Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Maulydia Apple
Abstrak :
Agama memiliki peranan penting dalam sebuah keluarga, karenanya peran agama-dalam perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di dalam Islam menjadi hal penting dan sakral. Perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan yang non muslim dilarang oleh Islam begitu pula sebaliknya. Hal ini telah diatur dalam Q.S. 2:221 dan Q.S.60:10, dengan tegas menyatakan perkawinan beda agama hukumnya haram. Tetapi akibat adanya pandangan kontroversial yang dikemukakan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal tentang Islam, antara lain menyatakan bahwa perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non muslim dibolehkan sepanjang perempuan non muslim tersebut adalah ahli kitab(Q.S.5:5). Oleh karena itu belakangan ini banyak terjadi kawin beda agama di kalangan umat Islam, dan menimbulkan masalah yaitu bagaimana kawin beda agama dipandang baik menurut hukum Islam, hukum positip Indonesia dan pandangan aliran Islam Liberal serta apa akibat hukum terhadap suami istri yang melakukan kawin beda agama ini juga keturunannya. Tipe penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian hukum Normatif, yang bersifat deskriptif analitis. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara serta sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder baik dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier. Mengenai perbedaan pendapat mengenai masalah ini, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa yang isinya melarang kawin beda agama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa baik menurut hukum Islam maupun hukum positif Indonesia, suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu dari mereka yang melangsungkan perkawinan dan perkawinan tersebut dicatat baik di Kantor Urusan Agama (Muslim) ataupun di Kantor Catatan Sipil (Non Muslim) yang dibuktikan dengan adanya bukti otentik (Akta Nikah/Buku Nikah). Status perkawinan, kedudukan anak, harta bersama dan kewarisan yang timbul akibat perkawinan menjadi jelas bila perkawinan yang dilakukan itu bukan dengan pemeluk agama yang berbeda. Oleh karena itu kesamaan agama dalamsuatu perkawinan bisa dikatakan memegang peranan yang penting agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari dalam perkawinan tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gangsar Anangga Satria
Abstrak :
Notaris adalah seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta apa saja yang menjadi kewenangannya, termasuk di dalamnya kegiatan usaha yang dilakukan oleh koperasi. Koperasi berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian yang besar dari pemerintah. Perhatian ini terlihat dengan dikeluarkannya peraturan perundang ? undangan yang mengatur tentang koperasi. Pada saat ini UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi adalah Undang ? undang terbaru sampai saat ini yang mengatur tentang koperasi di Indonesia. Semakin banyaknya koperasi syariah saat ini yang tidak diikuti dengan regulasi yang mengaturnya menimbulkan ketidakjelasan akan cara menjalankan usaha koperasi yang Islami, serta tidak adanya regulasi yang mengatur secara jelas kedudukan dan peran notaris dalam kegiatan usaha koperasi menurut hukum Islam. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana bentuk koperasi yang sesuai dengan hukum Islam, bagaimana bentuk akad yang sesuai untuk perolehan dan penyaluran modal koperasi yang sesuai dengan hukum Perikatan Islam dan UU No. 25 Tahun 1992 serta kedudukan dan peran notaris dalam perolehan dan penyaluran modal koperasi menurut hukum Islam. Tesis ini selain menggunakan metode kepustakaan juga melakukan wawancara kepada notaris dan pengelola koperasi syariah sehingga didapatkan data yang akurat. Setelah dilakukan penelitian dapat disimpulkan bahwa bentuk koperasi yang sesuai menurut Islam adalah koperasi yang bebas dari riba dalam perolehan dan penyaluran modalnya, selain itu tidak semua akad pada koperasi menurut UU No 25 Tahun 1992 sesuai menurut hukum perikatan Islam, yang terakhir peran notaris dalam perolehan dan penyaluran modal koperasi sudah terlihat sejak pendirian koperasi hingga pada saat perolehan dan penyaluran modalnya. Saran yang dapat disampaikan adalah agar keberadaan koperasi syariah dapat diatur dalam peraturan perundang ? undangan sehingga terdapat kejelasan akan keberadaan koperasi syariah di Indonesia. Selain itu sebaiknya dikeluarkan regulasi atau fatwa berkaitan dengan peran notaris menurut hukum Islam. ......Notary is a public official who has the authority to make any deeds within his authority, including business activities conducted by Cooperative. Cooperative is developing rapidly and obtains a major attention from the government. Such attention is seen by the enactment of laws and regulations on Cooperative. At the present moment, Law No. 25 of 1992 on Cooperative is the newest law regulating Cooperative in Indonesia. The more numbers of Sharia Cooperatives at the current moment, which is not followed by the regulation on it, causes an uncertainty on means to conduct the activities of Sharia