Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194723 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Doni Ali Rahman
"Tariff plays an important role in the national development because it traditionally constitutes a source of state revenue and income. Consequently, it must be regulated, managed, controlled and organized so as to benefit the whole country and people. Being the source of national revenue and Income, it becomes an integral part of any business and commercial activity. The tariff serves, in the business world, a consideration and an attraction or a source of excellence for a country. Further, in the intemational trade system, the tariff itself is a kind of tax imposed on imported goods and forms the oldest trade policy used as the source of government earnings.
In a commercial context, telecommunication has become an exchanged commodity and that its policies will refer to free mamet enterprise (free market). Such principles of the free market as equality and transparency are a demand towards the more constructive competition for increasing public welfare and prosperity. Today, many countries reform their tariffs to stimulate their development programs. The reform may take the form of tariff system simplification, strict tariff elimination, and reduction of presumably excessive tariff.
One of the noteworthy tariff policies is that of telecommunication tariff management. That policy is popularly known ?rebalancing tariff' that serves principally to adjust the telephone tariff to costs of its components. Rebalancing Tariff is, in Itself, for a reasonable price in accords with the current trend where local monthly tariff is rising whereas that for direct-dial long distance network and new set of connections is falling.
That government made the policy by using the widely used Price Cap formula in other parts of the world. This formula considers such factors as cost of development, industrial strike, change of exchange rate, investment fund requirement, and customer ability and inflation rate.
From the calculation result, the government raises, then, the tariff of local network, monthly bm and direct-dial long distance network as well. The policy becomes an attraction to investment in the telecommunication services management and infrastructure development. lt goes with the problem facing the telecommunication development in Indonesia, that is, geographical constellattion and demographic condition, investment capacity because the telecommunication is capital- intensive and investment security while the govemment has no longer financed it since 1985.
Therefore, the policy is really directed to invite investors, either foreign or local, and that the government does not any more function as operator but only regulator according to their functions and duties. For the international direct-call with the tariff rebalancing, the organizer as the operator should reduce the cost of utility because it does not depend on the distance and location other than its bandwidth and mobility so as to encourage the state internationalization in its various commodities for the benefits of community, nation and country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brenda Jesslyn
"ABSTRAK
Selama ini, banyak yang telah percaya bahwa strategi rebalancing merupakan
salah satu metode manajemen risiko portofolio yang juga dapat memberikan
tambahan tingkat pengembalian (rebalancing bonus) bagi yang melakukannya,
dan, penelitian ini membuktikan jika rebalanced portfolio menghasilkan risiko
yang lebih rendah pada saat masa krisis 2008 dan 2013, serta hasil investasi yang
lebih tinggi daripada unrebalanced portfolio selama periode investasi 10 tahun.
Tetapi ternyata, pengujian secara statistik menyimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara hasil rebalanced portfolio dengan unrebalanced
portfolio, dan strategi rebalancing lebih tepat jika diterapkan pada industri
progresif daripada industri defensif. Simulasi penelitian ini juga sudah melibatkan
biaya transaksi.

ABSTRACT
During this time, many have believed that rebalancing strategy is one of portfolio
risk management methods which can also provide additional returns (rebalancing
bonus), and this research found that rebalanced portfolio resulted in a lower risk
at the time of the 2008 crisis and 2013, as well as higher investment returns than
non-rebalanced portfolio during the investment period of 10 years. But it turns
out that statistically testing concluded that there was no significant difference
between the results of the non-rebalanced portfolio versus rebalanced portfolio,
and rebalancing strategies are more appropriate when applied to a progressive
industry than defensive industry. This simulation study also involves transaction
costs variable."
