Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusi Amalia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Kejang merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor primer intrakranial dan penyebab utama morbiditas terhadap pasien.Pemeriksaan EEG diperlukan untuk menentukan kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor pada MRI yang akan menentukan prognosis kejang serta banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kesesuaian antara fokus kejang dengan lokasi tumor. Belum adanya data mengenai kejang pada tumor primer intrakranial serta kesesuaian berdasarkan gambaran EEG dan MRI menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Tujuan.Mengetahui kesesuaian antara aktivitas epileptiform pada EEG dan lesi tumor dengan MRI pada pasien tumor primer intrakranial dengan klinis kejang. Metode.Desain penelitian berupa studi potong lintang (cross sectional).Subyek penelitian adalah semua pasien dengan tumor primer intrakranial yang ada di ruang rawat inap dan rawat jalan neurologi, bedah saraf, radiologi RS Cipto Mangunkusumo yang sudah dilakukan EEG dan MRI.Ditentukan aktivitas epileptiform dan dianalisa kesesuaiannya dengan lokasi tumor berdasarkan MRI. Hasil.Dari 33 subyek dengan tumor primer intrakranial dengan klinis kejang , didapatkan hanya 17 subyek yang menunjukkan aktivitas epileptiform (51,5%), perempuan lebih banyak dari lelaki, dengan rerata usia adalah 34 tahun. Sebagian besar mengalami kejang parsial dan secondary generalized seizure(SGS) merupakan tipe kejang parsial terbanyak (16 dari 17 subyek). Kejang sering ditemukan pada tumor di frontal (11 dari 17 subyek) dan pada jenis tumor primer Low grade(8 dari 17 subyek). Kesesuaian aktivitas epileptiform dengan lokasi tumor didapatkan pada 8 dari 17 subyek dengan lebih banyak yang sesuai pada lobus temporal. Kesimpulan.Dari seluruh pasien tersangka tumor primer intrakranial dengan klinis kejang hanya didapatkan 8 dari 17 subyek yang sesuai antara aktivitas epileptiform pada EEG dengan lesi tumor pada MRI.Gambaran aktivitas epileptiform pada EEG tidak dipengaruhi oleh usia, bentuk bangkitan kejang, jenis tumor, lokasi berdasarkan lobus, lokasi berdasarkan parenkim otak, durasi sakit, dan ukuran tumor.
ABSTRAT
Background.Seizures are a common symptom in primary intracranial tumors and a major cause of morbidity to the patient. EEG examination is necessary to determine the suitability of the seizure focus to the location of the tumor on MRI that will determine the prognosis of seizures as well as a lot of factors that affect compatibility between focal seizures with tumor location. The absence of data on seizures in primary intracranial tumors and suitability based on EEG and MRI picture is the basis of this study. Purpose.Knowing the correspondence between epileptiform activity on EEG and MRI tumor lesions in patients with primary intracranial tumors with clinical seizures. Method.Design research is a cross-sectional study (cross-sectional). Subjects were all patients with primary intracranial tumors that exist in the inpatient and outpatient neurology, neurosurgery, radiology Cipto Mangunkusumo already done EEG and MRI. Epileptiform activity determined and analyzed for compliance with the location of the tumor by MRI. Result. From 33 subjects with primary brain tumors with clinical seizures, obtained only 17 subjects demonstrated epileptiform activity (51.5%), more women than men, with a mean age was 34 years. Most had partial seizures and secondary generalized seizures (SGS) is a type of partial seizure majority (16 of 17 subjects). Seizures are often found in tumors in the frontal (11 of 17 subjects) and the type of primary tumor Low grade (8 of 17 subjects). Suitability of epileptiform activity by tumor location obtained in 8 of 17 subjects with more appropriate in the temporal lobe. Conclusion.From all patients suspected of primary brain tumors with clinical seizures obtained only 8 of the 17 subjects that fit between epileptiform activity on EEG with tumor lesions on MRI. Picture of epileptiform activity on EEG was not influenced by age, shape seizures, tumor type, location based lobes, based on the location of the brain parenchyma, duration of illness, and tumor size.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Ari Indrawati
