Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113154 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susworo
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
616.21 SUS k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah keganasan dengan distribusi etnis dan geografis yang khas. KNF memiliki karakteristik yang berbeda dari kanker kepala dan leher lainnya, seperti perilaku pertumbuhan yang cepat, kecenderungan yang tinggi untuk bermetastasis ke kelenjar getah bening (KGB) regional dan organ jauh. E-cadherin memainkan peran penting dalam pemeliharaan adhesiantar sel-sel epitel. Perubahan molekul adhesi sel E-cadherin yang dimediasi oleh sel-sel kanker berkontribusi untuk peningkatan penyebaran sel tumor dan pembentukan metastasis. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ekspresi E-cadherin pada KNF yang telah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis. Metode: Desain penelitian adalah studi kasus-kontrol. Subjek penelitian adalah blok parafindari pasien KNF yang telah menjalani biopsi. Blok dari pasien KNF yang telah bermetastasis dikategorikan sebagai kelompok kasus, sementara yang tidak bermetastasis sebagai kelompok kontrol. Sampel dari keduakelompok diperiksa dengan metode imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi E-cadherin. Hasil:Sampel 48 blok parafin, masing-masing kelompok terdiri dari 24 blok. Terdapat perbedaan yang signifikan ekspresi E-cadherin dengan p<0,001 dan Odds Ratio (OR) 87,4 (95% interval kepercayaan 10,15-2653,26). Terdapat pula hubungan yang signifikan antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan status KGB leher(p<0,001), metastasis jauh (p=0,001), dan stadium penyakit (p=0,001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara ekspresi E-cadherin pada kelompok KNF yang telah bermetastasis dibandingkan kelompok KNF yang belum bermetastasis."
ORLI 45:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyanti
"Latar Belakang: Salah satu masalah dalam tatalaksana karsinoma nasofaring (KNF) adalah masih tingginya angka rekurensi pascaterapi. Hingga saat ini, biomarker yang digunakan di klinik untuk mengevaluasi hasil terapi definitif pada KNF adalah melalui CT scan nasofaring. Overekspresi Rad51 berhubungan dengan peningkatan resistensi sel tumor terhadap radiasi dan kemoterapi. Oleh karena rekurensi pascaterapi berhubungan dengan resistensi sel-sel tumornya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai korelasi antara ekspresi Rad51 pada biopsi nasofaring sebelum terapi dengan penyusutan massa tumor pascaterapi yang diukur dengan metode unidimensional.
Bahan dan Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 15 kasus KNF. Ekspresi Rad51 dinilai dari biopsi nasofaring sebelum terapi. Evaluasi hasil terapi dilihat dari penyusutan massa tumor, berdasarkan CT scan nasofaring sebelum dan setelah terapi definitif. Cara yang digunakan untuk mengukur penyusutan massa tumor adalah dengan mengukur diameter terpanjang (unidimensional).
Hasil: Ekspresi dari pewarnaan Rad51 yang dinilai berdasarkan skor-H menunjukkan hubungan bermakna dan korelasi yang kuat dengan penyusutan massa tumor. Diperoleh nilai p = 0,005 dan koefisien korelasi r = - 0,64.
Kesimpulan: Ekspresi Rad51 memiliki korelasi negatif dengan penyusutan massa tumor karsinoma nasofaring.

Background: The remain challenging problem in the management of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is its higher rate of recurrency. Untill now, CT scan is the most common use biomarker to evaluate the treatment response after the definitive therapy. There’s a significance association between Rad51 overexpression and the increasing of resistancy to irradiation and chemotherapy in tumor cells and the resistancy of tumor cells correlates to its recurrency after therapy. Therefore, this study was conducted to evaluate the correlation between Rad51 expression level and the tumor’s shrinkage with unidimensional measurement. Material and
Methods: Fifteen cases of NPC were analyzed by a cross-sectional study. The expression of Rad51 were taken from the pretreatment of nasopharyngeal biopsy. The treatment response was evaluated from the nasopharyngeal CT scan, before and after definitive therapy, using the unidimensional measurement based on the change in sum longest diameter.
Result: The expression of Rad51 immunostaining assessed by the H-score were strongly correlate with the regression of the tumor mass which represent the treatment response. The p value is 0,005 and the correlation’s coefficient is -0,64.
Conclusion: There is significant correlation with negative magnitude between the expression of Rad51 with the shrinkage of tumor mass in nasopharyngeal carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Suryakusuma
"ABSTRAK
Latar Belakang. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan jenis tumor kepala dan leher yang paling sering ditemukan, dan angka kejadiannya di Indonesia sendiri terbilang cukup tinggi. Paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI merupakan defisit neurologi yang sering dijumpai pada pasien KNF dan merupakan salah satu penanda infiltrasi intrakranial. Pemeriksaan neurologi klinis terhadap saraf kranial merupakan salah satu prosedur evaluasi pasien KNF pasca terapi standar. Metode. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain pra-pasca. Subjek penelitian adalah semua pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI yang telah menjalani radioterapi lengkap di Departemen Radioterapi RSUPNCM antara 2 bulan – 6 bulan sebelumnya. Dilakukan wawancara, pengisian kuesioner serta pemeriksaan neuro-oftalmologi klinis. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0. Hasil. Diperoleh 32 subjek pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI. Terapi standar KNF di RSUPNCM memberikan perbaikan pada paresis saraf kranial sebagai berikut: perbaikan paresis saraf kranial III sebesar 86% (membaik komplit 57%, membaik parsial 29%), perbaikan paresis saraf kranial IV sebesar 100%, perbaikan lesi saraf kranial V(1,2,3) sebesar 57% (membaik komplit 36%, membaik parsial 21%), dan perbaikan paresis saraf kranial VI sebesar 43%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara perbaikan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI dengan faktor terkait penderita (usia dan jenis kelamin), faktor terkait penyakit (respons massa tumor KNF pasca radioterapi, durasi paresis saraf kranial, derajat keterlibatan saraf kranial dan subtipe histologi WHO), maupun dengan faktor terkait tatalaksana (teknik radioterapi dan pendekatan kemoterapi). Kesimpulan. Perbaikan paresis saraf kranial pasca radioterapi dapat dinilai secara objektif dengan pemeriksaan neurologi klinis sehingga perlu secara rutin dilakukan pemeriksaan neurologi klinis pra maupun pasca terapi sebagai salah satu standar evaluasi pasien KNF di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

