Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123332 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulfikar
"Penelitian ini untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran kayu bulat dan mengetahui terjadinya kesenjangan antara permintaan dan penawaran kayu selama periode tahun 1976 sampai dengan 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tanda koefisien pads model permintaan dan penawaran sudah sesuai dengan harapan. Beberapa variabel pada model permintaan kayu bulat mempunyai koefisien yang tidak sesuai dengan harapan, diantaranya harga kayu bulat (Pd-L) yang mempunyai koefisien positif, tidak sesuai dengan hukum permintaan. Hal ini dapat diatasi dengan menambah sebuah variabel perbedaan harga antara harga kayu bulat domestik dengan harga kayu bulat internasional. Selanjutnya, pada model penawaran diperoleh koefisien negatif untuk variabel kebijakan (Pol). Hal ini menunjukkan bahwa variabel kebijakan dalam bentuk larangan ekspor kayu bulat tidak berjalan efektif dan cenderung counterproductive terhadap pengembangan industri primer hasil hutan kayu. Disamping itu, kebijakan larangan ekspor kayu bulat dan investasi industri kayu yang berintikan kayu lapis telah menyebabkan hilangnya mekanisme pasar kayu bulat. Dalam kondisi pasar tidak bersaing sempuma (imperfect market), sistem perijinan memberi kesempatan kepada pare pengusaha besar untuk membangun posisi oligomonopsonist. Kondisi ini berdampak pada harga kayu tegakan (stumpage value) jauh lebih rendah dibanding intrinsic value atau harga kayu bulat yang seharusnya.
Untuk mengurangi kesenjangan antara permintaan dan penawaran kayu, maka pemerintah perlu mengambil kebijakan yang terkait langsung dengan sisi permintaan dan sisi penawaran. Penanganan sisi permintaan akan jauh lebih sulit dibanding sisi penawaran, karma di sisi permintaan terkait dengan kondisi politik disamping kondisi ekonomi. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada sisi permintaan adalah: kebijakan pemerintah melarang ekspor bahan baku dikaitkan dengan mendorong industri kayu lanjutan, daftar negatif investasi, perpajakan, kredit perbankan, dan pengadaan kayu clan sumber yang legal dan lestari; pembentukan dan pernisahan pasar kayu bulat dengan pemegang HPH (bidding system); serta pengurangan kapasitas industri primer basil hutan kayu. Sedangkan pads sisi penawaran meliputi: penguatan kapasitas kelembagaan; pembangunan hutan tanaman; insentif (subsidi bunga, pajak); investasi mesin-mesin yang akan meningkatkan efisiensi dan memanfaatkan limbah; serta impor kayu.

This research is aimed at finding independent variables which significantly influence demand and supply of logs and recognizing a gap between demand and supply of logs in 1976 to 2003. The research shows that most of coefficient of independent variables is as expected. The demand equation indicates a coefficient of logs price (Pd-L) has a positive sign, which is not in line with the demand rule. This can be overcome by adding a new variable of differential price between domestic log price and international log price. The supply equation shows that a coefficient of government policy (Poi) has a negative sign. The negative sign can be interpreted that the government policy in the form of log export ban has been ineffective and counterproductive for development of primary forest products industry. Furthermore, the policy of log export ban and investment in timber industry mainly plywood has resulted in a loss of market mechanisms for log. In imperfect market, licensing scheme has given an opportunity for large corporations to establish oligomonopsonist. This condition has caused stumpage value of log far lower than its intrinsic value.
