Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wien Nendra
Abstrak :
Latar Belakang Meningkatnya pertumbuhan populasi usia lanjut, mengharuskan untuk memberikan perhatian besar kepada penyakit degeneratif atau penyakit dengan awitan usia lanjut. Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyakit degeneratif tersebut. Obyektif Menyediakan data dasar penderita penyakit Parkinson sesuai pokok-pokok pada SPTPP (Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson) Metoda Merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan subyek penderita penyakit Parkinson yang berobat ice poliklinik saraf RSCM, dalam kurun waktu Oktober - Desember 2005. Pengolahan data dengan menggunakan SPSS versi 10.0 Hasil Penelitian Terdapat 42 subyek yang masuk kriteria inklusi, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yang hampir sama (1,03:1), rata-rata berusia 63,62 tahun (stand dev 10,95), sebagian besar tidal( bekerja dan tinggal bersama keluarga. Usia awitan sakit rata-rata 57,55 tahun (stan dev 9,92) dengan durasi sakit rata-rata 6,10 tahun (stand dev 5,23). Levodopa dan antikolinergik merupakan obat anti Parkinson yang paling banyak dipergunakan oleh subyek (97,63% dan 80,97%), yaitu dalam bentuk kombinasi keduanya. Rata-rata basil pemeriksaan SPTPP adalah skor sub skala I 2,98 (stand dev 2,77), skor sub skala II 14,10 (stand dev 9,76), skor sub skala III 17,93 (stand dev 11,02), sub skala IV 3,02 (stand dev 3,27). Rata-rata derajat keparahan subyek adalah stadium 2,417 menurut skala Hoehn-Yahr, dan-rata-rata skala Schwab-England adalah 71,43% (stand dev 22,59). Gejala kardinal terbanyak pada subyek adalah rigiditas dan bradikinesia; sedangkan subyek dengan skala schwab-England rendah memiliki skor instabilitas postural dan bradikinesia yang tinggi. Gejala motorik yang berhubungan dengan terapi yang terbanyak adalah freezing, diikuti fluktuasi klinis dan distonia. Gangguan mentasi-intelektual merupakan gejala non motorik yang mencolok pada subyek. Aktifitas utama sehari-hari yang paling banyak terganggu adalah mengenakan baju dan berjalan. Mengenakan baju juga gangguan yang paling banyak memerlukan bantuan orang lain. Terdapat kecenderungan antara durasi sakit dan SPTPP; semakin lama durasi sakit semakin besar skor SPTPP dan Hoehn-Yahr serta semakin rendah skor Skala Schwab-England. Di samping itu terdapat pula kecenderungan antara basil pemeriksaan gejala motorik dan basil pemeriksaan kemampuan subyek. Simpulan Adanya trend bahwa semakin lama durasi sakit semakin berat gangguan mentasi, perilaku dan mood; semakin berat gejala motorik, semakin tinggi derajat keparahan serta semakin banyak komplikasi pengobatan. Semakin lama durasi sakit juga menunjukkan semakin berat ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan semakin besar ketergantungan pada orang lain. Terdapat trend bahwa semakin berat gejala motorik dan semakin parah derajat sakit semakin buruk fungsi subyek penelitian. Terdapat asumsi pada status gejala motorik yang sama, subyek menunjukkan fungsi aktifitas sehari-hari yang lebih buruk dibanding subyek penelitian lain di luar negeri.
