Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91638 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Roito Elmina Gogo
"Anak merupakan aset keluarga, masyarakat, dan bangsa sehingga harus mendapatkan pembinaan jasmani, mental spiritual dan sosia] sejak dini mengingat pada masa lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa keemasan di dalam pembentukan dasar-dasar kepribadian anak. Agar mampu menjadi generasi penerus di masa depan, anak harus dipersiapkan sebaik-baiknya, termasuk proses pertumbuhan dan perkembangannya.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini menyangkut proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya, termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan Iingkungannya.
Penyimpangan perkembangan pada balita tanpa kelainan organik sukar dideteksi dengan pemeriksaan finis secara rutin. Mereka tampak normal namun akan mendapatkan kegagalan pada saat mulai sekolah. Di Amerika didapatkan 12% sampai 16% anak mengalami keterlambatan perkembangan. Di Canada . 16% anak usia 4-5 tahun mengalami keterlambatan perkembangan bicara. Di Thailand 16,3% anak kurang dari 5 tahun mengalami keterlambatan perkembangan. Di Indonesia, penelitian-penelitian terhadap keterlambatan perkembangan pada balita mendapatkan angka yang bervariasi antara 12,8% sampai 28,5%. Oleh karena itu perlu diketahui penyimpangan perkembangan secara dini. Pengetahuan mengenai perkembangan bayi yang normal dan variasinya harus dikuasai agar dapat merencanakan tata Iaksana yang tepat dan dapat membantu pasien dan keluarganya semaksimal mungkin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T20865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Sulastri
"Latar belakang: Bayi moderate to late preterm menempati 80% populasi kelompok usia bayi prematur. Banyaknya komplikasi dan komorbiditas yang dapat terjadi pada bayi prematur menuntut adanya pemantauan perkembangan yang konsisten, praktis, efisien, dan sedini mungkin. Hal tersebut ditujukan untuk mencegah, mendeteksi, dan memberikan penanganan awal yang optimal. Instrumen uji tapis yang baik harus memiliki validitas, reliabilitas, sensitivitas dan spesifitas yang baik, serta lengkap meliputi semua aspek ranah perkembangan. Tujuan: Membandingkan sensitivitas dan spesifisitas uji tapis ASQ-3 dan Denver II terhadap baku emas Bayley-III dalam deteksi gangguan perkembangan pada bayi prematur usia koreksi 6–12 bulan.
Metode: Penelitian potong lintang pada bayi prematur usia koreksi 6-12 bulan di Klinik Tumbuh Kembang RSCM pada bulan Oktober-Desember 2023. Kuesioner ASQ-3 diisi oleh orang tua dengan panduan petugas. Pemeriksaan Denver II dan Bayley III dinilai oleh dokter residen anak dan psikolog klinis anak yang terlatih pemeriksaan Bayley III. Hasil pemeriksaan dianalisis statistik dengan SPSS 25.
Hasil: Enam puluh dua subjek penelitian diperiksa dan didapatkan sensitivitas ASQ-3 dan Denver II dibandingkan dengan Bayley-III pada bayi prematur usia koreksi 6-12 bulan masing- masing adalah 89,66% dan 79,31% sedangkan spesifisitasnya sebesar 93,94% dan 87,88%. Selain itu, ASQ-3 memiliki nilai PPV, NPV, PLR, NLR dan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Denver II.
Kesimpulan: Uji tapis ASQ-3 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan dengan Denver II untuk deteksi gangguan perkembangan pada bayi prematur usia koreksi 6-12 bulan. Kuesioner ASQ-3 dapat digunakan untuk uji tapis gangguan perkembangan bayi prematur yang efektif dan mudah digunakan.

