Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70050 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riwanti Estiasari
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dapat melibatkan berbagai sistem organ termasuk sistem saraf dengan manifestasi klinis terbanyak berupa gangguan kognitif. Rana kognitif yang terganggu dapat bervariasi. Gangguan fungsi kognitif ini dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita LES. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan kognitif pada penderita LES.
Metode: Studi potong lintang dengan populasi target semua penderita LES yang terdaftar sebagai anggota Yayasan Lupus Indonesia. Pemeriksaan fungsi kognitif yang dilakukan adalah Mini Menrai Sfaius Examination (MMSE), Forward Digit Span, Backward Digit Span, Rey Auditory Verbal Learning Test, Rey Osterrieth Complex Figure, Trail Making part A dan B serta Finger Tapping Test.
Hasil: Dari 66 subyek gangguan kognitif ditemukan sebanyak 71.2%. Gangguan kognitif Iebih banyak ditemukan pada kelompok umur < 40 tahun (76.6%) dengan aktivitas penyakit yang tidak terkontrol (51.1%). Rana kognitif yang terganggu adalah fungsi eksekutif (80.9%), visuospasial 59.6%, memori 21.3% dan atensi 8.5%. Gangguan rana tunggal ditemukan sebanyak 53.2%, 2 rana 27.7% dan kurang lebih 3 rana 19.2%. Didapatkan hubungan yang bermakna antara gangguan kognitif dengan aktifitas penyakit (p=0.013; OR 5.68 IK95% l.43;22.53).
Kesimpulan: Prevalensi gangguan kognitif pada penderita LES adalah 71.2%. Rana kognitif yang sering terganggu adalah fungsi eksekutif. Penderita LES dengan usia < 40 tahun dan aktivitas penyakit tidak terkontrol mempunyai kecenderungan mengalami gangguan kognitif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T21319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stevent Sumantri
"

Latar Belakang: Perbaikan fungsi fisik, emosional dan kualitas hidup penderita LES harus menjadi bagian penting penatalaksanaan paripurna. Fungsi otot, yang merupakan kombinasi dari kekuatan otot dan performans fisik (Asian Working Group on Sarcopenia 2019), merupakan salah satu determinan penting kualitas hidup subyek LES. Belum ada penelitian evaluasi pengaruh fungsi otot terhadap kualitas hidup penderita LES menggunakan kuesioner Sarcopenia Quality of Life (SarQoL).

Tujuan: Evaluasi hubungan fungsi otot dengan kualitas hidup menggunakan kuesioner SarQoL pada perempuan penderita LES.

Metode: Penelitian potong lintang ini merekrut 61 subyek LES perempuan di klinik Alergi Imunologi, RSCM, secara konsekutif, fungsi otot dinilai dengan dinamometer genggam tangan Jamar (kekuatan otot) dan uji kecepatan berjalan 6 meter (performans fisik), HRQoL dinilai dengan kuesioner Sarcopenia Quality of Life (SarQoL). Kriteria penerimaan perempuan dengan LES berusia ≥18 tahun, tanpa kondisi autoimun lain dan gangguan fungsional/anatomis yang mengganggu pemeriksaan. Analisis statistik menggunakan uji t untuk analisis beda dua rerata dan analisis multivariat regresi linier untuk penyesuaian terhadap perancu.

Hasil: Rerata skor total SarQoL subyek kekuatan otot baik dan rendah didapatkan berbeda signifikan, 74,86 (9,48) vs. 65,49 (15,51) (p=0,009), tetap signifikan setelah disesuaikan usia, asupan protein, tingkat aktivitas olahraga  dan aktivitas penyakit [B -7,12; IK 95% -14,58 –(-1,20)]. Rerata skor total SarQoL subyek dengan kecepatan berjalan baik dan rendah tidak didapatkan berbeda signifikan 70,67 (11,08) vs. 70,72 (13,56) (p=0,993).

Simpulan: Terdapat hubungan signifikan antara kekuatan otot dan kualitas hidup terkait kesehatan menurut SarQoL pada perempuan penderita LES


Background: Improvement of physical, emotional function and quality of life of SLE patients, should be an important part of holistic clinical management. Muscle function, a combination of muscle strength and physical performance (Asian Working Group on Sarcopenia 2019), was an important determinant of quality of life in lupus patients. There was no study aimed at evaluating the impact of mucscle function on SLE patient’s quality of life using Sarcopenia Quality of Life (SarQoL) questionnaire.

Aim: This study was conducted to evaluate the relationship of muscle function and SarQoL score in women with SLE.

