Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Hisyam
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN Suatu masyarakat akan menjadi kokoh kalau didukung oleh pengetahuan kaum cendekiawan., keadilan para penguasa, kedermawanan orang-orang kaya, dan doa mereka yang tak punya. Jikalau masyarakat tidak didukung oleh pengetahuan orang pintar, maka yang bodoh akan menjadi rusak. Kalau penguasa tidak adil, maka rakyat menjadi sengsara. Kalau orang kaya tidak berderma, yang miskin kelaparan. Dan kalau si miskin tidak berdoa, masyarakat akan jauh dari rahmat. Begitulah gambaran masyarakat ideal menurut sebuah hadits. Yaitu masyarakat yang terbangun atas kerangka dasar kesucian, penghargaan terhadap pengetahuan, sistem kekuasaan yang adil, dasar ekonomi yang merata dan solidaritas sosial yang terbimbing oleh ketuhanan. Unsur-unsur masyarakatnya berfungsi secara utuh sehingga memperkokoh keseimbangan yang workable. Akan tetapi apakah gambaran masyarakat yang sedemikian imbangnya itu telah menjadi realitas dalam kebanyakan masyarakat muslim atau hanya ada dalam ajaran, agaknya merupakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab tegas : "Ya? atau "tidak". Kalaupun pertanyaan demikian diajukan, tidak lebih dari sebuah "suasana kesadaran" dalam memulai kajian ini. Yaitu kesadaran yang menafikan kemestian persesuaian antara wacana dan realitas sosial. 1. LATAR BELAKANG MASALAH Sejak merdeka di tahun 1945 hingga sekarang, masyarakat Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu meliputi berbagai bidang kehidupan, baik politik, pemerintahan, ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. kehidupan beragama Islam sebagai salah satu seginya juga mengalami peristiwa yang sama. Perubahan-perubahan dalam bidang kehidupan beragama Islam yang terjadi sesudah merdeka itu, tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama ini yang telah dianut oleh sebagian besar penduduk kepulauan Indonesia sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Jika ditelusuri ke masa lampau, sejak terbentuknya masyarakat muslim sampai sekarang, maka didapatkan titik-titik penentu perubahan itu, baik yang menyangkut corak kemasyarakatan maupun orientasi keagamaannya. Islam di Jawa sebagai salah satu bagian terpenting dari pertumbuhan bangsa Indonesia mengalami dinamika perkembangan yang mengesankan. Islam masuk di Jawa adalah dalam masyarakat yang telah "terbentur?. Artinya ketika Islam sampai di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki peradaban yang tinggi. Unsur-unsur agama Islam hanya mengganti unsur-unsur tertentu dari masyarakat dan budaya setempat, dan proses itupun terjadi secara perlahan-lahan. Akibatnya pada tahap awal itu kepercayaan Islam yang paling esensial tentang otoritas Qur'an, hadits dan ketauhidan Tuhan masih terkatung-katung di tengah sejumlah percaturan orientasi agama lama yang tetap bertahan dan semua itu bernaung di bawah label Islam. Dalam periode awal yang berlangsung sejak konversi Hindu ke Islam sampai pertengahan abad 19, orientasi agama lebih banyak ke-tarekat.3 Orientasi tarekat pada periode awal itu dapat dilihat pada warisan buku-buku agama Islam produk zaman ini, yaitu yang disebut dengan kitab-kitab suluk. Kitab-kitab suluk menggambarkan kehidupan agama Islam kala itu diwarnai oleh orientasi sufistik yang berciri heterodoks. Agana yang bersumber dari Allah terbaur dengan magi yang merupakan manipulasi kekuatan-kekuatan gaib. Kitab-kitab--suluk-itu dapat disebutkan -antara lain; Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga dan Wasiatjati Sunan Geseng, yang semua itu berisi aj aran-ajaran tarekat. 4 Kitab lain yang juga mewakili zaman ini dan sangat terkenal adalah Serat Centhini. Pada fase pertama selain terjadi proses Islamisasi secara damai, Islam juga diterima di kalangan penguasa tanpa menimbulkan perubahan radikal ataupun revolusi. Dalam proses penerimaan agama Islam terjadi akomodasi dengan struktur kekuasaan politik dan faham ideologi yang melegitimasikannya. Faktor-faktor ini telah menyebabkan aspirasi kemasyarakatan Islam bersifat laten meskipun mempunyai peranan khusus dalam kaitannya dengan pemberontakan terhadap penjajah, khususnya di sekitar abad 18-19. Pada perkembangan berikutnya, ajaran agama Islam yang relatif lebih dekat dengan asal peradaban agama Islam mulai mempengaruhi Islam di Jawa?.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Anggraeni
Abstrak :
ABSTRAK
Usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan suatu proses pembaharuan yang terus-menerus dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang dianggap lebih baik. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Landasan pembangunan nasional Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Untuk berhasilnya suatu pembangunan perlu adanya perencanaan pembangunan yang baik dan partisipasi dari masyarakat. Perencanaan pembangunan akan dicapai melalui perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijaksanaan, dan program-program pembangunan yang konsisten serta berdasarkan kebutuhan yang paling utama. Tetapi berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan partisipasi, khususnya warga masyarakat setempat di mana mereka tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan.