Abstrak :
Latar Belakang. Penggunaan obat antiepilepsi (OAE) generasi lama (karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan asam valproat) mendominasi tatalaksana epilepsi di Indonesia. OAE tersebut berpotensi menimbulkan efek samping obesitas, peningkatan fraksi lipid aterogenik, peningkatan homosistein, resistensi insulin dan stres oksidatif yang merupakan faktor risiko ateroksklerosis dan penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu diperlukan penilaian risiko global kejadian kardiovaskular dan aterosklerosis pada orang dengan epilepsi (ODE) yang menggunakan OAE generasi lama, yaitu dengan mengukur kadar hs-CRP plasma. Molekul hs-CRP merupakan penanda biologis inflamasi tingkat rendah dan penyebab langsung aterosklerosis. Metode. Desain penelitian adalah potong lintang yang membandingkan kelompok studi (ODE yang menggunakan OAE generasi lama) dan kelompok orang normal yang usia dan jenis kelaminnya disesuaikan. Subjek kelompok studi didapatkan dari populasi ODE yang kontrol di Poliklinik Saraf RS Cipto Mangunkusumo dan Yayasan Epilepsi Indonesia. Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium pada semua subjek. Hasil. Didapatkan masing-masing 44 subjek kelompok studi dan kontrol. Kadar hs-CRP pada kelompok studi (1,19 (0,27-9,13) mg/L) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol (0,745 (0,13-4,9) mg/L). Tidak terdapat hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, tipe bangkitan terakhir, jenis dan jumlah OAE dengan kadar hs-CRP. Kadar hs-CRP cenderung lebih tinggi pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama penginduksi ekstensif enzim CYP (fenitoin, karbamazepin dan fenobarbital) dibandingkan asam valproat (1,785 (0,27-9,13) vs 0,77 + 0,36 mg/L). Kadar hs-CRP kelompok OAE penginduksi enzim CYP lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kontrol, sedangkan rerata kadar hs-CRP kelompok asam valproat tidak berbeda dengan kontrol. Kadar hs-CRP juga cenderung lebih tinggi pada kelompok politerapi (2,255 (0,43-8,67) mg/L) dibandingkan monoterapi (1,105 (0,27-9,13) mg/L). Nilai median kadar hs-CRP kelompok politerapi penginduksi-penginduksi enzim CYP lebih tinggi (3,11 (1,80-8,67) mg/L) dibandingkan kelompok politerapi penginduksi-bukan penginduksi enzim (0,96 (0,43-4,59) mg/L). Pada analisis multivariat, interaksi antara jumlah dan jenis OAE berhubungan dengan kadar hs-CRP secara bermakna. Simpulan. Kadar hs-CRP pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Kadar hs-CRP cenderung lebih tinggi pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama penginduksi ekstensif enzim CYP dan menggunakan OAE politerapi. Terdapat peningkatan risiko mengalami kejadian kardiovaskular dan aterokslerosis yang lebih tinggi pada ODE yang menggunakan OAE generasi lama penginduksi ekstensif enzim CYP baik monoterapi maupun politerapi. ...... Background. Old generation antiepileptic drugs (AED), including carbamazepine, phenytoin, phenobarbital and valproic acid are still utilized extensively in treating epilepsy patients (EP) in Indonesia. Those drugs are potencial causing obesity, higher atherogenic lipid fraction, higher homocysteine, insulin resistance and oxidative stress which are atherosclerosis risk factor and cardiovascular events. Therefore, atherosclerosis and cardiovascular global risk assesment is required in epilepsy patients treated with those AED by measuring high sensitivity C-reactive Protein (hs-CRP). Hs-CRP