Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imelda Masrin
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
"Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit.
Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler.
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921.
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk.
Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr.
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nastiti Rahajeng
"Tujuan: Mengetahui kesintasan hidup, respon pengobatan dan faktor yang mungkin mempengaruhi dalam penanganan karsinoma nasofaring stadium lokal lanjut.
Metode: Dilakukan penelitian retrospektif deskriptif analitik terhadap 391 pasien karsinoma nasofaring stadium lokal lanjut yang berobat di Departemen Radioterapi RSCM periode Januari 2007-Desember 2011, dilihat karakteristik pasien maupun tumor. Analisis kesintasan dihitung dengan kurva Kaplan Meier dan respon radiasi dianalisa menggunakan uji korelasi Spearman pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Didapatkan 70.6% pasien adalah laki laki, median usia 45 (9-86) tahun. Sebagian besar stadium IVB (32,7%) dengan tipe histopatologis WHO III paling dominan (82,4%) Kesintasan hidup 3 dan 5 tahun untuk masing-masing stadium IIB, III, IVA, IVB berturut-turut adalah 64,9%, 57,6%, 47,4%, 48,0% dan 64,9%, 43,2%, 34,3%, 26,6%. Sedangkan respon komplit untuk masing-masing stadium IIB, III, IVA, IVB berturut-turut 83,3%, 73,3%, 52,6%, 45,8%. Terdapat korelasi bermakna antara respon radiasi dengan stadium (r=0,242;p=0,038) dan antara respon radiasi dan kesintasan hidup (r=-0,251;p=0,031).

Purpose: To show the overall survival rate, radiation response and factors influenced on locally advanced nasopahryngeal cancer.
Method: Retrospective analytic descriptive study of 391 newly diagnosed locally advanced nasopharyngeal cancer patients from January 2007 till December 2011, to show their characteristics. Overall survival rate were analyzed by Kaplan Meier Survival curve and the radiation response correlation with other factors were analyzed by Spearman correlation test.
Result: Most of the subjects are male (70.6%), with median age 45 (9-86) years old. Mainly on stage IVB (32,79%) with the most hystopalogic was type III WHO (82,4%). All of the subjects were analyzed for 3 and 5 years overall survival, resulted for stage IIB, III, IVA, IVB were 64,9%, 57,6%, 47,4%, 48,0% dan 64,9%, 43,2%, 34,3%, 26,6% respectively. Complete respons for stage IIB, III, IVA, IVB were 83,3%, 73,3%, 52,6%, 45,8%, respectively. There were significant correlation between radiation response and cancer stadium (r=0,242;p=0,038) and between radiation response with overall survival rate (r=-0,251;p=0,031).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Suryati
"Latar belakang. Karsinoma nasofaring merupakan penyakit yang masih menempati urutan tertinggi di negara berkembang seperti Indonesia. Kasus baru karsinoma nasofaring di poli Onkologi THT RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2014 sebanyak 164 kasus, dan pada tahun 2015 sekitar 142 kasus, namun sayangnya hampir seluruh kasus sudah datang pada stadium lanjut. Keberhasilan terapi karsinoma nasofaring sangat ditentukan oleh stadium saat pasien terdiagnosis, sehingga sangat penting mendiagnosis KNF sedini mungkin. Narrrow band imaging merupakan alat endoskopi dengan sistem pencahayan yang dapat meningkatkan visualisasi pembuluh darah tumor ganas yang mengenai epitel mukosa.
Tujuan. NBI diharapkan dapat membantu para klinisi untuk menilai lesi ganas atau tidak sehingga perlu diketahui nilai sensitifitas dan spesifisitas NBI.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang berupa uji diagnostik yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Terpadu THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo Januari-Juni 2016 dengan melibatkan 56 subjek. Subjek dengan kecurigaan karsinoma nasofaring dan ditemukan massa nasofaring berdasarkan pemeriksaan fisik atau pencitraan akan dimasukkan sebagai subjek dan dilakukan pemeriksaan NBI dan dilakukan biopsi lokal.
Hasil. Berdasarkan penelitian ini dapat dibuat kesimpulan bahwa NBI dapat digunakan sebagai alat penapisan karsinoma nasofaring dengan nilai sensitifitas yang tinggi (100%) walaupun nilai spesifisitasnya rendah (6,7%).

Background. Nasopharyngeal carcinoma is a disease with the highest rank in developing countries like Indonesia. New cases of nasopharyngeal carcinoma in ENT Oncology outpatient clinic Cipto Mangunkusumo hospital in 2014 was 164 cases, and in 2015 around 142 cases, but unfortunately almost all cases has come at an advanced stage. The success of nasopharyngeal carcinoma treatment is largely determined by the stage when patients are diagnosed, it is important to diagnose NPC as early as possible. Narrow band imaging (NBI) is an endoscopic instrument with a light system that can improve the visualization of blood vessels on the mucosal epithelium malignant tumors.
Aim. NBI is expected to help clinicians to assess whether a lesion is malignant or not, it is important to know the value of sensitivity and specificity.
Methode. This study is a cross-sectional form of a diagnostic test which was performed in the Outpatient Clinic ENT-Head and Neck Surgery Department Cipto Mangunkusumo Hospital from January to June 2016, where 56 subjects were involved. Subjects with nasopharyngeal mass discovered by physical examination or imaging and suspected nasopharyngeal carcinoma will be included as a subject and NBI examination and biopsy was performed locally.
Result. Based on this research, NBI could be used as a screening tool for nasopharyngeal carcinoma with high sensitivity (100%) though with low specificity result (6,7%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library