In order to reduce a gap between demand and supply of log, the Government of Indonesia has to implement a policy which directly relates to demand and supply. Government intervention on demand side is more difficult than supply side, since demand side is connected to political and economic situation. On demand side government policy should address among other things: log and sawn timber export ban should be targeted to develop secondary timber processing, negative list of investment, taxes, credits, timber legality and green procurement policy-, establishment and separation of log market with forest concession through bidding system; and down-sizing of primary industry capacity. Whereas supply side covers institutional strengthening; timber plantation development; incentives (subsidy and tax); new investment to increase efficiency and wood waste utilization; and wood import.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T20371
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Mangara
"Struktur industri kehutanan saat ini cenderung bias pada industri berskala besar dan kurang mengaitkan kegiatan ekonomi hutan dengan ekonomi lokal dalam upaya menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. permasalah kelembagaan berupa lemahnya law enforcement telah mengurangi investasi mengiringi berkembangnya industri berskala besar. Di sisi lain, industri skala menengah sebagai penyeimbangan ternyata tidak tumbuh sehingga memunculkan fenomena missing of the middle dalam industri kehutanan. Industrialisasi kehuatan berbasis skala kecil dan menengah diharapkan dapat mengurangi permintaan terhadap bahan baku kayu. Untuk ini pemerintah perlu melakukan restukturisasi industri kehutanan secara efektif ditunjukkan oleh keterkatian kebijakan industri (industrial policy). Kebijakan down sizing industri kehutanan tidak cukup untuk mengurangi tekanan terhadap hutan sehingga intervensi harus juga dilakukan di sisi suplai. Pemerintah harus meninjau untuk menggnati sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dengan sistem yang lebih menggunakan sistem mekanisme pasar (bidding system). Sistem pasar ini mensyaratkan adanya perusahaan pada pasar kay dan non kayu. Dalam pasar kayu ini industri pengolahan IKM (Industri Kecil dan Menengah) diupayakan mendapat akses yang lebih besar memasuki pasar kayu bulat."
Jurnal Kebijakan Ekonomi, 2005
JUKE-1-1-Agust2005-37
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dumanauw, J.F.
Jakarta: Gramedia, 1984
620.12 DUM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aini Sulistyowati
"Kayu merupakan salah satu bahan bangunan yang masih digunakan oleh masyarakat hingga saat ini. Kekuatan kayu dapat diketahui dengan melakukan pengujian sifat mekanis di laboratorium. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan percobaan acak lengkap 2 perlakuan terdiri atas contoh uji kecil kayu bebas cacat dan contoh uji kayu skala penuh. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara hasil uji modulus elastisitas dan kuat lentur contoh uji kecil bebas cacat dengan contoh uji skala penuh kayu Gmelina. "
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum , 2020
690 MBA 55:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aufiyya Naissa
"Indonesia, dengan sumber daya energi yang melimpah baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, menghadapi kebutuhan untuk beralih dari bahan bakar fosil karena ketergantungan yang tinggi pada bahan bakar tersebut untuk konsumsi energi primer. Pelet kayu telah muncul sebagai solusi yang menjanjikan, yang digunakan sebagai bahan campuran batu bara dalam program co-firing di Indonesia. Namun, berinvestasi dalam proyek energi terbarukan, khususnya pabrik pelet kayu, melibatkan risiko dan ketidakpastian yang melekat. Risiko-risiko tersebut meliputi fluktuasi harga pelet kayu, harga bahan baku, dan biaya operasi dan pemeliharaan. Oleh karena itu, penting untuk menilai valuasi proyek dengan mempertimbangkan risiko-risiko tersebut dalam model penilaian. Pendekatan Value at Risk (VaR), yang dikombinasikan dengan analisis Discounted Cash Flow (DCF) dan simulasi Monte Carlo, menyediakan strategi yang cocok untuk mengkuantifikasi nilai proyek sambil memperhitungkan risiko. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan valuasi pabrik pelet kayu dengan memasukkan risiko dan ketidakpastian, khususnya dengan menghitung NPV dan IRR dengan tingkat keyakinan 95%. Hasil menunjukkan bahwa valuasi proyek mengalami penurunan ketika terkena risiko pada tingkat keyakinan yang ditentukan. Selain itu, hasil analisis ini menunjukkan bahwa harga jual pelet kayu merupakan faktor risiko yang paling signifikan yang mempengaruhi valuasi proyek.