Background: Moderate to late preterm baby occupies 80% age group of preterm babies. The complications and comorbidities occur in preterm require consistent, practical, and efficient early developmental monitoring to aim optimal initial intervention. The developmental screening test instrument must have good validity, reliability, sensitivity and specificity, and covering all aspect developmental domain.
Objective: This study aims to investigate the sensitivity and specificity of two brief developmental screening, the Ages and Stages Questionnaires, 3rd Edition, Indonesian-version (ASQ-3) with the Denver Developmental Screening test II (Denver II).
Method: A cross-sectional design conducted in corrected aged 6 to 12 months preterm infants from Growth and Developmental Social Paediatric Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital in October to December 2023. The ASQ-3 questionnaires was filled in by parents with guidance from health workers. Denver II and Bayley III was assessed by paediatric resident and trained paediatric clinical psychologist. Results: A total of 62 preterm infant was recruited. Sensitivity of ASQ-3 and Denver II compared to Bayley-III were 89,66% and 79,31%, respectively with specificity 93,94% and 87,88%, respectively. Furthermore, ASQ-3 showed higher PPV, NPV, PLR, NLR, and accuracy compared to Denver II.
Conclusion: The ASQ-3 questionnaires had significantly higher sensitivity and specificity compared to Denver II for developmental delay screening. This tool was appropriate for consistent screening due to its effectiveness and simplicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erva Yunilda
"

Latar belakang: Identifikasi dan deteksi dini keterlambatan perkembangan anak sampai usia 3 tahun membutuhkan alat uji penapisan yang sahih dan andal serta mudah diaplikasikan orangtua. Kesahihan eksterna Ages and Stages Questionnaires-Third Edition (ASQ-3) belum teruji di Indonesia sehingga ASQ-3 belum dapat digunakan secara luas sebagai alat uji penapisan perkembangan anak.

Tujuan: Mengetahui kesahihan eksterna ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok usia 24, 30, dan 36 bulan sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak.

Metode: Uji diagnostik ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok usia 24, 30, dan 36 bulan dibandingkan dengan Bayley Scales of Infant Development-III (BSID-III) pada populasi anak sehat maupun yang berisiko keterlambatan perkembangan. Untuk menentukan nilai kesahihan eksterna, dihitung: sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif.

Hasil: ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok umur 24 bulan: sensitivitas dan NDN baik (83,3% dan 91,3%), tetapi spesifisitas dan  NDP kurang baik (65,6% dan 47,6%). ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok umur 30 bulan: sensitivitas dan NDN baik (84,6% dan 90,9%), tetapi spesifisitas dan  NDP kurang baik (69% dan 55%). ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok umur 36 bulan: spesifisitas cukup baik (78,8%) dan NDN baik (86,7%), tetapi sensitivitas dan  NDP kurang baik (66,6% dan 53,3%).

Kesimpulan: Kesahihan eksterna ASQ-3 bahasa Indonesia kelompok usia usia 24, 30, dan 36 bulan pada penelitian ini cukup sahih sebagai alat uji penapisan keterlambatan perkembangan anak.

 


Background: Identification of children with developmental disabilities is critical step in providing early intervention services. Ages and Stages Questionnaires third edition (ASQ-3), a parent-report questionnaires has been proven to be a valid and reliable screening test and good psychometric properties. This test has not been external validated before in Indonesia.

Aim: Providing the external validated form of the Indonesian version of the Ages and Stages Questionnaires third edition as an appropriate developmental screening tool for evaluation of 24, 30, and 36 months Indonesian children’s development.

Method: The Indonesian ASQ-3 diagnostic test for the age groups of 24, 30, and 36 months compared with Bayley Scales of Infant Development-III (BSID-III) in the population of healthy children and at risk of developmental delays. To determine the value of external validity, calculated: sensitivity, specificity, positive predictive value and negative predictive value.

Results: ASQ-3 Indonesian 24 month: sensitivity and NDN are good (83.3% and 91.3%), but specificity and NDP are poor (65.6% and 47.6%). ASQ-3 Indonesian 30 months: sensitivity and NDN are good (84.6% and 90.9%), but specificity and NDP are poor (69% and 55%). ASQ-3 Indonesian 36 months: specificity is quite good (78.8%) and NDN is good (86.7%), but sensitivity and NDP are poor (66.6% and 53.3%).

