Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hilmi Muhammadiyah
Abstrak :
Penelitian ini difokuskan pada pembahasan seputar reposisi perempuan Bugis di tengah masyarakatnya sebagai upaya meningkatkan status sosialnya yang didasarkan atas hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama sekitar 3 bulan dari bulan Nopember 2005 hingga Januari 2006. Penulis secara khusus meneliti status haji yang melekat pada perempuan Bugis serta relasinya dengan aktivitas mereka di ranah publik, misalnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Posisi perempuan Bugis dalam struktur makro masyarakat Bugis dalam perspektif budaya berada pada tingkat yang cukup terhormat. Namun realitas struktur sosial perempuan Bugis jika disejajarkan dengan struktur sosial lainnya dinilai cukup rendah dan secara otomatis tidak sesuai dengan bangunan adat istiadatnya. Maka untuk mengembalikan nilai struktur sosial perempuan Bugis diperlukan perubahan sosial. Haji kemudian dipandang sebagai status yang dapat mengembalikan posisi perempuan Bugis pada tempat yang semestinya. Reposisi perempuan Bugis dalam konteks ini dilihat sebagai suatu proses pengembalian perempuan Bugis pada posisi yang sesuai dengan budaya Bugis. Kelurahan Kalabbirang merupakan daerah yang masih didominasi oleh suku Bugis dengan perempuannya yang berpandangan bahwa haji merupakan simbol sosial yang dapat menyangga nilai-nilai sosial kelompoknya. Mereka menjadikan haji sebagai identitas untuk mengembalikan status sosialnya. Nilai-nilai haji ini kemudian mengatur interaksi-interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks interaksi dengan sesama perempuannya maupun dengan kelompok laki-laki; atau pada saat beraktivitas di ruang publik. Berarti simbol haji mempunyai makna tersendiri bagi perempuan Bugis yang dirasakan ketika ia berada dalam ruang pentas dalam ritus-ritus yang beraspek sosial. Konstruk haji sebagai simbol bagi perempuan Bugis membutuhkan tindakan sosial. Di sini kemudian perempuan Bugis mengambil peranan. Ia memandang simbol haji sebagaimana orang lain memandangnya. Sebelum bertindak perempuan Bugis memformulasikan suatu gagasan mengenai proyeksi tindakan orang lain dalam hubungannya dengan simbol haji. Perempuan Bugis berhaji juga memformulasikan proyeksi yang akan ia lakukan, termasuk peranan yang ia wujudkan melalui simbol haji. Maka ketika perempuan Bugis telah melaksanakan haji, mereka telah mempunyai formulasi tindakan sosial. Jadi tindakan sosial dikonsepsikan dalam imajinasi sebelum melaksanakan haji. Dalam tataran ide mereka telah mengkonstruk haji sebagai proses penyempurnaan keislamannya sehingga dirinya merasa berhak untuk dikategorikan ke dalam ranah sosial haji. Mereka melakukan konstruksi atas kehidupannya untuk memberikan penyegaran baru terhadap identitas, life style dan lingkungannya dalam suatu komunitas baru yang penulis istilahkan dengan "tradisi lokal haji". Tradisi lokal haji pada masyarakat Bugis merupakan ruang sosial unik yang terdiri dari nilai-nilai yang telah disepakati. Perempuan Bugis yang sudah berhaji berinteraksi dengan budaya Bugis secara makro dengan menggunakan norma-norma yang terkonstruk dalam tradisi lokal haji. Sub kultur ini tentunya mempunyai spesifikasi simbolik yang mengindikasikan suatu keterwakilan dari sebuah komunitas baru di tengah kelompok besar masyarakat Bugis. Pada proses interaksi sosial dengan kelompok lain inilah kemudian muncul simbol-simbol baru yang menggambarkan spesifikasi sub kultur, seperti sebagai orang yang "beriman", "taat", "jujur" dan lainnya. Sehingga bagi perempuan Bugis yang sudah berhaji secara otomatis mendapatkan modal simbolik yang dapat digunakan untuk memperluas jaringan sosialnya di tengah masyarakat. Simbol haji laksana mahkota ratu yang tiba-tiba dapat mendatangkan kekayaan sosial dan ekonomi. Pada saat inilah terjadi proses reposisi perempuan Bugis, yaitu dari posisinya yang dirugikan oleh realitas kehidupan masyarakat padahal sebenarnya secara adat dimuliakan dan dihargai, kembali menjadi terhormat dalam kehidupan keseharian. Proses reposisi ini berlangsung cukup cepat, instan dan sangat ditentukan oleh faktor finansial individu perempuan Bugis.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Subki