Background The increasing number of elderly people necessitates considerable attention to degenerative disease or late-age onset disease; Parkinson disease constitutes one of the degenerative disease. Objective To provide basic data on Parkinson patients based on UPDRS (Unified Parkinson Disease Rating Scale = SPTPP Skala Penilaian Terpadu Penyakit Parkinson) Method A descriptive cross-sectional study that involved Parkinson patients that presented to the outpatient clinic of RSCM from October to December 2005. SPSS version 10,0 was used for the data processing Result 42 subjects met the inclusion criteria with the almost similar ratio of male - female patients (1.03 : 1), with the mean age 63,62 (stand deviation 10.95) and most of them were unemployed and lived with their families. The mean morbid age was 57.55 (stand dev 9.92) with the mean morbid duration 6.10 years (stand dev 5.23), Levodopa and anticholinergic agent were the most common medicines taken by subjects (97.63% and 80.97%) in the combination therapy. The mean result of UPDRS 1 SPTPP examination were sub-scale I score 2.98 (stand dev 2.77), sub-scale II score 14.10 (stand dev 9.76), sub-scale III score 17.93 (stand dev 11.02) and sub-scale IV score 3.02 (stand dev 3.27). The mean severity degree of the subjets was at stage 2.417 based on I-Ioehn-Yahr scale and the mean Schwab-England scale was 71.43% (stand dev 22.59) The most frequently found cardinal symptom in the subjects were rididity and bradykinesia; whereas subjects with low Schwab-England scale had high postural instability and bradykinesia score. The most common motoric symptom found correlated with the therapy were freezing; clinical fluctuation and dystonia. Mental - intelectual disturbance was the most conspicuous non -- motorik symptom in subjets The most disturbed daily activities were putting on clothing and walking. Putting on clothing was the activity that need most help from the most significant members of the family. There was a trend between the morbid duration and UPDRS 1 SPTPP; the longer the morbid duration, the higher the SPTPP Hoehn-Yahr score were and the lower the Schwab-England scale was. In addition to that, there was a propensity between the motoric symptom assessment and the examination result of the subject's performance. Conclusion There was a trend thet showed the longer the morbid duration was, the more severe the mental, behavior and mood disturbances were; the more severe the motoric symptom, the higher the serety degree was as well as the higher need for the treatment of complications. The more prolonged morbid duration also revealed the more serious disability of conducting every day activities and the higher dependence on other people. There was propensity for the worse function of the trial subjects due to the more severe motoric symptom and higher degree of disease severity. There has been some assumption that at the same status of motoric symptom, the subjects showed worse function of daily activities compared with other trial subjects in other countries.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Nita
Abstrak :
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling baik dan bersifat unik karena spesifik untuk spesies manusia. Pemberian ASI secara eksklusif (ASI eksklusif) adalah pemberian nutrisi yang ideal dan cukup untuk bayi sampai berusia 6 bulan. Pada tahun 1992, UNICEF dan WHO meluncurkan apa yang disebut "Baby Friendly Hospital Initiative" (Rumah Sakit Sayang Bayi = RSSB), yang bertujuan memperbaiki pelayanan maternal dan neonatal di rumah sakit sehingga para ibu dapat menyusui bayinya dengan balk melalui penerapan "Ten Steps to Successful Breastfeeding" (Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui = 10 LMKM). Dalam kenyataan sehari-hari di masyarakat, para ibu umurnnya sudah mulai menyusui sejak bayinya lahir, tetapi sebelum bayi berusia 6 bulan mereka telah menghentikan pemberian ASI atau ditambah dengan makanan lain. Angka cakupan ASI eksklusif 0-4 bulan menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002 masih rendah yaitu sebesar 55%, sedangkan target yang akan dicapai pada tahun 2010 pemberian ASI eksklusif adalah sebesar 80%. Sejauh ini, angka pemberian ASI eksklusif yang sebenarnya di lapangan tidak diketahui dengan pasti. Pencatatan yang dilakukan oleh Puskesmas adalah jumlah kunjungan ibu yang memberikan ASI eksklusif tanpa verifikasi apakah benar ASI diberikan secara eksklusif kepada bayi. Di samping itu, data jumlah kunjungan tidak mencerminkan jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang cerrnat dengan pertanyaan-pertanyaan untuk