Conclusion: The external validity of ASQ-3 Indonesian 24, 30, and 36 months in this study is quite valid as a screening test for children's development delays.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Otty Mitha Sevianti
"ABSTRAK
Perkembangan anak merupakan sesuatu yang bersifat multi
dimensi dan terdiri atas area kognitif, bahasa, fungsi gerak, sosial emosional dan
perilaku adaptif, masing-masing memiliki nilai tersendiri namun saling
berintegrasi. Dua metode stimulasi (Glenn Doman (GD) dan Kemenkes (K))
dinilai kualitasnya dalam penelitian ini.
Tujuan.Mengetahui pengaruh perbedaan stimulasi metode GD dan K terhadap
skor perkembangan bayi usia 6-12 bulan.
Metode.Penelitian kohort prospektif pada bayi normal.Skrining perkembangan
awal dilakukan menggunakan alat ukur Denver.Pasca 3 bulan intervensi,
perkembangan bayi dinilai menggunakan BSID edisi-III yang terlebih dahulu
dilakukan uji validitas dan reliabilitas.Kualitas stimulasi rumah di nilai
menggunakan alat ukur HOME.
Hasil.Skor validitas dari BSID edisi-III adalah 0,964 (kognitif), 0,934 (bahasa),
0,822 (gerak) dengan Cronbach Alpha sebesar 0,918 serta reliabilitas test-retest
0,846. Subjek yang memenuhi kriteria sebanyak 88 orang, dengan jenis kelamin
laki-laki (61,4%), usia 9-12 bulan (68,2%), status gizi baik (75%). Perbedaan
bermakna terdapat pada skor HOME dan semua aspek penilaian perkembangan
BSID di kedua grup setelah masa intervensi 3 bulan (p<0,001). Skor grup GD
lebih unggul 1 angka dibandingkan K pada skor HOME (p=0,024) and 32 angka
lebih unggul pada skor BSID (p=0,002). Faktor jumlah anak bermakna secara
statistik memengaruhi perkembangan dengan risiko relative 3.13 (IK 95% 1.18-
8.33, p=0,022).
Simpulan.Instrumen BSID edisi-III versi Bahasa Indonesia merupakan alat ukur
yang sahih dan andal untuk digunakan pada penelitian ini. Secara umum tidak
terdapat perbedaan skor perkembangan bayi usia 6-12 bulan yang mendapat
stimulasi metode GD dan K kecuali perkembangan perilaku adaptif.

