Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178954 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidabutar, Barita
"Masalah kesehatan anak di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu masalah kesehatan anak yang terdapat di negara maju dan masalah yang sering terjadi di negara yang sedang berkembang. Pola penyakit yang sering terjadi di negara sedang berkembang umumnya berupa penyakit infeksi, infestasi parasit, dan penyaldt kurang gizi.
Di negara berkembang, penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Penyakit infeksi dan status gizi seseorang mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, demikian juga tuberkulosis (TB).
Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi kronik yang masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Di Amerika Serikat, berkurangnya penderita penyakit TB sangat nyata pada tahun 1980, tetapi insidensnya kembali meningkat dan diikuti dengan meningkatnya resistensi terhadap obat-obat anti TB. Hampir di setiap negara mempunyai peraturan untuk mengendalikan penyakit tuberkulosis, tidak hanya melalui perundang-undangan atau pengembangan dalam terapi yang efektif, tetapi juga dalam memperbaiki kondisi tempat tinggal. Strategi pelayanan kesehatan masyarakat tergantung dari besarnya faktor-faktor penyebab epidemi seperti kemiskinan, tunawisma, penyalahgunaan obat, penurunan prasarana pelayanan kesehatan, dan epidemi human immunodeficiency virus (HIV), yang memberikan peran dalam peningkatan insidens penyakit TB.
Menurut laporan WHO tahun 1991, Indonesia adalah salah satu dari 16 negara yang kemajuannya lambat dalam penanganan penyakit TB. Angka kesakitan penderita TB paru di Indonesia dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1996 cenderung menurun. Angka kesembuhan ini secara program belum mencapai target yang ditetapkan. Dengan strategi DOTS (directly observed treatment short-course), diharapkan dapat menghasilkan kepatuhan berobat, sehingga target angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85%.
Di Indonesia terdapat 4 masalah utama kurang gizi, yaitu kurang energi protein (KEP), defisiensi vitamin A, defisiensi zat besi, defisiensi yodium. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah gizi telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), pemberian kapsul vitamin A untuk anak 1-4 tahun, distribusi kapsul yodium untuk penduduk pada daerah rawan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), pemberian tablet Fe untuk ibu hamil dart upaya lain yang berhubungan dengan peningkatan produksi pangan dan pendapatan masyarakat. Pada dasarnya upaya tersebut dilakukan secara terpadu antar sektor.
Dari hasil pemantauan status gizi tahun 1994 dari tahun 1995, DKI Jakarta mengalami peningkatan prevalensi KEP Nyata dan Total, yang masing-masing 3,6% menjadi 5,3% dan 20,8% menjadi 25,8%. Keberhasilan dalam penanggulangan penyakit TB, diharapkan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mengatasi masalah malnutrisi di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 21255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mathilda Albertina
"Latar Belakang: Pada tahun 2001-2005, angka kejadian penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi meningkat. Berdasarkan data WHO-UNICEF, angka kelengkapan imunisasi, yang digambarkan dengan cakupan imunisasi campak, adalah 78% di tahun 2005. Namun, angka cakupan imunisasi campak belum tentu tepat dalam menggambarkan kelengkapan imunisasi dasar.
Tujuan: Untuk mengetahui kelengkapan imunisasi dasar, alasan ketidaklengkapan imunisasi dasar, karakteristik orangtua (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga), pengetahuan serta sikap orangtua terhadap imunisasi, dan hubungan antara karakteristik, pengetahuan dan sikap orangtua dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak balita di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian cross-sectional dengan wawancara melalui kuesioner pada orang tua yang membawa anak balita di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak RS. Cipto Mangunkusumo pada tanggal 04-14 Maret 2008.
Hasil: Dari 76 sampel, 65,8% anak balita memiliki status imunisasi dasar yang lengkap dan 34,2% lainnya tidak lengkap. Jenis imunisasi yang paling banyak tidak lengkap adalah hepatitis B (17,1%). Alasan ketidaklengkapan imunisasi antara lain anak sakit (66,7%), orangtua tidak tahu jadwal imunisasi (18,5%), vaksin habis (7,4%), orangtua lupa (3,7%), dan tidak ada Pekan Imunisasi Nasional (3,7%). Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga, pengetahuan serta sikap orangtua terhadap imunisasi dengan kelengkapan imunisasi dasar anak balita.