memverifikasi perilaku menyusui ibu di lapangan. Faktor-Faktor yang Menghambat Pemberian ASI Eksklusif Banyak alasan mengapa ibu tidak memberikan AST kepada bayinya. Suatu survei mengungkapkan beberapa alasan ibu memberikan susu formula atau makanan tambahan, antara lain: ASI kurang atau tidak keluar (38,0%), dianggap sudah waktunya (27,1%), ibu bekerja (18,6%), dan bayi tidak mau (6,1%). Faktor-faktor yang mempengaruhi angka menyusui tidak hanya beragam dan kompleks, tetapi juga berpengaruh secara berlainan dalam situasi yang berbeda. Pendidikan ibu misalnya, berkaitan dengan angka menyusui yang lebih tinggi di negara-negara maju tetapi lebih rendah di negara-negara berkembang. Pengaruh budaya dan kepercayaan diri ibu terhadap kemampuannya menyusui juga dapat berbeda dan mempengaruhi sikap ibu terhadap menyusui. Faktor-faktor yang diketahui berkaitan dengan penghentian pemberian ASI antara lain merokok, paparan terhadap asap rokok, ibu sedang mendapat obat, problem fisik seperti obesitas dan masalah kejiwaan seperti depresi, serta keadaan yang membuat sulit menyusui, seperti kembali bekerja atau sekolah. Promosi susu formula dalam bentuk paket-paket edukasi dari perusahaan susu formula pada kunjungan antenatal telah terbukti meningkatkan penghentian pemberian ASI dalam 2 minggu pertama pasca bersalin. Ironisnya, paket-paket tersebut diberikan oleh para tenaga kesehatan yang melayani pelayanan antenatal para ibu hamil.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eugenia Marianne Russiav
Abstrak :
Latar Belakang: Pertumbuhan anak merupakan suatu indikator kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor internal dan eksternal. Studi mengenai efek pendidikan anak usia dini terhadap pertumbuhan anak masih sangat sedikit. Metode: Riset ini menggunakan metode potong lintang dengan menganalisa kecepatan pertumbuhan tinggi, berat badan, dan lingkar kepala anak di kelompok bermain dan penitipan anak Taman Pengembangan Anak Makara, Universitas Indonesia, Depok selama enam(6) bulan atau antara bulan Mei 2016 dan November 2016. Kuesioner mengenai status kelahiran anak dan keterlibatan orang tua diberikan kepada orangtua subyek. SPSS versi 20 dengan Chi square, Fishers exact tes, T-test tidak berpasangan, dan uji Mann-Whitney digunakan untuk menganalisa data. Hasil: Kecepatan pertumbuhan berat dan tinggi badan di kelompok bermain dan tempat penitipan anak TPA Makara mempunyai perbedaan signifikan (p=0.001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan yang bermakna dan asosiasi antara kecepatan pertumbuhan berat dan tinggi badan dengan program (kelompok bermain dan penitipan anak) TPA Makara. ...... Background: Child growth have shown to be an important health indicator which can be affected by various factors, such as internal and external factors. Only few studies have been conducted regarding the effect of early childhood education on child growth. Method: This research applied cross-sectional study method by analyzing the height, body weight, and head circumference growth velocity of children in playgroup and daycare of Taman Pengembangan Anak Makara, Depok in six (6) months period or between May 2016 and November 2016. Questionnaires about child birth status and parent involvement are given to the subjects parents. SPSS 20th version with Chi-square, Fishers exact test, unpaired T-test, and Mann-Whitney test were used to analyze the data. Result: Children weight and height growth velocities in playgroup and daycare of TPA Makara show significant difference (p = 0.001). Conclusion: There is a significant difference and association between weight and height growth velocity and TPA Makara program (playgroup and daycare).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Handy
Abstrak :
Anak jalanan adalah sebuah fenomena yang biasa dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta. Jumlah anak jalanan sulit untuk dipastikan, tapi diperkirakan di seluruh dunia terdapat tidak kurang dan 10.000.000 anak. Pada tahun 1999, Irwanto dkk mencatat sebanyak 10.000 anak di Jakarta masuk dalam kategori anak jalanan. Jumlah anak jalanan tersebut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi, urbanisasi dan kesulitan ekonomi masyarakat. Anak jalanan secara umum menghadapi lingkungan dan risiko yang dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan dan tumbuh kembang mereka. Secara umum mereka menghadapi risiko kecelakaan atau penyakit akibat bekerja dan berada di jalanan. Mereka juga berisiko kehilangan hak pendidikan, hak untuk bermain, mengalami perlakuan salah serta mengalami paparan terhadap berbagai perilaku sosial yang tidak baik. Perilaku