Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sembiring, Sri Alem Br.
Abstrak :
Kegiatan praktik tanam campuran yang dilakukan petani di Gurusinga memperlihatkan adanya pilihan jenis tanaman yang berbeda-beda di antara petani. Perbedaan pilihan itu terjadi dari satu waktu tanam ke beberapa waktu tanam berikutnya. Beberapa petani ini cenderung melakukan percampuran tanaman dalam bentuk pola tanam yang berbeda, yaitu campur-campur, tumpang tindih, tua-muda, sada-sada dan ragi-agi. Mengapa petani cenderung memilih jenis tanaman yang berbeda dari satu waktu tanam ke waktu tanam berikutnya?

Kajian ini berusaha membahas pilihan petani yang berbeda-beda atas jenis tanaman tersebut dengan menjelaskan bagaimana petani mengambil suatu keputusan untuk memilih jenis tanaman dan faktor-faktor apa yang mendasari pilihan petani tersebut. Penelitian di lapangan selama berkisar enam bulan (Juli - Desember 1999) dapat dimanfaatkan untuk mengamati dua periode waktu tanam dan panen dari satu jenis tanaman petani. Penulis menyadari bahwa dua waktu tanam yang diamati adalah merupakan periode singkat dari suatu periode panjang dalam pengalaman petani dengan beragam peristiwa khusus yang mereka alami. Namun, dari dua periode singkat ini, petani juga harus mengambil keputusan untuk memilih beberapa jenis tanaman yang harus ditanam untuk menggantikan beberapa tanaman lain yang telah siap panen.

Dengan menggunakan analisis pengambilan keputusan, kajian ini sampai pada suatu pemahaman bahwa pilihan jenis tanaman yang berbeda-beda di antara beberapa petani dalam dua waktu tanam itu terkait erat dengan harapan-harapan mereka atas pilihan tersebut. Harapan-harapan tertentu akan memberikan prioritas-prioritas pada beberapa pertimbangan tertentu. Dengan harapan yang berbeda atau sama atau juga prioritas pada pertimbangan yang berbeda atau pada pertimbangan yang sama, beberapa pilihan jenis tanaman petani dapat menjadi berbeda [dan beberapa pilihan mereka juga dapat menjadi sama]. Prioritas pada beberapa pertimbangan tertentu tersebut akan diputuskan petani dengan proses evaluasi yang cenderung sama, yaitu setelah mereka mengevaluasi pengalaman dan perkembangan kondisi baru yang berhubungan dengan faktor-faktor produksi, harga, distribusi, keputusan petani lain, hubungan dengan orang lain, dan penilaian mereka atas tinggi rendahnya tingkat ketidakpastian yang mereka hadapi. Hasil evaluasi tersebut adalah keputusan 'judi' dan keputusan hati-hati.

Keputusan 'judi' yang diambil sangat singkat sebelum penanaman akan dipilih petani dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat dan cenderung mengabaikan resiko kerugian 'putus modal'. Pola tanam yang cenderung dikembangkan adalah sada-sada (rotasi) atau ragi-agi (bertingkat). Keputusan hati-hati dan yang selalu mengalamai penyesuaian secara terus-menerus dengan perkembangan kondisi baru akan dipilih petani dengan harapan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang petani dan memperhitungkan resiko dan pertimbangan lainnya dengan lebih cermat. Pola tanam yang cenderung dikembangkan adalah campur-campur, tumpang tindih dan tua muda.

