Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152285 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Rajawali, 1984
304.8 TRA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrul Rahmat
"Konflik perebutan kekuasaan dalam Kerajaan Johor pada abad ke-18 ikut menyeret orangorang Bugis yang ada di kawasan tersebut. Keberhasilan menaklukkan Raja Kecik membuat Upu Daeng Bersaudara mendapat jabatan penting dalam Kerajaan Johor sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) dan dinikahkan dengan para bangsawan Melayu serta saudara perempuan sultan. Secara tidak langsung, dua hal ini membuat identitas sebagai orang Bugis perlahan menghilang. Keturunan Bugis yang menikah dengan orang Melayu tidak lagi menyandang nama daeng, melainkan nama raja. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan identitas kultural. Penelitian ini menunjukkan bahwa keturunan Bugis yang hidup dan menetap di Kerajaan Riau Johor sejak abad ke-18 dikenal sebagai Melayu Bugis. Hal tersebut berangkat dari penggunaan nama ‘raja’, yang merupakan satu bentuk identitas kultural baru bagi orang Bugis yang sudah berbaur dengan orang Melayu. Penggunaan nama ‘raja’ dimulai sejak dilibatkannya keturunan Bugis dalam pemerintahan serta pernikahan antara bangsawan Bugis dengan Melayu"
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 7:1 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Allbert Fitri Syaid
"Studi ini dilatarbelakangi oleh adanya konflik yang terjadi di internal Partai Demokrat dan bertujuan untuk dapat melihat perkembangan pelembagaan Partai Demokrat baik yang berjalan sebelum terjadinya konflik hingga pasca terjadinya konflik di internal Partai Demokrat. Dalam konteks dan latar tersebut selanjutnya penelitian ini akan dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban terkait dengan bagaimana konflik yang terjadi di internal Partai Demokrat dapat mempengaruhi institusionalisasi di Partai Demokrat. Dalam melakukan analisis terhadap penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik dan teori institusionalisasi partai. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Dalam Teknik pengumpulan data, data primer di peroleh melalui metode wawancara dengan informan yang terkait, dan data sekunder di peroleh melalui studi dari berbagai referensi yang berasal dari buku, penelusuran terhadap berbagai situs yang memuat hasil riset, dokumen partai politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya konflik internal Partai Demokrat dipengaruhi adanya perebutan kekuasaan yang terjadi di internal partai. Terjadinya Konflik tersebut juga didasari pada adanya dominasi elit yang kuat dalam mempengaruhi jalannya organisasi. Sehingga, kuatnya personafikasi figur di Partai Demokrat tersebut memberikan dampak negatif terhadap pelembagaan Partai Demokrat berdasarkan pada empat dimensi teori institusionalisasi dari Randall dan Svasand (2002) yakni pada dimensi kesisteman, identitas nilai, otonomi kebijakan dan pengetahuan publik.

This study is motivated by the existence of conflicts that occurred within the Democratic Party and aims to be able to see the development of Democratic Party institutions both before the conflict occurred and after the conflict occurred within the Democratic Party. In this context and background, this research will then be carried out. This study aims to find answers related to how internal conflicts within the Democratic Party can affect the institutionalization of the Democratic Party. In analyzing this research, researchers used conflict theory and party institutionalization theory. This study uses a descriptive qualitative research method. In data collection techniques, primary data was obtained through interviews with relevant informants, and secondary data was obtained through studies of various references from books, searches of various sites containing research results, documents of political parties. The results of this study indicate that the internal conflict of the Democratic Party has an impact on the existence of power struggles that occur within the party. The occurrence of this conflict also opposes the domination of strong elites in influencing organizational temptation. Thus, the strong personification figure in the Democratic Party has a negative impact on the institutionalization of the Democratic Party based on the four dimensions of institutionalization theory from Randall and Svasand (2002), namely on the systemic dimension, value identity, policy autonomy and public knowledge.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 2005
303.6 KON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Satrio
"Fenomena konflik internal yang muncul pada masa Perang Dingin, membuka kesempatan PBB untuk berperan lebih besar dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Operasi perdamaian PBB yang berkembang dengan pesat pasca Perang Dingin merupakan salah satu bentuk respon dari tantangan-tantangan yang muncul pada saat ini. Operasi perdamaian PBB yang dilakukan pasca Perang Dingin merupakan operasi multidimensi yang meliputi aktivitas peacekeeping dan peacebuilding.
