Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maryam
"Latar Belakang: Obesitas merupakan masalah global yang prevalensinya terus meningkat, terutama pada individu sedenter.  Peningkatan lemak viseral pada obesitas berperan penting dalam terjadinya kelainan metabolik, seperti hiperurisemia. Hiperurisemia dapat mengakibatkan disfungsi endotel yang menyebabkan aterosklerosis. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara lemak viseral dan asam urat pada pekerja kantor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada 92 pekerja kantor dengan obesitas (IMT ≥25 kg/m2) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengukuran lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) seca mBCA 525, dengan lemak viseral ≥2,3 L pada laki-laki; ≥1,7 L pada perempuan menunjukkan peningkatan lemak viseral. Faktor komorbiditas juga diobservasi pada studi ini.
Hasil: 29% subjek dengan hiperurisemia dan 86% subjek dengan lemak viseral yang tinggi. Median lemak viseral 2,8 L dan rerata asam urat serum 5,7 mg/dL. Komorbid tertinggi, yaitu dislipidemia, disusul dengan hipertensi, merokok, dan DM. Terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan lemah antara lemak viseral dan asam urat serum (r=0,363; p<0,001).
Kesimpulan: Ditemukan korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan lemah antara lemak viseral dan asam urat serum pada pekerja kantor dengan obesitas

Background: Obesity is an increasing, global public health issue, largely in sedentary lifestyle. Increased visceral fat in obesity has an important role in metabolic disorders, including hyperuricemia. Hyperuricemia can result in endothelial dysfunction that causes atherosclerosis. This study examined correlation between visceral fat and uric acid in obese office workers at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This cross sectional study involving 92 office workers with obesity (BMI ≥25 kg/m2) at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Visceral fat (VF) was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) seca mBCA 525, and VF ≥2,3 L in men; ≥1,7 L in women was defined as increased VF. The frequencies of comorbidity were also investigated.
Results: 29% of subjects with hyperuricemia and 86% of subjects with increased VF. Median VF was 2.8 L and mean serum uric acid was 5.7 mg/dL. The highest comorbidity is dyslipidemia, followed by hypertension, smoking, and DM. There is a significant positive weak correlation between visceral fat and serum uric acid (r=0.363; p<0.001).
Conclusion: This study shows a significant positive weak correlation between visceral fat and serum uric acid in office workers with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Diasty Rahayu
"Kelimpahan relatif dan rasio Firmicutes/Bacteroidetes mikrobiota usus dipengaruhi oleh asupan makan dan mempengaruhi kesehatan anak dan dewasa. Namun, penelitian pada ibu hamil di daerah urban masih terbatas dan hasil yang dihubungkan dengan pola makan masih berbeda-beda, terutama di negara berpenghasilan rendah-menengah. Penelitian ini menilai hubungan antara pola makan dengan kelimpahan relatif mikrobiota usus (filum dan genus) dan rasio Firmicutes/Bacteroidetes. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di Puskesmas di empat kota di Jakarta (Pusat, Tengah, Barat dan Utara) merekrut 90 ibu hamil yang datang pada kunjungan Ante Natal Care (ANC). Data asupan makan ibu dengan menggunakan semi quantitative food frequency questioner (SQ-FFQ) diambil oleh enumerator yang sudah ditraining. Data asupan makan dianalisis menggunakan principal component anlysis (PCA) yang akan membentuk pola makan. Sampel feses diambil dan dianalisis dengan Next Generation Sequencing (NGS) 16S rRNA untuk mendapatkan hasil kelimpahan relatif mikrobiota usus . Terbentuk 4 pola makan yaitu pola makan tinggi sumber protein, pola makan tinggi sumber susu dan produk susu, pola makan tinggi sumber karbohidrat dan serat serta pola makan tinggi sumber buah-buahan. Dua filum terbesar yaitu (Firmicutes dan Bacteroidetes) dan 3 genus terbanyak yaitu Prevotella, Faecalibacterium dan Blautia dengan rerata kelimpahan relatif berurutan 69,5%, 12,6%, 5,98%, 8,59% dan 6,59%. Pola makan tinggi karbohidrat dan serat, namun tidak dengan pola makan lain, memiliki nilai p signifikan dengan kelimpahan relatif Faecalibacterium setelah disesuaikan dengan Pendidikan dan suku pada analisis multivariat (β 1,01, CI 95% 0,27-1,73 dan p=0,008). Kesimpulannya, setiap kenaikan pola makan tinggi sumber karbohidrat dan serat dapat menaikkan kelimpahan relatif dari Faecalibacterium sebesar 1,01%. Edukasi tentang pemilihan pola makan yang sehat dan baik untuk serta asupan karbohidrat dan serat yang bervariasi sangat penting dilakukan.