Dengan pertimbangan tertentu., beberapa petani akan memilih melakukan dua jenis keputusan ini secara bersamaan dalam waktu tanam yang sama atau pada waktu tanam berikutnya. Perkembangan kondisi baru yang serba tidak pasti cenderung membuat petani melakukan evaluasi dalam setiap waktu tanam untuk memilih jenis tanaman yang akan ditanam. Percampuran tanaman yang 'biasa' mereka lakukan juga `ditampilkan' atas dasar evaluasi pengalaman dan perkembangan kondisi baru. Hasil penelitan ini juga menunjukkan bahwa jenis keputusan apa pun yang dipilih petani, maka pertimbangan hubungan sosial, pinjam-meminjam, dan informasi baru cenderung menentukan keputusan akhir mereka, apakah akan mengganti jenis tanaman pilihan atau hanya mengurangi banyaknya jumlah yang akan ditanam dari beberapa pilihan tanaman tersebut. Hubungan-hubungan tersebut dapat merupakan hubungan dengan keluarga inti, keluarga luas, petani lain di luar lingkungan kerabat, dan dengan orang lain. Pertimbangan-pertimbangan petani ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan petani tidak terlepas dari lingkungan sosial dan budaya mereka.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gaudentius Simon Devung
Abstrak :
Penelitian yang diadakan untuk penulisan tesis ini bertujuan mengungkapkan : mengapa pranata tradisional bisa berlaku atau tidak berlaku dalam praktik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan tertentu, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat komunitas, sebagaimana terlihat di daerah Sungai Bahau, pada komunitas di Long Tebulo dan Long Uli. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan kontekstual. Data diperoleh dengan teknik : dokumentasi, wawancara (perorangan maupun kelompok), dan observasi (tanpa partisipasi dan dengan partisipasi). Untuk analisis digunakan struktur penjelasan kausal (structure of causal explanation) dari Sayer {1984). Hasi1 penelitian menunjukkan bahwa fenomena kesesuaian antara praktik dan pranata lebih banyak terjadi dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan untuk keperluan subsistensi. Sedangkan fenomena ketidaksesuaian lebih banyak terlihat dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan komersial. Kedua fenomena tersebut ternyata berkaitan erat dengan kondisi kesalingtergantungan antar warga, pengaruh kelompok terhadap individu, transparansi kegiatan serta sifat kontrol dalam masing-masing kegiatan. Kondisi kesalingtergantungan antar warga, pengaruh kelompok terhadap individu, transparansi kegiatan serta sifat kontrol dalam masing-masing kegiatan dipengaruhi oleh mekanisme kerja sama dan pengaturan bersama dalam konteks sosial produksi, serta saling bantu dan saling bagi hasil dalam konteks sosial konsumsi hasil hutan. Adanya mekanisme tersebut dipengaruhi oleh salah satu atau kombinasi dari beberapa faktor situasional : keadaan lingkungan, karakteristik sumber daya hutan, keadaan penduduk, keadaan ekonomi, organisasi social dan kepemimpinan lokal, sistem produksi (pemanfaatan sumber daya hutan yang bersangkutan), keadaan teknologi dan hubungan dengan aktor lain di luar warga komunitas, dengan porsi dan intensitas yang berbeda dalam masing-masing kegiatan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursamsiah Asharini
Abstrak :
Hingga saat ini Pemerintah masih mengganggap pendidikan merupakan wahana penting untuk memajukan bangsa, terutama pendidikan di sekolah.Pendidikan sekolah dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan. Oleh sebab itu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di pendidikan dasar akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar di jenjang pendidikan berikutnya. Semenjak Pemerintahan Orde Baru telah terjadi penyempurnaan kurikulum sebanyak tiga kali. Penyempurnaan tersebut dilakukan dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, agar tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan dapat terlaksana. Adapun acuan pembangunan pendidikan adalah Garis-garis Besar Haluan Negara. Walaupun perbaikan kurikulum terus menerus dilakukan, namun ternyata hingga akhir tahun 1980'an sampai awal 1990'an diberbagai kalangan dalam masyarakat maupun pemerintah sekolah dianggap masih belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Desakan terhadap perbaikan penyelenggaraan pendidikan semakin dianggap kritis karena pada tahun 1994 akan dimulai Pembangunan Jangka Panjang II yang diharapkan akan membawa bangsa Indonesia pada masa Industrialisasi. Penelitian ini dilakukan untuk dapat membantu Pemerintah melihat permasalahan pada penyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar. Mengingat bahwa selama ini Pemerintah telah melaksanakan perbaikan secara terus menerus terhadap kurikulum yang berlaku, maka diasumsikan bahwa pelaksanaan kurikulum lah yang masih belum tepat. Oleh sebab itulah-penelitian ini dipusatkan pada pelaksanaan kurikulum yakni kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar Guru melakukan merubah pikiran, perilaku serta perasaan murid; sedangkan murid melalui pengalaman yang diperolehnya merubah dirinya. Sebagaimana kegiatan belajar mengajar telah didefinisikan di' atas, jelaslah bahwa pendidikan di sekolah tidak semata melalui instruksi-instruksi formal tetapi juga melalui interaksi yang berlangsung selama di sekolah. Selama interaksi berlangsung murid mempelajari aturan-aturan bertingkahlaku yang tepat yang diasumsikan merupakan aturan tingkahlaku yang tepat bilamana mereka menjalankan perannya kelak dalam masyarakat. Penelitian terhadap interaksi Guru dan Murid selama di sekolah menunjukkan bahwa aturan interaksi yang berlaku tidak mendukung tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana tercantum dalam GBHN, yakni terbentuknya sikap mandiri, tangguh, kreatif berdisiplin, beretos kerja, dan bertanggung jawab. Di sekolah murid tidak didorong untuk mengembangkan kegiatannya sendiri, waktunya sendiri, maupun menyampaikan buah terhadapsuatu permasalahan.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Anggarani Purbaningtyas
