Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150298 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Djoni Rombe
"ABSTRAK
Perkembangan sektor industri yang sangat pesat membutuhkan energi yang sangat besar. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia terus naik. Oleh karena itu, pemerintah menghimbau dunia usaha untuk menggunakan batubara sebagai sumber energi. Penggunaan batubara sebagai sumber energi sangat tepat karena Indonesia memiliki cadangan batubara yang besar. Selain itu harga produksi batubara tentunya lebih rendah daripada harga minyak. Himbauan pemerintah untuk menggunakan batubara ini juga karena penggunaan batubara dalam negeri yang sangat kecil. Batubara yang digunakan dalam negeri hanya mencapai sekitar 20% sampai dengan 30% dari total batubara yang diproduksi setiap tahunnya. Permintaan batubara sebagai sumber energi terutama oleh konsumen luar negeri terus meningkat. Permintaan yang tinggi tersebut memacu harga batubara terus naik sampai USD 48,31 per ton. Hal ini menyebabkan kontraktor pertambangan batubara memaksimalkan produksi. Produksi batubara yang dilakukan secara besar-besaran oleh kontraktor pertambangan batubara tentunya membutuhkan suatu peraturan dan undang-undang agar kegiatan operasional berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah memperlakukan kontrak karya dengan kontraktor pertambangan batubara sebagai lex spesialis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para investor dibidang pertambangan batubara. Selain kontrak karya, pemerintah juga menerbitkan undang – undang dan peraturan pemerintah yang dapat mendukung kegiatan pertambangan. Namun salah satu peraturan pemerintah justru dianggap sebagai hambatan bagi perkembangan dunia usaha pertambangan batubara. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara dari Barang Kena Pajak menjadi bukan Barang Kena Pajak. Status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak menyebabkan kontraktor pertambangan batubara tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak sehingga tidak dapat melakukan restitusi atas kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dan tidak dapat dimintakan restitusi ini menjadi beban bagi kontraktor pertambangan batubara yang akan menaikkan harga pokok produksi batubara. Kenaikan harga pokok produksi tentunya akan mempengaruhi besarnya harga jual batubara. Perubahan status batubara menjadi bukan Barang Kena Pajak membawa masalah tersendiri bagi kontraktor pertambangan batubara generasi I. Dalam kontrak karya dinyatakan bahwa pajak baru yang tidak diatur dalam kontrak karya akan dimintakan pengembaliannya kepada pemerintah. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diatur dalam kontrak karya dianggap sebagai suatu pajak baru yang dapat dimintakan pengembaliannya. Dalam praktek, kontraktor pertambangan batubara generasi I meminta pajak baru tersebut melalui restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Pajak baru yang tidak dapat dimintakan restitusi tersebut menyebabkan kontraktor pertambangan batubara melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 ke Mahkamah Agung dan oleh Mahkamah Agung diterbitkan Surat No. 2/Td.TUN/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 perihal Permohonan Pertimbangan Hukum yang ditujukan kepada Direktur Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Surat tersebut menyatakan bahwa PP No. 144 Tahun 2000 batal demi hukum. Namun karena surat tersebut sifatnya hanya sebatas pertimbangan hukum (legal opinion) dan bukan merupakan Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk dilaksanakan maka oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.15/2004 tanggal 30 Juni 2004 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tetap berlaku. Kontraktor pertambangan batubara tidak menyetujui Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 dengan alasan bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena sesungguhnya telah melalui suatu proses berupa pemecahan, pencucian, dan pencampuran yang memberikan nilai tambah bagi batubara tersebut. Oleh karena itu, kontraktor pertambangan batubara terus mendesak pemerintah untuk mengubah status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai Barang Kena Pajak dan memberikan restitusi Pajak Pertambahan Nilai kepada mereka. Perseteruan antara pemerintah dan kontraktor pertambangan batubara mengenai penetapan batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui bahwa apakah benar batubara yang belum diproses menjadi briket batubara belum mengalami