Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132133 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titut Sulistyaningsih
"Penelitian ini berfokus pada pembebasan bersyarat yang merupakan salah satu hak narapidana dalam program pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, yang bertujuan agar narapidana yang telah memenuhi syarat dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan. Prosedur untuk memperoleh pembebasan bersyarat dilakukan dengan beberapa tahap melalui program pembinaan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat administratif maupun substantif.
Proses pelaksanaannya kadangkala dalam memenuhi syaratnya mengalami beberapa kendala baik terhadap sumber daya manusia pada petugas maupun narapidana sendiri. Selain itu kendala yang lain adalah disebabkan oleh faktor organisasi, administrasi serta kondisi sosial masyarakat dalam mendukung proses pelaksanaanya. Oleh karena itu keberhasilan dalam memenuhi syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat dapat dipengaruhi oleh pemahaman dan peningkatan sumber daya manusia sebagai faktor pendukung.
Disamping itu pemberian pembebasan bersyarat, diperlukan juga pemahaman prosedur yang ada, pengorganisasian, koordinasi baik dalam internal lembaga pemasyarakatan sendiri maupun oleh organisasi lain yang terkait seperti Kejaksaan dan pengadilan. Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, walaupun dalam memenuhi syarat dalam mengajukan pembebasan bersyarat telah berjalan sesuai dengan prosedur namun demikian dalam pelaksanaannya masih adanya kendala-kendala dalam memenuhi syarat-syarat di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang.
Beberapa kendala tersebut diantaranya adalah, masih kurangnya sumber Jaya manusia baik tentang teknis pada petugas maupun pemahaman pada diri narapidana, juga dalam hal kurangnya pemahaman dalam hal organisasi dan koordinasi dengan pihak lain. Selain itu kendala lainnya adalah dalam pemenuhan berkas administrasi serta kondisi Iingkungan masyarakat dalam mendukung pemenuhan syarat-syarat untuk mengajukan pembebasan bersyarat.
Agar program pembinaan narapidana dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat lebih efektif dan efisien diperlukan peran dan kerjasama beberapa pihak. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi secara berkala dan berkesinambungan serta adanya peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan tentang proses pengajuan pembebasan bersyarat baik pada petugas maupun narapidana. Disamping itu adanya perhatian yang lebih oleh pimpinan lembaga pemasyarakatan
terhadap narapidana terutama pada proses administrasi yang tidak dibebankan seluruhnya pada narapidana sehingga hak narapidana untuk mengajukan pembebasan bersyarat dapat dirasakan bagi yang telah memenuhi syarat.

A conditional release is one of rights any prisoner had in prison corrective program for those prisoners parole any of requirement to interact and socialize with the community outside the prison. Procedures for getting a Parole were through several stages of corrective program by firstly parole any administrative and substantive requirements.
Prisoners faced some constraints sometimes, both from the staff of the prison and the prisoners themselves. In addition, other constraints were organizational and administrative in nature and social condition of the community in favor of its realization as well. Therefore, a successful requirement parole with respect to a parole could be influenced by an understanding and improvement of human recourses as the supporting factors.
In addition to the possible right, it was necessary to understand the existing procedure. organization, coordination among internal prisoner itself and any other related organizations such as attorney offices and courts.
The results of research indicated that, factually there were still constraints at Tangerang Women Prison; though prisoners were parole any of requirements procedurally.
Some of those contains were the lack of human resources, namely, the prison staff's technical ability, the prisoners understanding, and the organization's understanding and coordination with other paties. Moreover, other constraints were problems with parole administrative documents and social environment of community that would support the fulfillment of any requirements for conditional release.
For the program to be more effective and efficient, the role and coordination of other parties were needed. Thus, periodical and sustainable socialization and improvement in human resources were necessary also through training in the application of parole both for staff and prisoners. Besides, it was suggested for the top management of the prisoner to pay more attention, especially regarding the administration process the have been burden of prisoners as a whole so far, so that the right to the conditional release might be realized for any of prisoners parole the requirements.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 20493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukarno Ali
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu tempat dimana narapidana melaksanaan pembinaan, termasuk pelaksanaan pembinaan bagi narapidana warga negara asing dengan orientasi program pembinaan yang bertujuan memulihkan hubungan individu narapidana dengan keluarga dan masyarakat.