Indonesia, with its rich energy resources, both renewable and non-renewable, faces the need for a transition from fossil fuels due to heavy reliance on them for primary energy consumption. Wood pellets have emerged as a promising solution, which are being used as a coal blending material in Indonesia's co-firing program. However, investing in renewable energy projects, particularly wood pellet factories, involves inherent risks and uncertainties. These risks include price fluctuations of wood pellets, feedstock, and operation and maintenance costs. Therefore, it is essential to assess the project's value while considering these risks in the valuation model. The Value at Risk (VaR) approach, combined with Discounted Cash Flow (DCF) analysis and Monte Carlo simulation, provides a suitable strategy for quantifying the project's value while accounting for risks. This study aims to determine the value of a wood pellet factory by incorporating risk and uncertainty, specifically by calculating the NPV and IRR with a 95% confidence level. The findings demonstrate that the project's valuation decreases when exposed to risks at the specified confidence level. Moreover, the analysis highlights the selling price of wood pellets as the most significant risk factor influencing the project's valuation. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daragantina Nursani
"Penggunaan biomassa sebagai sumber energi atau bahan bakar dalam bentuk pelet memiliki banyak keunggulan, diantaranya mudah untuk disimpan, didistribusikan, serta membuat proses pembakaran lebih sempurna dan stabil. Dalam proses pembuatan pelet, biomassa perlu dikeringkan terlebih dahulu untuk menghindari kontaminasi jamur yang dapat menurunkan nilai kalor. Jenis pengering yang biasa digunakan untuk pengeringan biomassa adalah tipe rotari, karena memiliki kapasitas tinggi, mudah dalam pengoperasian dan pemeliharaan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi proses pengeringan dengan menginvestigasi laju penurunan kadar air sampah biomassa pada ruang pengering, menginvestigasi sebaran energi pada ruang pengering, serta menginvestigasi pengaruh debit dan suhu udara pengering serta residence time material terhadap efisiensi energi sistem pengering rotari.
Penelitian ini dilakukan secara experimental dengan mengukur suhu, kelembaban, kecepatan udara, kecepatan putar, dan bobot produk dan pelet pada berbagai variasi yaitu variasi debit udara pengering 0,6, 1, dan 1,25 m3/s, variasi kecepatan putar 1, 1,25 dan 1,5 RPM dan variasi laju konsumsi pelet 48 g/min dan 123 g/min. Data hasil experimen dianalisa dengan menggunakan analisa heat dan mass tranfer untuk menghitung sebaran penurunan kadar air dan energi pindah panas, serta analisa energi input dan output untuk perhitungan efisiensi energi sistem pengering.
Hasil analisa menunjukkan bahwa laju penurunan kadar air sangat dipengaruhi oleh laju aliran udara pengering, penurunan kadar air tertinggi pada variasi 1,25 m3/s. Penurunan kadar air tertinggi terjadi pada awal masuk material ke ruang pengering dan semakin melandai saat material menuju pengeluaran drum pengering. Perpindahan panas pada drum pengering terjadi paling tinggi di titik Q 4-5 (ujung drum pengering/arah pemasukan material). Rata-rata nilai energi perpindahan panas ini lebih tinggi pada laju aliran udara pengering yang lebih tinggi. Efisiensi sistem memiliki trend meningkat seiring dengan peningkatan debit udara pengeringan, efisiensi sistem bervariasi dari 8,91% hingga 26,84%.

The use of biomass as an energy source or fuel in the form of pellets has many advantages, including being easy to store, distribute, and make the combustion process more perfect and stable. In the pellets processing, biomass needs to be dried to avoid fungal contamination which can reduce the caloric value. The type of dryer that is normally used for biomass drying is the rotary type, because it has a high capacity, easy to operate and maintain.
This study aims to optimize the drying process with investigate the rate of decrease in water content of biomass waste in the drying chamber, investigate the distribution of energy in the drying chamber, and investigate the effect of discharge and temperature of the drying air and residence time material on the energy efficiency of a rotary drying system.