suatu proses sehingga dikategorikan sebagai barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya dan belum dapat dijadikan sebagai Barang Kena Pajak. Selanjutnya perlu dikaji pula, berapa jumlah restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang tidak diterima oleh kontraktor pertambangan batubara dengan adanya perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak. Metode analisa yang digunakan untuk menganalisa apakah batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami proses atau tidak, maka digunakan metode deskriptif developmental. Sedangkan untuk menghitung jumlah restitusi yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintah kepada kontraktor pertambangan batubara maka digunakan PT. ABC sebagai benchmark dengan data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan analisa yang dilakukan maka diketahui bahwa batubara yang belum diproses menjadi briket batubara telah mengalami suatu proses yakni pemecahan, pencucian, dan pencampuran sehingga seharusnya menjadi Barang Kena Pajak karena tidak memenuhi kriteria sebagai barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya. Berdasarkan analisa juga diketahui bahwa jumlah restitusi yang tidak dibayarkan oleh pemerintah karena perubahan status batubara yang belum diproses menjadi briket batubara sebagai bukan Barang Kena Pajak untuk tahun 2001 sampai dengan 2007 adalah sebesar Rp. 5.706.740.773.684,- dan untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar Rp. 4.895.425.655.831,-"
2007
T24514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marwoto Mitroharjono
"ABSTRAK
Pajak langsung migas dan non?migas merupakan sumber peneri
maan negara yang semakin penting dari tahun ke tahun. Statistik
tentang anggaran penerimaan tahun 1988/1989 menunjukkan bahwa
penerimaan dalam negeri dan pajak (non?migas) adalah Rp. 11,9
triliun dan penerimaan pajak langsung migas dianggarkan Rp. 9,5
triliun. Bahkan untuk tahun anggaran berikutnya 1990/1991, pene
rimaan pajak (non-migas) dianggarkan Rp 18,1 tniliun, sedangkan
penerimaan pajak langsung migas dianggarkan Rp. 10,7 triliun.
Dari penenimaan dalam negeri setiap tahun anggaran ternyata
penerimaan pajak langsung baik migas maupun non?migas secara
keseluruhan merupakan komponen penerimaan dalam negeri yang
dominan. Kecendrungan penerimaan pajak langsung migas dan non?
migas yang semakin meningkat, menunjukkan bahwa pajak langsung
migas dan non?migas dipandang pemerintah sebagai sumber peneri
maan dalam negeri yang mempunyai potensi besar untuk dikembang
kan.
Sejauh ini upaya pemerintah untuk menggali potensi peneri
maan dalam negeri khususnya pajak langsung migas dan non-migas
adalah melalui sistem perencanaannya dengan penetapan target
secara top?down yang penjabarannya dilapangan dalam bentuk suatu
jumlah persentase kenaikkan tertentu dan realisasi tahun sebe
lumnya. Cara yang ditempuh pemerintah untuk menetapkan potensi
penerimaan pajak langsung migas dan non-migas ini jelas mengun
dang sejumlah pertanyaan mengenai variabel?vaniabel yang menda-
sari penentuan target penerimaan pajak tersebut, sehingga masih
dipertanyakan sampai sejauh mana efektifitas sistem perencanaan
tersebut. Apabila memang benar sudah efektif, dapatkah perform
ance penentuan anggaran ini dipertahankan? Sedangkan apabila
belum efektif, adakah model atau cara lain yang dapat digunakan
untuk penentuan/perencanaan penerimaan pajak langsung migas dan
non-migas yang mungkin dapat memberikan gainbaran yang lebih
mendekati potensi yang sebenarnya.
Untuk mengevaluasi sistem perencanaan pajak langsung migas
dan non?migas ini dilakukan beberapa analisa. Analisa konsepsi
teoritis tentang sistem penerimaan pajak diberbagai negara menje
laskan tentang beberapa pendekatan dalam perencanaan dan evaluasï
performance pajak dari negara?negara tersebut. Bangladesh, meng
gunakan tarif pajak yang berbeda?beda untuk tiap kelas pendapatan
dalam menentukan besarnya pajak langsung. Philipina, dalam menen
tukan pendapatan pajaknya membedakan antara pajak yang berasal
dan kegiatan ekonomi domestik dan pajak yang berasal dan kegia
tan ekspor dan impor. Perencanaan pendapatan pajak dan kegiatan
ekonomi domestik didasarkan pada pendekatan rata-rata laju per
tumbuhan. Sedangkan untuk penentuan pendapatan pajak dan kegia
tan ekspor dan impar dìtentukan atas dasar nilai proyeksi ekspor
dan impor-nya. Korea Selatan sebagai negara yang terakhir diana
lisa sistem perencanaan pajaknya, menerapkan model regresi loga
ritma dan model proyeksi faktor elastisi
tas pendapatan pajak langsungnya.