Salah satu program pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah pelaksanaan program pembebasan bersyarat. Dimana program pembebasan bersyarat tersebut merupakan hak bagi setiap narapidana tanpa terkecuali. Akan tetapi pelaksanaan program pembebasan bersyarat bagi narapidana harus memenuhi persyaratan secara substantif dan administratif dimana untuk narapidana warga negara asing ada persyaratan tambahan yang harus dipenuhi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemenuhan persyaratan administrative tambahan bagi pelaksanaan pembebasan bersyarat bagi narapidana warga negara asing adalah jaminan hukum dari kantor kedutaan dan rekomendasi dari kantor imigrasi setempat. Dimana dalam pelaksanaannya menghadapi kendala-kendala tidak terpenuhinya jaminan hukum dari kantor kedutaan dan tidak terpenuhinya rekomendasi dari kantor imigrasi, sedangkan faktor penyebabnya adalah minimnya pemahaman program pembebasan bersyarat oleh para narapidana dan oleh para petugas baik petugas Lapas, petugas kedutaan maupun petugas imigrasi. Selain itu kurangnya koordinasi dari ketiga lembaga tersebut yang mengakibatkan program ini tidak dapat berjalan dengan optimal. Disamping itu dalam program pembinaan untuk pembebasan bersyarat dikarenakan anggaran pembinaan yang kurang sehingga biaya tersebut dibebankan kepada narapidana atau pihak keluarga. Sedangkan tidak semua narapidana mampu untuk rnengeluarkan biaya yang dibutuhkan dalam mengurus pembebasan bersyarat tersebut. Hambatan-hambatan inilah yang dapat menyebabkan pembebasan bersyarat bagi narapidana warga negara asing tidak dapat berjalan optimal.

Correctional institution is a place for educating the convicts, including foreign inmates with the orientation of treatment for foreign inmates to recover individual connection with family and society.
One of the treatment programs in correction is parole. Parole is the rights for all inmates not to mention foreign inmates. But, there are some administrative and substantive conditions to be fulfilled before they get parole. The exception of parole for foreign inmates is that they must complete the additional administration.
The study concluded that additional administration fulfillment of parole for foreign inmates are law guarantee and recommendation from embassy and local immigration office.
The obstacle on the program that make the embassy is uneager to give law guarantee and no recommendation from the local immigration office, is lacks of understanding on parole of the inmates and or the correction, immigration and embassy's officers. Besides that, there is weak coordination on those three institutions. Budgets and people's stigma to the foreign inmates are also making it harder to get additional administrative condition in getting parole for foreign inmates.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20810
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafruddin
"Penahanan adalah salah satu dari lima upaya paksa yang dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia. Kekhususan penahanan dibandingkan dengan upaya paksa lainnya adalah pelaksanaannya mengakibatkan kebebasan sebagai hak yang paling asasi dari manusia dicabut dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu KUHAP telah menentukan berbagai persyaratan dan pembatasan dalam pelaksanaan penahanan. Di samping itu dalam KUHAP terkandung sepuluh asas yang dapat memenuhi unsur-unsur prinsip proses hukum yang adil dalam upaya meningkatkan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana prinsip proses hukum yang adil telah diwujudkan dalam pelaksanaan penahahan dan apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapannya.
