai kaidah WHO, kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas skala ONLS versi bahasa Indonesia. Populasi penelitian ini adalah semua subjek dewasa dengan diagnosis CIDP di RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil. Tiga puluh subjek memenuhi kriteria inklusi. Mayoritas subjek laki-laki (53,3%) dengan rerata usia 46,97 (SD:14,677) tahun, dan rentang usia 21 tahun sampai 77 tahun. Pada uji validitas ONLS menggunakan corrected item-total correlation pada pemeriksa pertama dan kedua didapatkan nilai 0,982. Hasil uji reliabilitas antar pemeriksa menggunakan intraclass correlation coefficient sebesar 0,98 dan Cronbach’s Alpha sebesar 0,99. Kesimpulan. Skala ONLS versi bahasa Indonesia valid dan reliabel dalam menilai disabilitas pasien CIDP. ......Introduction. The overall neuropathy limitation scale (ONLS) is a scale for assessing disability in CIDP patients. This study aims to test the validity and reliability of ONLS into Indonesian language. Methods. Cross-cultural translation and adaptation were carried out according to WHO rules, the testes the validity and reliability of the Indonesian version of ONLS. The population of this study were all adult that have diagnosis of CIDP at RSCM who met the inclusion and exclusion criteria.

Results. Thirty subjects met the inclusion criteria. The majority of the subjects were male (53.3%) with a mean age of 46.97 (SD: 14.677) years, and the age range was 21 to 77 years. In the ONLS validity test using the corrected item-total correlation on the first and second examiners, a value of 0.982 was obtained. The results of the inter-examiner reliability test used an intraclass correlation coefficient of 0.982 and Cronbach’s Alpha of 0.99.  Conclusion. The Indonesian version of the ONLS is valid and reliable in assessing the disability of CIDP patients.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Dewina Pratiwi
Abstrak :
Latar belakang: Status Epilepticus Severity Score (STESS) merupakan instrumen untuk memprediksi luaran pasien status epileptikus (SE) sebelum dilakukan tata laksana. Status Epilepticus Severity Score sudah divalidasi sebelumnya di Swiss dengan nilai cut-off > 4. Instrumen ini adalah instrumen sederhana, dan dapat digunakan dengan cepat, pada pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang perawatan intensif. Tujuan utama penelitian ini untuk menilai validitas dan reliabilitas STESS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tujuan tambahan adalah untuk melihat hubungan antara nilai STESS dengan luaran pada 24 jam, 48 jam, hari ke 7, hari ke 30, dan akhir perawatan pasca-SE ditegakan. Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Juni 2020 hingga November 2020. Penelitian ini menggunakan disain potong-lintang prospektif dan dilakukan penilaian secara serial untuk melihat luaran pada 24 dan 48 jam pertama, hari ke-7, 30 dan akhir perawatan. Luaran yang dinilai adalah hidup dan mati. Kriteria inklusi adalah pasien SE konvulsivus yang belum mendapatkan tata laksana kejang. Kuesioner STESS telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas STESS Bahasa Indonesia (STESS-INA). Selanjutnya ditentukan nilai titik potong STESS dengan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dan menilai Area Under Curve (AUC) terhadap titik potong yang ditentukan. Setelah itu dilakukan analisa statistik berdasarkan titik potong tersebut terhadap luaran pasien pada 24 dan 48 jam, hari ke-7 dan 30, serta akhir perawatan. Luaran yang dinilai dalam bentuk pasien hidup atau meninggal. Hasil: Didapatkan 17 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil uji validitas interna STESS-INA untuk tiap item didapatkan koefisien korelasi 0,484 hingga 0,702 dengan nilai Cronbach’s Alpha 0,71. Pada studi ini didapatkan mortalitas adalah sebesar 23%. Berdasarkan kurva ROC, didapatkan nilai titik potong 4. Nilai AUC STESS-INA pada akhir perawatan 96,2% dengan menggunakan nilai titik potong STESS > 4. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna dengan luaran kematian pada akhir perawatan (p=0,006). Kesimpulan: STESS-INA merupakan instrumen valid dan reliabel. Nilai STESS-INA > 4 berhubungan bermakna terhadap luaran kematian pada akhir perawatan. ......Background: STESS in an instrument to predict the outcome of a status epilepticus (SE) patient before being managed. STESS has been validated before in Swiss with a cut-off point of ≥4. This simple instrument can be used quickly for patients in the ER and ICU. The goal of this research is to assess the validity, reliability of STESS Indonesia version (STESS-INA) and to evaluate the association of score of STESS-INA and outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization. Method: Research was being done at RSUPN Cipto Mangunkusumo on June 2020 to November 2020. STESS was translated to Indonesia version (STESS-INA) followed by validity and reliability evaluation. STESS-INA was assessed when patient is being diagnosed with SE before being managed, then being observed on the first 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day and the last day of hospitalization. Predictive value of STESS-INA was being assessed by Receiver Operating Character (ROC) with the cut-off point at the most optimal sensitivity and specificity followed by assess the correlation between STESS-INA cut-off point and the outcome on 24 hours, 48 hours, 7th day, 30th day, and at the last day of hospitalization. The outcome was live/deceased. Result: There were 17 patients in this study. The results of the internal validity test obtained a correlation coefficient of STESS-INA was 0.484 to 0.702. Internal consistency reliability test with Cronbach’s Alpha was 0.71. The mortality rate of these study was 23%. The AUC value of STESS-INA at the end of hospitalization was 96.2 with cut-off point >4. In this study, STESS-INA with cut-off point 4 has significantly associated with outcome at the last day of hospitalization (p = 0.006). Conclusion: STESS-INA is a valid and reliable instrument in predicting outcome at the end of hospitalazation. STESS with a cut-off >4 was associated with mortality at the last day of hospitalization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aprida
Abstrak :
Pendahuluan: Jumlah penyandang epilepsi semakin meningkat, namun tidak disertai dengan edukasi sehingga masih terdapat stigma dan diskriminasi yang dapat menurunkan kualitas hidup orang dengan epilepsi (ODE). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian sikap mahasiswa kedokteran preinternship, peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) dan perawat karena mereka merupakan sumber penting pengetahuan tentang epilepsi dan dapat memberikan contoh bagi masyarakat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dari Juni 2020 hingga Januari 2021. Sampel penelitian yaitu mahasiswa kedokteran preintership, peserta PPDS dan perawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini menggunakan kuesioner Public Attitude Toward Epilepsy (PATE) versi Bahasa Indonesia yang telah divalidasi. Hasil: Mahasiswa kedokteran preinternship, peserta PPDS dan perawat memberikan sikap positif pada pertanyaan yang bersifat umum, namun hal sebaliknya didapatkan sikap negatif pada pertanyaan yang bersifat pribadi yakni berkencan, menikah ataupun memberikan saran kepada keluarga untuk menikah dengan ODE. Faktor sosiodemografi tidak mempengaruhi sikap terhadap epilepsi. Kesimpulan: Mahasiswa kedokteran preinternship, peserta PPDS dan perawat memberikan sikap yang negatif dalam hal berkencan maupun menikah dengan ODE. ......Background: The number of people with epilepsy is increasing, but this not followed by education so that there is still stigma and discrimination that can reduce the quality of life of people with epilepsy (PWE). Thus, it is necessary to conduct research on the attitudes of preintership medical students, residents and nurses because they are an important source of knowledge about epilepsy and can provide an example for the community. Method: This study used a cross sectional design from June 2020 until Januari 2021. The research sample were preintership medical students, residents and nurses at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted using a validated Indonesian version of the PATE questionnaire. Results: Preintership medical students, residents and nurses gave a positive attitude to general questions, but on the contrary, a negative attitude was found on questions related to personalities, namely dating, getting married or giving advice to families to marry people with epilepsy. Sociodemographic factors did not influence attitude towards epilepsy. Conclusion: Preintership medical students, residents and nurses give negative attitudes in dating and marrying PWE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Prafica Putri
Abstrak :