Selain analisa perbandingan sistem perencanaan pajak di
berbagai negara diatas, analisa tax ratio dan tax effort juga
dilakukan. Tetapi analisa tax ratio dan tax effort sebagai param
eter dalam analisa International Tax Comparison?nya banyak men
gundang kritik, karena beberapa kelemahan yang digunakan dalam
model dan faktor?faktor yang menentukan tax ratio. Untuk mengata
si masalah ini dan sekaligus untuk mengevaluasi sistem perenca
naan perpajakan yang ada, dilakukan alternatif pendekatan secara
kuantitatif dengan model multi-regresi.
Dari dua model multi regresi yang dianalisa yaitu model
multi regresi pajak langsung migas dan non?migas serta model
multi?regresi pajak langsung non?migas, menunjukkan bahwa varia
bel independen mining dan GNP masing-masing merupakan explanatory
variable yang secara statistik significant dengan memberikan
informasi perubahan atas proyeksi pajak langsung yang besar
(99%). Hasil analisa ini ternyata konsisten dengan kesimpulan
yang diperoleh dan analisa step-wise multi-regresi dan multi?
collinearity.
Untuk membuktikan efektifitas penentuan proyeksi/target
penerimaan yang diterapkan pemerintah saat ini, dilakukan analisa
variance (ANOVA) atas proyeksi yang sama dengan metode model
regresa dan membandingkan dengan realisasi penerimaan pajaknya.
hasil analisa variance ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang cukup significant pada tingkat a = 0,05 untuk
menarik kesimpulan bahwa metode multi-regreSi adalah lebih baik
daripada sistem perencanaan pajak yang sekarang diterapkan.
Tetapi kesimpulan ini mungkin dapat terjadi karena faktor
?kebetulan? - Committing type II error - yang disebabkan bias
dalam data dan kurangnya jumlah pengamatan.
Hanya satu kesimpulan yang jelas dapat ditarik dan analisa
ini adalah bahwa proyeksi pajak langsung migas dan non?migas atas
dasar parameter GNP Mining dan GNP merupakan model ?Surrogate?
yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu alternatif model peren
canaan pajak langsung."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rahan Adinaru
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor yang terjadi di lapangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan cara pengumpulan data secara wawancara dan pengkajian literatur. Dengan metode ini akan di paparkan dalam bentuk sehingga di dapat pemahaman mengenai gejala sosial yang ada di bidang perpajakan. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa proses penetapan NJKB di mulai dari penyusunan pengumpulan data kendaraan bermotor yang ada di selruruh Indonesia, data tersebut terbagi menjadi dua yaitu data kendaraan motor baru dan data kendaraan bekas. Setelah terkumpul, data tersebut di olah Kementerian Dalam Negeri bersama Dispenda seluruh Indonesia untuk menetapkan NJKB dalam bentuk Peraturan Kemendagri, NJKB yang belum terdapat dalam peraturan tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur, NJKB sendiri terbagi menjadi dua, yaitu NJKB kendaraan baru dan NJKB kendaraan bekas. Pada beberapa jenis kendaraan bekas, NJKB-nya sering lebih tinggi dengan HPU yang ada, hal ini yang menyebabkan WP membayar lebih pajak yang seharus tidak ada.