Penelitian ini dilaksanakan dengan mempergunakan pendekatan yuridis-sosiologis. Penentuan sampel dilakukan dengan dua cara; untuk sampel dari aparat penegak hukum dilakukan secara purposive sampling dan untuk para tahanan ditentukan secara random sampling. Sampel wilayah atau lokasi penelitian adalah Propinsi Sumatera Utara khususnya Kotamadya Medan. Alat pengumpul data yang dipergunakan adalah kuesioner dan pedoman wawancara. Analisis data dilakukan secara analisis deskriptif, sedangkan analisis kuantitatif hanya sebagai pendukung yakni dengan penggunaan statistik sederhana dalam bentuk tabel dan prosentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam prakteknya penahanan merupakan upaya paksa yang perlu bagi kelancaran proses peradilan pidana, terlihat dari tingginya frekuensi pelaksanaan penahanan di Kota Medan terlebih lagi bila dibandingkan dengan jumlah kasus yang diselesaikan. Tetapi dalam pelaksanan penahanan tersebut masih sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan yang tidak sesuai ketentuan hukum acara pidana yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Hal itu merupakan indikasi bahwa prinsip proses hukum yang adil belum dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Hambatan yang dihadapi antara lain masih adanya kelemahan dalam KUHAP itu sendiri. Di samping itu sikap mental aparat penegak hukum belum mengedepankan penghormatan dan perlindungan martabat manusia sebagai hal yang utama dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Akhirnya perlakuan yang adil dan manusiawi tidak hanya suatu tuntutan tapi kebutuhan yakni dalam memanfaatkan masa penahanan bagi pengembangan diri pribadi tersangka ke arah yang lebih baik sebagai bagian dari apa yang disebut proses terapeutik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Runturambi, Arthur Josias Simon
"Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai masyarakat di balik tembok Lapas. Pertanyaan utama adalah budaya penjara bagaimana yang melandasi kehidupan sosial di Lapas. Telaahan dalam penelitian ini dilandasi pemikiran antropologis Lapas adalah semi autonomous social field (SASF). Penelitian lapangan dilakukan selama tiga tahun, melibatkan 14 informan kunci narapidana dan 12 petugas Lapas X.
Hasil telusuran lapangan menunjukkan keterbatasan dan deprivasi di Lapas muncul sebagai tafsir aktor bukan lembaga. Analisis penelitian memperlihatkan arena sosial di Lapas bersifat sementara dan mudah berubah. Berbagai kesepakatan diciptakan, dibentuk dan dipertahankan aktor sesuai konteks, dan menjadi acuan berperilaku di Lapas. Realitas ini menunjukkan berlakunya budaya penjara dinamis di Lapas X.

This paper is an ethnographic study to understand the prison?s culture in the correctional institutions ?X?. The writer has examined carefully the way of living day by day directly and raised a variety of mutual agreements among the residents behind the prison walls.
The results in the investigation field shows the limit and deprivation that appears as an interpretation actor, not the institution, that occur according certain contexts. The prison?s culture not only discuss informal agreement but how the agreements can be maintained by the actors in everyday?s life utilization in fulfilling the needs and self-interests."
Depok: Departemen Antropologi, FISIP UI, 2013
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Kumalasari
"Kontroversi tentang pempidanaan anak terus berlangsung . Di satu sisi ada pihak yang tetap menjatuhkan pidana terhadap anak-anak yang melakukan kriminal di sisi lain ada pihak yang menganggap bahwa anak-anak yang melakukan kriminal tidaklah sepantasnya untuk dipidana melainkan harus dilakukan pembinaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa hakim yang menangani perkara anak lebih cenderung mempidana daripada membina. Hal ini dapat di lihat dari data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa hampir 90% dari total perkara yang diajukan ke pengadilan anak dikenakan sanksi pidana (Suara Karya, 2004).
Dengan semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang hams menjalani masa pidana di dalam Lapas Anak Pria Tangerang maka semakin penting pula peranan Lapas Anak Pria dalam melakukan pembinaan terhadap mereka. Adapun tujuan dilakukannya pembinaan agar mereka dapat menyadari kesalahan, tidak mengulangi perbuatannya untuk ke dua kalinya dan dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Hal ini sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah, dan Batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan (selanjutnya disebut WBP) agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Pembinaan yang dilakukan di dalam Lapas meliputi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar WBP menjadi manusia seutuhnya. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan kepada pembinaan bakat dan keterampilan agar WBP dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang babas dan bertanggung jawab (Sujatno, 2002:18).
Mereka yang berada di dalam Lapas Anak umumnya berada pada rentang usia 8 -18 tahun. Pada tahap ini mereka berada pada tahap anak-anak dan remaja. Pada tahap ini mereka lebih sering berkumpul bersama-sama dengan teman-teman sebayanya dan membentuk gang.