Cooperative and the absence of rules that regulate certain position and role of Notary in the business activity of Cooperative under Islamic Law. The problems in this thesis discuss the proper form of Cooperative in accordance with Islamic Law and form of agreement that is suitable for the acquisition and distribution of Cooperative's capital in accordance with Islamic Law on Agreement and Law No. 25 of 1992 as well as the position and role of notary in the acquisition and distribution of Cooperative's capital under Islamic Law. Aside from using literature methodology, this thesis is also based on interview with Notary and board of management of Sharia Cooperative so that an accurate data can be obtained. After the research was conducted, it can be concluded that the suitable form of Cooperative that is in accordance with Islamic Law is Cooperative that is free from usury in the acquisition and distribution of its capital. Besides, not agreements in Cooperative as set forth in Law No. 25 of 1992 are in accordance with Islamic Law on Agreement. Lastly, the role of notary in the acquisition and distribution of Cooperative's capital has been seen since the establishment of Cooperative until the acquisition and distribution of its capital. Advice that can be conveyed is for the existence of Sharia Cooperative to be regulated by laws and regulations so that there will be clarity on the existence of Sharia Cooperative in Indonesia. Aside from that, it is better to issue a regulation or decision related with role of notary under Islamic law.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37409
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rianto Fajar
Abstrak :
Hukum merupakan pondasi berdirinya sebuah negara, yang pengaturan dan pelaksanaanya memerlukan konsistensi yang baik sehingga aspek-aspek kehidupan yang lain dapat berjalan dengan baik pula. Salah satu aspek hukum yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia Indonesia adalah pengaturan hukum keluarga. Keluarga harmonis dan bahagia menjadi awal mula terciptanya sebuah masyarakat yang maju, sehingga akan menghasilkan sebuah negara dan bangsa yang kokoh dan kuat, baik lahir maupun batin untuk melaksanakan pembangunan. Maraknya perkawinan berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri oleh sesama Warga Negara Indonesia, menjadi salah satu persoalan penting untuk diselesaikan secara menyeluruh dan mendalam. Untuk menyiasati tidak diaturnya perkawinan berbeda agama di Indonesia, maka para pihak melangsungkan perkawinannya di luar negeri dengan asumsi bahwa mereka dapat menikah secara sah dan tanpa harus melakukan penundukan hukum kepada agama salah satu pihak. Peristiwa ini menjadi dilema tersendiri bagi penegakkan hukum di Indonesia karena Pasal 2 UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah jika dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya, sedangkan Pasal 56 UU tersebut menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri adalah sah jika dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan. Pasal 56 UU No. 1/1974 sejalan dengan Pasal 18 AB dan Pasal 16 AB. Perkawinan berbeda agama sesama WNI yang dilakukan di Luar Negeri mengandung unsur asing (foreign element) sebagai lingkup masalah Hukum Perdata Internasional (HPI) Indonesia. Aspek-aspek lain yang terkait dengan HPI Indonesia seperti permasalahan ketertiban umum dan penyelundupan hukum akan menjadi sebuah kajian yang menarik. Keabsahan perkawinan berbeda agama sesama WNI di Luar Negeri menyebabkan kelangsungan perkawinannya pun dipertanyakan menurut hukum positif di Indonesia. Pembahasan perkawinan berbeda agama sesama WNI yang dilakukan di Luar Negeri ini dikaji dan ditelaah dalam sudut pandang HPI Indonesia sebagai suatu hukum yang senantiasa hidup.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S21089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Akhadiat
Abstrak :
Skripsi berjudul "Ijab Kabul Perkawinan Melalui Teknologi Telekomunikasi Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan" ini berlatar belakang adanya praktek perkawinan Islam yang pada ijab kabul-nya dilakukan melalui teknologi telekomunikasi yaitu melalui telepon dan Video Teleconference, yang memicu perdebatan tentang keabsahannya secara hukum. Di Indonesia belum ada ketentuan khusus mengatur akan akad nikah melalui teknologi telekomunikasi. Pokok permasalahan yang dibahas adalah bagaimana pelaksanaan ijab kabul melalui teknologi telekomunikasi serta analisis mengenai keabsahan hukum perkawinan tersebut, disertai akibat hukumnya. Penelitian dilakukan penulis dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didahului dengan Penelitian Kepustakaan dan Penelitian Lapangan. Di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai pengertian, rukun dan syarat-syarat perkawinan, dan larangan perkawinan, yang terdapat dalam al-Qur?an dan as-Sunnah, ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Islam, serta ketentuan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian, akan dibahas pula gambaran umum mengenai teknologi telekomunikasi serta contoh kasus perkawinan yang