Abstrak :
Konflik atas sumber daya hutan terjadi secara meluas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena implementasi kebijakan pemerintah yang membatasi akses warga kampung hutan untuk ikut serta mengelola hutan sekaligus mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Konflik yang diuraikan ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari konflik secara keseluruhan yang dihadapi warga kampung hutan dalam kehidupan mereka. Dengan melihat konflik sebagai suatu proses rangkaian kejadian dimana masing-masing pihak yang berkonflik berusaha memenangkan kepentingan masing-masing dengan pilihan Cara masing-masing, kajian ini mengupas pilihan pranata yang diambil oleh warga kampung hutan dalam mekanisme penanganan konflik yang mereka hadapi, termasuk konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat dirumuskan seagai kemanan dan kenyamanan pihak yang terlibat dalam menangani konflik dengan tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai tujuannya. Kajian mengenai konflik ini didasarkan pada sejumlah kasus konflik yang ditemukan pada saat penelitian lapangan dan kemudian dituliskan kembali dalam bentuk ilustrasi rangkaian kejadian konflik dengan satu konteks tertentu. Konflik yang disajikan berupa konflik yang berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan baik di areal warga maupun di kawasan hutan negara, konflik seputar renovasi masjid Al - Iman di Kampung Baru, konflik pengelolaan kawasan hutan berupa peremajaan kopi dan pengarangan dalam kawasan hutan negara dan konflik-konflik pencurian. Dari kajian ini ditemukan bahwa warga kampung hutan mendasarkan pilihan pranata berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendasar adalah ketersediaan pranata dalam masyarakat setempat. Dari pranata-pranata tersebut, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memilih lebih dari satu pranata dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan posisi mereka dan tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada kondisi dimana aturan dan mekanisme penanganan konflik tidak tersedia, warga kampung, dengan dibantu oleh pihak luar ataupun tidak, mampu menciptakan pranata baru melalui musyawarah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan. Kehadiran pihak luar sebagai pihak yang menyadarkan para. pihak yang berkonflik dan menggerakkan para pihak itu untuk bersama-sama menangani konflik, sekaligus menjadi teman belajar bersama untuk menemukan suatu bentuk pranata yang sesuai untuk menangani konflik yang terjadi dapat mempercepat proses pembangunan pranata ini. Berdasarkan hasil dari kajian ini, dapat diambil suatu pemahaman baru mengenai konflik masyarakat kampung hutan. Pada umumnya, konflik yang terjadi pada masyarakat kampung hutan terjadi karena adanya ketidaksepahaman yang dibiarkan berlanjut dan diejawantahkan dalam sikap terbuka atau terselubung dalam berbagai arena social. Oleh karena itu, walaupun konflik yang terjadi tidak serta merta dapat difragmentasi sebagai konflik kehutanan atau non-kehutanan. Dengan melihat konflik masyarakat kampung hutan sebagai suatu kesatuan, dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa ternyata, konflik warga kampung hutan dengan pihak Dinas Kehutanan sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan lahan dalam kawasan hutan negara hanya merupakan satu bagian kecil dari satu konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kampung hutan. Upaya untuk mencegah dan menangani konflik yang terjadi Dapat dilakukan secara efektif jika masyarakat memiliki pranata yang kuat sebagai tempat mereka berpaling dan bersandar. Keberadaan pranata yang kuat juga dapat menjadi sarana komunikasi antara warga dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan bagian dari pranata ini dengan cara menyederhanakan proses dan bahasa aturan tersebut. Kiranya, inilah cara yang paling efektif yang dapat dilakukan untuk proses sosialisasi peraturan dan kebijakan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi Hamdat
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai rumah tangga sebagai unit produksi dengan mengetengahkan kasus usaha pertenunan tradisional (gedongan) di Kabupaten Wajo. Usaha pertenunan gedongan. di Kabupaten Wajo adalah merupakan usaha rumah tangga yang dikelola secara tradisional. Kegiatan menenun ini umumnya dilakukan oleh kaum wanita, dan mereka adalah penenun secara turun-temurun. Unit usaha dikelola dalam rumah tangga sehingga hal ini sangat berperan dalam proses sosialisasi dan alih keterampilan bagi anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Dalam pengertian bahwa rumah tangga penenun'tidak hanya berfungsi sosial tetapi jugs membawakan, fungsi ekonomi. Penenun-penenun tradisional di Wajo sejak dins telah membiasakan anak-anak mereka mengenal peralatan tenun yang digunakan, untuk selanjutnya memahami kegunaan dari tiap-tiap peralatan tersebut. Kebiasaan ini pada akhirnya akan mendorong anak-anak turut berpartisipasi dalam kegiatan bertenun.