Keberadan mereka di dalam suatu geng merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dengan teman-teman sebayanya sehingga mereka saling meniru dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh teman-temannya. Dengan demikian perbuatan kenakalan yang dilakukan sebagain besar merupakan pengaruh dari teman-temannya agar mereka dapat diterirna tanpa menghiraukan apakah perbuatan yang dilakukannya baik atau buruk.
Berdasarkan sudut Pandang hukum seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya Oleh karena itu meskipun mereka masih pada tahap anak-anak mereka harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan sebagai konsekuensinya mereka harus menjalani masa pidana di dalam Lapas Anak.
Mengingat posisi mereka yang belum dewasa tetapi sudah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum membuat mereka mempunyai hak-hak khusus di dalam Lapas Anak.
Adapun hak-hak mereka di dalam Lapas (Wadong, 2000:79) adalah :
1. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan;
2. mendapatkan perawatan baik jasmani mapun rohani;
3. mendapatkan kesempatan sekolah;
4. menerima kunjungan;
5. mendapatkan pengurangan masa menjalani pidana (remisi).
Aspek utama yang lebih ditekankan dalam pembinaan di dalam Lapas Anak adalah pada aspek kepribadian, salah satunya adalah pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan) yang dilakukan dalam bentuk pendidikan formal mapun non-formal.
Pendidikan non-formal dapat diselenggarakan melalui kesempatan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya dari luar misalnya membaca majalah atau koran, menonton TV, mendengarkan radio dan sebagainya.
Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan formal diupayakan Cara belajar melalui program kejar paket A (setara dengan Sekolah Dasar), kejar paket B (setara dengan Sekolah Menengah Pertama), dan kejar paket C (setara dengan Sekolah Menengah Atas) (Sujatno, 2004.19).
Narapidana meskipun mereka kehilangan kemerdekaannya namun mereka tetap dapat menjalankan kehidupan sehari-hari mereka di dalam Lapas. Dalam arti hilangnya kemerdekaan bukan berarti hilang pula hak-hak mereka yang lain dalam hal ini adalah kesempatan untuk mempero[eh pendidikan.
UUD 1945 Pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pengajaran (pendidikan). UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Terlaksananya pendidikan di dalam Lapas Anak bukan suatu hal yang mudah mengingat latar belakang keberadaan mereka di dalam Lapas Anak yang berbeda-beda dengan tingkat kemampun yang berbeda-beda pula. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan program pembinaan yang berbeda-beda dengan program pembinaan pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18785
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Hartono
"Pembinaan narapidana di Lapas dilakukan bertahap mulai dari tahap masa pengenalan lingkungan (Mapenaling) sampai dengan masa asimilasi. Pada tahap Mapenaling narapidana mempersepsikan apa yang dialaminya melalui proses penilaian tentang atribusi pengamatannya dengan menggunakan kesadarannya (kognisi). Persepsi dan tingkah laku dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu bentuk keseluruhan atau totalitas dari rangsang (emergent) dan kekuatan-kekuatan (forces) yang ada dalam lapangan psikologi (Field theory: Lewin,1914) yang saling berinteraksi dan membuat hubungan konsonan, tidak relevan dan hubungan disonan. Hubungan yang terakhir inilah yang menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak senang (disonansi kognitif) yang berakibat penilaian narapidana terhadap pembinaan menjadi negatif.