2016
S63357
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Titi Indrasari
"Kemampuan dan kehandalan internet telah memberikan banyak kemudahan bagi berbagai aspek kehidupan. Internet dapat menjadi sumber informasi dan sarana komunikasi yang murah dan cepat. Saling keterhubungan jaringan internet yang sangat luas dan menjangkau seluruh dunia membuat internet banyak dijadikan referensi dalam berbagai hal. Pengguna internet di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan dimana pada tahun 2000 mencapai sekitar 2.000.000 pengguna, sedangkan pada tahun 2010 telah mencapai sekitar 30.000.000 pengguna, Seluruh pengguna tersebut dilayani oleh 180 penyelenggara ISP yang terkoneksi ke jaringan internet melalui 40 Penyelenggara NAP. Pada Tahun 2008, total kapasitas bandwidth yang disediakan oleh Penyelenggara NAP secara nasional mencapai 50 Gbps sedangkan kebutuhan kapasitas bandwidth secara nasional ditingkat Penyelenggara ISP yang terhitung pada saat itu adalah sekitar 26 Gbps. Sehingga total kapasitas bandwidth secara nasional relatif telah melebihi kapasitas (over supply) jika dibandingkan dengan kebutuhan kapasitas bandwidth (demand) secara nasional, sehingga pada tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai moratorium (penghentian sementara) perizinan penyelenggaraan ISP dan NAP sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk menganalisa proyeksi masa depan terhadap kondisi supply-demand kapasitas bandwidth internasional yang seimbang sehingga menciptakan iklim kompetisi yang baik dalam penyelenggaraan NAP di Indonesia dengan didasarkan pada data berkala (time series) untuk menentukan garis tren dari tahun 2010 ? 2014 dimana garis tren ini yang akan dipergunakan untuk membuat perkiraan (forecasting) sebagai dasar pembuatan perencanaan setelah disandingkan dengan peraturan dan kebijakan di bidang penyelenggaraan NAP sehingga hasil perkiraan tersebut dapat dijadikan salah satu alternatif rekomendasi kebijakan moratorium perizinan NAP di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisa, moratorium perizinan terhadap penyelenggara jasa NAP untuk 5 tahun ke depan perlu disesuaikan karena tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara alternatif 1 dan alternatif 2, sehingga pengembalian perizinan NAP dianggap bukan merupakan solusi.

Many aspect of life has been touched by the existence of internet with its capability and reliability. Internet is the source for information and the easy and fast means of communications. The broad interconnectivity of internet access and wide coverage in the world has made internet the reference for many things. Internet users in Indonesia within the past decade have been increased significantly. In the year 2000, internet users in Indonesia were around 2,000,000 and in the year 2010 has reached the number of 30,000,000. Indonesia internet users are provided by 180 ISPs which connected to the internet network through 40 NAPs. In the year 2008, the total bandwidthm capacity that provided by NAPs nationally reached 50 Gbps in contrary total bandwidth capacity demand in the level of ISPs was 26 Gbps. Nationally, the total bandwidth capacity have been over supply if compared with its demand. For that reason, in the year 2010, the Government has established a regulation regarding moratorium (temporary suspended) for issuing ISP and NAP operational license within indefinite period of time.
The goal of this research is to make the forecasting for balancing supply demand in international bandwidth capacity in the NAP?s level in order to create a healthy and continuous competition environment. This is performed by making estimation on the needs of internet bandwidth capacity and estimation of growth of the internet bandwidth capacity for NAP (supply) and ISP (demand) to base on the data series methods as the foundation of trend line. This trend line will be used to perform the forecasting as the basis of planning development and will be matched with the regulations and policies in NAP services in Indonesia. The inequity between demand and supply would be the basic on taking the next regulation of NAP moratorium licenses.
Based on the analysis result, in next five years the moratorium for NAP services should be adjusted due to no significant difference between alternative 1 and alternative 2, thereby permitting the return NAP operation licencing is not considered a solution.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T29865
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Fierza M.
"Tesis ini membahas tentang Analisa Kebijakan Klasifikasi Jasa Telekomunikasi dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) Sebagai Referensi Penyusunan Komitmen Indonesia Dalam Liberalisasi Perdagangan Di Bidang Jasa Telekomunikasi dan kepentingan Indonesia dalam rangka liberalisasi jasa serta kesesuaian dengan komitmen dalam (GATS-WTO) khususnya di bidang jasa telekomunikasi. Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk didalamnya regulasi nasional dan specific commitments untuk perundingan Internasional.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, karena penelitian ini menitik beratkan pada penelitian kepustakaan yang meneliti asas-asas hukum, sistematis hukum, dan sikronisasi hukum dengan jalan menganalisa kebijakan specific commitments yang disusun oleh negara anggota WTO dalam sektor telekomunikasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode preskiptif kualitatif.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa saat ini banyak negara anggota WTO memiliki penafsiran yang berbeda-beda dalam menyusun specific commitments. Klasifikasi dalam dokumen W120 yang dijadikan acuan dalam penyusunan specific commitments sampai saat ini perlu dilakukan penyesuaian dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, struktur pasar telekomunikasi, model bisnis dan juga regulasinya.