The aims of this research are to find out the implementation of Vehicles Tax Values as a basic for Vehicle Tax in field. This research using qualitative methods, the data coleected by interviews and observe the literature. The data which has been collected by this method are analyzing and finally served in descriptive way to get the understanding about the social impulse in tax science. Trough this research, described the process of how to arrange Vehicles Tax Values, starts from collecting and preparing the data of vehicles from all of Indonesia, that data consist of new vehicles and used vehicles. After all of data gathered, they processed by Internal Affair Ministry together with local government for arrange Vehicles Tax Values. In fact, in the field there are differences between the data of vehicles and Vehicles Tax Values it self, and in the end that differences makes Tax Payer pay The Vehicle Tax bigger than it should be."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S10524
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Narulita Syarweni
"Tesis ini dimaksudkan untuk mengevaluasi Peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemungutan pajak rumah kost disamping juga menilai kriteria pemungutan pajak terhadap rumah kost di kota Depok yang telah dilakukan sejak tahun 2002 yang selanjutnnya diikuti dengan respon yang diberikan rnasyarakat terhadap peiaksanaannya.
Kendala utama yang ditemui pada penulisan ini adalah, belum adanya peraturan tersendiri tentang Pajak rumah kost sehingga segala peraturan yang berkaitan dengan pajak rumah kost ini masih menyatu dengan pajak hotel sehingga agak sulit untuk melakukan evaluasi secara Iebih obyektif mengingat kendala tersebut menyebabkan sulitnya memperoleh data yang terpisah tentang pajak rumah kcst dan pajak hotel. Sehingga yang dapat dihitung barulah Potensi Pajak dan Effortnya saja.
Penelitian ini hendak menjawab pertanyaan I) apakah peraturanperaturan yang dijadikan dasar hukum terhadap pungutan pajak rumah kost? 2) Apakah pelaksanaan pungutan Pajak Rumah Kost telah memenuhi kriteria baku pungutan pajak Rumah kost yang baik ? 3) bagaimana Respon Pemilik dan Penghuni Rumah Kost di Kota Depok terhadap pungutan Pajak Rumah Kost.
Dengan menggunakan 9 prang pemilik rumah kost dari 17 orang pemilik yang dihubungi dan 45 penghuni kost sebagai responden dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian besar pemilik rumah kost berupaya untuk menghindari pembayaran pajak baik melalui jumlah kamar kost kurang dari 10 bush ataupun membayar pajak jauh dibawah nilai yang telah ditetapkan oleh pihak dinas pendapatan daerah Kota Depok.disamping tidak memasang makiumat atau nama atas usaha nya tersebut derni untuk rnenghindari pungutan pajak.Kurangnya pemahaman, kesadaran dan kepei-cayaan mereka tentang mamfaat pembayaran pajak rumah kost dan terhadap pemerintah daerah menjadi penyebab utama terjadinya kondisi ini.
Disisi lain, Undang-'Jndang rnengenai pajak rumah kost ini sendiri masih tumpang tindih dan baur menyangkut pengertian rumah kost sebagi obyek atau bukan obyek pajak, besamya tarif pajak yang masih mendahulukar+ sistem kompromi dan banyak lain penyebab lainnya rnenjadi pengharnbat didalam pelaksariaan pemungutan pajak secara optimal. Has ini antara lain disebabkan karena banyaknya peraturan daerah di Indonesia yang hanya menya!in secara penuh dari peraturan diatasnya (peraturan pemerintah pusat) karenanya apabila Undang-undang sudah kurang dapat memberikan penjelasan yang baik maka kesalahan itu akan terns terjadi dan beruiang sampai ketingkat pemerir+tahan terkecil di daerah.
Sedang'kan menyangkut kriteria pajak yang baik, secara umum telah dapat memenuhi teori yang ada walaupun menyangkut besarnya pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada pemerintah kota Depok terlihat belum sesuai dengan tarif yang ada dan lebih banyak berdasarkan kompromi karenanya unsur keadilan (equity) belum sepenuhnya herhasil.
Pelaksanaan pemungutan pajak yang telah dilakukan sejak tahun 2002 telah mengalami kemajuan, ini terlihat dari realisasi yang selalu saja melebihi target, akin tetapi itu tidak sepenuhnya dapat dijadikan indikator keberhasilan pelaksanaan pemungutan pajak rumah kost ini karena masih banyak pemilik kost yang belum terdaftar sebagai wajib pajak disamping jugs pembatasan tentang yang menjadi wajib pajak adalah pemilik rumah kost yang memiliki kamar kost sepuluh atau lebih, ini memberi pe!uang terjadinya kecurangan. Disamping itu berdasarkan data yang penulis terima dari pihak dinas pendapatan daerah kota Depok jumlah rumah kost hanyalah 17 buah saja sedangkan sepanjang pengamatan dan survey yang penulis lakukan, jumlah rumah kost di kota Depok ini lebih dari tujuh belas buah.