Kemampuan bertahan usaha rumah tangga tenun gedongan di Kabupaten Wajo turut ditentukan oleh organisasi sosial seperti kekerabatan dan hubungan-hubungan patron-klien.Dalam usaha ini telah terbentuk hubungan kerja antar kerabat yang memiliki arti ekonomi dan relevansi penting bagi bertahannya usaha rumah tangga tersebut.

Hubungan patron-klien yang dikenal dalam masyarakat Wajo sebagai hubungan Ponggawa-sawi, di mana posisi seorang Ponggawa dimungkinkan karena ia memiliki kekuatan .ekonomi dan bertindak sebagai pemodal bagi sejumlah sawi. Dengan demikian bagi sejumlah penenun yang kekurangan modal usaha, maka menjalin hubungan kerja dengan seorang patron merupakan salah satu alternatif pilihan.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Miko
Abstrak :
ABSTRAK Kebertahanan suatu praktek sosial dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai pencerminan kebermaknaan tindakan sosial tersebut bagi komunitasnya. Tabuik Piaman merupakan salah satu dari sejumlah khazanah ritual dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian, ia tidak menjadi kekhasan bagi masyarakat Minangkabau umumnya, melainkan hanya bagi komunitas terbatas di daerah Pariaman. Margaret Kartomi (1986) menamakan tipe ritual tabuik ini sebagai ritual ala Perso -Indian. Penamaan ini berkaitan dengan anggapan bahwa muasal tabuik di Pariaman merupakan produk difusi yang bermula dari persentuhan kultural antara kebudayaan Persia dengan India, untuk kemudian India dengan Indonesia. Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial dapat dipandang sebagai kesatuan struktural yang terdiri dari unsur mitos, ritual dan komunitas pendukungnya. Hakikat mitos dipandang merupakan representase dari sistem pengetahuan dan keyakinan komunitas, sedangkan ritual merupakan tindakan simbolik yang memperlihatkan cara bagaimana komunitas mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai pendukung suatu kebudayaan, komunitas adalah subyek penerima, pemaham mitos serta petindak ritual. Bagaimana terbentuk signifikansi kesalingterkaitan antara cakrawala mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap unsur lain di luar sistem mitos merupakan soal yang ditelusuri. Perwujudan relasi struktural antara mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional tersebut dipandang merupakan pencerminan dari perubahan sosiokultural masyarakat. Melalui studi kasus ritual tabuik di Pariaman, ditemukan pandangan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual, di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam suatu kekhasan, di lain pihak. Kekhasan struktur ritual itu sendiri merupakan manifestasi dari orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional yang menjadi bagian dari lingkungan sosial masyarakat. dengan kata lain, cakrawala tabuik adalah perwujudan yang khas dari perpaduan cakrawala mitos dan ritual serta sikap kultural komunitas terhadap khazanah tradisional dan suasana-suasana nasional di Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Muladi
Abstrak :
Masyarakat ada dalam dunia sosial yang kemudian menghasilkan produk sosial; salah satunya adalah ruang. Ruang seringkali diartikan sebagai sesuatu dimana kita dapat bergerak di dalamnya, atau secara konseptual diartikan sebagai tempat dimana tindakan-tindakan dilakukan. Dalam konteks tersebut, keragaman kebutuhan masyarakat akan sangat mendorong lahirnya konsep pemanfaatan ruang, termasuk ruang publik. Ruang publik didefinisikan sebagai tempat yang responsif, demokratis dan penuh makna dimana kepentingan penggunanya dilindungi. Ruang publik dapat diakses oleh berbagai kelompok untuk tindakan-tindakan bukan hanya yang