Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Narisqa
"ABSTRAK
Aspek terpenting dalam kegiatan perdagangan adalah kegiatan promosi yang maksimal, dengan promosi yang dikelola dengan baik maka suatu usaha dapat tetap eksis di tengah sengitnya persaingan. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha dalam melakukan promosi, agar barang atau jasa yang diperdagangkannya bisa dikenal dan disambut dengan baik oleh konsumen, tak jarang promosi dagang ini menjurus kepada promosi yang berlebihan yang tidak sesuai kenyataan. Ketika janji dalam promosi tidak dipenuhi dan konsumen menuntut pada pelaku usaha untuk mempertanggungjawabkan janji dalam promosinya itu, pelaku usaha menolak untuk bertanggungjawab dengan dalil bahwa janji dalam promosi tidak mengikat karena tidak secara tegas diperjanjikan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Implied Warranty tidak diatur secara implisit dalam UU No. 8 Tahun 1999 akan tetapi apakah dengan demikian Implied Warranty yang diberikan pelaku usaha dalam promosi-nya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban ketika Implied Warranty itu tidak dipenuhi oleh pelaku usaha, penulis menemukan bahwa dalan hal Implied Warranty diberikan pada saat promosi dilakukan oleh pelaku usaha maka konsumen dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha dengan dasar perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan tidak melaksanakan kewajiban hukumnya mengenai janji dalam promosi yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f DU No. 8 Tahun 1999. Dalam tesis ini penulis melakukan studi kasus gugatan konsumen ruang usaha pada Sport and Trade Centre melawan PT. Mandiri Karya Indah Sejahtera sebagai pemilik dan pengelola ruang usaha, gugatan tersebut didasarkan pada tidak dipenuhinya janji dalam promosi pemasaran ruang usaha Sport and Trade Centre oleh pelaku usaha tentang adanya lahan parkir yang luas dan jembatan penghubung. Majelis hakim dalam melakukan perneriksaan perkara tersebut tidak mengacu pada prinsip pertanggungjawaban pelaku usaha yang diatur dalam DU No. 8 Tahun 1999 khususnya Pasal 8 ayat(1) huruf f dan menolak gugatan konsumen tersebut dengan pertimbangan bahwa hal-hal yang dituntut oleh konsumen tidak diatur dalam perjanjian sewa menyewa antara konsumen dan pelaku usaha."
2007
T19893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Monica
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pengangkut udara niaga atas hilangnya bagasi tercatat berisi barang berharga, ditinjau dari teori atau prinsip-prinsip pertanggungjawaban pengangkut dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (selanjutnya disebut Permenhub Nomor 77 Tahun 2011).
Skripsi ini mengambil satu contoh kasus, yaitu kasus antara Umbu S. Samapatty dengan Lion Air. Dalam kasus, Umbu S. Samapatty menggunakan jasa pengangkutan dari Lion Air, namun ternyata Lion Air l menghilangkan bagasi tercatat milik Umbu S. Samapatty. Umbu S. Samapatty sayangnya tidak melaporkan mengenai isi dari bagasi tercatatnya tersebut, dimana ternyata isinya adalah barang-barang berharga dengan nilai kurang lebih 2,9 Miliar. Rupiah.
Penelitian membahas mengenai sisi perlindungan konsumen dalam hal terdapat kelalaian dari pelaku usaha dan juga membahas perlindungan dari sisi perlindungan pelaku usaha. Penelitian ini membahas pula mengenai Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 dan ada atau tidaknya penerapan teori dan peraturan perundang-undangan yang baik pada putusan Majelis Hakim.

This thesis discusses about the commercial airplane carrier liability for the case of lost baggage that containing items, in terms of theory or principles of carrier liability and the laws related, namely Law No. 1 of 2009 on Aviation, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, as well as the Regulation of the Minister of Transportation No. 77 of 2011 (Permenhub 77/2011) on Air Transport Carrier Liability.