Kesimpulan: Kelengkapan imunisasi dasar anak balita di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak RSCM adalah 65,8%. Ketidaklengkapan imunisasi paling banyak disebabkan karena anak sakit (66,7%). Tidak didapatkan hubungan antara faktor orangtua dengan kelengkapan imunisasi dasar anak balita di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak RSCM.

Introduction: From the year 2001 to 2005, number of vaccine-preventable diseases was increased. According to WHO-UNICEF, this number, which regards the coverage of measles immunization, is 78% in 2005. However, the coverage number of measles immunization does not necessarily accurate in representing the number of complete basic immunization.
Objective: To explore complete of basic immunization on children under five year old at Pediatric Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), the underlying reasons of incomplete basic immunization, parent's characteristics (educational background, occupation, family income, knowledge and attitude toward immunization) and relationship between parent's characteristic and the completeness of basic immunization.
Method: Cross-section study with questionnaire guided interview to parents who brought underfive children to pediatric clinic in Cipto Mangunkusumo National Hospital (RSCM) on 04?14 March 2008.
Result: From 76 samples, 65,8% children have complete basic immunization and 34,2% others have incomplete basic immunization. The most incomplete type of immunization is Hepatitis B (17,1%).The reasons for these children to have incomplete basic immunization were due to sickness occuring concurrently with the immunization schedule (66.7%), parents' unawareness of the immunization schedule (18.5%), insufficient amount of vaccine supply (7.4%), parents not recalling of giving their children immunization (3.7%), and the absence of National Immunization Week or PIN (3.7%). There is no statistically significant relationship between the parent's educational background, occupation, family income, knowledge and attitude toward immunization and complete of basic immunization on children under age five at RSCM's Pediatric Clinic.
Conclusion: Complete basic immunization on children under five years old at RSCM's Pediatric Clinic reached 65.8%. The reason of incomplete basic immunization was mostly due to sickness happening concurrently with the immunization schedule (66.7%). There was no relation between parent's characteristisc and the completeness of basic immunization on children under age five at RSCM's Pediatric Clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kishore R J Siswan
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
T58774
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Papayungan, Diana
"Latar Belakang : Asma adalah merupakan penyakit kronis saluran napas yang dipandang sebagai penyakit psikosomatik yang klasik, oleh karena dianggap bahwa faktor psikologis ikut berperan tidak hanya pada onset timbulnya penyakit tetapi juga dalam penentuan perjalanan penyakit. Asma dianggap juga sebagai reaksi fisik terhadap stres yang kemudian disertai dengan terjadinya perubahan-perubahan morfologik jaringan dan ditandai oleh peningkatan respon dari jalan napas terhadap berbagai stimuli (alergen dan non alergen), dan bermanifestasi sebagai penyempitan jalan napas yang menyeluruh (difus) yang dapat berubah beratnya balk secara spontan maupun dengan pengobatan. Adanya penyakit kronis seperti asma selain berdampak pada perkembangan anak juga dapat menyebabkan anak berisiko mengalarni berbagai masalah emosi, periIaku, dan sosial. Dikatakan bahwa anak asma 2.5 kali lebih banyak mengalami problem emosi dan perilaku dibanding anak yang sehat.
Metode : Menggunakan desain cross sectional dan alat ukur CBCL untuk menskrining problem emosi dan perilaku pada anak usia 6-18 tahun yang menderita asma.
Hasil : Proporsi total problem emosi dan perilaku pada anak asma sebesar 39%. Proporsi tertinggi diantara narrow syndrom adalah keluhan somatik sebesar 34% dan diatara broad syndrom yang tertinggi adalah intemalisasi sebesar 70%. Kelompok umur yang terbesar mengalami problem emosi dan perilaku adalah 6-12 tahun, laki-laki lebih tinggi dari perempuan, sedang menurut urutan anak yang tertinggi adalah anak sulung. Usia onset, yang terbanyak mengalami problem emosi dan perilaku yakni pada usia 6-10 tahun, dan diperoleh hubungan yang bermakna antara usia onset dan problem pikiran (p102 bulan(> 8,5 tahun) didapatkan hubungan yang bermakna dengan problem atensi, dan pada lama sakit > 90 bulan(> 7,5 tahun) didapatkan hubungan yang bermakna dengan perilaku delikuen.