Pada jalur ke-6 dari 8 jalur pemerataan yaitu pemerataan berpartisipasi dalam pembangunan, menunjukkan pada disadarinya peranan partisipasi itu dalam usaha-usaha pembangunan mengingat bahwa partisipasi itu sebagai inti dalam keberhasilan pembangunan.

Ditinjau dari segi etimologis, kata partisipasi merupakan pinjaman dari bahasa Belanda-participatie atau dari bahasa Inggris-participation, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin-participatio yang terdiri dari dua suku kata, yakni "pars" yang berarti bagian dan "capere" yang berarti mengambil. Jadi participatio berarti mengambil bagian. Perkataan participatio berasal dari kata kerja participare yang berarti ikut serta. Jadi partisipasi mengandung pengertian aktif, yakni adanya kegiatan atau aktivitas. Demikian pula dalam Kamus Baru Bahasa Indonesia dikatakan bahwa partisipasi berarti ikut mengambil bagian.

Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu strategi dalam pelaksanaan program-program pembangunan yang sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam melaksanakan program-program pembangunan, yang merupakan usaha perubahan secara sadar dan berencana, diharapkan masyarakat dapat hidup lebih baik, melalui proses perubahan sikap yang dapat mengikuti perubahan sosial dan memahami arti pembangunan serta program-programnya.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suriani
Abstrak :
Diferensiasi dan pengalokasian sebagai proses sosial dasar dalam masyarakat. Pada umumnya manusia menginginkan adanya hubungan yang harmonis satu sama lain, tidak terjadi konflik serta menginginkan adanya keteraturan. Apabila dalam suatu rumah tangga terdapat konflik antara orang tua, anggota keluarga senantiasa menginginkan agar supaya bisa tenang, agar bisa bekerja dan belajar dengan tenang. Demikian juga dalam suatu masyarakat ada keinginan untuk bisa hidup dengan tenang aman dan teratur. Sebagaimana halnya organisme biologis, masyarakat sebagai organisme sosial memerlukan adanya keteraturan, di mana setiap bagian mempunyai fungsi masing-masing. Masyarakat mempunyai intitusi sosial, yang masing-masing mempunyai fungsi mempertahankan adanya masyarakat. Hubungan antara intitusi sosial merupakan sistem sosial. Sebagai sistem sosial masyarakat mempunyai peraturan dan kebiasaan yang merupakan fakta sosial yang berisikan cara bertindak, berfikir dan merasakan yang mengendalikan individu. Perkembangan dan pertumbuhan suatu sistem sosial dapat terlihat dengan makin bertambahnya diferensiasi intitusi sosial dalam masyarakat tersebut. Bertambahnya diferensiasi intitusi sosial menyebabkan bertambahnya aturan-aturan yang secara spesifik mengatur tingkah laku individu yang tergabung dalam sistem sosial atau bagian sistem sosial. Dengan demikian makin kompleks suatu masyarakat makin banyak aturan-aturan spesifik yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat, di mana anggota masyarakat harus melaksanakan harapan peran yang ditentukan dalam sistem intitusi sosial. Dalam kenyataan di masyarakat terlihat bahwa masyarakat terbagi dan teralokasikan dalam berbagai dimensi, sesuai dengan harapan yang berupa nilai-nilai yang terdapat dalam intitusi sosial. Harapan peran apa yang harus dilaksanakan sangat tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat. Berdasarkan situasi dan kondisi muncul diferensiasi intern sistem sosial. Harapan peran yang terdapat di masyarakat pedesaan berbeda dari harapan peran yang terdapat di masyarakat perkotaan. Dengan kata lain anggota masyarakat akan melaksanakan perbuatan sesuai dengan ciri-ciri kebudayaan masyarakat bersangkutan. Anggota masyarakat senantiasa ditekan oleh masyarakat untuk berbuat sesuai kemauan masyarakat. Masyarakat memiliki kekuatan menyuruh dan memaksa terhadap individu terlepas dari, kemauan individualnya. Diferensiasi intern sistem sosial disebabkan oleh bermacam-macam faktor baik yang dilakukan secara sengaja ataupun secara terselubung. Salah satu wujud diferensiasi sosial berupa pelapisan-pelapisan sosial (stratifikasi sosial). Sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, dimana dalam kenyataan akan ada pelapisan berdasarkan kekayaan, pendidikan, umur dan sebagainya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Yuhana