This thesis took a case, which the case between Umbu S. Samapatty against Lion Air. In the case, Umbu S. Samapatty used the transport services of Lion Air, but Lion Air in fact negligently lost the checked baggage of Umbu S. Samapatty. There was a fact also that Umbu S. Samapatty unfortunately didn?t reported the contents of the baggage he carried, a lot of valuable goods with a value of approximately 2.9 billion rupiah.
This research specific-purposes are to discuss the protection to consumer in the event of negligence of businesses and also the protection of the business actors in the event of the factors that influenced by customer action in contributing the lost itself. This study also discusses about Article 5 and Article 6, paragraph (1) Permenhub Number 77 of 2011 and whether or not the theory and application of laws and regulations had been used properly in the verdict of the Judge.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S52669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Agustina
"Penelitian ini bertujuan mencari jawaban mengenal kemandirian konsumen sebagai salah satu ukuran kinerja pelaksanaan kebijakan Pemerintah, yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemandirian konsumen tersebut, dilihat dari 2 pendekatan, yaitu pertama, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandiran konsumen; kedua, kondisi kemandirian yang dilihat dari rata-rata tingkat kemandirian (%) dan klasiflkasi kemandirian. Kondisi tersebut, membawa implikasi kepada analisis lebih lanjut, yaitu upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan kemandirian konsumen sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa tujuan diterbitkannya Undang-Undang ini antara lain adalah untuk: meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Tujuan ini terkait erat dengan upaya membentuk konsumen yang mandiri. Konsumen mandiri tersirat dalam Undang-Undang dimaksud yaitu konsumen yang mengerti hak dan kewajibannya dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari selaku konsumen. Dalam Undang-Undang ini terdapat 9 hak dan 4 kewajiban konsumen, yang bila diterapkan dapat diindikasikan sebagai bentuk kemandirian seorang konsumen .
Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah berjalan kurang lebih 5 tahun, selama ini berbagai langkah telah dilakukan Pemerintah terutama oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk mengimplementasikannya. Secara umum langkah tersebut dapat dikelompokkan: penyiapan dan penerbitan berbagai aturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut; peningkatan pengetahuan dan pendidikan kepada konsumen, pemasyarakatan kebijakan dan informasi perlindungan konsumen; peningkatan peran dan kualitas kelembagaan perlindungan konsumen dalam memberikan pelayanan kepada konsumen; upaya pembinaan dan pengawasan terhadap produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Namun sampai saat ini belum ada yang mengevaluasi dan meneliti secara komprehensif sejauhmana dampaknya dapat membentuk konsumen menjadi mandiri.
Untuk mengevaluasinya, faktor peran peningkatan pengetahuan konsumen melalui sosialisasi serta peran kelembagaan konsumen, memegang peranan penting, karena merupakan bentuk kegiatan yang dapat berinteraksi langsung dengan konsumen. Faktor-faktor tersebut tentu terkait juga dengan kondisi yang secara inherent ada pada konsumen itu sendiri antara lain tingkat pendidikan konsumen, pekerjaan konsumen serta tingkat pengeluaran konsumsi konsumen.
Faktor-faktor inilah yang kemudian penulis jadikan variabel untuk menguji hubungannya dengan kemandirian konsumen.
Hubungan antara variabel-variabel tersebut dengan kemandirian konsumen, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik regresi logistik. Beberapa faktor berpengaruh secara signifikan yaitu pengeluaran konsumsi, peran sosialisasi Pemerintah dan peran lembaga perlindungan konsumen. Sedangkan pendidikan dan jenis pekerjaan tidak.
Selanjutnya, didasari pemikiran bahwa ternyata variabel pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemandirian konsumen. Ditambah dengan argumentasi bahwa variabel ini telah terwakili dalarn variabel pengeluaran konsumsi, maka model kemudian dimodifikasi tanpa variabel pendidikan.