Respon masyarakat terhadap pelaksanaan pemungutan pajak rumah kost ini adalah negatif artinya bahwa sebagian responden, balk Itu penghuni maupun pemilik rumah kost kurang setuju dengan pemungutan ini karena tidak jelas pemamfaatannya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyal Muhammad
"Munculnya sektor informal dibidang ekonomi akibat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dalam dua dekade pembangunan nasional, telah menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, sektor ini dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan dapat memutar roda perekonomian secara mantap dan mandiri. Dampak negatifnya, konstribusi mereka yang minim terhadap penerimaan negara (pajak), terutama pajak pusat seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Penyebabnya adalah, selain faktor struktur sosial yang memang berbeda dengan sektor formal, undang-undang pajak yang ada terlalu terfokus kepada sektor formal yang besar-besar, dan sektor informal terlalu dilindungi dengan berbagai aturan yang membuat mereka lolos dari jejaring pajak dan semakin "hard to tax".
Kebijakan penerapan norma penghitungan penghasilan neto untuk pengusaha kecil dan menengah yang tidak menyelenggarakan pembukuan lengkap, nampaknya. merupakan kebijakan sepihak yang tidak mendidik dan bertentangan dengan prinsip "Self Assesment". Juga merugikan pengusaha keeil dan menengah yang dipaksa tidak boleh mengakui kerugian dalam usahanya.
Untuk mengatasinya, penulis mencoba memberikan solusi secara umum, dengan Cara memasukkan secara tegas sektor informal kedalam undang-undang Pajak kita, dan memproduksi undang-undang tentang Laporan Keuangan dan Wajib Audit yang berlaku umum dan tidak khusus semisal undang-undang tentang Perseroan Terbatas, dimana dari sini diharapkan sektor informal sebagai salah satu bentuk usaha mau melakukan pencatatan atau pembukuan atas segala transaksi usahanya. Ini dalam rangka mendidik mereka agar mau melakukan tertib administrasi, yang akan membuat diri mereka lebih memformilkan diri, sehingga berubah menjadi sektor formal yang berkembang dan maju, yang akhirnya bisa dipajaki.
Penulis juga menyarankan agar pemerintah segera melakukan deregulasi atas undang-undang No. 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar Akuntan. lni penting sekali untuk memberdayakan peran akuntan publik nasional, dan mengantisipasi diberlakukannya undang-undang tentang Laporan Keuangan dan Wajib Audit, yang pada saatnya nanti sangat memerlukan banyak sekali tenaga akuntan. Deregulasi ini dirasakan amat mendesak, untuk mendobrak status quo, yang tanpa di sadari telah menjauhkan sektor informal dari jejaring pajak, sehingga semangat "gotong royong" memikul beban pajak yang menjiwai sistim perpajakan kita, menjadi omong kosong belaka, dan faktor Equity atau keadilan, sebagai salah satu prinsip perpajakan semakin jauh untuk digapai."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lingga Widi Anggoro
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak badan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan pelaporan pajak dan penerimaan pajak penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua. Kepatuhan pelaporan wajib pajak diukur dari jumlah pelaporan SPT Tahunan PPh Badan, SPT Masa PPh Pasal 25, dan SPT Masa PPh Pasal 21 yang dilaporkan secara tepat waktu pada tahun pajak sebelum dan setelah dilakukannya pemeriksaan pajak. Pembayaran pajak diukur dari jumlah pembayaran yang dilakukan wajib pajak pada jenis pajak PPh Pasal 25/29 Badan dan PPh Pasal 21 yang dibayarkan atas tahun dan masa pajak sebelum dan setelah dilakukan pemeriksaan pajak. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebon Jeruk Dua perbulan pada kurun tahun 2008 sampai dengan 2011. Uji statistik yang digunakan untuk pengujian adalah Uji t sampel berpasangan dan data diolah secara komputerisasi dengan program SPSS versi 21. Penelitian ini membuktikan bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan pelaporan dan penerimaan pajak penghasilan wajib pajak badan di Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebon Jeruk Dua ini.