bersifat bebas namun juga untuk klaim penguasaan yang temporer. Sebuah ruang publik dapat berupa ruang dimana setiap orang dapat bertindak secara Iebih bebas. Konsekuensinya, ruang publik dapat diubah oleh tindakan publik karena ruang publik dimiliki oleh semua orang. Ruang publik tersebut di atas, kemudian berubah menjadi ruang kuasi-publik (ruang publik semu) oleh mereka yang menginginkan akses tak terbatas, dan rentan dengan interpretasi negara akibat berbagai peraturan yang dilekatkan di dalamnya. Negara yang dianggap sebagai moderator penciptaan ruang-ruang publik, kemudian dengan representasi dari ?kepublikan' mempunyai peranan dan porsi besar di dalam bentuk kekuasaan. Ia memegang legitimasi kekuasaan yang besar melalui kelegalan, hukum dan perundangan. Kekuasaan negara yang dijalankan dengan mengatasnamakan yang "pubIik" tersebut tidak lain adalah "privat" alias merepresentasikan kemenangan sebuah kepentingan. Studi dilakukan di Hutan Kota Srengseng, kelurahan Srengseng, kecamatan Kembangan, Jakarta Barat sebagai salah satu Ruang Terbuka Publik yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur No. 202 tahun 1995. Metode yang diterapkan dalam Studi ini adalah metode kualitatif dengan pengamatan dan wawancara mendalam. Studi berisi gambaran tentang pemanfatan Hutan Kota oleh berbagai peran di dalamnya dan berbagai relasi sosial dan kekuasaan yang dijalinnya baik oleh kelompok maupun individu. Studi bertujuan memperlihatkan adanya hubungan antara penguasaan dan pemanfaatan ruang publik dengan bentuk-bentuk relasi sosial dan kekuasaan yang dibangun. Temuan dalam studi ini adalah bahwa relasi-relasi sosial dan kekuasaan ditandai dengan adanya hubungan kekuatan (sosial dan ekonomi) yang bertujuan pada pembentukan situasi yang dianggap strategis demi tujuan-tujuan berbagai peran yang rnemanfaatkan ruang publik. Relasi-relasi tersebut mendorong terjadinya perubahan gagasan secara terus menerus berhubungan dengan ketentuan: apa yang boleh, apa yang tidak boleh; apa yang dianjurkan dan apa yang ditentang. Pembahan yang terus menerus tersebut berkaitan dengan berkembangnya konflik-konflik, negosiasi-negosiasi dan teknik-teknik untuk menjaga dan meningkatkan posisi sosial berbagai peran, mulai dari cara-cara psikologis hingga melakukan kekerasan lewat intervensi material terhadap ruang kehidupan peran lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena Negara dengan Kekuasaannya yang besar sekaligus lemah dalam pelaksanaan peraturan akibat mengemukanya kepentingan pribadi aparat negara.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinulingga, Efendi
Abstrak :
Sumberdaya hutan memiliki peranan yang strategis dalam memberikan kontribusi yang nyata bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat. Dalam mengatasi kerusakan hutan dan berbagai konflik yang terjadi sejak tahun 1990 sampai dengan Tahun 2004 berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk pengelolaan sumber daya hutan yang menjadikan hutan berfungsi secara ekologis, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah SK Menteri Kehutanan Nomor 1 31/Kpts-11/2001 yang menetapkan bahwa pengelolaan hutan dilakukan dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang berbasis kepada pemberdayaan masyarakat. Dari kebijakan HKm ini berkembang wacana kebijakan Social Forestry yang dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnopoetri pada bulan Juli 2003 di Kelurahan Petuk Bukit. Kebijakan Social Forestry dimaksudkan untuk mengelola sumberdaya hutan pada Areal Kerja Social Forestry (AKSF) dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku dan mitra datam pengelolaan hutan.