Dalam tulisan ini penulis mencoba merancang program intervensi untuk mengurangi disonansi kognitif narapidana dengan menerapkan Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran (Conscious Attentional Resourches Theory: Festinger, 1957) yang menekankan pada proses kognisi individu. Rancangan Program Mapenaling yang diusulkan di Lapas Paledang adalah intervensi berbasis evaluasi did pada tahap Mapenaling melalui latihan meditasi dan penyusunan Buku Panduan Melakukan Evaluasi Diri. Yang menjadi pertimbangan adalah efektivitas pelaksanaan program ini dan perlunya dukungan para Pemangku Kebijakan (Stake Holder) disamping kegiatan-kegiatan lain sebagai pelengkap."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shita Laila Nurjanah
"Tahanan dan Narapidana merupakan salah satu kelompok yang sering mengalami berbagai kekerasan, termasuk perlakuan yang merendahkan martabat, hukuman yang kejam dan tidak manusiawi bahkan penyiksaan. Tidak hanya di Indonesia tapi juga di berbagai negara. Situasi ini kemudian direspons Perserikatan Bangsa Bangsa dengan menetapkan sejumlah perjanjian internasional yang bertujuan memberikan jaminan keselamatan dan perlakuan yang layak serta perlindungan terhadap setiap orang dalam tahanan dan penjara. Termasuk larangan penyiksaan dalam Konvensi Anti Penyiksaan dan standar perlakuan yang disebut Nelson Madela Rules. Namun demikian, berbagai kekerasan dan penyiksaan masih sering terjadi, baik terhadap tahanan di kantor polisi maupun tahanan / narapidana di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Tugas Karya Akhir ini menganalisis kekerasan, tindakan yang merendahkan martabat dan penyiksaan yang dilakukan petugas lapas narkotika Yogyakarta terhadap beberapa narapidana yang terjadi pada tahun 2021.TKA ini menggunakan sumber data sekunder yang berasal dari laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan sejumlah artikel media massa. Penulis menggunakan pemikiran dalam teori kriminologi kritis dan menggunakan analisis isi dokumen. Hasil analisis menemukan bahwa kekerasan dan perlakuan yang merendahkan martabat yang dialami beberapa narapidana di lapas narkotika Yogyakarta merupakan penyiksaan dan ill treatment, yang mana tindakan ini merupakan kekerasan oleh negara.

Detainees and convicts are one of the groups that frequently experience various forms of violence, including degrading treatment, cruel and inhuman punishment, and even torture. This situation is not only prevalent in Indonesia but also in various other countries. In response to this, the United Nations has established several international agreements aimed at ensuring safety, proper treatment, and protection for everyone in custody and prisons. This includes the prohibition of torture in the Convention against Torture and the standards of treatment known as the Nelson Mandela Rules. However, despite these measures, various forms of violence and torture still occur, both against detainees in police custody and inmates in detention centers and prisons. This final project analyzes the violence, acts of degradation, and torture committed by officers at the narcotics prison in Yogyakarta against some inmates in 2021. The project utilizes secondary data sources from the reports of the National Commission on Human Rights and several mass media articles. The author employs critical criminology theory and document content analysis. The results of the analysis reveal that the violence and degrading treatment experienced by some inmates at the narcotics prison in Yogyakarta constitute torture and illtreatment, which are acts of state violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Acik Veriati
"ABSTRAK
Penulisan tugas akhir ini mengenai Modul Analisis Kemampuan Psikososial Remaja Di LAPAS Anak Pria Tangerang.
Minat untuk memilih judul tulisan ini berawal dari kenyataan bahwa hak Remaja yang berada di dalam LAPAS untuk memperoleh pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka belum dapat dipenuhi oleh pihak LAPAS Anak secara optimal.
Remaja yang berada di dalam LAPAS sesuai dengan tahapan usia perkembangannya memiliki sejumlah tugas perkembangan yang harus dipenuhinya agar dapat berperan sebagaimana tuntutan lingkungan masyarakatnya. Salah satunya adalah tugas perkembangan psikososial yang menempatkan remaja pada tahap identity vs identity diffusion. Keberhasilan mereka mengatasi tahapan tersebut akan sangat menentukan keberhasilan mereka pada masa depan. Hal ini belum secara maksimal dipahami oleh pihak LAPAS Anak dalam merancang dan merencanakan jenis program
pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan remaja yang menjadi warga
binaannya. Hal ini mengakibatkan banyak program pembinaan yang salah sasaran dan belum mencapai tujuan secara optimal. Ini ditunjukkan dengan masih banyak remaja yang merasa tidak memiliki kemampuan dan penguasaan ketrampilan kerja yang memadai serta belum tercapainya identitas peran (pemilihan karir, nilai-nilai hidup dan peran seksual) mereka secara optimal.