This Study have a purpose to know if tax audit have a significant impact to tax level of compliance and tax revenue from corporate tax payers in Jakarta Kebon Jeruk Dua Tax Office. Level of compliance being defined as the sum of all tax report in corporatet tax filling report, tax article 25 filling report, and tax article 21 filling report being reported in time in the tax year before and after tax audit. Tax revenue being defined as the sum of all payment of tax in article 25/29 corporate and article 21 from corporate tax payers in the tax year before and after tax audit. This study using quantitatif data using secondary data from Jakarta Kebon Jeruk Dua Tax Office in the year 2008 until year 2011. Statistic test being used in this study is t-test paired samples and being counted in computerised program of SPSS version 21. This study prove that tax audit have significant impact in level of compliance and tax revenue form corporate tax payers in Jakarta Kebon Jeruk Dua Tax office."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S46367
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Damayanan Kursius
"Pajak Hotel adalah salah satu jenis pajak daerah yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, disamping pajak daerah lainnya seperti Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir, yang merupakan salah satu dari sumber dana bagi Pemerintah Daerah yang diperlukan datam rangka menunjang kegiatan perekonomian daerah.
Propinsi DKI Jakarta, sebagai ibukota, merupakan pusat kegiatan ekonomi. Sebagai pusat pemerintahan dan pusat usaha merupakan lahan yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya usaha di bidang jasa/pelayanan kepada masyarakat sekitar maupun bagi wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara, khususnya di bidang jasa perhotelan. Dapat dilihat dari penerimaan pajak hotel yang terus meningkat, namun peningkatan yang terjadi tidak terlalu berarti, bahkan apabila dilihat dari banyaknya jumlah hotel dan jumlah wisatawan nusantara dan wisatawan asing yang berkunjung ke Jakarta juga meningkat per tahunnya, agaknya penerimaan pajak yang diperoleh belum sesuai dengan potensi dan kapasitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa sebenarnya potensi dan kapasitas pajak hotel di Propinsi DKI Jakarta serta faktor¬faktor yang mempengaruhi perkembangan realisasi penerimaan pajak hotel termasuk melakukan proyeksi terhadap penerimaan pajak hotel di propinsi DKI Jakarta di masa depan juga akan ikut dikaji. Metode¬-metode yang dipergunakan yaitu : pertama, perhitungan terhadap potensi pajak hotel, yang harus diketahui disini adalah omzet serta tarif pajak hotel yang dikenakan; kedua, perhitungan dengan menggunakan Sistem Representatif, dalam metode ini, diperlukan data dengan membandingkan beberapa daerah yang memiliki tingkat perekonomian yang relatif sama, pertama-tama yang harus diketahui adalah apa yang menjadi dasar pengenaan pajak atau basis pajak dari pemungutan pajak hotel. Dalam hal ini, basis pajak yang digunakan adalah jumlah pengunjung hotel, kemudian dihitung berapa tarif efektifnya, lalu basis pajak dikailkan dengan tarif efektif rata-rata hasilnya akan diperoleh kapasitas pajak hotel. Kemudian dapat juga diketahui berapa Tax Effort yang telah dilakukan oleh aparat pemungut pajak; ketiga, dalam menjawab pertanyaan apa yang menjadi faktor dalam perkembangan penerimaan pajak hotel di Propinsi OKI Jakarta menggunakan analisis multiple regression double log dimana koefisien regresinya sekaligus menunjukkan nilai elastisitas, yang kemudian dari model tersebut dilakukan proyeksi penerimaan pajak hotel ke depannya. Dari hasil analisis tersebut maka didapat variabel Nilai Tambah Sub Sektor Hotel tercatat berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak hotel di Propinsi DKI Jakarta, di mana tingkat penerimaan pajak hotel di Propinsi DKI Jakarta "inelastic" terhadap kenaikan nilai Tambah Sub Sektor Hotel."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>