This thesis discusses the Policy Analysis Classification of Services in the General Agreement on Trade in Services (GATS) As Reference Preparation of Indonesia's commitment in Trade Liberalization in the Field of Telecommunication Services and Indonesian interests in the context of the liberalization of services and compliance with the commitments (GATS-WTO) in particular in the field of telecommunications services. In accordance with the principle of global trade, which focuses on the principles of free trade and non-discriminatory, Indonesia must be prepared to adjust the operation of telecommunications, including the national regulations and specific commitments for International negotiations.
This research is normative, because this study focuses on the research literature that examines the principles of law, the law systematically, and analyze the synchronization law with specific policy commitments that WTO member countries compiled by the telecommunications sector. The data obtained were analyzed using qualitative methods prescriptive.
From the results of this study indicate that many current WTO member countries have different interpretations in preparing specific commitments. Classification in the referenced documents W120 in the preparation of specific commitments to date needs to be adjusted with the development of telecommunications technology, telecommunications market structure, business models and regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Herlangga Masrie
"Kemajuan teknologi yang cepat dan liberalisasi pasar telekomunikasi telah memicu lahirnya jenis-jenis jasa telekomunikasi baru secara signifikan. Konsekuensinya, ketersediaan jaminan interkoneksi yang reliable antar operator, baik pada skala lokal, nasional, regional maupun internasional, merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi keberlangsungan beragam jenis layanan telekomunikasi. Ketiadaan interkoneksi yang memadai antaroperator dapat menyebabkan penyelenggaraan berbagai jasa telekomunikasi menjadi terhambat dan tidak efisien karena setiap penyelenggara telekomunikasi hanya dapat tersambung dengan jaringannya masing-masing. Berakhirnya hak eksklusivitas dari TELKOM dalam penyelenggaraan jasa dan jaringan SLJJ di Indonesia menjadikan Indosat mendapat lisensi sebagai operator sambungan lokal dan SLJJ. Karena keterbatasan jaringan domestiknya, Indosat sangat bergantung pada interkoneksi dan TELKOM sebagai incumbent operator agar dapat memberikan layanan kepada pelanggan jasa telekomunikasi dasar untuk melewatkan maupun menterminasi jasa. Hal ini dapat digunakan incumbent untuk menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya dengan melakukan penolakan atau memperlambat pemberian interkoneksi, menghalangi konsumen atau pelanggan Indosat untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan operator pesaing, dan menetapkan syarat-syarat interkoneksi yang tidak adil dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi operator lain untuk mendapatkan jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Peraturan yang ada sudah cukup mengatur penyalahgunaan posisi dominan dalam penyelenggaraan interkoneksi jasa SLJJ dalam era duopoli ini. Untuk pengaturan kedepannya diperlukan aturan teknis tambahan seperti pemenuhan interkoneksi secara tepat waktu, tersedianya prosedur negosiasi interkoneksi yang baku dan terbuka untuk umum, perjanjian interkoneksi yang terbuka untuk umum dan penawaran interkoneksi yang transparan; dan prosedur dan jangka waktu penyelesaian sengketa interkoneksi yang wajar."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yandi
"Dengan semakin meningkatnya kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan oleh para pengusaha di Indonesia, bisnis sambungan langsung internasional (SLI) juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang tinggi. Hal ini terlihat dari meningkatnya volume trafik percakapan dari 492,5 juta menit di tahun 1994 menjadi 644,7 juta menit serta kenaikan pertumbuhan pelanggan dari 18 % di tahun 1998 menjadi 36,5 % di tahun 1999 yang diterima INDOSAT selaku operator telekomunikasi internasional di Indonesia.