Methods: This cross-sectional study recruited 61 women with SLE in Allergy-Immunology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital consecutively, muscle function was measured with Jamar handheld-dynamometer and 6 meter walk test, HRQoL was measured with Sarcopenia Quality of Life (SarQoL) questionnaire. Acceptance criteria include women 18 years old with SLE, and not with other autoimmune disease nor functional/anatomical dysfunction that disturb measurements. Statistical analysis was conducted with t-test for mean difference and linier regression was used to adjust confounders.

Results: The difference of total SarQoL score in subjects with good and low muscle strength was found to be significant; 74.86 (9.48) vs. 65.49 (15.51) (p=0.009), statistically significant after adjusments with age, protein intake, physical acitvity level and disease activity [B -7.12; 95% CI -14.58 –(-1.20)]. The difference of total SarQoL score in subjects with good and low physical performance was found to be not significant 70.67 (11.08) vs. 70.72 (13.56) (p=0.993).

Conclusion: There was a significant association between muscle strength and HRQoL according to SarQoL in women with SLE

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Aji
"Lupu Eitematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang melibatkan multi organ yang umumnya menyerang wanita dan bersifat kronik yang perjalanan penyakitnya ditandai dengan relaps dan remisi. Penelitian ini bertujuan mencari faktor risiko perburukan pasien lupus eritematosus sistemik dengan menganalisa beberapa variabel seperti usia, tingkat pendidikan, anemia, obat-obatan dihubungkan dengan perburukan yang diukur dengan skor Systemic Lupus Eythematosus Disease Activity Index. Selain itu, dilakukan juga peneltian deskritptif mengenai sebaran gen Human Leucocyte Antigen pada subpopulasi penelitian.

Systemic Lupus Erythemattosus is an autoimmune disease which involved multi organs and have chronic course and mostly inflicted woman , the nature of the disease involved relaps and remission This research aim to find risk factor for worsening (flare) of SLE by analysing variables like age, education level, anemia, drugs associated to flare measured by Systemic lupus erythematosus disease activity index and we also conduct Human Leucocyte Antigen genotyping for subpopulation of the study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Astri Kirana
"Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh size, liquidity, financial leverage, dan profitability terhadap risiko sistematis pada perusahaan sektor non-keuangan yang tedaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2007-2012. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan regresi data panel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial, pada tingkat kepercayaan 5% dan 10%, size dan profitability berpengaruh secara signifikan dan berhubungan positif terhadap risiko sistematis. Secara simultan, size, liquidity, financial leverage, dan profitability berpengaruh secara signifikan terhadap risiko sistematis.

This study aims at analyzing the effect of size, liquidity, financial leverage, and profitability on systematic risk of non-financial companies listed on the Indonesia Stock Exchange in 2007-2012. This research is a quantitative research by using data panel regression.
The results of this research indicate that at the 5% and 10% level of statistical significance, size and profitability significantly affect systematic risk and have positive correlation with systematic risk. Size, liquidity, financial leverage, and profitability simultaneously have significant effect on systematic risk."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54518
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Popham, W. James
Jakarta : Rineka Cipta, 2005
370.7 POP t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aep Saepudin
"Background: Cognitive dysfunction was found in 55-80% Neuropsychiatry Systemic Lupus Erythematosus (NPSLE) patients. Serious concern from clinicans was needed as its impact to patient’s quality of life. Disease activity is expected to be affecting patient’s cognitive function. Previous studies regarding correlation between disease activity and cognitive dysfunction showed various results. This study aimed to evaluate the correlation between disease activity and cognitive function in SLE patients. Methods: This study is an analytical cross-sectional study. Subjects were SLE patients at the rheumatology clinic of Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung during June-August 2017. Subject’s evaluations included disease activity assessment using SLE disease activity index-2K (SLEDAI-2K) and cognitive function assessment using MoCA-Ina test. Data were analyzed by using Spearman Rank correlation test. Results: Mean age of the subjects was 31 ± 8 years old, most of them were senior high school graduates (65.8 %) and median length of study was 12 years. Subject’s median duration of illness was 44 months. Their MoCA-Ina median score was 25, while SLEDAI-2K median score was 6. Cognitive dysfunctions were found in more than half of subjects (52.63%), which memory domain (78.95%) was most frequently impaired. Most of subjects were patients with active SLE (63.2%). Correlation test showed there was no correlation between SLEDAI-2K score and MoCA-Ina score (rs=0.023, p=0.445). Conclusion: There was no correlation between disease activity (SLEDAI-2K score) and cognitive function (MoCA-Ina score)."
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2019
616 IJR 11:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>