Background
Asthma is a respiratory chronic illness regarded as classic psychosomatic illness since psychological factor entails not only in onset?s cause of illness but also in determination of illness route itself. Asthma is also considered as a physical response to stress which is followed by tissues morphologic alteration and indicated by the increase of breathing s route response to any stimulant, thus manifested as whole breathing?s route constriction which mass can change either spontaneously or by treatment.
A part from children's development chronic illness can also endanger children with the risk of emotional, behavior and social problems. It is said that asthmatic children suffer from emotional and behavior problems 2.5 limes greater than normally children.
Methods
Using cross sectional design and CRCL measurement equipment by means of emotional and behavior problems screening or asthmatic children aged 6-18 years old
Result and Discussion
Asthmatic children are emotional and behavior problems total proportion is 39 %. The highest proportion among narrow band syndrome is somatic complaint, which is as much as 34 % and the highest among broad band syndrome is internalization, which is as 70 %. The group which suffers most from emotional and behavior problems is 6-12 years of age group. Boys suffer more than girls. And firstborn suffers the most. Onset age which suffers from behavior problems the most is 6-10 years of age group. It is obtained a significant relation between onset age and mind problem (p < 0.05). There are two illness duration cut rates that have significant relation with the occurrence of emotional and behavior problems, they are >102 months (>8.5 years) illness period, from which a significant relation with attention problem obtained, and > 90 months(> 7.5 years) illness period, from which a significant relation with deliquency behavior obtained
Conclusion
Proportion of emotional and behavior problems of asthmatic children aged 6-18 years is 39 %. There is a significant relation between illness onset age and mind problem. There is a significant relation between illness period > 8.5 years and attention problem. For >7.5 years illness period, there is a significant relation with delinquency behavior.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizta Aulia Widyana
"Infeksi HIV dapat dikontrol oleh obat antiretroviral yang diminum seumur
hidup untuk menekan jumlah virus dengan keadaan bahwa keberhasilan
terapi dapat menentukan prognosis pasien. Salah satu aspek yang
memengaruhi keberhasilan terapi adalah kepatuhan minum obat. Pacia anak,
kepatuhan dapat dipengaruhi oleh sediaan karena berpotensi menimbulkan
keluhan seperti sulit menelan atau rasa. Penelitian ini menganalisis
hubungan antara jenis sediaan obat dengan kepatuhan minum obat pada
anak terinfeksi IllV di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta.
Data dikumpulkan dari 94 pengasuh dari 101 anak terinfeksi HIV
menggunakan kuesioner dari Center for Pharmaceutical Management yang
telah digunakan di Afrika Selatan. Sebanyak 85 anak yang mengonsumsi
tablet atau kapsul memiliki tingkat kepatuhan rendah 60% dan tinggi 40%.
Sebanyak 16 anak yang mengonsumsi puyer atau sediaan campuran
memiliki kepatuhan rendah 62,5% dan tinggi 37,5%. Analisis chi-square
dengan komponen 2x2 yaitu sediaan tablet/kapsul dan puyer/campuran serta
kepatuhan rendah dan tinggi menghaislkan p=0.851 sehingga tidak
ditemukan hubungan bermakna. HasH ini berbeda dengan peneiitian serupa
di Afrika yang menunjukkan hubungan bermakna. Sebagai kesimpulan,
pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara bentuk sediaan obat
antiretroviral dengan kepatuhan minum obat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70353
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efriyani Djuwita
"Penelitian ini mencoba untuk melihat masalah perilaku dan emosi yang dialami oleh
penderita thalassaemia mayor khususnya anak usia sekolah di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Latar belakang dari penelitian ini adalah fakta bahwa penderita
penyakit thalassaemia mayor di Indonesia sangat banyak. Menurut data yang diperoleh
dari RSCM setidaknya tercatat 1114 orang penderita thalassaemia mayor pada tahun
2004 sebagai pasien RSCM. Hal ini belum lagi ditambah dengan para penderita yang
masih belum tercatat sebagai pasien RSCM. Penyakit thalassaemia mayor adalah
penyakit kronis yang sifatnya tnrunan atau herediter. Sampai saat ini penyakit ini belum
memiliki obat yang dapat dikonsumsi umum untuk menyembuhkan penderitanya. Para
penderita thalassaemia mayor hanya dapat bertahan hidup dengan melakukan trausfusi
darah dan penggunaan obat desferal. Kondisi yang dialarni oleh penderita penyakit
thaltissaemia mayor ini berpotensi menimbulkan rnasalah perilaku serta masalah emosi.