ABSTRACT
Child development is multi-dimensional and encompasses cognitive, language, sensory-motor, social-emotional, adaptive behavior domains, all of
which are interdependent. Two stimulation interventions (Glenn Doman (GD) and
Kemenkes (K) methods) were conducted in this study.
Aims.To investigate the difference in developmental aspects after intervention
with GD and K methods in infants age 6-12 months.
Methods. This was a prospective cohort study in normal developmental infants.
Developmental screening at enrollment used Denver instrument. Three months
post intervention, the development was assessed with BSID III, in which
validation and reliability test were undertaken as first step. A modified version of
HOME inventory was used as edition to assess home environment.
Results.The validity score of BSID-III was 0.964 (cognitive), 0.934 (language),
0.822 (motor) with Cronbach alpha of 0.918 and a reliability test-retest of 0.846.
There were 88 subjects fulfilled the criteria. Subject mostly were male (61.4%) 9-
12 months old (68.2%), normal anthropometric status (75%). The results revealed
significant differences in HOME score and all aspects of Bayley score in GD and
K group after 3 months intervention period (p<0.001). The GD benefited 1 point
compared with K group in HOME score (p=0.024) and 32 points in Bayley score
(p=0.002). Number of children was the most influential factor in infants’
development with a relative risk of 3.13 (CI95% 1.18-8.33, p=0.022).
Conclusions.The Bahasa Indonesia version of BSID-III was a reliable and valid
tool for the assessment of this study. There was no difference in developmental
score at age 6-12 months who had GD and K stimulation methods except for
adaptive behavior scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Black, Maureen M.
John Wiley & Sons: New York, 2000
155.422 BLA e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmawaty
"Perkembangan berbicara yang baik merupakan petunjuk penting yang menentukan kemampuan anak itu kelak untuk belajar. Keterlambatan berbicara dapat merupakan gejala berbagai kelainan antara lain gangguan pendengaran. Deteksi dini gangguan pendengaran tidaklah mudah, terkadang orangtua baru menyadari bahwa anaknya tidak dapat mendengar pada saat si anak berusia dua tahun.
Anak dengan gangguan pendengaran mengalami perkembangan kecerdasan yang tidak optimal sebagai akibat kurangnya informasi bunyi yang berguna dalam proses komunikasi dan proses belajar dengan lingkungan. Kemampuan intelegensi anak dengan gangguan pendengaran tidak selalu di bawah rata-rata sehingga perlu dilakukan upaya khusus untuk optimalisasi fungsi pendengaran dan perkembangan berbicara. Keberhasilan upaya ini dipengaruhi oleh penemuan kasus gangguan pendengaran pada tahap awal sehingga proses habilitasi dini dapat segera dilaksanakan.
Gangguan pendengaran adalah jenis kelainan bawaan terbanyak. Di Amerika Serikat angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus adalah 1 sampai 3 kasus dari 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Pendengaran di 7 propinsi sejak tahun 1993-1996 disebutkan bahwa 0,1% penduduk menderita tuli sejak lahir.
Semua anak dengan gangguan bicara hares menjalani tes pendengaran untuk membuktikan ada tidaknya gangguan pendengaran. Bila ternyata anak mengalami gangguan pendengaran, maka diperlukan intervensi dini berupa terapi bicara dan penggunaan alat bantu dengar, sehingga dengan dukungan keluarga dapat mengurangi atau menghapus perbedaan dalam kemampuan bicara anak tersebut dengan anak normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Niasari
"ABSTRAK
Semua anak dengan keterlambatan atau gangguan bicara hares dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran. Ada tiga tipe gangguan pendengaran yaitu gangguan pendengaran tipe konduktif, sensorineural, dan tipe campuran konduktif dan sensorineural. Gangguan pendengaran tipe sensorineural (8,4%), dan gangguan pendengaran tipe konduktif (4,9%) terjadi pada anak yang mengalami keterlambatan bicara karena gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran sensorineural merupakan masalah yang series, karena mempengaruhi perkembangan bicara, kemampuan berbahasa, serta menentukan prestasi di sekolah.
Tes pendengaran tetap dilakukan walaupun tidak ada keluhan gangguan pendengaran dari orangtua. Bila terdapat gangguan pendengaran, perlu segera diberikan intervensi dini berupa terapi bicara dan penggunaan alat bantu dengar. Dukungan keluarga sangat berperan dalam upaya meningkatkan kemampuan bicara.
The Early Language Milestone Scale (ELMS) adalah prosedur skrining perkembangan bahasa dan bicara yang dapat membantu menilai perkembangan tersebut sejak usia yang sangat muda. Dengan ELMS deteksi dini keterlambatan bicara dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan dasar, sehingga dapat merujuk dengan cepat untuk diagnosis dan penatalaksaan selanjutnya. Pemeriksaan pendengaran dapat dengan cara pengukuran yang bersifat fisiologis, atau dengan menggunakan tes terhadap perilaku. Pemerilcsaan fisiologis yang biasa dilakukan adalah metode otoacoustic-emissions (OAE), atau brainstem evoked response audiometry (BERA).
Pemeriksaan BERA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran, namun alat dan biaya pemeriksaannya cukup mahal dan tidak tersedia di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer atau di daerah terpencil. Tes Daya Dengar (TDD) adalah salah satu uji Lapis perkembangan yang dikembangkan oleh Direktorat }endral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1997. Fatmawati menggunakan TDD yang dibandingkan dengan SERA dan/atau OAE untuk mendeteksi gangguan pendengaran sebagai penyebab keterlambatan bicara, mendapatkan basil sensitivitas yang tinggi (92,9%) tetapi spesifisitas yang rendah (27,7%). ELMS diharapkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang Iebih baik, karena mengandung unsur auditory
receptive dan auditory expressive.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai validasi ELMS dalam mendeteksi kemungkinan adanya gangguan pendengaran sensorineural yang merupakan penyebab keterlambatan bicara.
RUMUSAN MASALAH
Berapakah sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ELMS pada anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran sensorineural, dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan pendengaran BERA ?
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Herawaty,author
"Stimulasi perkembangan yang dilakukan secara terarah pada usia dini meningkatkan kemampuan anak di semua ranah perkembangannya. Kualitas pengasuhan yang dilakukan oleh ibu dan lingkungan keluarga lain berperan dalam menentukan keberhasilan stimulasi. Metode edukasi yang lebih efektif dan informatif dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pengasuhan ibu. Video panduan stimulasi diperkirakan bisa menjadi sarana belajar yang baik.
Tujuan. Menilai kenaikan tingkat perkembangan (Developmental Quotient/DQ) bayi usia 6-12 bulan sesudah diberikan stimulasi oleh ibu dengan video panduan stimulasi dibandingkan dengan bayi yang dilakukan stimulasi mandiri oleh ibu berdasarkan buku KIA.
Metode. Penelitian uji acak terkendali terbuka (open randomized controlled trial) yang membandingkan kualitas pengasuhan dan tingkat perkembangan bayi usia 6-12 bulan sebelum dan sesudah pemberian video stimulasi perkembangan kepada ibu dibandingkan dengan stimulasi berdasarkan buku KIA. Penilaian kualitas pengasuhan menggunakan instrumen HOME Inventory dan tingkat perkembangan (DQ) menggunakan Griffith-III. Dinilai kualitas pengasuhan anak, DQ anak secara keseluruhan, perbandingan DQ sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok, hubungan kualitas pengasuhan dan DQ, serta kenaikan DQ pada kedua kelompok.
Hasil. Skor HOME Inventory kategori baik (skor ≥27) pada kelompok perlakuan sebesar 84,09% dan 15,91% kurang baik (skor <27), sedangkan pada kelompok kontrol 53,45% kategori baik dan 46,55% kurang baik. Tingkat perkembangan anak dalam DQ mendapatkan 16,16% di bawah rerata (<90), 58,82% rata-rata (DQ 90-109), dan 23,23% di atas rerata (>110). Kenaikan DQ dari pretest ke post-test pada kelompok perlakuan sebesar 14,27+12,12 dibandingkan dengan 1,37+18,55 pada kelompok kontrol.
Simpulan. Stimulasi dengan panduan video meningkatkan DQ bayi usia 6-12 bulan lebih tinggi daripada stimulasi berdasarkan buku KIA.

