Lada menjadi komoditas niaga utama dalam jalur rempah Nusantara di Banten. Hal ini didukung oleh kondisi geografis yang menghubungkan Banten dengan Pulau Sumatra sebagai salah satu penghasil utama lada sekaligus berperan dalam menciptakan jalinan budaya multikultur di Banten. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan formasi budaya kuliner Banten sebagai dampak dari niaga jalur rempah pada abad XVI-XVIII. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan menggunakan literatur sezaman berupa catatan perjalanan karya Cornelis de Bruijn (1737) dan Stavorinus (1798) yang melukiskan suasana jamuan makan di lingkungan istana Banten. Sumber-sumber tersebut kemudian dikaji lebih lanjut dalam artikel ini untuk mendeskripsikan bukti dari jejak awal asimilasi budaya kuliner Banten. Selain itu, studi arkeologi tentang Kesultanan Banten yang dilakukan oleh Kaoru Ueda, dkk (2016), memperlihatkan bentuk asimilasi budaya kuliner Banten dari adanya penggunaan peralatan makan yang terbuat dari porselen, penggunaan kendi dalam ritual keagamaan, serta pemanfaatan daging kerbau sebagai bagian dari kuliner Banten. Penelitian ini juga menggunakan naskah lokal Sanghyang Swawarcinta yang mendeskripsikan budaya pengolahan bahan pangan masyarakat Sunda. Hasil penelitian ini berupa adanya asimilasi budaya di Banten yang menghasilkan formasi budaya kuliner yakni hidangan berkuah, bercita rasa pedas, manis, asam serta penggunaan ikan dan unggas. Formasi budaya kuliner tersebut terjalin dari adanya perjumpaan budaya berbagai bangsa seperti Arab, India, Cina, dan Belanda sebagai dampak dari perniagaan lada. |