Hal tersebut agak mengherankan mengingat selama ini berdasarkan basil pengamatan, banyak program kegiatan pembinaan kemandirian dan pengembangan diri yang telah diberikan oleh LSM, yayasan, instansi atau institusi di luar LAPAS. Mestinya kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan kepada remaja yang berada di dalam LAPAS Anak Pria Tangerang untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam hal peningkatan ketrampilan dan pencapaian tugas perkembangan psikososialnya. Berdasarkan hasil konseling dan bimbingan kelompok lebih lanjut, sebagian besar remaja mengaku bahwa keikutsertaan mereka dalam suatu program kegiatan hanyalah sebagai pengisi waktu luang dan untuk menghilangkan kebosanan saja. Menurut mereka, seringkali materi dan metode program pembinaan yang ada selama ini kurang sesuai dengan kebutuhan dan kurang memberikan manfaat seperti yang mereka harapkan. Hal ini membuat mereka seringkali kehilangan minat mengikuti program kegiatan.
Masalah di atas menunjukkan bahwa ada hal yang luput dari perhatian pihak LAPAS maupun penyelenggara dalam proses perencanaan program pembinaan bagi remaja yang berada di dalam LAPAS. Mereka seringkali melupakan proses analisis terhadap kebutuhan dan karakteristik masing - masing anak didik dalam penyelenggaraan suatu program pembinaan kemandirian. Penentuan jenis program pembinaan yang diberikan pada remaja yang berada di dalam LAPAS Anak hanya berdasarkan asumsi penyelenggara atas program yang mungkin dibutuhkan mereka tanpa melihat perbedaan kebutuhan dan karakteristik mereka secara lebih jauh.
Mengingat sampai saat ini analisis kebutuhan program yang berorientasi pada kebutuhan dan karakteristik anak didik belum pemah dilakukan di LAPAS Anak Pria Tangerang, maka penulis memilih merancang suatu "Modul Analisis Kemampuan Psikososial Remaja Di LAPAS Anak Pria Tangerang" yang bertujuan untuk mengidentifikasi kemampuan psikososial remaja. Berdasarkan basil identifikasi tersebut diharapkan petugas LAPAS Anak dapat membuat perencanaan program pengembangan kemampuan psikososial yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing - masing."
2007
T17664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Yuswanto
"Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengembangkan program pembinaan narapidana untuk mengurangi kekerasan verbal antar narapidana, dengan cara memberikan pelatihan LVE (Living Values Education) sebubungan dengan adanya pennasalahan tindakan kekerasan verbal yang dilakukan narapidana selama menjalani masa pidananya di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur.
Teuri yang dirujuk sebagai dasar dalam pembuatan rancangan program pelatihan untuk mengurangi kekerasan fisik melalui pelatiban LVE adalah teori pembinaan narapidana, teori agresifitas, teori Kognitif, teori Cognitif behaviorisme dan teorl masa perkembangan manusia.
Analisis pemecahan masalah berangkat dari adanya sejumlah pennasalahan, permasalahan yang ada di dalam Rumah Tahanan Negara Jakarta Timur. Salah satu permasalahan yang menjadi minat untuk diselesaikan oleh penulis adalah masalah tindakan kekerasan verbal yang dilakukan narapidana. Karena biasanya dimulai dari tindakan kekerasan verbal, kemudian dapat berakibat, tindakan kekerasan fisik, kekerasan domestik, dan meluas menjadi anarkis, cacat fisik dan bahkan bisa meninggal dunia.
Sebagai salah satu langkah untuk membantu mengatasi permasalahan yang ada di Rutan, diantaranya adalah melalui pelatihan untuk mengurangi tindakan kekerasan verbal antar narapidana, dengan cara memberikan pelatihan LVE selama 6 hari kerja kepada 20 orang narapidana sebagai contoh dengan latar belakang tindak pidana dengan kekerasan. Untuk dapat terlaksananya pelatihan LVE tersebut maka dibuatlah rancangan program pelatihan LVE begi narapidana.