Pengelolaan AKSF seluas 3.450 hektar di Kelurahan Petuk Bukit sebagai wilayah pengembangan Social Forestry pertama di Indonesia dirumuskan dalam Rancangan Teknis Social Forestry (RTSF) oleh masyarakat sekitar hutan sebagai pelaku dan mitra didampingi oleh fasilitator untuk mewujudkan sistim usaha kehutanan yang berdaya saing dengan prinsip-prinsip, rambu-rambu dengan strategi kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha.

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Sociai Forestry dilaksanakan di Keturahan Petuk Bukit yang dilihat dari tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaan penetitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif untuk menggambarkan keadaan riil di Iapangan berdasarkan dukungan fakta dan informasi yang diperoleh melalui teknik pengumpuian data studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan. Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling dengan cara snowball. Informan yang ditetapkan dalam penelitian ini melibatkan aparat dari dinas/ instansi terkait, fasilitator, LSM dan KUP. 

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan persiapan Program Social Forestry di Kelurahan Petuk Bukit tetah dilakukan sejak tahun 2002 yang diinisiasi oleh Yayasan Padi didukung oleh pemerinlah daerah dan pemerintah pusat. Penentuan Iokasi AKSF tersebut ternyata tidak didahului dengan menyusun rencana teknik inventarisasi dan penatagunaan Iahan (zonasi) terlebih dahulu, yang kemudian baru diusulkan oleh masyarakat setempat. Sedangkan untuk mengatasi dampak dari penentuan lokasi AKSF tersebut yaitu adanya ketidakjelasan Program Social Forestry di Iapangan, Pokja Social Forestry telah mengadakan pendekatan dengan berbagai pihak, yaitu Yayasan Padi, masyarakat dan aparat pemerintah setempat.