ini di antaranya adalah kebiasaan merokok, penggunaan zat psikoaktif, melakukan hubungan seks dan sikap antisosial. Semua hal tersebut merupakan ancaman terhadap pencapaian tumbuh kembang optimal termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi anak dengan lingkungannya. Salah satu risiko anak jalanan yang paling banyak dibahas adalah tingginya kemungkinan mendapatkan perlakuan salah baik secara fisik, emosi maupun seksual. Friedrich dkk mengemukakan bahwa aktivitas seksual lebih banyak dilaporkan pada anak yang memiliki riwayat perlakuan salah secara seksual. Faktor biologis dan lingkungan adalah dua faktor yang berperan pada perkembangan dan perilaku seksual seorang anak yang dapat membawa dampak sampai usia dewasa. Lingkungan hidup di jalan bersifat kondusif bagi anak-anak untuk melakukan hubungan seksual di usia yang amat muda karena tidak ada hambatan normatif yang berarti dalam komunitas mereka untuk melakukan hubungan seksual. Kebiasaan lain seperti penggunaan zat psikoaktif dan merokok, yang juga banyak terdapat di kehidupan jalanan, dapat mempengaruhi fungsi kognitif, emosi dan perkembangan sosial anak yang akhimya dapat mendorong mereka pada perilaku seksual berisiko tinggi. Latar belakang keluarga yang bermasalah dan kehidupan jalanan yang keras juga merupakan faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosi dan perilaku yang mengarahkan mereka pada perilaku seksual risiko tinggi atau bahkan membuat mereka memilih untuk menjadi pekerja seks anak. Perilaku seksual risiko tinggi (PSRT) adalah aktivitas seksual yang berisiko mengancam kesehatan seseorang akibat paparan terhadap berbagai penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Perilaku seksual risiko tinggi ini adalah hubungan seksual, baik genito-genital, oro-genital maupun ano-genital, yang dilakukan tanpa perlindungan (kondom) dan atau dilakukan dengan banyak pasangan (promiskuitas). Perilaku seksual risiko tinggi di antara anak dan remaja telah menjadi perhatian dunia dalam dekade terakhir karena makin maraknya penularan virus hepatitis B (VHB), virus hepatitis C (VHC), human immunodeficiency virus (HIV) dan berbagai penyakit menular seksual (PMS) Iainnya. Penyakit menular seksual dapat menyebabkan transmisi vertikal dan gangguan pada kehamilan di kemudian hari, infertilitas, penyakit keganasan serta dapat mempermudah terjadinya transmisi HIV." Kehamilan usia dini merupakan hal yang penting dan satu masalah tersendiri akibat adanya PSRT dengan dampak biopsikososial yang amat besar. lbu dengan usia yang terlalu muda berisiko tinggi terhadap rendahnya status kesehatan fisik dan jiwa, gagal dalam pencapaian pendidikan yang memadai dan ketergantungan hidup yang besar terhadap pihak lain; belum terhitung akibat yang terjadi jika ia melakukan aborsi yang tidak aman. Jika ia melahirkan, anak yang dilahirkan berisiko tinggi terhadap gagalnya pencapaian potensi tumbuh kembang yang optimal. Pada akhirnya hal ini akan memperburuk kemiskinan dan keterbelakangan yang telah ada dalam masyarakat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18022
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Mutiara
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Grevillea
Abstrak :
Latar Belakang: Perkembangan anak adalah aspek yang sangat penting di awal kehidupan anak. Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan perkembangan anak, Saat ini, begitu banyak pusat pelayanan dan pendidikan dini untuk anak di Indonesia. Pusat-pusat tersebut mempunya ikatan erat dengan status perkembangan anak. Namun, jumlah riset yang membahas hubungan antara perkembangan anak dengan pelayanan dan pendidikan anak usia dini masih minim. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel penelitian berasal dari anak-anak di tempat penitipan anak dan kelompok bermain Taman Pengembangan Anak (TPA) Makara yang sudah menjalani uji Denver Developmental Screening Test II (DDST-II). Orangtua subyek dan staf TPA Makara dilibatkan untuk menjawab kuesioner. Data sekunder yang dikumpulkan dari hasil DDST II dan data primer kuesioner dianalisis menggunakan SPSS versi 20 dengan metode Chi Square. Hasil: Tidak ada perbedaan signifikan antara perkembangan anak di tempat penitipan anak dan kelompok bermain TPA Makara (p = 0.232). Karakteristik subyek, orangtua subyek, fasilitas, dan aktivitas anak di rumah, tempat penitipan anak, serta kelompok bermain tidak menunjukkan hubungan yang signifikan pula dengan perkembangan anak (p > 0.05). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna dan signifikan pada perkembangan anak di tempat penitipan anak dan kelompok bermain TPA Makara. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perkembangan anak tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap perkembangan anak di tempat penitipan anak dan kelompok bermain TPA Makara. ......Background: Child development is a very important aspect in early childhood life. There are many factors that play a role in determining child developmental status. Currently, there are many early childhood care and education centres in Indonesia. Those centres are really related with child development status. However, the number of research regarding the relation between child development with early childhood care and education centre in Indonesia is still lacking. Methods: This research used cross sectional study. The sample was from the children of daycare and playgroup Taman Pengembangan Anak (TPA) Makara who have done Denver Developmental Screening Test II (DDST-II). The subjects’ parents and the TPA Makara staff were also involved to answer the questionnaire given. Secondary data from the result of DDST-II and the primary data from the questionnaires were analyzed using SPSS version 20 with Chi-Square method. Result: There was no significance difference between child development in daycare and playgroup TPA Makara (p = 0.232). The characteristics of the subjects, subjects’ parents, facilities, and activities for children at home, daycare, and playgroup did not show significant association too with the child developmental status (p > 0.05). Conclusion: There was no significant differences of the child development in daycare and child development in playgroup TPA Makara. The suspected influencing factors did not show significant association with child development in daycare and playgroup TPA Makara.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Meulya Rezeki
Abstrak :
Latar Belakang: Banyak anak menghabiskan waktunya untuk menonton TV lebih lama daripada aktivitas lainnya termasuk untuk belajar. Akhir-akhir ini banyak media visual baru bermunculan seperti internet dan permainan komputer, sehingga waktu yang dihabiskan anak untuk pemanfaatan media visual menjadi lebih banyak. Penelitian yang mempelajari pengaruh media visual terhadap prestasi akademis masih terbatas, terutama di Indonesia. Kebanyakan penelitian yang ada hanya meneliti satu jenis media visual yaitu TV, dan sebagian besar hanya membahas dari segi waktu yang digunakan tanpa memperhatikan segi jenis acara. Tujuan: Mengetahui pola pemanfaatan media visual murid SMPN 115 Jakarta dan hubungannya dengan prestasi akademis, serta faktor apa saja yang memengaruhi prestasi akademis. Metode: Penelitian bersifat potong lintang analitik dengan pengumpulan data menggunakan survei, kuesioner, dan logbook pada bulan Mei hingga Juli 2012. Subjek penelitian adalah 129 murid kelas VII SMPN 115 Jakarta yang dipilih secara consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mencari faktor yang berhubungan dengan prestasi akademis dengan cara uji kai kuadrat (analisis bivariat) dan uji regresi logistik (analisis multivariat). Hasil: Prevalensi murid SMPN 115 Jakarta yang memanfaatkan media visual selama >2 jam per hari adalah 39,5% pada hari kerja dan 64,3% pada hari libur. Prevalensi murid SMPN 115 Jakarta yang memanfaatkan media visual tidak sesuai dengan usianya adalah 69% pada hari kerja dan 63,6% pada hari libur. Lama pemanfaatan jenis acara media visual pada hari kerja maupun hari libur, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan per kapita, struktur keluarga, dan pendidikan di luar sekolah tidak memengaruhi prestasi akademis. Faktor yang secara statistik bermakna memengaruhi prestasi akademis murid SMPN 115 Jakarta adalah jenis kelamin (nilai RO 3,264 (IK95% 1,38-7,74; p=0,007)), nilai IQ (nilai RO 4,634 (IK95% 1,66-12,90; p=0,003) untuk perbandingan nilai IQ rata-rata dan superior, nilai RO 5,452 (IK95% 1,51-19,64; p=0,009) untuk perbandingan nilai IQ rata-rata dan sangat superior), motivasi berprestasi dan strategi belajar (nilai RO 4,089 (IK95% 1,14-14,70; p=0,031) untuk perbandingan motivasi rendah dan sedang, nilai RO 61,104 (IK95% 7,42-502,95; p<0,001) untuk perbandingan motivasi rendah dan tinggi), masalah emosi dan perilaku (nilai RO 0,45 (IK95% 0,37-0,54; p=0,01)), serta pola asuh orangtua (nilai RO 0,45 (IK95% 0,37-0,55; p=0,022)). Simpulan: Tidak ada hubungan antara media visual dengan prestasi akademis murid SMPN 115 Jakarta. Faktor yang memengaruhi prestasi akademis murid SMPN 115 Jakarta adalah jenis kelamin, nilai IQ, motivasi berprestasi dan strategi belajar, masalah emosi dan perilaku, serta pola asuh orangtua. ......Background: Many children spend their time watching