Developmental stimulation at an early age improves children's abilities in all areas of development. The quality of care performed by the mother and other family plays a role in determining the success of stimulation. More effective and informative educational methods are needed to improve the quality of maternal care. Stimulation guide videos are expected to be a good learning tool for mothers and caregivers of the child.
Objective.
Assessing the increase in the level of development (Developmental Quotient/DQ) infants aged 6-12 months after being given stimulation by mothers who received stimulation guidance videos compared to babies who were self-stimulated by mothers based on the MCH Handbook.
Methods.
An open randomized controlled trial that compared the quality of care and development levels of infants aged 6-12 months before and after treatment in the form of providing developmental stimulation videos to mothers compared to a control group that performed stimulation based on the MCH book. Assessment of the quality of care using the HOME Inventory instrument, and the level of development (DQ) using Griffith-III. Assessed the quality of childcare, DQ of children as a whole, comparison of DQ before and after treatment in the two groups, the relationship between the quality of care, and DQ and the increase in DQ in both groups.
Results.
HOME Inventory scores in the good category (score 27 and above) in the treatment group were 84.09% and 15.91% were not good (below 27), while in the control group 53.45% were in good categories and 46.55% were not good. The level of child development in the DQ was 16.16% below the average (<90), 58.82% on average (DQ 90-109) and 23.23% above the average (> 110). The increase in DQ from pretest to posttest in the treatment group was 14.27 + 12.12 compared to 5.02 + 18.55 in the control group.
Conclusions.
Video stimulation can increase the DQ value of infants aged 6-12 months more than self-stimulated method based on the MCH handbook.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Wangke
"Neonatus kurang bulan (NKB) merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap masalah perkembangan. Selama beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) telah meningkatkan kelangsungan hidup NKB. Perawatan NKB adalah tidak hanya untuk menurunkan angka kematian tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup bagi neonatus yang hidup. Penelitian ini bertujuan untuk melihat luaran perkembangan dan faktor risiko gangguan dari neonatus kurang bulan pascarawat di RSCM. Ini merupakan suatu studi analitik dengan metode potong lintang terhadap NKB pascarawat di RSCM selama periode April-Agustus 2023. Penilaian perkembangan menggunakan instrumen Bayley Scales of Infant and Toddler Development edisi III. Hubungan antara usia kehamilan, kecil masa kehamilan, status gizi, brain injury, sepsis neonatal dengan luaran perkembangan dianalisis dengan uji Fisher exact. Dari 75 subjek, sebesar 29,3% neonatus kurang bulan mengalami gangguan perkembangan. Gangguan motor merupakan gangguan perkembangan yang paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 21,3%, diikuti gangguan bahasa, kognitif, dan sosial-emosional, yaitu 18,7%, 10,7% dan 1,3%, secara berurutan. Status gizi berhubungan signifikan dengan luaran perkembangan bahasa ekspresif (p=0,004; OR 8,04, CI=1,64-42,63).