Relative abundance influenced by diet and affect children and adults’ health. However, evidence among urban pregnant women is limited and results on the link of this outcome with dietary pattern is conflicting especially in low-middle income nations. We assessed the relationship between maternal dietary pattern and the relative abundance of gut microbiota and Firmicutes/Bacteroidetes ratio. A cross-sectional study was conducted in primary health care in four districts in Jakarta (Central, East, West and North areas) recruiting 90 pregnant women during their ante natal care visits. Maternal food intake was assessed using a semi-quantitative food frequency questionnaire by trained enumerators and analyzed using principal component analysis to form a dietary pattern. Fecal samples were collected and analyzed with the Next Generation Sequencing (NGS) 16S rRNA to obtain the relative abundance of gut microbiota results. Four eating patterns were formed, namely a high protein sources diet, a high milk and dairy products sources diet, a high carbohydrates and fiber sources diet and a high fruit sources diet. Two largest phyla (Firmicutes and Bacteroidetes) and three largest genera (Prevotella, Faecalibacterium and Blautia) were identified with an average relative abundance value of 69.5%, 12.6%, 5.98%, 8.59% and 6.59%, respectively. High carbohydrate and fiber sources diet, not the other patterns, had a significant value with Faecalibacterium abundance after adjusting for education and ethnicity in multivariate model (β 1.01, CI 95% 0.27- 1.73 and p=0.008). In conlussion, increase high carbohydrate and fiber source diet could increase the relative abundance of Faecalibacterium by 1.01%. Education to choose healthy diet and variety carbohydrate and fiber sources will be needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Cynthia Walter
"Latar Belakang: Laparotomi merupakan pembedahan mayor yang dapat menyebabkan penurunan massa otot rangka dan kapasitas fungsional, seperti kekuatan genggam tangan (KGT). Berbagai studi membuktikan penurunan KGT pascaoperasi menimbulkan komplikasi pascaoperasi, serta KGT berkorelasi erat dengan appendicular skeletal muscle index (ASMI). Pengaruh ASMI praoperasi terhadap KGT pascaoperasi belum banyak dilakukan penelitian, sehingga penelitian ini bertujuan menilai korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi.
Metode: Studi observasional prospektif dilakukan pada subjek berusia 18 – 65 tahun di RS pendidikan tersier, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang dirawat untuk laparotomi elektif pada Maret sampai Juni 2023. Pengukuran ASMI praoperasi menggunakan bioimpedance analysis (BIA) multifrequency seca® mBCA 525 dengan cutoff laki-laki > 7,0kg/mg2 dan perempuan >5,7 kg/m2. Pengukuran KGT pada tangan kanan dan kiri pascaoperasi pada hari ke-6 pascaoperasi (POD-6) dengan dinamometer tangan spring-type CAMRY® dengan cutoff laki-laki >28 kg/m2 dan perempuan >18 kg/m2. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai hubungan variabel bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu yang berhubungan dengan KGT pascaoperasi.
Hasil: Pada 85 subjek penelitian, sebanyak 98,82% subjek memiliki ASMI praoperasi rendah, 72,94% subjek memiliki KGT pascaoperasi tangan kanan menurun, dan 80% subjek memiliki KGT pascaoperasi tangan kiri menurun dari cutoff. Didapatkan hasil signifikan pada korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi tangan kanan (r=0,444, p<0,001) dan kiri (r=0,423, p<0,001). Analisis lanjutan dengan regresi linier untuk faktor perancu didapatkan indeks massa tubuh (IMT) adalah faktor paling signifikan meningkatkan KGT tangan kanan dan kiri pascaoperasi.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada korelasi ASMI praoperasi dengan KGT pascaoperasi laparotomi elektif.