is well-known biomarker of chronic low level inflammatory and direct etiology of atherosclerosis. Method. This is a cross sectional study comparing study group (EP treated with old generation AED) and control group (healthy subjects), age and sex are matched. Subjects of study group are selected from EP who are visiting neurology outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital and Indonesia Epilepsy Foundation. All subjects underwent interview, physical examination and laboratory investigations. Result. Forty four patients are selected for each group. Hs-CRP level of study group (1.19 (0.27-9.13) mg/L) is significantly higher compared to control group (0.745 (0.13-4.9) mg/L). No significant correlation between age, sex, last epileptic seizure type, AED type and duration with hs-CRP level. Hs-CRP level in EP treated with extensive CYP-inducer AED tend to be higher than valproic acid-treated patients (1.785 (0.27-9.13) vs 0.77 + 0.36 mg/L). Hs-CRP level in EP treated with extensive CYP-inducer AED is significantly higher compared to their control group, whereas no difference in valproic acid group compared to their control. Polytherapy group (2.255 (0.43-8.67) mg/L) tends to have higher hs-CRP level compared to monotherapy group (1.105 (0.27-9.13) mg/L). Median of hs-CRP in extensive CYP-inducer polytherapy (3.11 (1.80-8.67) mg/L) is higher than polytherapy with combination AED (0.96 (0.43-4.59) mg/L). In multivariat analysis, interaction between number and type of AED is significantly related to hs-CRP level. Conclusion. Level of hs-CRP in EP treated with old generation AED is significantly higher than control. Hs-CRP level tends to be higher in EP treated with CYP inducer AED and polytherapy although not reaching significant point. Therefore, there is increased cardiovascular events and atherosclerosis risk in EP treated with extensive CYP-inducer AED in monotherapy and polytherapy manner.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Mediciani
Abstrak :
ABSTRAK Epilepsi lobus temporal mesial adalah sindrom epilepsi yang banyak diderita oleh dewasa yang sering mengalami refrakter dalam pengobatan. Atrofi hipokampus yang terlihat melalui MRI kepala dapat ditemukan sebanyak 87% pada pasien epilepsi lobus temporal mesial dan memiliki respon yang baik dengan operasi epilepsi. Salah satu syarat operasi epilepsi adalah EEG monitoring untuk mencari EEG iktal untuk mencari fokus epileptik, walaupun sudah didapatkan adanya gelombang interiktal sebelumnya. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan dan kesesuaian antara abnormalitas gelombang EEG dengan sisi atrofi hipokampus dan untuk mengetahui prevalensi atrofi hipokampus pada epilepsi lobus temporal mesial. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 37 subyek epilepsi lobus temporal mesial, yang terbukti secara klinis dan EEG. Dilakukan pemeriksaan MRI kepala 1,5T untuk melihat ada atau tidaknya atrofi hipokampus secara visual. Kemudian dibandingkan antara abnormalitas gelombang EEG interiktal dengan sisi atrofi hipokampus. Onset usia bangkitan, frekuensi bangkitan, riwayat kejang demam, lama menderita epilepsi dan penggunaan obat entiepilepsi dianalisis sebagai data demografi klinis. Hasil: Prevalensi atrofi hipokampus sebesar 64,8% dengan 64,8% subyek ditemukan gambaran EEG berupa gelombang epileptiform dan 45,8% gelombang lambat. Didapatkan kesesuaian yang kuat antara lateralisasi EEG interiktal, yaitu gelombang epileptiform, dengan MRI (p 0,000; nilai kappa 1,00) dan didapatkan keseuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan atrofi hipokampus (p 0,500; nilai kappa 0,689, p 0,008). Simpulan: Pada penelitian ini, didapatkan keseuaian yang kuat antara lateralisasi gelombang epileptiform dengan sisi atrofi hipokampus dan kesesuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan sisi atrofi hipokampus.