menggunakan perangkat telekomunikasi. Pada bab terakhir, penulis memberi kesimpulan tentang proses akad perkawinan melalui teknologi telekomunikasi baik melalui telepon maupun melalui video teleconference. Kemudian terdapat dua pendapat hukum mengenai perkawinan tersebut, yaitu sah secara hukum dan tidak sah secara hukum. Penulis memberikan pendapatnya bahwa dari dua pendapat tersebut, penulis cenderung untuk mensahkan perkawinan tersebut karena telah memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penulis menyarankan bahwa perkawinan tersebut lebih baik tidak dilakukan kecuali dalam keadaan yang benar-benar darurat. Selain itu, pemerintah Indonesia harus segera membuat aturan yang tegas mengenai masalah ini atau adanya fatwa yang jelas dari Majelis Ulama Indonesia, agar dapat menjadi acuan bagi setiap muslim di Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliati
Abstrak :
Kematian seseorang dianggap sebagai sebab berlakunya hukum kewarisan yaitu jika ia meninggalkan sejumlah harta miliknya dan memiliki ahli waris. Mengenai ahli waris, terdapat suatu kemungkinan bahwa Pewaris meninggalkan cucu yaitu anak dari anaknya. Sedangkan anaknya sendiri yang menjadi. penghubung antara si Pewaris dengan cucunya tadi telah meninggal dunia terlebih dahulu dari Pewaris. Al-Qur' an tidak secara langsung menyebut anak dari anak dalam ayat-ayatnya untuk pemberian warisan kepada cucu, tapi menyebutnya dengan sistem penggantian yang berlaku juga bagi keturunan saudara dan tolan seperjanjian, selain pertama kali ditujukan kepada mawali dari anak. Demikianlah pendirian ajaran kewarisan bilateral Hazairin berdasarkan al-Qur' an surah a-Nisaa' ayat 33. Sedangkan ajaran kewarisan patrilineal Syafi'i mendasarkan kedudukan cucu kepada ajaran Zaid bin Tsabit, seorang ahli hukum kewarisan yang merupakan sahabat Rasulullah SAW. Cucu yang dimaksudkan di sini hanya berarti cucu yang melalui anak laki-laki yang dapat mewaris sebagaimana anak mewaris dan menghijab sebagaimana anak menghijab kalau tidak ada anak laki-laki. Dan di dalam Pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai ahli waris pengganti, tidak dibedakan apakah cucu itu laki-laki atau perempuan dan apakah melalui anak laki-laki atau perempuan. Namun di dalam ayat (2), terdapat suatu ketentuan bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20812
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnaningsih
Abstrak :
Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa "Semua perjanjian yang di buat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perj anjian menganut sistem terbuka. Maksudnya adalah setiap orang bebas untuk membuat perjanjian apa dan bagaimana juga, sepanjang pembuatannya di lakukan sesuai dengan undang-undang dan isi nya t1dak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan ketentuan ini dapat memungkinkan untuk menggunakan bentuk perjanjian menurut syariat Islam/akad. Dalam pelaksanaan akad dapat terjadi suatu sengketa antara para pihak yang membuat akad tersebut. Selain membawa sengketa tersebut kepengadilan, ada cara lain yang dapat dilakukan yaitu melalui lembaga arbitrase Islam penyelesaian sengketa dengan cara damai dimana para pihak sepakat agar perselisihan di antara mereka diperiksa dan di adili oleh hakim yang tidak memihak dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Keberadaan lembaga arbitrase Islam ini diakui di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ten tang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 14, yaitu tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Alasan dipilihnya penye lesaian sengketa melalui arbitrase Islam adalah karena proses yang cepat (putusan final dan binding), hemat biaya, putusannya lebih mudah dilaksanakan dibandingkan putusan pengadilan, bersifat rahasia (tertutup) dan yang paling penting adalah tidak ada satu pihak yang dikalahkan. Keberadaan lembaga arbitrase Islam adalah sangat penting dalam kehidupan bermuamalah dan perlu untuk membahas apa dan bagaimana lembaga arbitrase Islam tersebut dan kedudukannya dalam sistem hukum positif Indonesia serta melihat pelaksanaannya dalam kegiatan BAMUI menyelesaikan sengketa yang terjadi pada pelaksanaan perjanjian kredit/pembiayaan di Bank Muamalat Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervinia Ida Wahyuni
Abstrak :
Sertifikat Halal untuk produk makanan mutlak diperlukan di Indonesia di mana mayoritas penduduknya beragama Islam. Ketentuan Hukum Islam telah mengatur bahwa umat Islam diwajibkan untuk memakan makanan yang halal dan thayyib (baik). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam al Quran surat al Maidah ayat 88. Menurut al Quran surat al Baqarah ayat 173, makanan yang diharamkan terdiri dari bangkai, darah, daging babi dan hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Dengan demikian sangatlah sedikit makanan yang diharamkan oleh Allah swt. Penentuan kehalalan suabu produk makanan saat ini tidaklah sesederhana dahulu. Seiring dengan perkembangan teknologi khususnya di bidang pangan, bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat suatu produk menjadi bertambah. Tidak hanya bahan baku saja tetapi ada bahan makanan tambahan yang dimasukkan untuk menciptakan cita rasa yang diinginkan. Oleh karena itu, sebagai jaminan kehalalan terhadap produk makanan yang akan dikonsumsi masyarakat muslim, sertifikat halal sangat dibutuhkan. Adapun proses yang harus dilalui oleh produsen untuk mendapatkan sertifikat halal terdiri dari proses sebelum pengajuan sertifikat halal, proses pemeriksaan, dan proses setelah sertifikat halal dikeluarkan. Lembaga-lembaga yang terkait dalam penerbitan sertifikat halal adalah Departemen Agama, Departemen Kesehatan, dan Majelis Ulama Indonesia. Pemerintah Indonesia pun telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan makanan halal. Namun demikian, ada beberapa kasus yang terjadi sehubungan dengan penerbitan sertifikat halal antara lain kasus Ajinomoto, kasus monopoli MUI, kasus makanan impor, serta penggunaan sertifikat halal yang masih rendah. Hal ini menunjukkan ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam sertifikasi makanan halal di Indonesia antara lain sistem pengajuan sertifikat halal, standar sistem jaminan sertifikat halal yang berlaku secara nasional, pembenahan hukum dan pelaksanaannya serta penerapan sanksi yang lebih tegas.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S20878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mutmainah
Abstrak :
Perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat menjadikan jarak ribuan kilometer tidak lagi menjadi halangan untuk menikah. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut ketika ada pasangan yang menikah melalui media teleconference antara Inggris dan Cirebon. Kedua mempelai yang masih berada di Inggris dinikahkan oleh wali dari pihak mempelai perempuan yang tetap berada di Cirebon. Dengan demikian, wali mengucapkan ijabnya dari Cirebon, kemudian mempelai laki-laki menjawab kabulnya dari Inggris melalui media teleconference. Perkawinan melalui media teleconference ini adalah hal yang baru, hal yang perlu dikritisi apakah perkawinan yang dilakukan seperti itu telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan atau tidak. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan. Perkawinan dikatakan sah menurut hukum Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan, sedangkan menurut undang-undang perkawinan selain harus sesuai dengan hukum agamanya, perkawinan harus dicatatkan. Dilihat dari sudut hukum Islam perkawinan melalui teleconference adalah sah karena telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan. Fatwa MUI Kabupaten Cirebon juga telah menyatakan bahwa perkawinan melalui media teleconference adalah sah. Demikian juga apabila dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan melalui media teleconference adalah sah karena selain telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan agama Islam juga telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga telah tercapai tertib administrasi. Dengan demikian, karya ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan wawasan akan permasalahan perkawinan melalui media teleconference ini.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, 2007
S21358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diarani Octaria Tamrin
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S21350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Setiadi
Abstrak :
Akibat murtad terhadap hubungan perkawinan adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai putusnya perkavlinan akibat murtad. Untuk mengatasi hal ini, hakim di pengadilan agama dalam mengadili perkara putusnya perkawinan akibat murtad ini biasanya menggunakan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasan yang digunakan adalah perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam KHI, hanya murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga yang dapat memutuskan hubungan perkawinan. Jadi menurut kedua peraturan di atas, murtadnya salah satu pihak dalam perkawinan tidak serta merta memutuskan perkawinan. Hal ini yang menimbulkan ketidaksesuaian dengan hukum Islam. Untuk mengatasi ketidaksesuaian tersebut, dapat menggunakan Pasal 4 KHI dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam. Dengan demikian, walaupun tidak menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, murtadnya pihak suami atau isteri dapat dijadikan dasar oleh hakim di Pengadilan Agama untuk memutuskan suatu perkawinan. Pengadilan Agama dalam memutuskan suatu perkara didasarkan pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Bila merujuk peraturan yang ada (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI), putusnya perkawinan akibat murtad belum diatur sesuai dengan hukum Islam. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi hakim di pengadilan agama dalam memutuskan perkara putusnya perkawinan akibat murtad. Selain peraturan yang masih kurang memadai, administrasi di pengadilan agama juga kurang menunjang dalam menangani masalah perkara putusnya perkawinan akibat murtad ini agar sesuai dengan hukum Islam.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21207
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>