Background: Laparotomy is a major surgery that can lead to a decrease in skeletal muscle mass and functional capacity, such as handgrip strength (HGS). Various studies have shown that HGS is decreasing after surgery can result in postoperative complications, and HGS is closely correlated with the appendicular skeletal muscle index (ASMI). Research on the preoperative influence of ASMI on postoperative HGS is limited, so this study aims to assess the correlation between preoperative ASMI and postoperative HGS.
Top of Form
Methods: A prospective observational study was conducted on subjects aged 18-65 years at the tertiary education hospital, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, who underwent elective laparotomy from March to June 2023. Preoperative ASMI measurements were taken using multifrequency bioimpedance analysis (BIA) with seca® mBCA 525, with a cutoff for males > 7.0 kg/m2 and females > 5.7 kg/m2. Postoperative HGS measurements for the right and left hands on postoperative day 6 (POD-6) were conducted using a spring-type hand dynamometer CAMRY® with a cutoff for males > 28 kg/m2 and females > 18 kg/m2. Bivariate and multivariate analyses were employed to assess the association between independent and dependent variables, as well as to identify confounding factors associated with postoperative HGS.
Results: In 85 research subjects, 98.82% had low preoperative ASMI, 72.94% experienced a decrease in postoperative right HGS, and 80% had a decrease in postoperative left HGS from the cutoff. Significant results were obtained in the correlation between preoperative ASMI and postoperative right HGS (r=0.444, p<0.001) and left HGS (r=0.423, p<0.001). Further analysis with linear regression for confounding factors revealed that body mass index (BMI) was the most significant factor in increasing postoperative HGS for both right and left hands.
Conclusion: There is a statistically significant in the correlation between preoperative ASMI and postoperative HGS in elective laparotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julianti Norva Nemba
"Kadar kalium merupakan salah satu biomarker prognostik yang banyak digunakan untuk memprediksi luaran klinis berbagai penyakit. Kadar kalium yang rendah atau hipokalemia berhubungan dengan perlunya pemasangan ventilasi mekanik pada pasien sakit kritis. Berbagai kondisi seperti status nutrisi dan komorbid dapat menyebabkan hipokalemia. Hipokalemia dapat memengaruhi fungsi otot respirasi dan memengaruhi durasi penggunaan ventilasi mekanik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara status kalium terhadap kejadian sulit weaning ventilasi mekanik pada pasien sakit kritis di ICU RSCM dan RSUI. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI. Diperoleh 52 subjek dengan kelompok yang hipokalemia sebanyak 26 subjek dan kelompok yang normokalemia sebanyak 26 subjek. Rerata usia subjek 49,3±15,1 tahun, jenis kelamin laki-laki 65,4%, status nutrisi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) berat badan normal 34,6%, dan komorbid penyakit keganasan 36,5%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara status kalium dengan kejadian sulit weaning ventilasi mekanik selama perawatan di ICU. Sebagian besar subjek yang mengalami hipokalemia tidak mengalami sulit weaning ventilasi mekanik. Penelitian lanjutan diperlukan dengan menggunakan subjek yang lebih banyak dan menganalisis faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kejadian sulit weaning ventilasi mekanik dan status kalium pada pasien sakit kritis yang dirawat di ICU.

Potassium levels are one of the prognostic biomarkers that are widely used to predict clinical outcomes of various diseases. Low potassium levels or hypokalemia are associated with the need for mechanical ventilation in critically ill patients. Various conditions such as nutritional status and comorbidities can cause hypokalemia. Hypokalemia can affect respiratory muscle function and influence the duration of mechanical ventilation. This study aims to examine the relationship between potassium status and the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty in critically ill patients in the ICU at RSCM and RSUI. This study used a retrospective cohort design on subjects aged ≥18 years who were treated in the ICU at RSCM and RSUI. Total 52 subjects obtained, with 26 subjects in the hypokalemia group and 26 subjects in the normokalemia group. The mean age of the subjects was 49.3±15.1 years old, male gender 65.4%, nutritional status based on body mass index (BMI) of normal weight 34.6%, and comorbid of malignant disease 36.5%. There was no significant relationship between potassium status and the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty during treatment in the ICU. Most subjects who experienced hypokalemia did not experience mechanical ventilation weaning difficulty. Further research is needed using more subjects and analyzing other factors that may influence the incidence of mechanical ventilation weaning difficulty and potassium status in critically ill patients treated in the ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Susanty Yuriani
"Pasien sakit kritis mengalami peningkatan laju atrofi otot yang memengaruhi keberhasilan ekstubasi. Pemeriksaan massa otot dengan alat tervalidasi terbatas karena instabilitas klinis, kesulitan transfer pasien, dll. Lingkar betis (LB) berkorelasi dengan hasil pemeriksaan massa otot tervalidasi, sederhana, dan efisien. Studi bertujuan mengetahui hubungan LB awal admisi dengan keberhasilan ekstubasi. Studi kohort prospektif melibatkan 65 subjek berusia 18−70 tahun, pengguna ventilasi mekanis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Pemantauan sejak admisi ICU hingga pasien ekstubasi atau maksimal 14 hari pasca intubasi. Subjek didominasi laki-laki (67,7%), rerata usia 48,2 ± 13,8 tahun, dan indeks massa tubuh 23,77 ± 6,30 kg/m2. Sebagian besar pasien bedah (81,5%) dan memiliki komorbiditas (81,5%). Durasi intubasi 43 jam (12-401). Rerata LB awal 32,8 ± 3,4 cm dan LB akhir 32,1 ± 3,6 cm, terdapat beda rerata -0,68 cm (p <0,001). Tidak ditemukan hubungan LB awal dengan keberhasilan ekstubasi (RR 1,23; IK 95%: 0,89−1,69, p = 0,199). Lingkar betis awal sebagai pemeriksaan untuk massa otot bukan prediktor keberhasilan ekstubasi. Analisis tambahan menemukan perbedaan rerata bermakna LB awal dan LB akhir yang diukur. Perubahan LB didapatkan perbedaan nilai bermakna antara kelompok berhasil ekstubasi dibandingkan sulit ekstubasi.