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi, sosialisasi pemerintah dan peran kelembagaan secara signifikan masih berpengaruh terhadap kemandirian konsumen.
Tingkat kemandirian konsumen relatif baik, yaitu rata-rata 60,4% diatas batas klasifikasi kemandirian yang ditetapkan, dengan tingkat kemampuan prediksi sebesar 78,2 %.
Berdasarkan hasil analisis efektifitas pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen, diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya optimal. Tingkat kemandirian sebesar 60,4% belum dapat mengindikasikan konsumen Indonesia mayoritas telah mandiri, mengingat penelitian ini masih terbatas pada responders di wilayah DKI Jakarta. Responden di wilayah ini dianggap memiliki pengetahuan dan akses informasi yang lebih memadai dibandingkan dengan konsumen di wilayah lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen masih perlu ditingkatkan, baik melalui intensitas sosialisasi, penguatan peran kelembagaan konsumen, maupun upaya-upaya lainnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, J. J. Amstrong
"Terlibatnya Indonesia dalam perdagangan bebas, telah membawa konsekuensi, antara lain produk barang dan jasa semakin beraneka ragam (diversjfikasi produk), baik produk ekspor maupun impor, seyogyanya menjadi perhatian instrumen hukum ekonomi di Indonesia. Dalam hubungannya dengan perdagangan bebas, bila kita tidak mampu menangkap atau menjabarkan pesan-pesan "tersembunyi' dari era perdagangan bebas, maka cepat atau lambat konsumen Indonesia akan mengalami/menghadapi persoalan yang makin kompleks dalam mengkonsumsi produk barang dan jasa yang semakin beraneka ragam. Dalam teori ekonomi mengenai hubungan antara konsumen dan produsen berimplikasi pada teori hukum yang berkembang pada era dominasinya kebebasan individu dan liberalisme. Kekuatan konsumen kemudian melahirkan teori dalam kontrak, yaitu kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan hubungan kontrak (privity of contract). Dalam mengantisipasi produk-produk barang atau jasa yang merugikan atau mencelakakan konsumen, sebagian negara disertai perdagangan bebas telah mengintroduksi doktrin product liability dalam tata hukumnya, seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat setelah kasus Henningsen, 18 (delapan belas) negara bagian menerapkan prinsip strict liability, tanpa negligence dan "privity of contract" terhadap produsen dari beberapa produk seperti : Automobile, Combination Power Tool, Alumunium Rocking Chair, dan produk asbes kemudian menarik kesimpulan penerapan doktrin strict product liability. De-regulasi doktrin perbuatan melawan hukum ( Pasal 1365 KUHPerdata ) yang menyatakan bahwa "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut " Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, adanya perbuatan melawan hukum, unsur kesalahan, kerugian, hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang. Adanya unsur melawan hukum di mana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur berikut, bertentangan dengan hak orang lain, kewajiban hukumnya sendiri, kesusilaan, keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri. Dengan demikian sehingga semakin menyeimbangkan kedudukan dan peran konsumen terhadap pengusaha, sekalipun salah satu atas negara hukum telah menegaskan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama/seimbang di mata hukum. Terminologi "product liability" sebagai "Tanggung gugat produk" dan ada pula yang menterjemahkannya sebagai "Tanggung jawab produk". Beberapa pengertian atau rumusannya : "Product liability : Refers to the legal liability of manufactures and sellers to compensate buyers, user, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defects in goods purchased ". Produktenaansprakelikeheid: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misal yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk. Ius