Munculnya UU telekomunikasi yang baru yaitu UU no. 36 tahun 1999, serta akan datangnya era globalisasi, akan membuat bisnis ini diselenggarakan secara kompetisi yang akan dimulai pada tahun 2004. TELKOM melihat hal ini sebagai suatu peluang yang baik untuk dapat mengembangkan bisnis portofolionya di masa mendatang. Untuk dapat memasuki bisnis yang baru diperlukan suatu strategi yang tepat, maka dari itu tujuan dari penulisan tesis ini yaitu memberikan usulan mengenai strategi bisnis apa yang akan dilakukan TELKOM memasuki bisnis SLI untuk meningkatkan pendapatan usahanya dengan melakukan analisa terhadap faktor ekstemal dan internal TELKOM.
Metoda analisa yang dipakai adalah menggunakan matrik internal, matrik eksternal, matrik internal-eksternal, matrik Boston Consulting Group (BOG), dan matrik SWOT. Hasil dari analisa tersebut akan berupa beberapa alternatif strategi, yang kemudian dengan menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM), akan didapatkan strategi mana yang paling tepat dilakukan TELKOM.
Berdasarkan hasil dari matrik QSPM diperoleh hasil bahwa alternatif strategi yang tepat adalah dengan melakukan aliansi strategis dengan perusahaan telekomunikasi lain. Untuk mendapatkan keberhasilan dari strategi ini, ada beberapa faktor panting yang harus diperhatikan yaitu pemerintah dengan regulasinya, pemasaran, SDM, Divisi RisTI serta infrastruktur yang dimiliki TELKOM.

As well as the high demands of international trading to Indonesian merchant, business in International Direct Connection (SL1) also has grown rapidly. This is shown from volume of communication traffic. In 1994, the volume of communication traffic is 492, 5 millions minutes and become 644, 7 millions minutes in 1998. Also, the level of customer that is served by INDOSAT as International telecommunication operator in Indonesia has grown from 18, 4 % in 1998 to 36, 5 % in 1999. Recently, government has issued a new policy in telecommunication, which is UU no. 36/1999. Besides that, there will be globalization era when we must compete not only with Indonesian business companies but also with internationals. TELKOM sees this globalization era as a great opportunity to develop portfolio business in future. The aim of this thesis is to give input about strategy to start this new business. The strategy has a goal to raise the income of the company by analyzing the external and internal factors to TELKOM.
Analyzing method uses internal matrix, external matrix, internal-external matrix, Boston Consulting Group (BCG) matrix, and SWOT matrix. The result of the analyzing system will be an alternative strategy, which uses QSPM and it, will get the right strategy for TELKOM.
According to the result of Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) matrix, it will sum up the best strategy for TELKOM. Based on the result of QSPM matrix, the best alternative strategy is doing strategy alliance with other telecommunication company. However, to get the best result of this strategy, there are some important factors that should be considered such as government and its policy, marketing, SDM (the source of human quality), RisTI Division, and the TELKOM infrastructure."
2000
T10331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawati Tjipto Priyanti
"Penelitian ini telah menjawab pertanyaan penelitian yang terkait dengan Country of Origin yaitu persepsi yang timbul terhadap produk berdasarkan Negara asal produk tersebut. Penelitaian ini secara khusus focus pada konteks bisnis jasa dari negara berkembang, yang akan memasarkan jasanya di pasar internasional. Penelitian ini akan mengkaitkan dengan pengaruh national stereotype dari negara berdasarkan dimensi competence dan warmth, terhadap evaluasi konsumen terhadap kualitas jasa dan perilakunya terhadap kesediaan menggunakan, serta peranan klasifikasi jenis jasa high dan low contact service.Argumentasi utama penelitian ini adalah membuktikan bahwa persepsi konsumen terhadap kedua dimensi competence dan warmth dari national stereotype mempengaruhi evaluasi konsumen terhadap jasa, khususnya pada jasa yang berasosiasi dengan teknologi seperti jasa telekomunikasi. Dengan suatu penelitian Field Experiment yang menggunakan online crowd sourcing dengan menjaring lebih dari 500 partisipan general populasi dari salah satu negara maju Amerika, dan membuktikan bahwa national stereotype mempengaruhi evaluasi konsumen terhadap kualitas jasa dan perilaku konsumen terhadap kesediaan menggunakan jasa. Pada jenis jasa low contact, pengaruh persepsi dimensi competence pada negara yang dominan competence akan lebih tinggi dari pada negara yang dominan warmth. Begitupula telah terbukti sebaliknya bahwa pada jenis jasa high contact, pengaruh persepsi dimensi warmth pada negara yang dominan warmth akan lebih tinggi dari pada negara dominan competence. Temuan lebih lanjut mengkonfirmasi bahwa meningkatkan pengetahuan bagi konsumen pemula novice akan memberikan pembaharuan terhadap persepsi competence atau warmth. Hal lain yang menjadi temuan tambahan adalah bahwa factor congruity kesesuaian berlaku pula pada konteks COO dan mendukung pula pendapat penilaian terdahulu terhadap COO yang sifatnya adalah multi dimensi, yang meliputi bukan saja penilaian cognitive namun juga affective emosi. Kebaruan penelitian: adalah menguji jasa telekomunikasi negara berkembang yang akan memasarkan jasanya pada pasar Internasional dan peranan national stereotype serta jenis jasa high dan low contact.