Abstrak :
Perhatian terhadap peranan wanita dalam pembangunan meningkat sejak permulaan tahun 70-an, dan memuncak pada tahun 1975 dengan diproklamirkannya Tahun Wanita Sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada pertengahan tahun tersebut diadakan pula Konferensi Wanita Sedunia di Mexico City. Indonesia sejak dasawarsa tersebut, memperlihatkan berbagai program kegiatan, seminar, lokakarya, penelitian oleh, dari dan untuk wanita. Maksudnya ialah untuk lebih mengenal keadaan wanita dalam masyarakat yang mengalami perubahan pesat, menganalisis apa yang terjadi, serta menemukan cara menanggulangi hal-hal yang perlu diperbaiki atau dihilangkan. Munculnya perhatian ini berarti pengakuan bahwa kaum wanita merupakan sumber manusiawi, seperti tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sama dengan kaum pria (Mely G. Tan, 1984 : v). Menyadari pentingnya meningkatkan potensi wanita, berbagai studi telah dilakukan untuk menyoroti masalah "wanita dan kerja". Data Studi Makro dan data Studi Mikro menunjukkan dengan "nyata" peranan wanita di pedesaan dalam pekerjaan nafkah di berbagai sektor, pertanian dan non pertanian. Dari data Sensus Penduduk 1980 (Biro Pusat Statistik) nampak bahwa dari 16.9 juta pekerja wanita (dibanding dengan 34.6 juta pekerja pria), sebanyak 9.1 juta (53.8 %) tenaga kerja wanita terlibat di bidang pertanian. Sekitar 7.8 juta (46.2 %) tenaga kerja wanita terlibat di sektor non pertanian, mencakup bidang dagang, jasa, transportasi dan industri "manufacturing". Data hasil Studi Mikro menunjukkan tenaga kerja wanita sebagian besar berada di bidang industri rumahtangga (seperti industri makanan jadi) dan bidang dagang (makanan jadi, minuman dan rokok). Bidang-bidang usaha ini kini dikenal dengan sektor informal. Faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi peranan wanita dalam pekerjaan nafkah. Sistem kekerabatan yang berbeda (patrilineal, matrilineal atau bilineal) yang mengenal pola adat menetap (setelah kawin) yang berbeda-beda mempunyai implikasi yang berbeda-beda pula terhadap peranan wanita dalam pekerjaan nafkah. Sistem kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak menunjukkan kuatnya status sosial laki-laki dalam keluarga dan kerabatnya sejak proses sosialisasi anak sebagai penerus keturunan dan pembawa nama keluarga. Kuatnya peran serta wanita dalam pekerjaan nafkah, khususnya di bidang pertanian memberikan posisi yang kuat pada wanita Batak dalam mengatur perekonomian rumahtangga, hal mana memberikan motivasi yang kuat pada pendidikan anak (Asmi Hutajulu, 1987). Sistem kekerabatan yang sama (patrilineal) pada masyarakat Bali, dan pengaruh yang besar dari agama Hindu yang mengenal sistem kasta mengembangkan adat istiadat yang khas pula bagi wanita Bali. Dalam mengatasi tuntutan untuk bekerja keras pada wanita Bali dan tak jarang pula disertai dengan imbalan kerja nafkah yang lebih kecil dan penilaian terhadap statusnya yang rendah, ternyata kebiasaan falsafah dan religi menyatakan semua pekerjaan itu adalah "dharma" dan baik, telah membenarkan peran serta wanita Bali dalam pekerjaan nafkah yang dianggap tidak pantas pada wanita Jawa. Hal ini telah membantu jangkauan yang lebih besar terhadap peluang bekerja yang meningkat karena berkembangnya pariwisata di Bali (I Gusti A.A. Ariani, 1986). Sistem kekerabatan bilineal pada masyarakat Minahasa ternyata menempatkan wanita pada status sosial yang senilai dengan pria, lebih-lebih jika disertai dengan sumberdaya pribadi berupa pendidikan formal yang tinggi pada wanita. Peran serta wanita dalam adat Mapalus di bidang pertanian yang mencerminkan tipe pekerjaan nafkah berburuh tani karena mendapat upah ternyata tidak menempatkan pekerjaan tersebut pada jenjang yang paling rendah seperti pada masyarakat pedesaan di Jawa (A. E. Wahongan Kosakoy, 1987). Menurut Standing (1981), agak sukar untuk mengungkapkan adanya pola umum tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja wanita karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Disamping faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya, partisipasi wanita dalam angkatan kerja juga berhubungan erat dengan siklus kehidupan perkawinan, umur pada kehamilan pertama dan jumlah anak yang dilahirkan (G. Standing, 1985: 395).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Djazuli