TV longer than any other activity, including learning. Lately, many emerging screen media such as the internet and computer games due to which the time spent on the child to use screen media is increasing. Study about the impact of screen media on academic performance is still limited, especially in Indonesia. Majority of existing study examined only one type of screen media, ie. TV, and mostly just discussed in terms of the time spent, regardless of the content. Objective: The primary objective was to investigate the pattern of screen media usage by students in junior high school 115 Jakarta and its association with their academic performance. The secondary objective was to reveal factors affecting student's school performance. Method: An analytic cross sectional study using survey, questionnaires, and 12 days logbook, was conducted from May to July 2012. Subjects were 129 grade VII students in junior high school 115 Jakarta and were selected by consecutive sampling. Chi square test and multivariant analyses with logistic regression calculation were used to analyze subjects. Result: The prevalence of subjects using screen media for >2 hours per day were 39.5% in weekday and 64.3% in weekend. The prevalence of subjects using screen media not in accordance with their age was 69% in weekday and 63.6% in weekend. Screen media content and usage period in weekday and weekend, mother's education level, mother's occupation, family income, and out of school education have less impacts on academic performance. Factors that statistically have significance on affecting subjects' academic performance were sex (OR 3,26 (CI95% 1,38-7,74; p=0,007)), IQ grade (OR 4,63 (CI95% 1,66-12,9; p=0,003) as a comparison between average and superior IQ, OR 5,45 (CI95% 1,51-19,64; p=0,009) as a comparison between average and highly superior IQ), achievement motivation and learning strategy (OR 4,09 (CI95% 1,14-14,7; p=0,031) as a comparison between low and intermediate motivation, OR 61,1 (CI95% 7,42-502,95; p<0,001) as a comparison between low and high motivation), emotional and behavioral problem (OR 0,45 (CI95% 0,37-0,54; p=0,01)), and parenting style (OR 0,45 (CI95% 0,37-0,55; p=0,022)). Conclusion: There is no association between screen media usage and academic performance of students in junior high school 115 Jakarta. Factors that influence academic performance of students in junior high school 115 Jakarta are sex, IQ grade, achievement motivation and learning strategy, emotional and behavioral problem, and parenting style.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihat Sugianti
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Purpura Henoch-Schӧnlein (PHS) merupakan sindrom klinis yang disebabkan vaskulitis akut sistemik pada pembuluh darah kecil yang paling sering pada anak. Manifestasi klinis PHS sering melibatkan berbagai organ seperti kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal. Rekurensi terjadi pada hampir 50 % kasus dan memengaruhi prognosis PHS. Sejauh ini belum ada publikasi penelitian PHS yang meliputi manifestasi klinis, laboratorium, serta rekurensi di Indonesia. Tujuan : Mengetahui manifestasi klinis, laboratorium serta rekurensi PHS anak di Indonesia. Metode : Penelitian deskriptif retrospektif. Data diperoleh dari rekam medis pasien anak berusia 0-18 tahun dengan diagnosis PHS selama periode 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hasil : Terdapat 71 kasus PHS dengan rentang usia 2 sampai 16 tahun dan usia tersering pada kelompok 6-8 tahun. Proporsi anak wanita lebih tinggi dibanding lelaki dengan rasio 1,2:1. Semua pasien mengalami purpura palpabel dan manifestasi tersering lainnya adalah gangguan gastointestinal (79 %), artritis atau artralgia (68 %), dan keterlibatan ginjal (41 %), sedangkan yang jarang adalah gangguan neurologis (1 %), dan edema skrotum (4 %). Riwayat infeksi yang mendahului gejala PHS didapatkan pada 56 % kasus. Peningkatan laju endap darah (88 %) dan trombositosis (60 %) merupakan kelainan laboratorium yang paling sering ditemukan, diikuti dengan hematuria (41 %), leukositosis (32 %), dan anemia (31 %). Penurunan fungsi ginjal ditemukan pada 6/42 kasus. Perbaikan gejala klinis terlihat dalam waktu kurang dari 4 minggu untuk manifestasi kulit, gastrointestinal, dan persendian. Sebanyak 18/24 subjek dengan hematuria mengalami perbaikan dalam waktu 6 bulan. Penurunan fungsi ginjal menetap tidak ditemukan dalam penelitian ini. Rekurensi didapatkan pada 5/57 subjek yang memiliki data pemantauan. Simpulan : Manifestasi klinis tersering pada PHS adalah purpura palpabel, gangguan gastrointestinal, artritis atau artralgia, dan keterlibatan ginjal, sedangkan yang jarang adalah gangguan neurologis dan edema skrotum. Pemeriksaan darah perifer lengkap dan urinalisis sebaiknya dilakukan pada semua pasien PHS untuk mendukung diagnosis dan menilai keterlibatan ginjal. Pada semua pasien PHS sebaiknya dilakukan pemantauan minimal selama 6 bulan untuk menilai keterlibatan ginjal yang mungkin timbul terlambat serta rekurensi