Critically ill patients experience an increased rate of muscle atrophy that affects the success of extubation. Examination of muscle mass with validated tools is limited due to clinical instability, difficulty in patient transfer, etc. Calf circumference (LB) correlates with the results of a validated, simple and efficient muscle mass examination. The study aims to determine the relationship between initial LB admission and successful extubation. A prospective cohort study involving 65 subjects aged 18−70 years, users of mechanical ventilation at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Monitoring from ICU admission until the patient is extubated or a maximum of 14 days after intubation. Subjects were predominantly male (67.7%), mean age 48,2 ± 13,8 years, and body mass index 23,77 ± 6,30 kg/m2. Most of the patients were surgical (81,5%) and had comorbidities (81,5%). Duration of intubation 43 hours (12-401). The mean initial LB was 32,8 ± 3,4 cm and final LB 32,1 ± 3,6 cm, there was a mean difference of -0,68 cm (p <0.001). There was no association between early LB and extubation success (RR 1,23; 95% CI: 0,89−1,69, p = 0,199). Initial calf circumference as a test for muscle mass is not a predictor of successful extubation. Additional analysis found significant mean differences in initial LB and final LB measured. There was a significant difference in LB changes between the successful extubation group compared to the difficult extubation group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fathiyyatul Khaira
"

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan titik potong lingkar lengan atas pada posisi berbaring. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Data diambil dari rekam medis pasien poliklinik radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (n=207) dan dilakukan pengukuran antropometri pada pasien. Titik potong lingkar lengan atas diperoleh dari kurva ROC dan indeks Youden tertinggi. Dari penelitian ini didapatkan perbedaan rata-rata antara lingkar lengan atas pada posisi berdiri dan terlentang adalah 0,13 ± 0,33 cm (p<0,001). Lingkar lengan atas dari keseluruhan subjek memiliki korelasi yang kuat dan signifikan dengan indeks massa tubuh (r=0,932; p<0,001). Nilai AUC lingkar lengan atas untuk mendeteksi malnutrisi adalah 0,97 (95% CI 0,947-0,992; p<0,001). Lingkar lengan atas <23,4 cm menunjukkan sensitivitas 94,7% dan spesifisitas 95,6% untuk pria, dan sensitivitas 95% dan spesifisitas 89% untuk wanita. Sebagai kesimpulan, lingkar lengan atas <23,4 cm dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengukuran untuk mendeteksi malnutrisi, terutama bila indeks massa tubuh tidak dapat diukur.