Kompleksitas konflik internal yang terjadi di Sierra Leone, yang diakibatkan oleh faktor pemerintahan yang buruk dan faktor eksploitasi berlian secara illegal, menimbulkan jatuhnya korban sipil dalam jumlah yang sangat besar, dan juga menimbulkan berbagai masalah lainnya, seperti meningkatnya kemiskinan dan pengangguran serta meningkatnya jumlah pengungsi. Melihat ketidakberdayaan pemerintah Sierra Leone dalam mengatasi konflik tersebut, maka menarik PBB, dalam kaitannya sebagai organisasi internasional, untuk ikut campur tangan dalam memulihkan dan mencapai perdamaian di negara tersebut.
Dalam tesis ini, penulis mencoba menganalisa tentang peran yang dilakukan Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam proses penyelesaian konflik internal Sierra Leone pada periode tahun 1994-2005, melalui usaha-usahanya sebagai mediator bagi pihak-pihak yang bertikai dan juga mengirimkan pasukan operasi perdamaian di negara tersebut.

The internal conflict phenomenon that emerged in Cold War time, opened the United Nations opportunity to play a bigger role in an effort to maintain international peace and security. The United Nations peace operation that developed fast post-Cold War, was one of the forms as the response from challenges that emerged at the moment. The United Nations peace operation that was carried out post-Cold War was the multidimensional operation that covered the peacekeeping and peacebuilding activity.
Because of the bad governance and illegally diamond exploitation?s factor, the internal conflict complexity in Sierra Leone caused the fall of civil casualties in the very big number, and also caused various other problems, like the increase in poverty and the unemployment as well as the increase of the number of refugees. Saw the powerlessness of the Sierra Leonean government in overcoming this conflict, then attracted the United Nations, as an international organization, to take part in the interference in restoring and achieving peace in this country.
In this thesis, I'm trying to analyzed about the role that was carried out by the United Nations Peacekeeping Operation Forces in the process of the internal Sierra Leonean conflict resolution in the period 1994-2005 , through their efforts as the mediator among dispute parties and also sent troops of the peace operation in this country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25115
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Kusumadewi
"Sierra Leone adalah salah satu negara bekas koloni Inggris pads abad ke-19. Pala saat itu Inggris sedang mengalami stagnasi dan depresi ekonomi karena sangat kekurangan sumber daya alam. Pads tahun 1930, sebuah tim survei geologi menemukan berlian di Distrik Kono. Sejak penemuan berlian ini, pemerintah kolonial mulai memanfaatkan berlian sebagai sumber pendapatan mereka. Pada awal tahun 1950-an, sejumlah besar penambang gelap dari negara-negara tetangga datang ke Sierra Leone. Pada tahun 1956, telah terdapat 75.000 penambang gelap yang melakukan penyelundupan berlian dalam skala besar. Tindakan dari para penambang gelap berlian ini telah menyebabkan kekacauan hukum dan peraturan di Sierra Leone. Peristiwa penyelundupan berlian dalam skala besar ini disebut dengan istilah ?Great Diamond Rush?.
Pada tahun 1961, Sierra Leone memperoleh kemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris. Negara yang baru merdeka ini diperintah oleh Milton Margai dengan cara memerintah yang sama dengan pemerintah kolonial Inggris. Kemudian pada tahun 1967, Siaka Stevens memenangkan pemilihan umum dan menjadi Presiden Sierra Leone berikutnya. Stevens memberikan dukungan kepada kelompok penambang gelap berlian. Selain itu, Stevens dan rekan-rekannya juga mengeksploitasi berlian untuk kepentingan pribadi mereka.