Latar belakang: Status epileptikus non-konvulsivus (SENK) dapat terjadi setelah status epileptikus konvulsivus (SEK). SENK yang terjadi pasca-SEK memiliki mortalitas sebesar 34,9%. Sehingga, pada keadaan penurunan kesadaran pasca-SEK harus dicurigai suatu SENK yang dibuktikan dengan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk menegakkan diagnosis agar luaran pasien menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden SENK pasca-SEK dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang menggunakan data sekunder. Sampel di ambil dengan metode total sampling yaitu pada subjek yang mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK dari bulan Maret 2019-Oktober 2020 di Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo) Jakarta. Penegakan diagnosis SENK menggunakan EEG dengan kriteria modified salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC) Hasil Penelitian: Sebanyak 74 subjek mengalami penurunan kesadaran pasca-SEK. Median usia 46 (18-80) tahun dengan dominasi perempuan. Median frekuensi bangkitan epileptik saat SEK sebanyak 4(1-30) kali, SEK terjadi selama 1-5 menit pada 73% subjek. Median derajat kesadaran pasca SEK skala koma Glasgow (SKG) 11(5-14). Etiologi tersering adalah intrakranial (66,2%) yang terjadi akut (71,6%) akibat iskemia otak (20,3%). Riwayat epilepsi didapatkan pada 36,5% subjek. Insiden SENK dari Maret 2019 – Oktober 2020 sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, SENK definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pada subjek yang tidak SENK didapatkan gambaran EEG abnormal sebanyak 87,3% dengan gambaran nonepileptiform berupa perlambatan (71,4%). Tidak terdapat perbedaan demogarafi dan klinis bermakna pada kedua kelompok, namun pada kelompok SENK didapatkan median usia lebih tua (52 vs 44 tahun). Sedangkan pada kelompok tidak SENK, lebih banyak didapatkan riwayat epilepsi (44,9%) dibandingkan kelompok SENK (20%) (p = 0,035). Analisa multivariat menunjukkan risiko mengalami SENK saat tidak memiliki riwayat epilepsi adalah sebesar 3.259 kali (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091). Kesimpulan: Insiden SENK didapatkan sebesar 33,8%. Berdasarkan kriteria mSCNC, definit 24%, sebesar 12% masing-masing berupa bangkitan epileptiform > 2,5Hz dan aktivitas ritmik disertai evolusi spasiotemporal. Sementara possible SENK 56% dengan gambaran tersering berupa aktivitas ritmik tanpa fluktuasi. Pasien tanpa riwayat epilepsi, memiliki resiko sebesar 3,259 kali mengalami SENK pasca-SEK. ......Background: Nonconvulsive status epilepticus (NCSE) may occur following convulsive status epilepticus (CSE), with the mortality rate of 34.9%. Therefore, in persistent loss of consciousness following CSE, NCSE must be considered and electroencephalography (EEG) should be performed to ensure the diagnosis and improve the outcome. This study aimed to describe the incidence of NCSE following CSE and its associated factors. Methods: This was a cross-sectional study using secondary data of every subjects with loss of consciousness following CSE from March 2019 to October 2020 in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta. The diagnosis of NCSE was performed using modified Salzburg consensus criteria for non-convulsive status epilepticus (mSCNC). Results: There were 74 subjects with loss of consciousness following CSE. The median age of 46 (18-80) years predominantly female. The median frequency of seizure at CSE was 4 (1-30) times and occurred for 1-5 minutes in 73% of subject. The median degree of consciousness following CSE Glasgow Coma Scale (GCS) 11 (5-14). The most common etiology was related to intracranial etiology (66.2%) that occurs in acute (71,6%) due to cerebral ischemia (20.3%). A history of epilepsy was found in 36.5% subject The incidence of NCSE from March 2019 to October 2020 was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. In group NCSE, there was abnormal EEG 87.3% with non-epileptiform in form of slowing. There were no significant demographic and clinical differences in two group, but in NCSE group the median age was older (52 vs 44 years). Meanwhile, in the non NSCE group, there was more history of epilepsy (44.9) than NCSE group (20%) (p=0.035). Multivariate analysis showed the risk of NCSE when no history of epilepsy was 3.259 times (p = 0,040; IK95% 1,053-10,091). Conclusion: The incidence of NCSE following CSE was 33.8%. Based on mSCNC criteria, the definite NCSE was 24%, 12% respectively was epileptiform discharge >2.5 Hz and rhythmic activity with spasiotemporal evolution. The possible NCSE was 56 % with the most common EEG finding was rhythmic activity without fluctuation. Subjects without history of epilepsy had 3.259 higher risk to develop NCSE following CSE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cikariska Arifin
