Ditemukan 15796 dokumen yang sesuai dengan query
Parwoto Wignjosumarto
Jakarta: Tatanusa, 2003
346.078 WIG h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sinaga, Syamsudin Manan
Jakarta: Tatanusa, 2012
346.078 SIN h (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Sutan Remy Sjahdeini
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti , 2010
346.078 SJA h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Ahmad Yani
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999
346.078 GUN k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Ahmad Yani
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002
346.078 AHM k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Ahmad Yani
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
346.078 AHM k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Alfredo Joshua Bernando
"Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia.
The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
William Iwo
"Kemudahan syarat-syarat untuk mempailitkan debitor menyebabkan suatu Perseroan yang sebetulnya solven bisa diputus pailit oleh pengadilan niaga. Adanya pengaturan yang kontradiktif mengenai pembubaran perseroan yang diatur dalam Pasal 142 huruf (e) UUPT dengan Pasal 204 UUK-PKPU serta status sisa aset Perseroan Solven setelah pemberesan menjadi permasalahan utama dalam skripsi ini. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Perseroan solven tetap eksis dan tidak serta merta bubar dengan adanya putusan pailit, namun agar dapat memperoleh kembali kekuasaan untuk mengurus harta kekayaannya maka Perseroan Solven tersebut harus mengajukan Rehabilitasi. Kemudahan syarat-syarat untuk mempailitkan debitor menyebabkan suatu Perseroan yang sebetulnya solven bisa diputus pailit oleh pengadilan niaga. Adanya pengaturan yang kontradiktif mengenai pembubaran perseroan yang diatur dalam Pasal 142 huruf (e) UUPT dengan Pasal 204 UUK-PKPU serta status sisa aset Perseroan Solven setelah pemberesan menjadi permasalahan utama dalam skripsi ini. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Perseroan solven tetap eksis dan tidak serta merta bubar dengan adanya putusan pailit, namun agar dapat memperoleh kembali kekuasaan untuk mengurus harta kekayaannya maka Perseroan Solven tersebut harus mengajukan Rehabilitasi.
The convenience provided to make debtors bankrupt, is affecting a company, which actually categorized as Solvent Company to be decided as bankrupt by the commercial court. The existence of contradictive regulations regarding company dissolution, which are stipulated under the article 142 (e) in Indonesian Company Law jo. article 204 in Indonesia Law of Bankruptcy and Payments Suspension, and the status of the Solvent Company's remaining assets after settlement become a major problem in this thesis. The result of this research will prove that Solvent Company remain exists and do not necessarily disperse with the bankruptcy decision. But, in order to regain its ascendency to manage its assets, the Solvent Company must proposed rehabilitation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59603
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
I Made Krisna Yudhana Wisnu Gupta
"Menurut teori mikroekonomi, risk aversion dapat menghalangi seseorang membuat keputusan yang optimal dalam situasi yang beresiko. Jika seseorang percaya bahwa menjadi wira usaha memiliki resiko lebih tinggi daripada menjadi karyawan, maka dalam derajat risk aversion tertentu, orang tersebut tidak akan menjadi wira usaha, meskipun memiliki potensi yang cukup. Dalam situasi seperti ini, asuransi dapat membantu meningkatkan jumlah wira usaha baru. Penelitian ini menggunakan data tingkat keluarga dari Panel Study of Income Dynamics, dan sebagai institusi asuransi, digunakan kode kepailitan (Bankruptcy Code) Amerika Serikat, spesifiknya, pengecualian aset rumah (Homestead Exemption). Hasilnya adalah, peningkatan pengecualian aset rumah sebesar sepuluh poin persentase meningkatkan kemungkinan kepemilikan bisnis sebesar 1.5 poin persentase, setelah tahun 2005. Penelitian ini juga menemukan bahwa efek tersebut hanya terjadi pada bisnis berbadan hukum korporasi (Incorporated Business).
Microeconomic theory suggests that risk aversion may result in people to take less optimal decision in a situation associated with risk. If people believe that being selfemployed is riskier than being wage-employed, then at some point, risk averse wageemployed won?t become self-employed even if it is optimal to do so. In this case, introducing some sort of insurance scheme may increase people?s participation in selfemployment activity. I use the family level data from Panel Study of Income Dynamics, and I exploit provisions in the United States? bankruptcy code, specifically the homestead exemption level, as the insurance institution. I find that the increase of exemption level by ten percentage point increases the probability of owning a business by 1.5 percentage points, after the year 2005. I also find that the effect is explained by the incorporated business."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42607
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Pardamean Octavianus
"Terdapat beberapa kreditor yang memiliki hak mendahulu dalam kepailitan Batavia Air. Akan tetapi terdapat inkonsistensi dalam perundangundangan di Indonesia sehingga mengaburkan kedudukan dari hak mendahulu.Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai hak mendahulu yang dimiliki oleh negara melalui utang pajak, pekerja/buruh melalui utang pajak, dan utang terhadap kreditor separatis berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, pokok permasalahan lainnya yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai urutan kreditor dalam kepailitan Batavia Air.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan utang pajak, utang terhadap kreditor separatis, dan utang upah terhadap pekerja/buruh dalam suatu kepailitan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan juga untuk mengetahui bagaimana urutan kreditor dalam kepailitan Batavia Air.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundangundangan dan penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder dan data primer berupa wawancara. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Hak Tanggungan diketahui bahwa utang terhadap kreditor separatis harus didahulukan pelunasannya dibandingkan dengan utang pajak dan utang upah terhadap pekerja/buruh dan diantara utang pajak dan utang upah, utang upah harus didahulukan karena adanya asas-asas dalam ketenagakerjaan dan juga asas dalam menarik pajak.
There are precedent creditors in Batavia Air Bankruptcy. However, there is inconsistency in regulations making the regulation about the precedent right seems unclear. What discussed within this thesis is the “right to precede” based on Indonesia regulation owned by State through taxation, worker/labour through the woker/labour’s wage, and separated creditor. Next is about the sequence of creditors in Batavia Air Bankruptcy. The aim of this thesis is to reveal the position of each creditor in bankruptcy based on Indonesia regulation and this thesis also aims to reveal the sequence of creditors in Batavia Air Bankruptcy. The research method used in this thesis is juridical normative which this research is vary depending to the regulation research and library research. This thesis is using secondary data and primary data which means the data collected by doing interview. Based on the research of Indonesian Civil Code, Taxation Act, Bankruptcy Act, Laboring Act, and Mortgage Act, this thesis reveals that, the debt to the separated creditor should be paid before the state’s or the worker/labour’s, and the debt to the labour/worker’s should be paid before to the state’s since there are some existing principles both in the law of labour/worker and in taxation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54425
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library