ABSTRACT
Background : Henoch-Schӧnlein purpura (HSP) is a clinical syndrome which caused by systemic acute vasculitis in small vessel. Henoch-Schӧnlein purpura is the most common etiology of vasculitis in children. Clinical manifestations usually involved several organs, such as skin, joint, gastrointestinal, and kidney. Recurrency occured in almost 50 % cases, and lead to poor prognosis. Up to now, there was no publications of HSP study in Indonesia regarding in clinical profiles, laboratory, and recurrency. Objective : To investigate the clinical characteristics, laboratory, and recurrency of HSP in Indonesian’s children. Method : A retrospective descriptive study was conducted from medical records of children up to 18 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Our participants were children diagnosed as having HSP from January 1st 2009 to December 31st 2012. Results : There were 71 cases of HSP, with the range of age from 2 years old to 16 years old. Mostly subjects were at group age between 6 and 8 years old. Girl was commonly affected compared to boy (1.2:1). All patients had palpable purpura, other clinical symptoms that usually occured were gastrointestinal (79 %), arthritis or arthralgia (68 %), and kidney disorder (41 %). Neurologic symptoms (1 %) and scrotal edema (4 %) were the least found. 56 % of HSP patient was preceeded by infection history. Laboratory results that commonly found were increasing of ESR (88 %), thrombocytosis (60 %), hematuria (41 %), and anemia (31 %), respectively. Kidney function impairment was occured in 6/42 cases. Clinical symptoms improvement had shown in less than 4 weeks for skin, gastrointestinal, and joint disorder. Eighteen of twenty four subjects with hematuria had recovery within 6 months. There were no cases of persistent kidney function impairment. Recurrency occured in 5/57 subjects. Conclusion : Clinical manifestations that commonly found in HSP patients were palpable purpura, gastrointestinal disorder, arthritis or arthralgia, and kidney involvements. Neurological disorder and scrotal edema were less found. Routine blood and urine examination should be done in all HSP patients to confirm the diagnosis and evaluate kidney involvement. In all HSP patients, we suggest to do follow up on evaluating late kidney involvement and recurrency minimally in 6 months period.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Otty Mitha Sevianti
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan anak merupakan sesuatu yang bersifat multi dimensi dan terdiri atas area kognitif, bahasa, fungsi gerak, sosial emosional dan perilaku adaptif, masing-masing memiliki nilai tersendiri namun saling berintegrasi. Dua metode stimulasi (Glenn Doman (GD) dan Kemenkes (K)) dinilai kualitasnya dalam penelitian ini. Tujuan.Mengetahui pengaruh perbedaan stimulasi metode GD dan K terhadap skor perkembangan bayi usia 6-12 bulan. Metode.Penelitian kohort prospektif pada bayi normal.Skrining perkembangan awal dilakukan menggunakan alat ukur Denver.Pasca 3 bulan intervensi, perkembangan bayi dinilai menggunakan BSID edisi-III yang terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas.Kualitas stimulasi rumah di nilai menggunakan alat ukur HOME. Hasil.Skor validitas dari BSID edisi-III adalah 0,964 (kognitif), 0,934 (bahasa), 0,822 (gerak) dengan Cronbach Alpha sebesar 0,918 serta reliabilitas test-retest 0,846. Subjek yang memenuhi kriteria sebanyak 88 orang, dengan jenis kelamin laki-laki (61,4%), usia 9-12 bulan (68,2%), status gizi baik (75%). Perbedaan bermakna terdapat pada skor HOME dan semua aspek penilaian perkembangan BSID di kedua grup setelah masa intervensi 3 bulan (p<0,001). Skor grup GD lebih unggul 1 angka dibandingkan K pada skor HOME (p=0,024) and 32 angka lebih unggul pada skor BSID (p=0,002). Faktor jumlah anak bermakna secara statistik memengaruhi perkembangan dengan risiko relative 3.13 (IK 95% 1.18- 8.33, p=0,022). Simpulan.Instrumen BSID edisi-III versi Bahasa Indonesia merupakan alat ukur yang sahih dan andal untuk digunakan pada penelitian ini. Secara umum tidak terdapat perbedaan skor perkembangan bayi usia 6-12 bulan yang mendapat stimulasi metode GD dan K kecuali perkembangan perilaku adaptif.