Untuk melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka implementasi kebijakan Social Forestry di lapangan, telah diselenggarakan pelatihan fasilitator di Kelurahan Petuk Bukit. Pelatihan yang dilaksanakan dalam suasana kampung dimaksudkan agar peserta pelatihan tersebut dapat bersentuhan langsung dengan kehidupan nyata masyarakat sekitar hutan serta diharapkan dapat terbangunnya komunikasi yang baik antara birokrasi pemerintah dan masyarakat sekitar hutan.

Dari kelola kawasan hasil transect AKSF, jenis usaha yang cocok adalah Hutan Rakyat, Kebun Rakyat, Agroforestry, Silvofishery, dan Siivopasture. Sementara dalam pelaksanaan RTSF yang tertuang dalam Rencana Kerja Kelompok (RKK). diprioritaskan pada kegiatan kelola kelembagaan meliputi kegiatan pendampingan, studi banding, pendidikan dan latihan, serta kelola usaha dengan melakukan pembukaan Iahan. Di dalam kelola kelembagaan, pembentukan KUP di Kelurahan Petuk Bukit berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat sekitar hutan. Sementara kegiatan pendampingan kepada KUP dilakukan pada penanaman Aloe Vera, pendidikan dan latihan, dan studi banding ke Iuar daerah. Sedangkan kelola usaha dalam bentuk pembukaan lahan berupa pembangunan areal percontohan (demplot) seluas 60 ha di Kelurahan Petuk Bukit, ternyata belum dapat terealisasi. Kegiatan lain yang ada di kawasan AKSF Kelurahan Petuk Bukit adalah pembangunan demplot seluas 10 ha yang merupakan budidaya tanaman nilam dan karet yang masih dalam tahap pembersihan Iahan.

Dari hasil analisis pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan kegiatan, implementasi kebijakan Social Forestry di Keiurahan Petuk Bukit mendekati Model lmplementasi Kebijakan Van Meter dan Van Hom- Sementara beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan Social Forestryntersebut antara lain belum adanya kebijakan yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah sebagai pedoman dalam penyusunan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, kurangnya koordinasi antara dinas/ instansi terkait, sikap dan perilaku masyarakat yang belum menunjukkan perubahan ke arah kemandirian, kurangnya konsistensi dari petugas Iapangan dalam menindaklanjuti hasit kegiatan yang sudah direncanakan atau dijalankan sebelumnya.Beberapa saran yang dikemukakan untuk mengatasi kendala yang dihadapi antara Iain perlu keterbukaan antara aparat pemerintah di Iapangan dengan warga masyarakat, adanya konsistensi langkah dan tindakan yang diambil oieh aparat di Iapangan, perlu melakukan sosialisasi secara intensif dan terus-menerus kepada anggota KUP maupun masyarakat lainnya yang ada di sekitar AKSF dengan menggunakan metode penyampaian pesan yang sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah serta memberikan motivasi kepada anggota Pokja untuk mengalokasikan dana pelaksanaan kegiatan Social Forestry di Petuk Bukit.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mashudi
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji tentang perubahan sosial akibat pembangunan perkebunan sawit di Desa Sembuluh, Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan proses perubahan yang terjadi di tingkat masyarakat, yaitu bagaimana perubahan yang terjadi, dan bagaimana masyarakat merespon perubahan tersebut. Kerangka konsep yang digunakan adalah pembangunan dan perubahan sosial. Pembangunan bukanlah istilah yang netral. Antara para perencana pembangunan dan masyarakat lokal mempunyai persepsi yang berbeda. Pada proses pembangunan perkebunan sawit, terdapat sebagian masyarakat yang mendukung, dan sebagian lainnya menolak program tersebut. Konsep perubahan sosial dalam penelitian ini mengacu pada konsep perubahan sosial menurut Soemardjan (1981) dan Cohen (1983). Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosia!, pola tingkah laku antara kelompok dalam masyarakat, dan organisasi sosial masyarakat. Penyebab terjadinya perubahan sosial adalah adanya kontak antara masyarakat lokal dengan pihak luar yang memperkenalkan sesuatu yang baru, yang mana terdapat proses dinamis dari perubahan tersebut. Indikator yang digunakan untuk melihat perubahan sosial dalam penelitian ini adalah: pertama, mata pencaharian hidup masyarakat, yaitu perubahan sistem mata pencaharian hidup masyarakat dari pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan ketersediaan surnberdaya alam, menjadi buruh di perusahaan perkebunan sawit. Kedua, pengusaan lahan, yaitu perubahan dari pola penguasaan lahan komunal merijadi individual dan komersial. Ketiga, kepemimpinan lokal dan organisasi sosial, yaitu perubahan dari dari kepemimpinan kepala desa yang mewakili pemerintahan pusat menjadi kepemimpinan yang berperan ganda, yaitu mewakili pemerintahan pusat, dan mewakili masyarakat ketika berhubungan dengan perusahan perkebunan sawit.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T 21478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Djamal
Abstrak :
Penelitian ini bermaksud menggambarkan strategi dalam perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan Cagar Alam Gunung Simpang (CAGS). Kawasan hutan CAGS adalah kawasan konservasi yang mengalami tekanan dari penduduk sekitar kawasan berupa penebangan liar dan perambahan, yang mengakibatkan kerusakan hutan CAGS. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan diantaranya pasokan air berkurang dan munculnya isyu perebutan tanah. Pada gilirannya isyu-isyu tersebut telah memicu lahirnya konflik baik antar warga masyarakat maupun antara warga masyarakat dengan pihak pengelola kawasan CAGS (BKSDA). Dalam melihat hal tersebut, digunakan konsep adaptasi. Konsep ini mengasumsikan bahwa baik individu maupun masyarakat akan mengembangkan berbagai strategi untuk mengadaptasi berbagai persoalan yang dihadapi. Sedangkan untuk mendapatkan informasi tentang persoalan tersebut, dilakukan beberapa metode dan teknik, diantaranya dengan melalui pengamatan dan wawancara mendalam, kepada informan.