Hal ini menurut Taylor (1999) dikarenakan penyakit yang sifatnya kronis dan mematikan
mempengaruhi banyak aspek dari kehidupan penderitanya. Pada penderita thalassaemia
mayor adanya perbedaan fisik, terbatasnya aktivitas yang dapat dilakukan sampai proses
pengobatan yang terus menerus diasumsikan dapat rnerupakan hal yang berkaitan dengan
rnunculnya masalah perilaku dan emosi.
Adapun rnetode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian gabungan kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan dengan cara
melakukan wawancara dengan orangtua penderita dan anak penderita thalassaemia
mayor. Sementara metode kuantitatif digunakan dengan cara rnelakukan skoring hasil
CBCL yang diadmistrasikan pada orangtua penderita thalassaemia mayor.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah keempat partisipan memiliki masalah
perilaku dan emosi. Dalam rnenjalin hubungan sosial, partisipan cenderung menarik diri
dari pergaulan ternan sebaya mereka. Hal ini berkaitan dengan perbedaan fisik yang
mereka miliki. Kondisi ini ditambah dengan faktor lingkungan di sekitar mereka yang
cenderung kurang memberikan dukungan. Keempat partisipan juga masih berperilaku
-----~--------~ ------"·-~·· ·--------~--------"·
kekanak-kanakan, tidak mandiri dan bergantung kepada orangtua. Dalam berhubungan
dengan anggota keluarga mereka cenderung tidak mau mengalah, selalu · ingin
didahulukan atau diperhatikan. Hal yang juga menarik didapat dari analisis keempat
partisipan tampak bahwa semua memiliki sifat yang tergolong sangat sensiti[ Mereka
cenderung pemalu terhadap orang lain, peka terhadap penilaian orang lain. Tiga dari
empat partisipanjuga mudah menangis atau mengeluarkan ekspresi marah.
Setelah melihat hasil yang didapat, diperoleh gambaran bahwa munculnya
masalah perilaku dan emosi pada penderita thalassaemia mayor tidak saja dikarenakan
faktor penyakit. Lebih luas lagi faktor lingkungan seperti orangtua, keluarga, guru
(sekolah), rumah sakit dan pemerintah juga turut mengambil peran dalam menimbulkan
masalah pada penderita.
Kesimpulan yang bisa didapat dari penelitian ini adalah bahwa para penderita
thalassaemia mayor usia sekolah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo memiliki
beberapa masalah perilaku dan emosi. Adapun faktor-faktor yang turut berperan dalarn
menimbulkan masalah tersebut selain penyakit thalassaemia mayor adalah faktor
lingkungan. Melihat kondisi yang dialami oleh para partisipan maka dari penelitian ini
saran praktis yang dapat dianjurkan adalah agar orangtua dan anak melakukan cognitive
behavior therapy. Peneliti juga menganjurkan adanya keijasama antara dokter, psikolog
dan guru agar dapat membantu dan memahami penderita dan membentuk support group
bagi penderita dan orangtuanya. Sedangkan untuk saran metodologis ditujukan untuk
peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan. Beberapa hal yang disarankan
adalah penggunaan partisipan dari kelas ekonomi sosial yang lebih beragarn atau
menggunakan partisipan dari kelompok usia yang berbeda. Hal lain yang juga menarik
untuk dijadikan tema penelitian lanjutan adalah membuat dan menjalankan program
untuk para penderita thalassaemia mayor.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Velanie Frida
"Latar belakang: Malnutrisi merupakan masalah utama di negara berkembang dan menimbulkan banyak implikasi dalam tumbuh kembang anak. Malnutrisi sering dikaitkan dengan berbagai penyakit infeksi, salah satunya adalah TB. Terapi medikamentosa berupa pemberian OAT dan nutrisi adekuat diharapkan dapat meningkatkan status nutrisi. Penelitian spesifik yang mengamati perkembangan luaran status nutrisi pada pasien TB anak belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: (1)Mengetahui proporsi status nutrisi awal pasien TB anak dan karakteristiknya (2)Mengetahui perubahan status nutrisi dan perubahan berat badan dengan kesesuaian dosis dan keteraturan minum OAT (3)Mengetahui hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan pada 62 anak dengan penyakit TB dan gizi kurang/buruk usia 1 bulan - 5 tahun yang terdiagnosis pertama kali pada 1 Januari 2010 - 31 Desember 2015. Usia, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis TB, lama terapi, efek samping, jalur nutrisi, status nutrisi dan berat badan saat awal diagnosis, bulan ke-2,4,6 dinilai dalam penelitian ini.