Abstrak :
Latar Belakang: Dosen, tenaga kependidikan, dan staf lainnya di perguruan tinggi seringkali menghadapi beban kerja yang besar dalam melaksanakan pekerjaannya. Beban kerja yang besar dapat mengarah ke pengabaian perilaku sehat seperti istirahat yang cukup, olahraga, makan teratur, dan pengelolaan stress. Kebiasaan kurang sehat tersebut dapat menyebabkan gangguan keseimbangan otonom sebagai regulator fungsi organ internal yang kemudian mengarah ke kondisi patologis seperti gangguan metabolik, salah satunya pada regulasi glukosa darah.  Studi ini mengeksplorasi hubungan antara status fungsional sistem saraf otonom berdasarkan Index of Regulation System Activity (IRSA) sebagai salah satu alat ukur status fungsional sistem saraf otonom yang praktis digunakan dan faktor-faktor lainnya terhadap glukosa darah puasa pada pegawai perguruan tinggi sehingga dapat menyajikan pendekatan baru dalam mendeteksi risiko gangguan metabolisme glukosa. Metode: Penelitian ini menggunakan desain observasional potong lintang pada karyawan Fakultas X, Universitas Y. Pengambilan data melibatkan pengukuran IRSA dan profil glukosa darah dari data sekunder pemeriksaan kesehatan tahun 2022. Analisis statistik menggunakan metode univariat, bivariat, dan multivariat untuk menilai hubungan antara variabel studi. Hasil: Hasil pemeriksaan IRSA didapatkan sebanyak 151 pegawai (67,4%) memiliki status fungsional kondisi prenosologis-premorbid, 48 pegawai (21,4%) pada status fungsional fisiologis normal, dan 25 pegawai (11,2%) pada status fungsional kegagalan adaptasi. Pada pemeriksaan glukosa darah puasa, didapatkan 36 pegawai (16,1%) memiliki glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL. Status fungsional kegagalan adaptasi (p=0,001; OR=26,43; 95% CI = 3,10-225,25) dan juga status fungsional prenosologis-premorbid (p=0,001 OR=9,78; 95% CI = 1,29-74,08) memiliki hubungan yang bermakna dengan glukosa darah puasa. Kesimpulan: Pekerja  dengan IRSA abnormal memiliki kecenderungan lebih besar memiliki glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL jika dibandingkan dengan pegawai dengan status fungsional IRSA fisiologis normal. Diperlukan tidak lanjut dari hasil pemeriksaan kesehatan secara berkesinambungan dan holistik baik untuk individu maupun kelompok yang disesuaikan dengan karakteristik dan resiko sasaran demi kesehatan serta produktivitas pekerja. ......Background: Faculty members, educational staff, and other university personnel often face significant workloads in performing their duties. Work overload can lead to unhealthy behaviors and stress which can disturb the autonomic balance. These unhealthy habits can disturb the autonomic balance leading to pathological conditions such as metabolic disorders, including blood glucose metabolism. This study aims to find the relationship between the functional status of the autonomic nervous system based on the Index of Regulation System Activity (IRSA) to fasting blood glucose (FBG) levels in university employees. Method: This observational cross-sectional study used the secondary data of university employees medical checkups (MCU) in 2022 with total sample of 242 people. Variables included were IRSA from Heart Rate Variability (HRV) examination, FBG level, and other sociodemographic profiles. The MCU was conducted in the university hospital. Results: The examination results of IRSA indicated that 151 employees (67.4%) had a prenosologic-premorbid functional status and 25 employees (11.2%) had a failure of adaptation functional status. FBG examination revealed that 36 employees (16.1%) had FBG levels of ≥ 100 mg/dl. Failure of adaptation functional status had a significant relationship with FBG (p=0.003; OR=26.43; 95% CI = 3.10-225.25), as well as prenosological-premorbid functional status (p=0.03; OR=9.78; 95% CI = 1.29-74.08). Conclusion: Employees with abnormal IRSA were more likely to have FBG levels ≥ 100 mg/dL compared to those with normal physiological functional status. Ongoing and holistic monitoring of health examination outcomes is essential, catered to the specific characteristics and risk profiles of both individual and group targets, aiming to maintain and enhance worker health and productivity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Larastika Riyanto
Abstrak :