Constituendum diberikan pengertian sebagai kaidah hukum yang dicita-citakan berlaku di suatu negara. Dalam konteks tulisan sederhana ini, doktrin "product liability" diharapkan dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen apabila dirugikan di dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk; tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, bahkan kematian. Kualifikasi gugatan yang lazim digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah wanprestasi (default) atau perbuatan melawan hukum (tort). Apabila ada hubungan konstraktual antara konsumen dengan pengusaha maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen, tidak lain karena tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha. Dengan demikian, jika tidak ada hubungan konstraktual antara konsumen dengan pengusaha maka tidak ada tanggung jawab (hukum) pengusaha kepada konsumen. Dalam ilmu hukum inilah yang disebut sebagai doktrin privity of contract. Di dalam doktrin ini terkandung prinsip "tidak ada hubungan kontraktual, tidak ada tanggung jawab" (No privity - no liability principle). Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan/kelalaian pengusaha, adanya kerugian yang dialami konsumen, adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Selanjutnya pada beban pembuktian (burden of proof), konsumen harus membuktikan keempat unsur tersebut maka hal ini dirasakan tidak adil bagi konsumen dengan dasar beberapa pertimbangan. Pertama, secara sosial ekonomi kedudukan konsumen lemah dibandingkan dengan pengusaha, walaupun di mata hukum semua memiliki kedudukan yang sama. Dalam menghadapi gugatan konsumen, pengusaha lebih mudah mendapatkan pengacara dalam membela kepentingan-kepentingannya, termasuk dalam membuktikan ahli-ahli teknis sesuai dengan produk yang dihasilkannya. Bagi konsumen sulit membuktikan "unsur ada tidaknya kesalahan/kelalaian" pengusaha dalam proses produksi, pendistribusian, dan penjualan barang atau jasa yang telah dikonsumsi konsumen."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18224
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dauri Lukman
"Peranan pers yang utama adalah sebagai sarana penyalur aspirasi dan informasi kepada masyarakat. Adapun fungsi utama pers tersebut dapat membantu kontrol sosial terhadap perlindungan konsumen. Pers dapat membantu penegakkan hukum terhadap pelanggaran hukum oleh pelaku usaha terhadap konsumen. Konsumen dapat menggunakan hak untuk menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen melalui Surat pembaca. Fungsi Surat pembaca ini dapat membantu konsumen melakukan kontrol sosial terhadap kegiatan usaha pelaku usaha. Konsumen dapat menyampaikan saran dan kritik terhadap pelaku usaha atas barang atau jasa yang diperdagangkan. Selain itu, hal ini juga membantu masyarakat luas untuk waspada dalam memanfaatkan barang atau jasa yang diproduksi oleh produsen. Pemerintah menjamin kemerdekaan untuk menyatakan pendapat, akan tetapi ada pembatasannya terhadap hak konsumen tersebut. Salah satu pembatasan utama yang terpenting dalam penulisan surat pembaca adalah penulis Surat pembaca harus menghormati asas praduga tak bersalah. Penegakkan hukum terhadap asas praduga tak bersalah tersebut di Indonesia tidak tegas, karena para aparat penegak hukum menerapkan berbeda-beda dalam perkara pencemaran nama baik. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum terhadap konsumen dan hambatan untuk kemerdekaan pers. Adapun kasus Khoe Seng-Seng yang melakukan keluhan melalui Surat pembaca sebagai cerminan hambatan hak konsumen untuk menyatakan pendapat kepada masyarakat untuk mengkritik tindakan dari PT Duta Pertiwi Tbk sebagai pelaku usaha. Penggunaan hak konsumen yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan ternyata tidak sepenuhnya dijamin secara pasti oleh hukum, sehingga merugikan konsumen untuk mendapatkan keadilan.