Setelah Stevens pensiun, ia menunjuk Kepala Militer Mayor Jenderal Joseph Saidu Momoh sebagai penggantinya. Pemerintahan Momoh menunjukkan tanda-tanda kehancuran karena didominasi oleh sisa-sisa rezim Stevens yang korup. Akibatnya, perekonomian negara menjadi collapse sehingga negara kekurangan pendapatan fiskal dan rakyat kehilangan kesempatan ekonomi serta bantuan sosial.
Pada tahun 1991, Revolutionary United Front (RUT) melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Momoh dari Liberia. Pada scat inilah konflik internal di Sierra Leone dimulai. RUF ini merupakan gerakan pemberontak yang didukung oleh Charles Taylor dari Liberia. Sejak tahun 1995, RUF mulai mengambil alih kendali terhadap pertambangan berlian di Distrik Kano, dan kepentingan RUF terhadap berlian menjadi lebih terfokus. Wilayah pertambangan berlian Kano dan Tonga menjadi fokus militer utama RUF, dan pertambangan berlian menjadi sumber pengalaman utama pelatihan mereka. RUF menjadi sangat terobsesi dengan berlian sehingga kelompok ini sendiri didominasi oleh kebanyakan bekas penambang gelap berlian. RUF menggunakan berlian untuk membiayai pemberontakannya selama konflik internal berlangsung dengan dukungan Liberia. Di Sierra Leone, peran Liberia dan RUF dalam eksploitasi berlian selama konflik internal berlangsung tidak dapat dipisahkan dari jaringan kriminal transfer ilegal Small Arms and Light Weapons (SALW). Terutama karena Charles Taylor dari Liberia berperan sebagai broker atau pedagang perantara untuk menyalurkan SALW kepada RUF yang akan ditukarkan dengan berlian mentah. Charles Taylor bersama dengan RUF telah membentuk jaringan kriminal perdagangan ilegal berlian dengan pars pedagang senjata yang juga merangkap sebagai pedagang berlian ilegal. Pokok permasalahan penelitian ini berkisar mengenai berlian yang telah memberikan motivasi bagi RUF dengan dukungan Liberia untuk mempertahankan dan memelihara peperangan agar dapat melindungi akses mereka terhadap sumber daya alam berlian ini.
Tesis ini menggunakan pendekatan political economy of conflict untuk menganalisa peran dari Liberia dan RUF dalam eksploitasi berlian selama konflik internal di Sierra Leone berlangsung. Penelitian ini menemukan bahwa Liberia dan RUF berperan besar dalam eksploitasi berlian selama konflik internal di Sierra Leone berlangsung. RUF juga telah membentuk jaringan kriminal perdagangan berlian baik secara lokal, regional dan internasional (dengan Charles Taylor dari Liberia, perusahaan-perusahaan internasional dan komunitas kriminal dunia). RUF dan Liberia memiliki kepentingan besar untuk memelihara dan mempertahankan konflik internal di Sierra Leone karena keduanya memperoleh keuntungan yang sangat besar clan situasi konflik ini. Peran RUF dan Liberia yang besar dalam eksploitasi berlian di Sierra Leone selama konflik internal berlangsung didasari oleh motif greed dan juga merupakan tindakan resource predation.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malya Nova Imaduddin
"Penelitian bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran pemerintah dan mantan kombatan GAM dalam penyelesaian konflik pasca konflik Aceh. Hasil penelitian menemukan bahwa pertama, pemerintah sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Peran pemerintah dalam penyelesaian konflik dengan melakukan cara kolaborasi atau kerjasama dan kompromi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Namun demikian, masih ada beberapa program kegiatan dan bantuan dari pemerintah yang belum terealisasikan, masih ada beberapa pihak pemerintah yang mengunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Kedua, mantan kombatan juga sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Namun demikian, masih ada beberapa mantan kombatan yang menunjukkan adanya rasa ketidakpuasan akan peran pemerintah dalam hal penegakan hukum hak asasi manusia, lambang dan bendera dan ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Ketiga, masih terjadi konflik-konflik kecil diantara pihak pemerintah dan mantan kombatan yang disebabkan oleh konflik internal dalam demokrasi pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu menerjemahkan secara operasional kerangka penyelesaian konflik dalam menjaga perdamaian dengan skema yang dipahami oleh seluruh stakeholder melalui workshop dan pelatihan-pelatihan guna memudahkan sinergi dan kolaborasi pada seluruh level pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota.