Latar Belakang. Epilepsi lobus temporal (ELT) merupakan salah satu sindrom epilepsi yang paling banyak ditemukan dengan proporsi mencapai 20% dari seluruh pasien dengan epilepsi. Sebanyak lebih dari 50% pasien ELT tidak berespon dengan pemberian obat anti bangkitan (OAB) monoterapi pertama kali, sehingga akan memerlukan penggantian bahkan hingga kombinasi dengan 2 atau lebih OAB. Tujuan dari pemberian OAB pada pasien ELT selain untuk mengontrol bangkitan dengan efek samping yang minimal adalah untuk memperbaiki kualitas hidup pada pasien. Berbagai faktor terkait dengan penggunaan OAB dapat berhubungan dengan kualitas hidup pasien dan tujuan dari studi ini adalah untuk menilai lebih lanjut hubungan tersebut. Metode. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada April hingga Desember 2023 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi pasien yang sudah terdiagnosis ELT oleh dokter spesialis neurologi, berusia 18 tahun atau lebih, dan telah menggunakan regimen OAB yang sama selama 1 bulan terakhir. Kriteria eksklusi penelitian ini meliputi pasien dengan epilepsi multifokal serta tidak dapat melengkapi pengisian instrumen penilaian kualitas hidup yaitu Quality of Life in Epilepsy Inventory-31 (QOLIE-31) secara mandiri. Penelitian ini telah mendapatkan ijin etik dari Komite Etik Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil. Sebanyak total 100 subjek berpartisipasi pada studi ini dengan sebagian besar berjenis kelamin perempuan (58%) dengan median usia 30 (18-65) tahun. Mayoritas pasien ELT memiliki etiologi sklerosis hipokampus dan frekuensi bangkitan dalam 1 bulan yaitu dengan median 1 (0-34) kali. Sebanyak 70% subjek menggunakan regimen politerapi dengan kombinasi 2 jenis obat menempati proporsi terbanyak (41%). Penggunaan OAB generasi lama lebih banyak dibandingkan dengan generasi baru. Rerata skor kualitas hidup total pada subjek yaitu 61.46 (±1.63). Penggunaan karbamazepin diketahui secara independen berhubungan dengan skor kualitas hidup total yang lebih baik serta utamanya pada domain kekhawatiran akan bangkitan dan fungsi sosial. Penggunaan topiramat didapatkan berhubungan dengan rendahnya skor kualitas hidup pada domain kognitif, efek pengobatan, dan fungsi sosial. Didapatkan pula hubungan yang bermakna pada penggunaan levetirasetam dengan rendahnya skor kualitas hidup pada domain tingkat energi/kelelahan. Kesimpulan. Penggunaan politerapi merupakan praktik yang sering didapatkan pada pasien dengan ELT. Beberapa faktor terkait pemilihan OAB pada pasien diketahui berhubungan dengan kualitas hidup secara keseluruhan maupun pada beberapa domain spesifik. Penting untuk klinisi dapat mempertimbangkan faktor kualitas hidup pasien sebelum menentukan pemberian OAB yang terbaik. ......Background. Temporal lobe epilepsy (TLE) is one of the most common epilepsy syndrome encountered in daily clinical practice with more than 20% proportion out of all epilepsy population. More than 50% of TLE patients do not respond well with the first antiepileptic drug (AED) and required switching or even addition with two or even more drugs. The goal of AED administration should not only be focused on seizure control and minimizing the adverse drug reaction, rather also to consider patients’ quality of life. Multiple factors related to AED administration was known to affect patients’ quality of life, and so the purpose of this study is to assess that relationship in Indonesian ELT population. Methods. This is a cross-sectional study conducted on April to December 2023 in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. The inclusion criteria for this study were patient diagnosed with TLE by a neurologist, aged 18 or above, and had been using the same AED regimen for at least the last month. The exclusion criteria were multifocal epilepsy as well as patients who could not completed the quality of life questionnaire QOLIE-31 independently. This study had gain ethical approval form Ethical Commission, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia Result. A total of 100 subjects were recruited in this study, most of them were female (58%) with the median age of 30 (18-65) years old. The majority of patients had hippocampal sclerosis as the etiology and the seizure frequency during the last month had the median score of 1 (0-34) times. As many as 70% of the subjects were using polytherapy with most of them were using 2 kind of AED. The mean total score for QOLIE-31 was 61.46 (±1.63) out of 100. Several factors related to AED