ABSTRACT Mesial temporal lobe epilepsy (mTLE) is the most common epilepsy syndrome in adults and often refractory in medical treatment. The Magnetic resonance imaging (MRI) showed hippocampal atrophy present in 87% patients with mesial temporal lobe epilepsy and have good respons with surgery. EEG monitoring is needed to find ictal EEG although interictal EEG already obtained as one of the requirements of epilepsy surgery for localize the epileptic region. Objective: To investigate the concordance between abnormalities EEG and side of hippocampal atrophy in patients with mesial temporal lobe epilepsy. To determine prevalance of hippocampal atrophy. Methods: We reviewed 37 consecutive patients with mesial temporal lobe epilepsy defined by clinical and EEG criteria and had 1,5T MRI visually analyzed by radiologist. We compared the interictal EEG and side of hippocampal atrophy. Age of seizure onset, seizure frequency, history of febrile seizure, antiepileptic drug and duration of epilepsy were analyzed as clinical demographic data. Results: The prevalence hippocampal atrophy was 64,8%. With 64,8% had epileptiform discharge and 45,8% had slow wave associated with hippocampal atrophy. There was significant concordance between MRI lateralization and interictal EEG (p 0,000, Kappa value 1,00). There was weak concordance between hippocampal atrophy and focal slow wave (p 0,500; Kappa value 0,689, p 0,008). Conclusions: We found strong concordance between MRI lateralization and interictal EEG in patients with mTLE and weak concordance between hippocampal atrophy and interictal slow wave.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Putri Bestari
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Status epileptikus non konvulsivus SENK merupakan salah satu diagnosis banding pasien dengan penurunan kesadaran termasuk pada ensefalopati metabolik EM . Luaran pasien EM dengan SENK masih belum banyak diteliti.Metode penelitian: Penelitian ini bersifat observasional dengan disain potong lintang terhadap pasien EM dengan gambaran elektroensefalogram EEG SENK berdasarkan kriteria Salzburg yang dirawat di ruang emergensi, ruang rawat intensif, dan ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunksumo pada bulan Juli 2016-Juli 2017. Pasien dilakukan pencatatan, pemeriksaan EEG, dan observasi hingga akhir perawatan atau 30 hari perawatan. Luaran dinilai dalam mortalitas dan status fungsional dalam modified Rankin scale mRS yang dibagi menjadi baik mRS 0-2 dan buruk 3-5 . Analisa bivariat dilakukan untuk mencari faktor demografis, klinis, dan elektrografis yang berpotensi mempengaruhi luaran.Hasil: Dari total 32 subjek penelitian, didapatkan mortalitas sebesar 40,6 . Dari 19 subjek hidup, 84,2 memiliki status fungsional buruk. Pada subjek yang meninggal, 84,6 memiliki latar belakang teta, 100 tidak responsif terhadap suara, 92,3 tidak responsif terhadap nyeri, dan 76,9 memiliki gambaran aktivitas delta/teta ritmik dengan frekuensi >0,5Hz. Sepsis dan jumlah etiologi penurunan kesadaran memiliki berpotensi mempengaruhi luaran subjek p0,5Hz. Sepsis dan jumlah etiologi berpotensi mempengaruhi luaran.Kata kunci: luaran; mortalitas; status fungsional; ensefalopati metabolik; status epileptikus non konvulsivus
ABSTRACT
Background Nonconvulsive status epilepticus NCSE is one of the important differential diagnoses in patients with altered consciousness including metabolic encephalopathy ME . The outcome of ME patients with NCSE has not been studied extensively.Method This is an observational cross sectional study in ME patients with NCSE based on EEG findings that fulfilled the Salzburg criteria treated in the emergency, intensive care, and inpatient units of Cipto Mangunkusumo hospital in July 2016 July 2017. Subjects underwent documentation, EEG recording, and observation until discharge or 30 days of treatment. Outcome was measured in mortality and functional status in modified Rankin scale divided into favorable mRS 0 2 and poor mRS 3 5 . Bivariate analysis was done to find the potential demographic, clinical, and electrographic factors to influence outcome.Result Out of total 32 subjects, the mortality rate was 40.6 . From 19 survivors, 84,2 had poor functional status. In fatal subjects, 84.6 had theta background rhythm, 100 unresponsive to sound, 92.3 unresponsive to pain, and 76.9 had rhythmic delta theta activity 0.5Hz. Sepsis and the number of etiologies causing altered consciousness had the potential to influence outcome p0.5Hz. Sepsis and the number of etiologies had the potential to influence outcome.Keywords mortality functional status metabolic encephalopathy nonconvulsive status epilepticus
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library