ABSTRACT
Child development is multi-dimensional and encompasses cognitive, language, sensory-motor, social-emotional, adaptive behavior domains, all of which are interdependent. Two stimulation interventions (Glenn Doman (GD) and Kemenkes (K) methods) were conducted in this study. Aims.To investigate the difference in developmental aspects after intervention with GD and K methods in infants age 6-12 months. Methods. This was a prospective cohort study in normal developmental infants. Developmental screening at enrollment used Denver instrument. Three months post intervention, the development was assessed with BSID III, in which validation and reliability test were undertaken as first step. A modified version of HOME inventory was used as edition to assess home environment. Results.The validity score of BSID-III was 0.964 (cognitive), 0.934 (language), 0.822 (motor) with Cronbach alpha of 0.918 and a reliability test-retest of 0.846. There were 88 subjects fulfilled the criteria. Subject mostly were male (61.4%) 9- 12 months old (68.2%), normal anthropometric status (75%). The results revealed significant differences in HOME score and all aspects of Bayley score in GD and K group after 3 months intervention period (p<0.001). The GD benefited 1 point compared with K group in HOME score (p=0.024) and 32 points in Bayley score (p=0.002). Number of children was the most influential factor in infants’ development with a relative risk of 3.13 (CI95% 1.18-8.33, p=0.022). Conclusions.The Bahasa Indonesia version of BSID-III was a reliable and valid tool for the assessment of this study. There was no difference in developmental score at age 6-12 months who had GD and K stimulation methods except for adaptive behavior scale.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Paramita
Abstrak :
Latar belakang: Pengukuran suhu tubuh sebenarnya (core body temperature) tidak lazim dilakukan pada anak karena invasif dan sulit, sehingga pengukuran suhu aksila dan membran timpani lebih disukai. Namun sampai saat ini ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila masih diperdebatkan. Tujuan: Membandingkan ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila dengan rektal, mengetahui metode terbaik pengukuran suhu tubuh, dan cut off demam pada anak berdasarkan masing-masing metode pengukuran suhu. Metode: Penelitian diagnostik potong lintang pada anak demam berusia 6 bulan ? 5 tahun yang dipilih secara konsekutif di Poliklinik Anak, IGD Anak, dan Ruang Perawatan Anak Gedung A RSCM antara bulan Desember 2014 ? Januari 2015. Hasil: Dengan cut off demam suhu aksila 37,4oC dan membran timpani 37,6oC didapatkan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,98) dan 93% (IK 95% 0,84-0,97), spesifisitas 50% (IK 95% 0,47-0,84) dan 50% (IK 95% 0,31-0,69), NDP 90% (IK 95% 0,81-0,95) dan 85% (IK 95% 0,75-0,91), NDN 83% (IK 95% 0,61-0,94) dan 69% (IK 95% 0,44-0,86). Cut off optimal demam suhu membran timpani dan aksila pada penelitian ini adalah 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903). Simpulan: Hasil pengukuran suhu aksila sama baik dengan membran timpani dalam mendeteksi demam dan dapat digunakan dalam praktik klinis sehari-hari maupun di rumah. Dengan cut off demam 37,8oC didapatkan sensitivitas 81% dan 88%, spesifisitas 86% dan 73%, NDP 95% dan 91%.
Background: Core body temperature measurement is not common in pediatric population because it is invasive and difficult. Therefore tympanic and axillary temperature measurement are prefereble but their accuracy still debated. Objective: To compare the accuracy of axillary and tympanic temperature to rectal temperature in children with fever and measure the cut off point for fever based on each temperature measurement method. Methods: A cross-sectional diagnostic study was conducted among children age 6 months ? 5 years which was selected consecutively at Pediatric Out-patient clinic, Pediatric emergency unit, and the in-patient wards in building A RSCM from December 2014 to January 2015. Results: With the cut off for fever on axilla 37,4oC and tympanic membrane 37,6oC the sensitivity was 96% (95% CI 0,88-0,98) and 93% (95% CI 0,84-0,97), specificity 50% (95% CI 0,47-0,84) and 50% (95% CI 0,31-0,69), NDP 90% (95% CI 0,81-0,95) and 85% (95% CI 0,75-0,91), NDN 83% (95% CI 0,61-0,94) and 69% (95% CI 0,44-0,86). Optimal cut off of tympanic membrane and axilla temperature was 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903). Conclusions: Axillary temperature measurement is as good as the tympanic membrane temperature measurement and can be used at the daily clinical practice or at home. By increasing the optimum fever cut off point for axilla temperature and tympanic membrane to 37,8oC, we found sensitivity 81% and 88%, specificity 86% and 73%, NDP 95% and 91%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>