Hasil: Proporsi pasien TB anak dengan gizi kurang adalah 53/62 (85,5%). Sebagian besar subyek berusia 2 tahun, lelaki, bertempat tinggal di DKI Jakarta dan sakit TB paru (42,8%). Seluruh subyek mendapat OAT yang sesuai dan hanya 1 subyek yang minum OAT tidak teratur. Sebanyak 45,2% subyek mendapat terapi OAT selama 6 bulan. Efek samping OAT yang ditemukan adalah neuropati perifer (1 subyek), peningkatan SGOT dan SGPT (1 subyek) dan kolestasis (1 subyek). Proporsi subyek yang mendapat nutrisi enteral adalah 15/62 (24,2%). Sebanyak 56/62 (90,3%) subyek dengan dosis OAT sesuai mengalami perbaikan status nutrisi dan 55/61 (90,1%) subyek yang minum OAT teratur mengalami perbaikan status nutrisi. Peningkatan berat badan sebesar 5% tiap 2 bulan dan 17% setelah 6 bulan terapi OAT terjadi pada 97% subyek. Tidak ada hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).
Simpulan: Perbaikan status nutrisi terjadi pada 90% subyek. Peningkatan berat badan pada 97% subjek setiap 2 bulan adalah 5% dan 17% pada bulan ke-6 terapi OAT. Tidak terdapat hubungan keteraturan pengobatan OAT dengan perubahan status nutrisi (p = 0,161).

Background: Malnutrition is one of the major problems in developing countries and has many implications in growth and development of children. Malnutrition is always associated with many infection diseases, one of them is tuberculosis. Medical management includes antituberculosis therapy and adequate nutrition are indicated to improve nutritional status. There is no specific study regarding this outcome in Indonesian children.
Aim: (1)To determine the nutritional status proportion of children with tuberculosis and their characteristics (2)To determine nutritional status outcome and body weight gain associated with adequate dosage and regular antituberculosis therapy (3)To identify correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome.
Methods: A retrospective cohort study was performed in 62 children aged 1 month-5 years who have been first diagnosed with tuberculosis from January 2010 to December 2015. Age, sex, lodging, type of tuberculosis, duration of treatment, side effect, nutritional route, nutritional status, body weight at start, 2nd, 4th and 6th month of antituberculosis therapy were evaluated in this study.