This research was carried out experimentally by measuring temperature, humidity, air velocity, rotational speed, and weight of products and pellets at various variations, namely variations in the drying air discharge of 0.6, 1, and 1.25 m3/s, variations in rotational speed of 1, 1.25 and 1.5 RPM and the variation of pellet consumption rate is 48 g/min and 123 g/min. Experimental data were analyzed using heat and mass transfer analysis to calculate the distribution of water content reduction and heat transfer energy, input and output energy analysis for the calculation of the energy efficiency of a drying system.
The results of the analysis show that the rate of decrease in water content is strongly influenced by the rate of drying air flow, the highest decrease in water content at a variation of 1.25 m3/s. The highest decrease in water content occurs at the initial entry of material into the drying chamber and increasingly sloping as the material leads to the drying drum dryer. Heat transfer in the drying drum occurs highest at Q points 4-5 (end of the drying drum/direction of material entry). The average value of this heat transfer energy is higher at higher drying air flow rates. System efficiency has an increasing trend along with an increase in drying air discharge, system efficiency varies from 8.91% to 26.84%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harryadin Mahardika
"Pengenalan model kompetisi duopoli yang dilakukan sejak tahun 2001, mulai sedikit demi sedikit mengubah industri telekomunikasi di Indonesia. Kompetisi duopoli merupakan tahap transisi menuju kompetisi penuh dan terbuka yang diharapkan akan terjadi pada tahun 2010. Namun, jalan panjang menuju tahapan itu masih harus dilalui bersama.
Penerapan kompetisi duopoli sendiri disertai sejumlah paket deregulasi yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia, seperti deregulasi interkoneksi, tariff rebalancing, SO (Universal Service Obligation), dan beberapa deregulasi lainnya. Dibandingkan isu lainnya, deregulasi interkoneksi menjadi salah satu titik kunci dalam tahap transisi Interkoneksi merupakan salah satu titik permasalahan dalam introduksi kompetisi di industri telekomunikasi Indonesia. Potensi permasalahan yang mungkin timbul adalah penolakan operator incumbent terhadap perubahan skema perhitungan tarif interkoneksi dari revenue sharing menjadi berbasis biaya (cost-based) yang tertuang dalam deregulasi interkoneksi tersebut.
Sebagai bagian dari paket restrukturisasi industri telekomunikasi di Indonesia, kebijakan deregulasi interkoneksi berbasis biaya dapat dijadikan sarana belajar bagi regulator, operator, maupun pihak lain yang terkait, dalam melakukan transisi perubahan yang mules dan berbiaya minimal. Keberhasilan penerapan interkoneksi berbasis biaya nantinya akan menentukan masa depan industri ini, terutama dalam mencapai tujuan terciptanya kompetisi penuh dan terbuka.

The introduction of duopoly competition in 2001 has changed the Indonesians telecommunication industry. Duopoly competition has been chosen as a transition stage before the industry is ready for open competition or liberalization, which is targeted, will be implemented in 2010. However, it is still a long way to go.
Along with the implementation of duopoly competition, the government of Indonesia is also introducing several deregulation policies, including interconnection, tariff re balancing, and USO (Universal Service Obligation). Compare with the other issues, interconnection deregulation policy is the most vital and key to the restructuring process. The government plan to change interconnection tariff scheme from revenue sharing to cost-based. It has the potential to make the process deadlock, consider that incumbent operator will against the deregulation that seems to threaten their income.
As a part of restructuring process, interconnection deregulation policy can be a case study for regulator, operators, and interest groups in the Indonesians telecommunication industry. They can learn the dynamics of restructuring process and how to achieve the target at minimal cost. The success of interconnection deregulation will decide the future of Indonesians telecommunication industry."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19766
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Yayasan Dana Normalisasi Indonesia, 1979
694.1 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas, Darrel D.
Yogyakarta: Airlangga University Press, 1987
674.38 NIC wt I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Airlangga University Press, 1988
691.12 Kem
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>