The study aims to analyze how the role of government and GAM ex combatants in conflict resolution post conflict Aceh. The results of the study found that firstly, the government has performed its role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. The role of government in resolving conflicts by way of collaboration or cooperation and compromise on the parties to the conflict. However, there are still some programs of activity and assistance from the government that have not been realized, there are still some government parties that use the authority for personal interests. Secondly, ex combatants have also exercised their role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. Nevertheless, there are still some ex combatants demonstrating a sense of dissatisfaction with the role of the government in terms of human rights law enforcement, symbols and flags and injustices in the equitable distribution of development. Third, there are still small conflicts between the government and ex combatants caused by internal conflicts in Aceh 39 s democratic government. Therefore, the Aceh Government needs to translate operational conflict resolution framework in keeping peace with a scheme understood by all stakeholders through workshops and trainings to facilitate synergy and collaboration at all levels of government in provinces and districts.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Suciyana Sriyanto
"Dua studi kuantitatif dilakukan dalam konteks konflik yang terjadi selama proses Pemilihan Gubernur 2017 di Jakarta. Data studi 1 dikumpulkan dari 442 sampel dan data studi 2 dikumpulkan dari 421 sampel, yang dipilih dengan menggunakan teknik accidental sampling. Sampel dipilih dari warga Jakarta yang menggunakan hak pilih mereka dan mengidentifikasi bahwa mereka sebagai anggota kelompok yang terlibat dalam konflik yang terjadi selama pemilihan Gubernur Jakarta 2017. Studi 1 dilakukan untuk menjelaskan bagaimana emosi berbasis kelompok seperti harapan, rasa benci, rasa bersalah, rasa malu, dan rasa marah dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi dalam konflik antarkelompok. Studi 2 dilakukan untuk membuktikan bahwa emosi berbasis kelompok seperti harapan, rasa benci, rasa bersalah, rasa malu, dan rasa marah dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi lebih baik daripada variabel bukan emosi seperti trust, identifikasi kelompok, dan out-group blame. Data dianalisis dengan menggunakan teknik Structural Equation Modeling untuk membangun teori model terintegrasi dan menguji hipotesis penelitian.
Hasil studi 1 menunjukkan bahwa harapan, rasa benci, rasa marah, dan rasa bersalah dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi, sementara hasil studi 2 menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara harapan, rasa benci, rasa bersalah terhadap kesiapsediaan untuk berekonsiliasi Temuan dalam penelitian ini mendukung asumsi bahwa harapan, rasa bersalah dan trust memiliki pengaruh poositif terhadap kesiapsediaan untuk berekonsiliasi, sementara rasa benci dan out-group blame mengakibatkan berkurangnya tingkat kesiapsediaan untuk berekonsiliasi dengan kelompok lawan. Di antara semua variabel yang diuji, studi-studi ini memberikan bukti rasa bersalah terhadap out-group merupakan prediktor terkuat pada kesiapsediaan untuk berekonsiliasi antar-kelompok yang terlibat konflik PILKADA Jakarta 2017. Hasil penelitian ini juga memberikan bukti bahwa emosi berbasis kelompok dapat memprediksi kesiapsediaan untuk berekonsiliasi lebih baik dibandingkan variabel bukan emosi seperti out-group blame dan group identification.

Two quantitative studies were conducted within the context of conflict which occurred during Jakarta's 2017 Governor Election process. The first study aimed to gain explanation whether group-based emotion including hope, anger, hatred, shame and guilt could predicts willingness to reconcile. The second study was conducted to answer wheter group-based emotions could predicts more significantly than non-emotional variables such as trust, group identification, and out-group blame. In the first study, the data were collected using accidental sampling from 442 Jakarta residents, who use their voting rights and identified that they were part of the groups that involved in conflicts that occurred during Jakarta's 2017 Governor elections. The data for second study were collected from 421 sample within the same manner  The data were analyzed using Structural Equation Modeling techniques to build the integrated model theory and test the research hypothesis.