The essential role of press is the means for distribution the aspiration and information to society. The role of press can help as control social to consumer protection. Press can give distribution to law enforcement for infringment of the law in consumer protection. Consumer has the right to give aspiration and information as in section 4 d Consumer Protection act no. 8 /1999 through "Surat pembaca". The function of "Surat pembaca" is as means of control social to bussiness activity. Surat pembaca can help to give advising and critism to producer. Besides that, the role of Surat pembaca can help the society to warry in using the goods or the service from producer. The government guarantee the freedom of speech, but there were limitation for the consumer right. One of the important limitation in Surat pembaca is the writer should show mutual respect to presumption of innocence. The law of enforcement to presumption of innocence in Indonesia doesn?t clear, because the government has used the different way to make law enforcement in each defamation case. So, it`s made legal uncertainty for press freedom. One of defamation case is Khoe Seng-Seng v. PT Duta Pertiwi Case. Khoe Seng-Seng used his right to give opinion through Surat pembaca. The reason Khoe Seng-Seng write the opinion in Surat pembaca for made some critism to PT Duta Pertiwi Tbk?s bussines activity. The consumer right doesn?t properly guarantee by government, so it?s very harmfull for the consumer to get justice."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27929
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Elvandari
"Kemajuan teknologi dunia yang semakin pesat, ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan khususnya perbankan. Hal ini terlihat dan terbukti adanya produkproduk perbankan yang lebih menjamin keamanan dan kepraktisan dalam lalulintas pembayaran khususnya kartu kredit.
Pada dasarnya, bentuk perjanjian penggunaan kartu kredit, pada dasarnya mengacu pada klausula baku, yang berarti substansi perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh pihak produsen yakni Bank, dimana Bank sebagai pihak yang dominan, maka konsekuensi dipihak konsumen, adalah :
a. Konsumen berada dipihak yang tidak dominan, konsumen hanya dapat menyepakati, yang berarti akan tunduk terhadap seluruh kewajiban dan persyaratan dalam perjanjian baku tersebut, tanpa punya kesempatan tawar menawar atau konsumen tidak menyepakati.
b. Pada perjanjian baku banyak terdapat klausula eksorerasi, yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pihak yang dominant yaitu produser yakni pihak Bank dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan yang timbul dari pelaksanaan perjanjian baku.
Akan tetapi didalam pelaksanaannya, sering kita jumpai penyalahgunaan kartu kredit, oleh karena itu praktek penyalahgunaan kartu kredit meliputi aspek-aspek hukum yang terkait dalam penerbitan, penggunaan kartu kredit, dan secara perlindungan konsumen dapat dikaitkan dengan jenis perlindungan hukum yang diberikan kepada pengguna kartu kredit, serta kendala-kendala yang dihadapi dan upaya penyelesaiannya. Aspek-aspek tersebut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kasus penyalahgunaan kartu kredit dari waktu dan kewaktu."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Kartiko
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24711
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
William Tan
"Skripsi ini membahas tentang perlindungan konsumen terhadap pemakaian klausula baku yang dilakukan oleh pelaku usaha yang ada dalam putusan No. 15/Pdt.G/2015/PN.SBY antara PT. Exertainment Indonesia sebagai pelaku usaha melawan Rachmat Suharto alias Steven Roy sebagai konsumen. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada pasal 18 ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang No. 8 tahun 1999. Penulis memfokuskan pada masalah tentang pengaturan perjanjian keanggotaan klub kebugaran ditinjau dari pasal 18 ayat (1) huruf f dan g berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penegakan hukumnya dari pelanggaran pasal di atas, dan penerapan hukumnya dalam putusan diatas. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Menggunakan analisis data secara kualitatif. Dalam skripsi disimpulan bahwa terdapat pelanggaran prinsip kebebasan berkontrak dalam perjanjian anggota PT. Exertainment Indonesia Trade Name ? Celebrity Fitness, penegakan hukum dari pasal 18 ayat (1) huruf f dan g Undang-Undang No. 8 tahun 1999 sudah tepat, dan penerapan hukum pada putusan tersebut sudah tepat dan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penulis memberikan saran, yaitu pelaku usaha seharusnya lebih cermat dalam membuat klausula dalam perjanjian baku agar tidak merugikan dirinya dan membuat adanya potensi gugatan konsumen dan konsumen seharusnya dapat lebih teliti dalam menyetujui perjanjian yang ditandangani sehingga mengetahui hak dan kewajibanya secara lengkap.