This study has to answer research questions associated with the Country of Origin is the perception that ensue for products based on the country of origin of the product. This penelitaian specifically focus on the context of business services from developing countries, which will market their services in international markets. This research will relate to the effect of national stereotypes of the country based on the dimensions of competence and warmth, the consumer evaluation of the quality of services and behavior towards a willingness to use, what types of services and the role of high and low contact service.The main arguments of this study is to prove that consumer perceptions of both competence and warmth dimensions of national stereotypes affect consumers 39 evaluation of the services, particularly the services associated with technology such as telecommunications services.Field Experiment with a study that uses an online crowd sourcing to encompass more than 500 participants from the general population is one of the developed countries of America, and proved that national stereotypes affect consumers 39 evaluation of the quality of services and consumer behavior towards a willingness to use the services. At low service type of contact, influence the perception dimensions of competence in the dominant state competence will be higher than in countries that are predominantly warmth. Neither has proven otherwise that the type of service high contact, influence the perception of warmth dimension in the dominant country warmth will be higher than in the dominant state competence. The findings further confirm that improve consumer knowledge for the beginner novice will provide updates on the perception of competence or warmth. Another thing is the additional finding was that factor congruity suitability shall also apply in the context of the COO and supports the previous assessment, the opinion of the COO is multi dimensional in nature, which include not only votes but also cognitive affective emotional. The novelty of the research is to test telecommunications services developing countries that will market their services on the international market and the role of national stereotypes as well as the types of services high and low contact ."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
D2429
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1999
S23301
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Elizabeth Fransiska Princessi
"Kebutuhan manusia untuk mengikuti perkembangan ekonomi telah menjadikan telekomunikasi sebagai salah satu media yang sering digunakan untuk melangsungkan penjualan dan pembelian barang dan/atau jasa sehingga kebutuhan akan suatu layanan jasa telekomunikasi tidak dapat dihindari. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, terdapat berbagai macam metode penawaran yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha. Salah satu metode yang menjadi perhatian adalah Negative Option, yaitu suatu metode penawaran barang dan/atau jasa dimana kegagalan konsumen untuk mengambil tindakan tegas, baik untuk menolak suatu penawaran atau membatalkan suatu perjanjian, ditafsirkan oleh pelaku usaha sebagai suatu bentuk persetujuan untuk membebankan biaya atas barang dan/atau jasa tersebut. Kasus yang belakangan ini muncul ke permukaan adalah kasus David M. L. Tobing yang dibebankan biaya secara berkelanjutan oleh PT. Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) atas suatu fitur berbayar jasa telekomunikasi yaitu Opera Mini sedangkan ia tidak pernah memberikan persetujuan atas penawaran tersebut. Secara garis besar, permasalahan Negative Option pada perlindungan konsumen dalam kaitannya dengan penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia muncul pada ada atau tidaknya persetujuan antara pelaku usaha dan konsumen serta pembebanan biaya atas barang dan/atau jasa yang bersangkutan. Perlindungan hukum bagi konsumen jasa telekomunikasi tidak hanya diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi juga diatur dalam Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Namun demikian, konsep penyelenggaraan jasa telekomunikasi dengan mengunakan Negative Option menimbulkan kesenjangan dalam praktik dengan aturan yang semestinya diterapkan baik yang berkaitan dengan masalah keperdataaan maupun perlindungan konsumen sehingga mendorong kebutuhan akan dibentuknya kerangka peraturan secara khusus mengenai Negative Option.