Abstrak :
Fokus penelitian ini adalah modal yang dimiliki pondok pesantren Annuqayah. Penelitian mengakar pada fenomena, keberadaan, survive pondok pesantren untuk memposisikan lembaga, nilai-nilai, dan tradisi di lingkungan pondok pesantren dalam merespon dinamika sosial. Dinamika sosial turut memberikan warna dan ruang keberadaan pondok pesantren Annnuqayah. Pondok pesantren dipahami sebagai suatu arena, karena setiap individu di lingkungan pondok pesantren Annuqayah mempunyai kepentingan baik yang berhubungan dengan agama, negara ataupun masyarakat. Fenomena yang berkembang pada pondok pesantren tidak hanya menginternalisasi nilai-nilai agama semata, akan tetapi individu memfungsikan juga modal-modal yang dimiliki pondok pesantren. Untuk memahami modal yang dimiliki pondok pesantren, penulis memahami pondok pesantren sebagai suatu arena. Dengan membangun teori dari Foucault, Gidden, dan Bourdieu, yaitu individu bersifat aktif untuk memposisikan dirinya menjadi agen, pengetahuan menjadi faktor dominan, sebagai kekuatan untuk memposisikan dirinya di ranah sosial. Pemahaman individu sebagai agen, akan membangun suatu habitus. Dengan terbentuknya habitus, akan tercipta suatu modal, baik modal kultural, simbolik, dan ekonomi. Dengan modal-modal tersebut akan terbangun suatu relasi-relasi dalam diri individu maupun institusi. Pendekatan yang digunakan untuk memahami fokus masalah penelitian, adalah membangun rappot dengan pihak-pihak pondok pesantren Annuqayah, melalui kiai-kiai muda dilingkungan pondok pesantren, sehingga terbangun rasa persaudaraan, sehingga tidak ada jarak antara peneliti dan informan Dengan pendekatan ini peneliti bisa mengeksplorasi tentang keberadaan pondok pesantren Annuqayah. Sehingga peneliti bisa memahami struktur dan kultur masyarakat sekitar, serta karakteristik pondok pesantren Annuqayah.Pondok pesantren Annuqayah secara kelembagaan memposisikan dirinya sebagai institusi pendidikan dan sosial, sehingga pondok pesantren membangun pijakan-pijakan dasar berdasarkan transmisi budaya dari pendiri sebelumnya. Untuk menstrukturkan dan memposisikan pondok pesantren agar mempuyai nilai tawar, ada empat aspek yang dilakukan; a) proses tarnsformasi pengetahuan, baik yang bersifat akomodatif dan resitensi terhadap kebijakan negara. Akomodatif untuk merespon dinamika sosial dan kebutuhan masyarakat dan bersifat pragmatis, sedangkan resistensi untuk tetap menjaga tradisi pesantren dan nilainilai agama. b) Biro Pengembangan Masyarakat, sebagai suatu institusi kemasyarakatan manjadi relasi sosial dan kultural antara pondok pesantren masyarakat, serta jaringan-jaringan yang dibangun. c) kiai dan politik, merupakan relasi simbolik dan struktural, untuk memantapkan posisi pondok pesantren Annuqyah. Sehingga relasi dengan aparatur pemerintah bisa efektif. d) kiai dan masyarakat tentang kepemilikan koperasi dan unit-unit usaha, yang menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ekonomi menjadi motor penggerak dilingkungan pondok pesantren Annuqayah. Demikianlah modal yang direpresentasikan oleh pondok pesantren Annuqayah yang terdiri dari; modal kultural, simbolik dan ekonomi. Dampaknya keberadaan pondok pesantren dewasa ini menjadi lembaga industri, atau seperti pasar karena menjadi magnet. Sehingga regulasi baik dari politik, ekonomi, maupun pendidikan, tersentral di pondok pesantren secara berkelanjutan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007.