Preterm neonates are a high-risk group of developmental problems. Preterm neonates care is not only to reduce mortality but also to improve the quality of life. Cipto Mangunkusumo Hospital is a tertiary neonatal referral hospital with the best neonatal services in Indonesia. This study was aimed to analyze the risk factors of developmental delay and developmental outcomes of preterm neonates after hospitalization at RSCM. An analytic study with cross-sectional design involves premature neonate post-hospitalization at RSCM during April-August 2023. Developmental assessment using of Bayley Scales of Infant and Toddler Development-Third edition. Association between gestational age, small gestational age, nutritional status, brain injury, neonatal sepsis and developmental outcomes were analyzed using Fisher exact test. Out of the 75 subjects, 29.3% of preterm neonates experienced developmental disorders. Motor disorders were the most commonly identified developmental issue, accounting for 21.3%, followed by language, cognitive, and social-emotional disorders. Nutritional status was significantly associated with the outcomes of expressive language development (p=0.004; OR 8.04, CI=1.64-42.63)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Wahyu Triyuniati
"Latar belakang: Keterlambatan perkembangan adalah morbiditas jangka panjang akibat prematur dan perdarahan intraventrikel (PIV). Uji Capute scales merupakan alat perkembangan yang praktis dan dapat menegakkan keterlambatan perkembangan. Tujuan: mengetahui luaran keterlambatan perkembangan dengan uji Capute scales pada anak dengan riwayat prematur dan PIV. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap 96 anak usia koreksi 6-36 bulan di RSCM. Penelitian ini mencari prevalens dan jenis keterlambatan perkembangan dengan uji Capute scales antara kelompok prematur dengan PIV sedang-berat dan kelompok PIV ringan. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara derajat PIV, usia gestasi, berat lahir, apneu of prematurity (AOP), ventilator mekanik dini, resusitasi aktif, dan patent ductus arteriosus (PDA) terhadap keterlambatan perkembangan. Hasil: Prevalens keterlambatan perkembangan pada kelompok anak dengan prematur dan PIV adalah 19,8%. Kelompok anak dengan riwayat prematur dan PIV sedang berat memiliki 2,56 kali mengalami keterlambatan perkembangan umum dibandingkan dengan kelompok prematur dan PIV ringan (IK95% 1,176-5,557; nilai p=0,037). Jenis keterlambatan perkembangan kognitif/visual-motor didapatkan peningkatan risiko tertinggi (rasio prevalens 4,73 (IK95%1,92-11,69; nilai p=0,001) dibandingkan keterlambatan perkembangan bahasa. Analisis multivariat menunjukkan apneu of prematurity (AOP) adalah faktor risiko independen yang berhubungan dengan luaran keterlambatan perkembangan pada kelompok prematur dan PIV (OR 4,01 (IK95%1,37-11,75); nilai p=0,011). Kesimpulan: Derajat PIV berperan sebagai salah satu komorbid yang mempengaruhi luaran keterlambatan perkembangan.

Background: Neurodevelopmental delay is among one of long-term morbidities for children with history of prematurity and intraventricular hemorrhage (IVH). The Capute scales test is a practical developmental tool with diagnostic value for neurodevelopmental delay. Objective: To investigate neurodevelopmental delay outcome using Capute scales test. Methods: It is a cross-sectional study involving 96 children at 6-36 months corrected age with history of prematurity and IVH in RSCM Jakarta. This study measures prevalence and characteristics of neurodevelopmental delay among children with prematurity and IVH mild-severe IVH group compared with mild IVH group. Analysis was done to determine relationship between IVH grades, gestational age, birth weight, apneu of prematurity (AOP), early mechanical ventilator use, active resuscitation history, and patent ductus arteriosus (PDA) and neurodevelopmental delay. Results: Prevalens of neurodevelopmental delay in children with history of prematurity and IVH is 19,8%. Premature children with mild-severe IVH group showed greatest risk in cognitive/visual-motor delay (PR 4,73 (95%CI 1,92-11,69; p=0,001) than language delay. Multivariate analysis showed AOP is the only independent risk factor related to neurodevelopmental delay in children with history of prematurity and IVH (OR 4,01 (95%CI 1,37-11,75); p=0,011). Conclusion: IVH grades contribute as one of comorbidities which influence neurodevelopmental delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>