The human need to keep pace with the economic development has given the influence on making telecommunication as one of the medias that is utilized for the purpose of conducting trade of goods and/or services, thereby can not be sidestepped. In the operation of telecommunication, there is a large array of offer methods that can be carried out by business doers. A method in particular that has been given prominence to is negative option in which the consumer?s failure to take an affirmative action, either to reject an offer or cancel an agreement, is deciphered as an assent to be charged for good and/or services. A case in point that has came to surface is the case of David M. L. Tobing who was charged continuously by PT. Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) for a telecommunication service called Opera Mini that he never gave assent for. As a précis, the problems of negative option with regards to consumer protection in the operation of telecommunication services in Indonesia arise depending on whether there is an agreement between business doers and consumers as well as the charging of cost on the goods and/or services. Legal protection for consumers of telecommunication services is stipulated not only in Law No. 8 of 1999 Concerning Consumer Protection, but also in Law No. 36 of 1999 on Telecommunication. Nevertheless, such concept with the negative option method has created a void among the practice and regulation that should have been enforced well, whether it is with respect to civil issues or consumer protection issues, thus propelling the need for a framework of regulations specifically about negative option."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S43890
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Teknologi Telekomunikasi telah memainkan peranan penting
dalam kehidupan manusia. Kebutuhan akan jasa telekomunikasi
semakin mempengaruhi perkembangan peradaban dan budaya manusia
pada masa sekarang, termasuk kebutuhan akan jasa layanan
sambungan langsung internasional (SLI). Layanan sambungan
langsung internasional (SLI) adalah suatu layanan yang
ditawarkan oleh beberapa perusahaan penyelenggara jasa
telekomunikasi kepada pelanggannya atau pengguna jasa untuk
dapat melakukan hubungan telekomunikasi jarak jauh melewati
batas antar negara yang dapat dilakukan dengan menggunakan
pesawat telepon, facsimile atau perangkat telekomunikasi
lainnya.Sehingga jasa telekomunikasi memudahkan kita melakukan
hubungan secara internasional kepada saudara, rekan, atau
kolega kita yang berada diluar negeri. Hal itu dapat dilakukan
karena adanya operator jasa SLI, salah satunya adalah PT.
Telkom. Pada umumnya pengguna jasa SLI adalah pelanggan PT.
Telkom, maka pada saat PT. Telkom memberlakukan kebijakan
penutupan normal (normally closed) atas layanan SLI operator
lain. Hal ini dianggap sangat merugikan pelanggannya maupun
pihak operator SLI lainnya yang ada lebih dulu. Sehingga
tindakan yang dilakukan oleh PT. Telkom terhadap palanggannya
itu dapat mempengaruhi hubungannya dengan pelanggan maupun
dengan pihak operator SLI lainnya. Sehubungan dengan itu
karena hubungan antara PT. Telkom dan pelanggannya adalah
hubungan kontrak jasa pelayanan sebagaimana diatur pada buku
III bab 7A pasal 1601 KUHPerdata. Maka kemudian pelanggan
memiliki hak perlindungan hukum atas hak menggunakan jasa SLI
operator lain berdasarkan pasal 19 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang diatur oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan jasa
telekomunikasi dan dilaksanakan menurut pasal 7 dan pasal 8
Keputusan Menteri Perhubungan RI No. 33 Tahun 2004 tentang
Pengawasan kompetisi Yang Sehat dalam Penyelenggaraan Jaringan
Tetap Dan Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar. Hal itu dapat
dilakukan atas dasar suatu perjanjian kerjasama yang mengikat antara PT. Telkom dan PT. Indosat sebagai penyelenggara jasa
layanan SLI yang ada berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS)
Nomor 195 tahun 1995 tentang aktivasi layanan SLI PT. Indosat."
[Universitas Indonesia, ], 2005
S21152
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>