Thesis discussed on consumer protection against discharging standard clauses done for business operators that is in a verdict no. 15 / pdt.g / 2015 /PN.SBY between PT. Exertainment Indonesia as business players against Rachmat Suharto alias Steven Roy as consumer. In this research will be focused on article 18 paragraph (1) letter f and g the act of no. 8 1999. Writer wil be focused on the issue of the club arrangement membership fitness in terms of article 18 paragraph 1 of letters f and gthe law number 8 years 1999 about consumer protection, maintain the law from a violation of article above , and application of its laws in a verdict above . This thesis was used in the research methodology normative law with a material literature or secondary data , that might include material primary law , secondary , and tertiary. Using data analysis qualitatively. In a thesis can be taken in the conclusion that of a breach the principle of freedom of contract in the agreement on a member of PT. Exertainment indonesia trade name - Celebrity Fitness, law enforcement of article 18 paragraph 1 of the act of letters f and g no. 8 1999 was accurate, and application of the law on the ruling was correct and in according to the act no. 8 years 1999 on consumer protection. The author also provided advice , namely business doers should be more careful in making standard clauses so as not harming himself and make the potential for a lawsuit of consumers and consumers should be more meticulous in approving the treaty so that by knowing the rights and duties in a complete manner."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S65979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachuela
"ABSTRAK
Penjualan apartemen dapat dilakukan dengan cara "pre project selling", dimana penjualan dilakukan pada saat bangunan apartemen belum jadi dan jual beli dilakukan dengan penandatanganan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang berbentuk perjanjian standar antara Penjual dan Pembeli. Dalam PPJB Apartemen "XYZ" ini terdapat ketidakseimbangan kewajiban, antara lain prestasi yang tidak seimbang dimana Pembeli dituntut melakukan cicilan secara rutin namun tidak diimbangi oleh prestasi Penjual yang seharusnya juga melakukan pembangunan secara bertahap; Denda keterlambatan dimana sanksi keterlambatan apabila Pembeli terlambat membayar adalah PPJB dibatalkan secara sepihak oleh Penjual dan uang yang telah dibayarkan hangus namun disisi lain apabila Penjual terlambat menyerahkan apartemen selama apapun denda dibatasi maksimal 9 persen, memang Pembeli dapat membatalkan Perjanjian karena kelalaian Penjual tersebut dan uang akan dikembalikan ditambah denda 9 persen dari Penjual namun dipotong PPN 10 persen yang berarti Pembeli akan rugi 1 persen. Disini seharusnya Pembeli yang dapat minta ganti rugi karena kelalaian Penjual namun dengan klausula seperti itu malah Pembeli lah yang dirugikan. Upaya hukum bagi Pembeli dalam PPJB salah satunya adalah penyelesaian sengketa dengan musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai mufakat melalui Pengadilan Vegeri Jakarta Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan seperti buku dan undang-undang serta Penelitian lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan Penjual dan Pembeli. PPJB tersebut tidak mencerminkan keseimbangan kewajiban antara Penjual dan Pembeli, lebih berat sebelah dan merugikan Pembeli padahal dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harusnya kepentingan Pembeli dapat terlindungi apalagi dengan keluarnya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Pengikatan Jual Bell Satuan Rumah Susun seharusnya perlindungan terhadap Pembeli lebih terlindungi lagi. Saran Penulis adalah pemerintah lebih tegas mengatur dan mengawasi mengenai penggunaan klausula-klausul.a baku dan mewajibkan PPJB dibuat dengan akta otentik serta lebih mensosialisasikan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Lembaga-Lembaga Perlindungan Konsumen dimana lembaga-lembaga tersebut lebih tegas untuk menindak lanjuti segala keluhan Konsumen.