Result: The proportion of mild-moderate malnutrition in children with tuberculosis is 53/62 (85.5%). Most of the subjects are 2 years old, male, live in Jakarta and have pulmonary TB (42.8%). All subjects received standard therapy with adequate dosage and only 1 subject did irregular therapy. The duration of treatment is 6 months for 45.2% subjects. The side effects were peripheral neuropathy (1 subject), elevation of transaminase enzymes (1 subject) and cholestasis (1 subject). Subjects received enteral nutrition are 15/62 (24.2%). There are 56/62 (90.3%) subjects with adequate dosage improved nutritional status and 55/61 (90.1%) subjects with regular treatment improved nutritional status after 6 months treatment. Body weight gain in 97% subjects was 5% every 2 months and 17% at the end of the treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
Conclusion: Nutritional status improvement was found in 90% subjects. Body weight gain in 97% subjects was 5% in every 2 months and 17% after 6 months of treatment. No correlation between regular antituberculosis therapy and nutritional status outcome (p = 0.161).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suri Nurharjanti Harun
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Abdi Kurniawan
"Otitis Media Efusi OME adalah suatu penyakit dimana kavum telinga tengah terisi oleh cairan peradangan tanpa adanya tanda dan gejala infeksi. Mayoritas kejadian Otitis Media Efusi OME pada anak mengalami remisi spontan. Terapi konvensional yang digunakan saat ini adalah dekongestan selama 3 bulan, namun demikian apabila tidak ditangani dengan tepat, Otitis Media Efusi OME dapat menimbulkan berbagai komplikasi, yang harus dilakukan pemasangan tuba timpanostomi pipa grommet . Salah satu modalitas terapi yang saat ini sedang berkembang dan memiliki efektifitas yang tinggi adalah laserpunktur yang menggunakan sinar laser dengan intensitas rendah atau disebut juga low-level laser therapy di titik akupunktur, yang dapat memicu terjadinya reaksi foto biostimulasi sel dan jaringan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menyediakan alternatif metode penanganan Otitis Media Efusi OME pada anak yang minimally invasive sehingga dapat meningkatkan angka kesembuhan Otitis Media Efusi OME . Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lain yang turut menunjang upaya penanganan Otitis Media Efusi OME pada anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi laserpunktur pada titik TE21 Ermen, SI19 Tinggong, GB2 Tinghui dan TE17 Yifeng dan dekongestan dapat memberikan perbaikan terhadap timpanogram Otitis Media Efusi p

Otitis Media Effusion OME is defined as the persistence of nonpurulent serous or mucoid middle ear effusion in the absence of signs and symptoms of infection. The majority of occurrences of Otitis Media Effusion OME in child is spontaneous remission. Nowadays, conventional treatment use decongestan for 3 months, however, if Otitis Media Effusion OME did not treated properly, it can cause complications, and have to be treated by ventilation tube grommet insertion. One of the modalities currently developing and having high effectiveness is laserpuncture that use low intensity laser beams or also called low level laser therapy at the acupuncture point, which can stimulate photo reactions of cell and tissue biostimulation. Hopefully the result of this research can provide an alternative method of treatment of Otitis Media Efusi OME in child. This study is expected to be the basic of other studies that also support efforts to manage Otitis Media Effusion OME in child. The result of this research shows laserpuncture could improve the value of tympanogram for Otitis Media Effusion in children p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58963
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Ingan Ukur
"Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang perlu ditanggulangi. Unicef (1997) menyatakan diperkirakan masih sekitar 6.7 juta anak balita yang menderita KEP total dan sekitar 7 juta anak yang menderita anemi gizi.
Berbagai hasil penelitian di Indonesia dan secara nasional menunjukkan bahwa prevalensi gangguan gizi (termasuk gangguan gizi ringan, sedang, dan berat) pada anak, berdasarkan BB/U < -2 SD baku WHO-NCHS, adalah sekitar 40% pada umur 6-11 bulan, dan sekitar 60% pada umur 12-36 bulan. Berdasarkan SKRT tahun 1995 terlihat bahwa prevalensi gizi kurang dan gizi buruk (baku WHO-NCHS) di Jawa Tengah mencapai 10-15%. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil Susenas 1995 untuk Jawa Tengah yaitu 10.1%.
Hasil analisis ulang data antropometri Susenas 1989 s/d 1999 yang bertujuan untuk melihat status gizi balita di Indonesia sebelum dan sesudah krisis, dimana hasil tersebut menunjukkan bahwa pada saat krisis prevalensi gizi buruk pada anak usia 6-17 bulan alau 6-23 bulan terutama yang tinggal di desa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan status gizi anak umur 6-36 bulan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi tersebut sebelum dan saat krisis ekonomi di Jawa Tengah. Disain penelitian adalah comparative cross sectional dimana dua set data cross sectional dibandingkan yaitu sebelum krisis (1995) dan saat krisis (1998). Sampel penelitian adalah anak usia 6-36 bulan, dimana jumlah sampel sebelum krisis (4417 sampel) dan pada saat krisis (5267 sampel).