T19269
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfina R. Bachtiar
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hemasita Nugraheni
Abstrak :
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi terhadap komunitas syiah di Jakarta dan sekitarnya. Dalam menganalisis makna di balik peringatan Asyura, peneliti menggunakan konsep-konsep agama seperti yang dituliskan oleh Geertz. Peneliti kemudian mengkaitkan tersebut dalam konteks resistensi komunitas syiah terhadap penolakan dari masyarakat dengan menggunakan konsep perlawanan sehari-hari yang ditawarkan oleh James Scott. Asumsi awalnya, pemaknaan jamaah terhadap Asyura menjadi kunci utama dalam perjalanan resistensi komunitas syiah. Resistensi yang dimaksud bukan berbentuk aksi keras ataupun protes publik. Tindakan sederhana seperti diam dan mengalah ketika dibubarkan, ataupun sesederhana pembangunan relasi dengan komunitas masjid setempat merupakan usaha komunitas syiah dalam melakukan perlawanan sehari-hari yang terinspirasi dari nilai dalam peringatan Asyura. ......This research is a qualitative research with ethnographic methods for Shia communities in Jakarta and its surroundings. In analyzing the meaning behind Ashura's commemoration, researchers used religious concepts as written by Geertz. The researcher then linked it in the context of the Shia community's resistance to rejection from the society by using the everyday resistance concept offered by James Scott. The initial assumption was that the meaning of pilgrims to Ashura was the main key in the journey of resistance of the Shia community. The intended resistance is not in the form of violent action or public protest. Simple actions such as silence and defeat when disbanded, or as simple as building relationships with the local mosque community are the form of everyday resistance made by the Shia community inspired by the value of Ashura commemoration.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofwatun Nida
Abstrak :
ABSTRAK
Proses marjinalisasi yang dialami orang Betawi berdampak kepada lahirnya suatu keadaan di mana orang Betawi terpinggirkan baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan demografi. Selain itu, munculnya persepsi dan stereotip negatif pada imej orang Betawi membuat orang Betawi menjadi semakin inferior di tanah kelahirannya sendiri. Orang Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tidak mempunyai eksistensi sosial yang kuat di masyarakat Jakarta. Melihat hal ini, Gerbang Betawi yang terdiri dari sekelompok elite Betawi mempunyai gagasan yaitu berupa gerakan transformasi yang bertujuan kepada menciptakan kondisi dan kehidupan masyarakat Betawi yang lebih baik. Tulisan ini ingin melihat bagaimana Gerbang Betawi sebagai sebuah organisasi etnik yang merupakan sekumpulan dari generasi muda berpendidikan menyadari akan persepsi yang salah yang kemudian mereka berperan sebagai wadah dalam melakukan suatu gerakan transformasi yang bukan hanya merubah persepsi tapi juga merubah kedudukan mereka sebagai salah satu etnis di Jakarta.
ABSTRACT
Process of marginalization that is experienced by Betawi People has an impact to the emergence of condition where Betawi people marginalized in aspect of economy, social, culture, and demography. Other than that, the emergence of negative perception and stereotype on the image of Betawi people makes Betawi people become more inferior in their own hometown. The Betawi people as local people in Jakarta have a weak social existency in Jakarta society. According to this, Gerbang Betawi that consist of a group of Betawi people elites that have an idea about transformation movement that has an aim to create a better condition of Betawi people lives. This paper figures out how Gerbang Betawi as an ethnic organization that is a group of young educated generation that aware of the false perception and then they have role as a forum in carrying out a transformation movement, not only to change the perception, but also to change their position as an ethnic in Jakarta. 
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Shadily
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Artining Anggorodi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wirnawathy Surakhmad
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library