ABSTRAK
Apartments can be sold by way of "project selling", whereby the sale is made when the building is not yet ready and sale-and-purchase is done by signing a Binding Sale and Purchase Agreement (Perjanjian Pengikatan Jual Beli or PPJB) in form of a standard agreement between the Seller and the Buyer. In PPJB of "XYZ" apartment, the obligations are not in balance, among others, the Buyers' obligations to pay in arrears are not balanced up with the Seller's obligations to finish construction gradually. Consequence for late payment by the Buyers is a one-sided cancellation by the Seller and the money that has been paid by the Buyers are not refundable. On the other hand, if the Seller fails to deliver the apartment on time, the fine to be paid by the Seller is limited to maximum of 9%. The Buyers can indeed cancel the agreement due to such failure and receive the money back with an extra of 9% fine from the Seller, but that amount will be deducted with value added tax of 10%, which leads to loss of the Buyers of 1%. In this case the Buyers should be able to ask for compensation for the Seller's failure, however such clause causes loss on the Buyers' side. One of legal efforts that the Buyers can do is by reaching a settlement. If the settlement can not be reached, the Buyers can bring the case to the District Court of South Jakarta. The research methodology used is library method by collecting data in forms of literatures such as books, laws and field research by collecting data in forms of interviews with the Seller and a Buyer. Such PPJB does not reflect balanced obligations between the Seller and the Buyers, it causes loss on the Buyer's side. By the issuance of Law No. 8 of 1999 on Consumers Protection, the interests of the Buyers should be protected, let alone with the issuance of Decree of State Minister of People's Residence No. 11/KPTS/1994 on Guidance of Sale and Purchase Agreement of Strata Titles that gives more protection to the Buyers. The writer suggests that the government more firmly stipulates and supervises uses of standard clauses, requires an authentication of the PPJB and socializes Law No. 8 of 1999 on Consumers Protection and to enable Consumers Protection Institutions to firmly follow-up the complaints from the consumers.
"
2007
T18979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Wijayanti
"ABSTRAK
Layanan jasa premium call merupakan salah satu penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam bentuk jasa nilai tambah teleponi melalui jaringan tetap lokal milik Penyelenggara jaringan telekomunikasi yaitu PT. Telkom, yang disediakan Provider Layanan Jasa Premium Call dengan nomor akses 0-809-1-XXX-3 dan tarif layanannya lebih mahal daripada tarif pulsa telepon biasa, karena jasa premium call dapat memberikan berbagai manfaat bagi para peneleponnya, antara lain informasi, konsultasi, hiburan, dan permainan, dan tagihannya dibebankan bersamaan dengan tagihan telepon biasa. Namun, seringkali penyelenggaraan layanan jasa premium call disalahgunakan oleh Provider layanan jasa premium call, sehingga layanan jasa premium call tidak sesuai lagi dengan peruntukan (manfaat) nya. Konsumen PT. Telkom sebagai pemakai jasa telepon (sistem kabel) dapat menggunakan layanan jasa premium call dan berhak mendapatkan perlindungan hukum melalui pengaturan hak, kewajiban, larangan, dan sanksi yang berlaku bagi konsumen dan pelaku usaha berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu W Telekomunikasi dan W Perlindungan Konsumen. Jasa telepon yang ditawarkan secara bersamaan oleh PT. Telkom dengan jasa nilai tambah teleponi berupa layanan jasa premium call, yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Provider layanan jasa premium call melalui kerjasama antara PT. Telkom sebagai Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal dengan Provider layanan jasa premium call sebagai Penyelenggara layanan jasa premium call yang memberikan layanan jasa premium call kepada Konsumen PT. Telkom, sehingga tercipta suatu hubungan hukum di antara para pihak. Penyelenggaraan layanan jasa premium call dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, ketika Provider layanan jasa premium call melakukan kegiatan usaha secara tidak jujur dengan menagih pernbayaran atas pemakaian jasa premium call melalui PT. Telkom kepada konsumen yang tidak menggunakan jasa premium call."
2007
T18764
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>