Hasil yang diperoleh adalah pada saat analisis univariat menunjukkan bahwa hanya kelompok 18-36 bulan yang terlihat perbedaan mencolok (meningkat) pada saat krisis dibandingkan dengan sebelum krisis. Sehingga kelompok umur I8--36 bulan yang dianalisis lebih lanjut. Hasil analisis multivariat sebelum krisis menunjukkan bahwa hanya 4 variabel faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan status gizi anak 18-36 bulan, yaitu status ASI (OR= 0.78), pendidikan ibu rendah (OR= 1.48), sumber air minum (OR= 1.52), dan status diare (OR= 2.10). Sementara pada saat krisis variabel yang berhubungan bermakna dengan status gizi adalah tempat BAB (OR= 1.61), status diare (OR= 1.95), status ISPA (OR= 1.43), pendidikan ayah sedang (OR 1.29), pendidikan ayah rendah (OR=2.20), status ASI (OR= 0.71), dan terjadi interaksi antara pendidikan ayah rendah dengan tempat BAB.
Berdasarkan hasil tersebut disarankan perlu penelitian yang lebih mendalam khususnya kelompok batita, apakah benar kelompok umur 18-36 bulan yang terkena dampak krisis ekonomi sehingga intervensi yang akan dilakukan tepat kepada sasaran. Selanjutnya perlu dilakukan revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan & Gizi (SKPG) agar dapat mendeteksi lebih awal dan meledaknya gizi buruk pada saat krisis dapat dicegah, penyuluhan, perbaikan suplai air bersih, pengelolaan sanitasi lingkungan.

Nutritional Status Figure of Children aged 6-36 Months Before and During Economic Crisis and Related to Nutritional Status in Central JavaEnergy and protein malnutrition persists as one of main nutritional problems in Indonesia. Unicef (1997) estimated around 6.7 millions of children still suffering from total energy and protein malnutrition and 7 millions of children from nutritional iron deficiency.
Results from studies in Indonesia showed children malnutrition prevalence (including mild, moderate and severe status) based on standard weight for age (BB/U < - 2 SD) WHO-NCHS, were around 40% for 6-11 months, and 60% for 12-36 months. National household health survey (SKRT) 1995 revealed malnutrition prevalence of mild and severe level (WHO-NCHS standard) in Central Java was 10-15%. This result was not different from Susenas data 1995 in Central Java 10.1 %.
Reanalysis data of anthropometry from Susenas 1989 to 1999 was aimed to look for nutritional status of children before and during the crisis. The results gave information that during the crisis severe malnutrition prevalence of children 6 to 17 months or 6-23 months, especially living in rural area, was higher than of in urban area.
Objective of this study was to examine nutritional status changes of children aged 6-36 months and the factors related to nutritional status before and during economic crisis in Central Java. Design of comparative cross sectional was used in this study which compared two sets of cross sectional data, before (1995) and during crisis (1998). Total sample of children aged 6 to 36 months before the crisis was 4417 and during the crisis was 5267.
Results from univariat analysis revealed only group of children aged 18-36 months was significantly different during the crisis, if this group was compared from before the crisis. Therefore, only this age group was further then analyzed. Multivariat analysis results before the crisis showed only 4 factor variables significantly correlated to nutitional status of 18-36 months children, namely breast milk(ASI) status (OR=0.78), low mother education level (OR=1.48), water drink source (OR=1.52) and diarrhea status (OR=2.10). While during the crisis, variables correlated to nutritional status were BAB (OR=1.61), diarrhea status (OR=1.95), ISPA status (OR=1.43), moderate level education of father (OR=1.29), low level education of father (OR=2.20), breast milk (ASI) status (OR=0.71), and interaction between low level education of father and place for defecation (BAB).
Based on that result, it is needed further study especially for the group of children under three, whether the most hit by economic crisis is children aged 18-36 months. Consequently, it is needed immediate proper intervention to the target group. And then it is necessary to conduct revitalization of Early Warning System of Food and Nutrition (SKPG) in order to be able to detect early outbreak of and to prevent from severe malnutrition during the crisis. Besides it is important also to improve a cleaning water supply, health advocation, and sanitary environment management.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T9342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>