This study aims to establish a cut-off point for mid-upper arm circumference in the supine position. This is a cross-sectional study. Data were taken from patients at the radiotherapy clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (n=207) by medical records, and anthropometric measurements were performed. The cut-off point of the mid-upper arm circumference was obtained from the ROC curve and the highest Youden’s index. This study found that the mean difference between mid-upper arm circumference in the standing and supine positions is 0.13±0.33 cm (p<0.001). The mid-upper arm circumference from all subjects strongly and significantly correlates to body mass index (r=0.932; p<0.001). The area under the curve of the mid-upper arm circumference for detecting malnutrition was 0.97 (95% CI 0.947–0.992; p<0.001). The mid-upper arm circumference of <23.4 cm presents a sensitivity of 94.7% and a specificity of 95.6% for men, and a sensitivity of 95% and a specificity of 89% for women. In conclusion, the mid-upper arm circumference of <23.4 cm can be used as an alternative measurement to detect malnutrition, particularly when body mass index cannot be measured.
 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Nurahmani Putri
"Latar Belakang: Obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering ditemukan pada penduduk dewasa di Indonesia, di mana 29,3% di antaranya adalah perempuan. Individu obesitas dapat mengalami penurunan massa otot yang disebabkan oleh inaktivitas dan penumpukan lemak yang menghambat proses sintesis otot. Jika tidak ditangani, obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah sarkopenia obesitas. Sarkopenia obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan obesitas dan penurunan fungsi dan massa otot, terdiagnosis dengan  IMT >25 kg/m2, skeletal muscle index (SMI) yang menurun, dan kekuatan genggam tangan atau status performa yang rendah. Sarkopenia lebih sering terdeteksi pada lansia, namun penurunan massa otot sudah dapat terjadi sejak usia dewasa. Penelitian ini melihat apabila perempuan dewasa dengan obesitas sudah memiliki tanda-tanda sarkopenia obesitas seperti penurunan massa otot, SMI, dan hubungannya terhadap kekuatan genggam tangan.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 64 karyawati obesitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Massa otot diukur menggunakan body impedance analysis dan skeletal muscle index dihitung menggunakan massa otot dibagi dengan tinggi badan (m2). Kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan dinamometer tangan. Analisis hubungan massa otot dan skeletal muscle index dengan kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil: Dari 64 subjek perempuan dewasa obesitas, 85,7% di antaranya memiliki massa otot yang rendah, dengan korelasi yang positif terhadap kekuatan genggam tangan kiri (p < 0,05, r = 0,354) dan tangan kanan (p < 0,05, r = 0,401). Namun hasil juga menunjukkan bahwa SMI subjek tidak memiliki korelasi dengan kekuatan genggam tangan mereka (p > 0,05), yang dapat disebabkan karena tinggi badan subjek yang lebih pendek dibandingkan standar tinggi sesuai usia.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa perempuan obesitas memiliki kadar massa otot yang rendah, yang jika menetap dapat menyebabkan penurunan kekuatan genggam tangan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka untuk mengidap sarkopenia obesitas.

Background: Obesity is a condition prevalent in Indonesian adults, in which 29,3% of them are women. Obesity may come with decreased muscle mass due to inactivity and inhibition of protein synthesis by fat. In women, decreased muscle mass may also be caused by reduced estradiol. Obesity may lead to complications such as diabetes mellitus type 2, heart disease, stroke, osteoarthritis, and sarcopenic obesity. Sarcopenic obesity is a condition characterized by obesity and a decrease muscle mass and function, seen through body mass index of > 25 kg/m2, reduced skeletal muscle index (SMI), and reduced handgrip strength or physical performance. Sarcopenia is more prevalent in the elderly, but previous studies have proven that decreases in muscle mass begins earlier. This study was done to see if adult obese female workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital have already experienced a decrease in muscle mass, SMI, and their correlation with handgrip strength.
Method: This cross-sectional study was done on  64 obese female adult workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Their muscle mass was measured using body impedance analysis and their skeletal muscle index was calculated by their muscle mass divided by their height (m2). Their handgrip strength was measured using a hand dynamometer. Analysis of the correlation of muscle mass and skeletal muscle with their handgrip strength was done using Pearson correlation.
Result: Of 64 obese female subjects, 85,7% of them have decreased muscle mass. Their muscle mass has positive correlation with both their left handgrip strength (p < 0,05, r = 0,354) and right handgrip strength (p < 0,05, r = 0,401). However, this study shows that SMI of subjects are not correlated with their handgrip strengths (p > 0,05). This can be caused by the subjects’ height being lower than the national age-standardized height.
Conclusion: Therefore, the results of this study supports the hypothesis that obesity is associated with lower muscle mass which could subsequently reduce handgrip strength, which increases their risk of having sarcopenic obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
"Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas.

Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity.
Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method.
Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000).
Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>