Abstrak :
Kota-kota di negara-negara sedang berkembang atau lebih dikenal dengan Dunia Ketiga berkembang dengan sangat pesat. Setiap tahun berjuta-juta orang pindah dari desa ke kota, sekalipun banyak kota besar dalam kenyataannya sudah tidak mampu menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, transportasi, perumahan, dan sebagainya lebih dari minimal kepada penduduknya yang sangat padat itu. Sekalipun kota-kota besar yang ada sekarang ini sudah tergolong sangat besar, namun diperkirakan akan berkembang meniadi kota-kota yang lebih besar lagi dalam tahun-tahun mendatang. Pada tahun 1950 diperkirakan 38 persen penduduk kota tinggal di negara-negara sedang berkembang. Namum dalam tahun 1975 sekitar 51 persen atau 750 juta penduduk negara-negara sedang berkembang berada di kota, jumlah yang sama dengan jumlah penduduk kota di negara-negara lain. Pada tahun 2000 nanti, diperkirakan jumlah penduduk kota di negara-negara sedang berkembang akan meningkat lebih dari dua setengah kali, sedang penduduk kota di negara-negara industri hanya akan bertambah kurang dari 50 persen. Proses urbanisasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang tersebut menimbulkan dampak yang sangat luas. Salah satu masalah yang timbul sebagai akibat dari perkembangan urbanisasi yang cepat itu adalah berupa kenyataan bahwa kota-kota di negara-negara sedang berkembang pada tingkat sekarang ini belum mampu untuk menyediakan lapangan kerja, menyediakan prasarana dan sarana umum kota yang dibutuhkan, menyediakan sistem transportasi, perumahan, sampah, dan sebagainya. Dalam keadaan demikian kota-kota akhirnya akan tampil sebagai kumpulan sistem yang keberatan beban, termasuk di dalamnya juga sistem-sistem nilai yang akhirnya berkembang dalam tata kehidupan kota. Salah satu akibat lebih lanjut dari kenyataan ini adalah masalah-masalah yang ditimbulkan akibat merosotnya kualitas lingkungan hidup dalam anti luas, institusi-institusi sosial menjadi goyah, keseimbangan ekosistem terganggu dan siklus materi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Seperti diketahui pada tingkat pertama alam dikenal mempunyai daya penyerap secara alami pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Kemampuan tersebut akan terganggu karena adanya berbagai sistem keberatan beban seperti diuraikan di atas. Akibatnya kualitas lingkungan hidup dari hari ke hari semakin memburuk. Kenyataan ini dapat dilihat sehari haridalam kehidupan kota-kota besar seperti Jakarta ini betapa sampah yang bertebaran, sanitasi yang buruk dan saluran air yang mampat, air sungai dalam kota yang hitam dan penuh sampah, septic udara yang kotor oleh emisi kendaraan bermotor maupun industri, kebisingan, sistem lalu lintas yang macet, penyerobotan tanah secara liar, kandisi perumahan penduduk yang padat dan buruk, dan lain sebagainya. Secara sosial akibat dari adanya sistem keberatan beban ini dapat dilihat berupa melebarnya perbedaan antara golongan penduduk yang kaya. dan yang miskin, tingkat penganggaran yang tinggi, munculnya gelandangan, tingkat pendidikan yang rendah, kenakalan anak dan remaja yang makin meningkat, angka kejahatan yang tinggi, dan sebagainya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Siswoyo
Abstrak :