Hasil studi ini menunjukkan, bahwa faktor yang mendorong maraknya penebangan liar dan perambahan diantaranya penegakan hukum yang lemah dari aparat berwenang dan mekanisme keterlibatan warga masyarakat yang tidak jelas dalam proses pengelolaan kawasan hutan. Akibatnya, praktik pemafaatan hutan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak terkendali, sehingga merusak dan menganggu ekosistem kawasan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, masyarakat mengembangkan strategi adaptasi. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan CAGS adalah dengan cara membuat aturan berikut dengan organisasi yang bertangung jawab untuk mengontrol aktifitas warga masyarakat dalam mernanfaatkan sumber daya hutan CAGS. Keberadaan aturan dalam bentuk perda (peraturan desa) dan lembaga lokal (Raksabumi) dapat dipandang sebagai bentuk keterlibatan warga masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian kawasan hutan CAGS.

Keberadaan institusi lokal, sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kawasan konservasi, telah mampu mengatasi persoalan lokai yang dihadapi oleh masyarakat, seperti pcnebangan liar, perambahan, dan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Hal tersebut salah satunya, dibuktikan dengan tidak ada aktivitas warga dalam bentuk penebangan liar dan perambahan sejak tahun 2003.

Kendatipun demikian, pembangunan dan pengembangan lembaga lokal harus diikuli dengan pembanguan dan pengembangan pada sektor yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan warga masyarakat melakul-can tekanan terhadap kawasan hutan, diantara faktor lain tersebut adalah kesejahteraan dan pendidikan. Oleh karena itu perlu ada upaya perlingkatan ekonomi dan pendidikan warga masyarakat sekitar kawasan CAGS. Karena bukan tidak mungkin, pada gilirannya, persoalan ekonomi dan tingkat pendidikan rendah akan memicu kembali warga masyarakat untuk melakukan aktifitas yang dapat merusak kawasan CAGS.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>