Program pelatihan LVE ini, sangat memperhatikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebutuhan suatu pelatihan, seperti : identifikasi kebutuhan pelatihan, sasaran pelatiban, pelatih/instruktur pelatihan, materi, metode, alat bantu, durasi pelaksanaan, tempat pelaksanaan, biaya dan evaluasi pelatihan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Wijaya Rivai
"Lapas industri merupakan sebuah program yang tidak dapat dilepaskan dari pencapaian tujuan pembinaan narapidana. Program ini menjadi cara yang ditempuh oleh otoritas lapas untuk melibatkan narapidana dalam aktivitas kerja yang terstruktur yang mempunyai dampak pada terjadinya efek rehabilitatif, transformatif, dan juga kesejahteraan bagi narapidana. Secara tersurat, program lapas industri ini bertujuan untuk mempersiapkan narapidana menjadi manusia yang terampil dan mandiri serta menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional, meningkatkan kemandirian organisasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat atau institusi lain.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap berjalannya lapas industri di Indonesia, problematika yang dihadapi, dan membangun model yang dianggap tepat agar program lapas industri dapat dijalankan secara efektif dan dapat mencapai tujuan yang diharapakan. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan pada lima lapas industri percontohan. Metode Delphi menjadi metode yang digunakan untuk mendapatkan pendapat para ahli yang kemudian dilakukan peramalan tentang kebijakan yang perlu dilakukan terkait dengan model industri yang harus dijalankan oleh lapas. Perspektif kriminologi kesejahteraan dengan studi kelayakan digunakan sebagai pisau analisisnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan program lapas industri menghadapi kendala, baik dalam aspek teknis, operasional, penjadwalan, ekonomi, maupun hukum. Data penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan lapas industri masih bersinggungan erat dengan pengelolaan birokrasi, belum dikelola dengan prinsip-prinsip layaknya sebuah industri, menjadikan program lapas industri tidak mengalami perkembangan yang memadai. Keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sarana dan infrastruktur, yang pada sisi yang lain berhadapan dengan ketersediaan anggaran untuk pemenuhannya, dan belum adanya arah dan mekanisme yang terukur juga menjadi permasalahan yang dihadapi dalam operasionalisasi lapas industri. Oleh karena itu, dibangun model lapas industri yang tepat dengan memperhatikan regulasi yang ada, kelayakan teknis operasional yang memadai, dan aspek ekonomi. Bahwa model yang dibangun didasarkan pada empat prinsip utama, yaitu prinsip pembinaan, kesejahteraan, profesionalisme, dan berkelanjutan. Dengan demikian, tujuan beroperasinya program lapas industri yang utamanya adalah adanya peningkatan kesejahteraan narapidana dapat diwujudkan.

Prison Industry is a program that cannot be separated from achieving the goals of inmate treatment. This program is used by prison authorities to involve prisoners in structured work activities, which impact rehabilitative, transformative, and welfare effects for prisoners. Explicitly, prison industry program aims to prepare prisoners to become skilled and independent human beings as well as to grow and develop their businesses in order to build the national economy, increase organizational independence in order to meet their needs, and fulfil the needs of society or other institutions.
This research aims to reveal the operation of industrial prisons in Indonesia, and to build a model that is considered appropriate so that the prison industry program can be run effectively and can achieve the expected goals. A qualitative approach is used in this research. Data collection is carried out at five pilot prisons industries. The Delphi method is used to obtain expert opinions and then forecast the policies that need to be implemented in relation to the industrial model that must be implemented by prisons. A welfare criminology perspective with a feasibility study is used as the analytical tool.
The research results show that the management of the prison industry program faces obstacles, both in technical, operational, scheduling, economic and legal aspects. Research data shows that the management of prison industries is still closely related to bureaucratic management, and has not been managed with principles like an industry, meaning that the prison industry program has not experienced adequate development. Limited resources, both human resources and facilities and infrastructure, which on the other hand are faced with the availability of budgets, and the absence of measurable direction and mechanisms are also problems faced in the operationalization of prison industries. Therefore, an appropriate prison industry model is built by taking into account existing regulations, adequate operational technical feasibility, and economic aspects. The model built is based on four main principles, namely the principles of treatment, welfare, professionalism, and sustainability. Thus, the aim of operating the prison industry program, which is primarily to improve the welfare of prisoners, can be realized.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>