Salah satu pokok permasalahan yang masih tetap aktual untuk dibahas dalam rangka memahami masyarakat di lingkungan perkotaan adalah : masih adakah komunitas lokal di lingkungan perkotaan ?, atau tegasnya, masih adakah ikatan-ikatan lokal di antara warga kota ? Pertanyaan ini menarik perhatian, karena dari beberapa studi dan hasil penelitian yang sempat penulis pelajari menunjukkan bahwa di lingkungan perkotaan terdapat kecenderungan berkembangnya komunitas jenis tertentu yang tidak lagi berhubungan dengan aspek lokal. Komunitas jenis ini lazim disebut dengan community without locality atau community without propinquity. Malahan, Marx Abrahamson (1980 : 145-161), menunjukkan bahwa komunitas lokal di lingkungan perkotaan tersebut sudah sedemikian langkanya dan menunjukkan gejala semakin memudar. Bahkan ia lalu berpendapat bahwa studi lebih lanjut mengenai komunitas lokal di lingkungan perkotaan adalah tidak diperlukan lagi, sebab tidak lagi memiliki relevansi sosiologis sesuai dengan perkembangan struktur sosial masyarakat perkotaan yang lebih didiominasi oleh kelas elite minority yang cenderung menjalankan kekuasaan secara monolithic. Pertanyaan itu menjadi lebih menarik apabila dikaitkan dengan salah satu azas pembangunan yang berlaku di Indonesia; yaitu azas Usaha Bersama dan Kekeluargaan. Tekanan azas ini adalah partisipasi sebesar-besarnya dart seluruh rakyat secara bergotong-royong dalam semangat kekeluargaan untuk melaksanakan pembangunan. Azas monolitik adalah azas yang sangat dihindari. Orientasi program pembangunan yang sering dicanangkan oleh Pemerintah adalah Community Oriented Program, yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama rakyat. Secara garis besar, community oriented program dapat diterjemahkan sebagai program yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya setempat secara bersama-sama atau melibatkan semua anggota masyarakat setempat itu; hasilnya pun untuk kepentingan bersama, sekaligus untuk melestarikan kebersamaan itu. Apabila komunitas itu secara harafiah diartikan sebagai kebersamaan diantara warga dalam satu kesatuan sosial, maka keberhasilan pembangunan selama ini tentulah melestarikan keberadaan kebersamaan tersebut. Kenyataannya memang demikian. Sense of community selalu dicanangkan sebagai norma yang harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan nyata bagi semua anggota masyararakat, back sebagai warga lingkungan ketetanggan, lingkungan Rukun Tetangga (RT), lingkungan Rukun Warga (RW) lingkungan pasar, lingkungan Kelurahan, lingkungan profesi, dan seterusnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Asyiek
Abstrak :
Dalam melibatkan pemindahan penduduk ke daerah baru yang tadinya belum digarap, sudah dilaksanakan di banyak negara di dunia, yang disebut dengan istilah pemukiman. Proyek-proyek pemukiman dapat dijumpai di berbagai daerah seperti Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Proyek-proyek pemukiman tersebut sekaligus pula digunakan untuk membantu tercapainya sasaran-sasaran berbagai kebijakan dimulai dari penyebaran penduduk, penyediaan tanah dan penghasilan yang lebih baik, sampai pada masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan nasional. Masalah kependudukan identik dengan masalah pemukiman. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa masalah kependudukan merupakan masalah yang menimpa hampir seluruh negara di dunia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya usaha-usaha penanganan masalah kependudukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Konferensi Kependudukan Sedunia (United Nations World Population Confrence) yang diselenggarakan pada tahun 1965 di Belgrado. Dalam menangani masalah kependudukan di negara berkembang lebih mudah memecahkannya dibandingkan dengan negara yang sedang berkembang. Hal tersebut disebabkan karena pada negara berkembang, hal yang dihadapi hanya terbatas pada masalah kependudukan saja. Sedangkan pada negara yang sedang berkembang, bukan saja usaha pemecahan masalah tersebut di atas, tetapi lebih kompleks lagi, baik menghadapi usaha-usaha konsolidasi politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain maupun lajunya perkembangan penduduk yang pesat per tahunnya. Program pemukiman pedesaan di negara-negara Asia Tenggara telah lama sekali dilaksanakan dengan berbagai alasan-alasan kebijakan (alasan ekonomi, sosial, politik dan strategi) dalam menangani masalah kependudukan yang dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan nasional. Misalnya di Indonesia, program pemukiman telah berlangsung sejak tahun 1905, yaitu pada waktu pemerintahan Belanda dengan istilah kolonisasi. Program ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan penduduk di pulau Jawa yang merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya kemiskinan di pulau tersebut. Demikian pula di Filipina, sejarah pemukiman di mulai sejak tahun 1930-an, Malaysia pada tahun 1957 sedangkan Muangthai sejak tahun 1940-an. Pemerintah kolonial Belanda pada abad kedua puluh, telah menyadari meningkatnya kemiskinan di pulau Jawa akibat dari kepadatan penduduk. Dari hasil sensus yang diselenggarakan pada tahun 1905, menunjukkan bahwa terdapat 30,1 juta jiwa penduduk yang berdiam di pulau Jawa sedangkan 7,5 juta jiwa penduduk berada di luar pulau Jawa. Namun terjadinya ketimpangan penyebaran jumlah penduduk di atas bukan hanya alasan satu-satunya penyebab kemelaratan di pedesaan Jawa, akan tetapi perubahan-perubahan yang terjadi pada ekonomi pedesaan sebagai akibat dari kegiatan perusahaan-perusahaan asing yang bekerja di bidang produksi dan ekspor tanaman perdagangan seperti tembakau dan tebu, membawa akibat buruk bagi penduduk pulau Jawa. Walaupun perusahaan-perusahaan perkebunan telah mulai mengubah fokus kegiatannya ke pulau Sumatera sesudah tahun 1900, namun keadaan sosio-ekonomi di pedesaan Jawa tetap suram. Di dalam usaha memperbaiki kondisi rakyat pedesaan Jawa, pemerintah kolonial Belanda melaksanakan kolonisasi, yaitu penempatan petani-petani dari daerah yang padat penduduknya di Jawa ke desa-desa baru yang berada di luar Jawa yang disebut koloni sebagai salah satu jalan untuk memecahkan masalah kemiskinan di pulau Jawa.
Depok: Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endriatmo Soetarto
Abstrak :
Wilayah pedesaan yang merupakan tempat tinggal sebagian besar penduduk Indonesia hingga kini masih menarik perhatian bagi para peneliti dan perencana baik di tingkat pusat maupun daerah, bahkan makin meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Perhatian ini terutama dilandasi kesadaran bahwa dalam rangka pembangunan yang tengah digalakkan dewasa ini, maka kebutuhan untuk merangsang wilayah pedasaan khususnya yang ditujukan bagi pengelolaan sumber - sumber alamiah maupun manusiawinya, besar kemungkinan akan mempercepat derap pembangunan. Dalam hubungan ini kenyataan telah mengajarkan bahwa faktor keberhasilan program pembangunan banyak ditentukan oleh sejauh mana partisipasi masyarakat pedesaan mampu ditimbulkan. Alasan pokok yang ditunjuknya adalah seringkali suatu program pembangunan, khususnya yang datang dari "atas-desa" justru memunculkan "keterasingan" bagi masyarakat pedesaan itu sendiri. Padahal yang diharapkan adalah dengan partisipasi aktif dari masyarakat pedesaan di dalam proses pembangunan, maka pembangunan akan dirasakan sebagai karya seluruh warga masyarakat.l)
Depok: Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lazarus Revassy
Abstrak :
Penelitian ini ingin memusatkan perhatian pada kondisi di Irian Jaya. Hal ini dikarenakan bahwa wilayah ini agak spesifik, bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Salah satu unsur yang penting (crucial) dalam masa pembangunan bangsa (National building) adalah faktor kepemimpinan. Di Irian Jaya faktor ini dilihat dalam konteks sosio-budaya, mempunyai kemiripan dengan model-model yang berlaku dalam kebudayaan Pasifik, akan tetapi secara teritorial dan etnis dianggap termasuk wilayah Indonesia. H.D. Sahlins, dalam menganalisis kepemimpinan politik tradisional di daerah kepulauan Lautan Teduh, berpendapat bahwa penduduk di daerah kebudayaan Melanesia, mengenal tipe kepemimpinan big man. Sebaliknya, penduduk di daerah kebudayaan Polinesia mengenal tipe kepemimpinan chief in. Berbagai penelitian etnografi lain setelah itu memperlihatkan bahwa garis kontinum yang dikemukakan oleh Shalins itu sebetulnya tidak seluruhnya benar. Di kalangan penduduk Melanesia sendiri, selain tipe kepemimpinan big man, dijumpai pula tipe kepemimpinan chief man. Untuk masyarakat kebudayaan di Irian Jaya yang merupakan bagian pendukung kebudayaan Melanesia, kepemimpinan politik tradisional cukup bervariasi dan dapat digolongkan menurut: (1) big man, (2) chief man, (3) head wan dan (4) campuran.
Depok: Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library