The result from first study revealed that hope, hatred, anger and guilt could predicts willingness to reconcile, while in the second study shows hope, hatred, guilt, trust and out-group blame could predicts willingness to reconcile. The findings support the notion that hope, trust, and guilt have a positive impact to the willingness to reconcile, while hatred, anger and out-group blame resulting in participants reducing the willingness to reconcile with opposing candidate's supporting group. These studies also gave evidence that guilt was the strongest predictor of willingness to reconcile in the inter-group conflict in the Jakarta 2017 regional elections. The results of the latest study provide evidence that group-based emotions could predict participant's willingness to engage in post-conflict reconciliation better than non-emotional variables such as trust and out-group blame.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
D2628
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Madiation as one of conflict resolution tool needs neutrality as its prerequisite. Neutrality is needed to guarantee that the third party does not have any vested or national interest. Vested or national interest of the third party will affect the mediation and the negotiation will not reach the best result for each parties. In this case neutrality cannot be fulfilled by United Nation in Morocco-Western Sahara negosiation and this is become stalemate in resolving conflict between Moroco and Western Sahara. This paper will examine why UN cannot play as neutral mediator in this negotiation."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wisnubroto Arimurti
"Penulis berusaha untuk melihat sejauh mana Peran Internal Audit Dalam Governance, Risk, dan Compliance (Studi Kasus PT Bank X Tbk) sehingga dapat menjadi suatu pedoman bagi pihak eksternal dalam mengetahui keadaan Internal Auditor yang sebenarnya. Ada beberapa tahapan yang akan dilalui. Pertama-tama penulis melihat dari aspek COSO dan cross check dengan Fraud Questioner. Terakhir, penulis akan melakukan analisa governance, risk, & compliance. Metode penelitian dengan menggunakan metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa secara umum, Peran Internal Auditor Dalam Governance, Risk, dan Compliance (Studi Kasus PT Bank X Tbk) adalah 76,59%. Artinya, internal Auditor cukup baik dalam menjalankan tugasnya dalam GRC dan sebagai strategic business partner. Peran Internal Auditor PT Bank X Tbk didukung oleh kemampuan auditor yang baik dengan bantuan yang diberikan dirasakan cukup membantu. Penulis melihat bahwa ruang lingkup Internal Auditor PT Bank X harus lebih ditingkatkan pada internal control review & fraud detection dan financial. Lath audit operasional dan review pengendalian internal masih menjadi prioritas utama. Adanya usaha perusahaan dalam menerapkan prinsip governance, menekankan pada pcntingnya manajemen resiko, business risk, dan process risk telah meningkatkan pemahaman fungsi internal auditor. Selanjutnya, langkah-langkah dalam proses audit sangat baik dan sesuai dengan proses yang berlaku umum. Pada akhirnya, peran Internal Auditor PT Bank X Tbk meningkat dari audit keuangan saja menjadi audit kepatuhan dan konsultan agar dapat meningkatkan nilai perusahaan.

The thesis is about Role of Internal Audit in Governance, Risk, and Compliance (Case Study at PT Bank X Tbk). It can be guidance for everyone who wants to know about conditions of Internal Audit PT Bank X Tbk. This thesis has 3 major steps. First, assessing COSO and cross check by Fraud Questioner. Finally use governance, risk, and compliance form. This thesis use descriptive analysis method.
The result Internal Audit Effectively at PT Bank X Tbk is 76,59%. It means that Internal Audit is good enough on GRC form and as a strategic business partner. The role of internal Audit PT Bank X Tbk is quite helping because of the good capabilities of its Internal Audit. It's should have more concern about internal control review & fraud detection, financial, operational audit, and review of internal control. Company has a good effort on governance form, risk management, business risk, and process risk so its can improve internal auditor functionality. Audit step is good and as same as standard. Finally, role of internal auditor can improving value added because it?s improve from financial audit to compliance audit and consultant/strategic business partner.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>