administration were known to be associated with the quality of life. The use of carbamazepine was independently associated with a better total score of QOLIE-31, especially in the seizure worry and social function domain. Topiramate administration was also associated with the lowering of quality of life score in cognitive, medication effect, and social effect domain. There is also a statistically significant association between levetiracetam consumption and the low score in energy domain. Conclusion. The use of polytherapy was vastly encountered in the clinical practice for TLE patients. Several factors of AED selection were associated with the overall quality of life and to some extend in several specific domain. It is crucial for clinical to also consider the quality of life as determining factor for choosing the appropriate AED for every patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirul Anam
Abstrak :
Latar Belakang: Perubahan aktivitas saraf vagal yang disebabkan oleh gangguan regulasi otonom diduga bertanggung jawab atas disfungsi sfingter esofagus bagian bawah pada Penyakit Refluks Gastroesofagus (PRGE). Namun, peran disfungsi saraf otonom (DSO) dalam patogenesis refluks laringofaring (RLF) masih belum jelas. Hubungan antara RLF dengan DSO juga diduga terkait dengan kondisi klinis lainnya, seperti gangguan cemas dan depresi, serta gangguan bernapas saat tidur (Sleep Disordered Breathing / SDB). Tujuan: Menentukan proporsi dan karakteristik DSO berdasarkan temuan Heart Rate Variability (HRV) pada pasien RLF dan kelompok kontrol. Faktor risiko lain yang dapat berkontribusi terhadap kejadian RLF dan DSO, seperti risiko terjadinya SDB dan status kecemasan-depresi, juga dinilai. Metode: Empat puluh subjek dilibatkan pada kelompok RLF dan 33 subjek pada kelompok kontrol. Laringoskopi serat optik lentur, analisis HRV, penilaian risiko SDB (Kuesioner ESS dan PSQI) serta gangguan cemas dan depresi (kuesioner HADS) dilakukan pada kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan pada proporsi disfungsi saraf otonom antara kelompok RLF dan kelompok kontrol (p=0.001), dengan proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF mencapai 71.4%. Perbedaan risiko SDB dan gangguan tidur berdasarkan ESS dan PSQI juga signifikan pada kelompok RLF dibandingkan kelompok kontrol (p£0,05). Status kecemasan berdasarkan HADS pada kelompok RLF juga berbeda signifikan dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001). Kesimpulan: Proporsi disfungsi SSO pada kelompok RLF lebih tinggi daripada kelompok kontrol, dengan temuan HRV didominasi oleh penurunan SDNN dan rasio LF/HF, dan berjenis parasimpatis dominan. Risiko terjadinya SDB dan kejadian ansietas-depresi juga berhubungan dengan RLF dan DSO. ......Background: Altered vagal nerve activity caused by impaired autonomic regulation was thought to be responsible for esophageal sphincter dysfunction in Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Yet the role of autonomic nerve dysfunction (AND) in the pathogenesis of Laryngopharyngeal Reflux (LPR) remains unclear. LPR and AND is also thought to be associated with other entities, such as anxiety-depression and sleep-disordered breathing (SDB). Aim: To determine the proportion and characteristics of AND based on Heart Rate Variability (HRV) analysis in patients with LPR and control group. Other risk factors that might contribute to the incidence of LPR and AND, such as the risk of SDB and anxiety-depression, were also assessed. Methods: Forty subjects were enrolled in the LPR group and 33 subjects as control. Fiberoptic laryngoscopy, HRV analysis, SDB risk assessment (ESS and PSQI questionnaire), and anxiety-depression status (HADS questionnaire) were performed on both groups. Result: The difference in proportion of AND between LPR and the control group was significant (p=0.001). The proportion of AND in the LPR group was 71.4%. The difference in the risk of SDB based on ESS and PSQI was significant in the LPR group compared to control group (p≤0,05). The status of anxiety based on HADS in the LPR group was also significantly different compared to control (p=0,001). Conclusion: The proportion of AND in the LPR group was greater than control. HRV findings were characterized by reduction of SDNN and LF/HF ratio, with the domination of parasympathetic properties. The risk of SDB and the inclination towards anxiety-depression were related to LPR and AND.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library