ABSTRACT
Background. Nasopharyngeal Cancer (NPC) is the most prevalent head and neck cancer, and its incidence in Indonesia is quite high. Third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies are often found in NPC patients and signify intracranial infiltration. Clinical neurological examination for cranial nerves is one method of evaluating NPC patients after they receive standard management. Methods. This is an observational study with a pre-post design. The subject of this study were all NPC patients with third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies who receive full radiotherapy regimen at the Department of Neurology, Cipto Mangunkusumo National Hospital 2-6 months prior to evaluation. Patients were then interviewed, asked to fill in questionnaires and went through clinical neuro-ophthalmological evaluation. Data was analyzed using SPSS 17.0. Results. There were 32 NPC patients included in this study. Standard management at Cipto Mangunkusumo National Hospital improve the outcome of third cranial nerve palsy in 86% of subjects (57% complete recovery, 29% partial recovery), 100% improvement of the fourth cranial nerve palsy, 86% improvement of the fifth cranial nerve palsy (36% complete recovery, 21% partial recovery), and 43% improvement of the sixth cranial nerve palsy. However, there were no statistically significant correlations between the improvement of the cranial nerves with patients related factors (age and sex), with disease related factors (NPC primary tumor response to radiotherapy, duration of cranial nerves palsy, degree of cranial nerves involvement and WHO histological subtypes), or with treatment related factors (radiotherapy techniques and chemotherapy approaches). Conclusion. The recovery of cranial nerve palsy after radiotherapy could be objectively evaluated with clinical neurological examination. Therefore, clinical neurological examination should be viewed as the standard evaluation for NPC patients pre as well as post therapy."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Haryoga
"Latar Belakang: Skrining awal dengan pemeriksaan viral load EBV plasma belum menjadi pemeriksaan rutin pada kanker nasofaring. Penelitian ini dikhususkan meneliti peran viral load EBV plasma pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini akan menjadi studi pilot di bidang viral load EBV plasma pada kanker nasofaring, khususnya di Indonesia.
Metode: Desain penelitian ini adalah Study Ekploratif, mengeksplorasi hubungan antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan pada kanker nasofaring stadium lokal lanjut dan stadium lanjut. Besar sample diambil berdasarkan rule of thumb, diperkirakan 15 sampel memberikan gambaran yang cukup memadai, mempertimbangkan biaya dan waktu penelitian. Untuk pemeriksaan viral load EBV plasma maupun jaringan tumor dilakukan dengan metode Real Time PCR dengan Kit dan alat PCR milik perusahaan QIAGEN®.
Hasil: Ditemukan korelasi lemah-sedang (R= 48,3%) antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan, dengan nilai p = 0,003 yang menyatakan bahwa korelasi ini dapat dipercaya. Tidak ada korelasi antara konsentrasi PD-L1 ELISA, IFN gamma, Limfosit, Neutrofil, maupun Leukosit dengan viral load EBV plasma. Kesimpulan: Semakin tinggi konsentrasi DNA EBV jaringan, semakin tinggi pula konsentrasi viral load EBV plasma, walaupun korelasi lemah-sedang, namun signifikan. Sampel yang sedikit menjadi kelemahan dalam penelitian ini, karena biaya dan waktu yang terbatas.

Background: Initial screening with plasma EBV viral load has not become a routine examination of nasopharyngeal cancer. This research will be a pilot study in the field of plasma EBV viral load in nasopharyngeal cancer, especially in Indonesia.
Method: The design of this study was an Explorative Study. This study explores the relationship between plasma and tissue EBV viral load in locally advanced and advanced stage nasopharyngeal cancer. Large samples are taken based on the rule of thumb, it was estimated that 15 samples would provide an adequate picture. Plasma and tissue DNA EBV PCR examinations were carried out using the Real Time PCR method with the company's QIAGEN® Kit and PCR tool.
Results: There is a weak-moderate correlation (R = 48,3%) between plasma EBV viral load and tissue EBV viral load, with a value of p = 0.003 which indicates that this correlation can be trusted. There is no correlation between the concentration of PD-L1 ELISA, IFN gamma, Lymphocytes, Neutrophils, or Leukocytes with plasma EBV viral load. Conclusion: The higher the tissue EBV viral load concentration, the higher the plasma EBV viral load concentration, although this correlation was weak - moderate, but significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Salim
"ABSTRAK
Angka kejadian penderita kanker baik nasional maupun dunia cukup tinggi. Di Indonesia karsinoma nasofaring merupakan jenis tumor ganas terbanyak yang menempati urutan keempat dad seluruh tumor ganas setelah karsinoma serviks, payudara, dan kuiit. Keganasan tersebut sexing terlambat didiagnosis dan mempunyai prognosis yang jelek, meskipun keganasan ini sensitif terhadap penyinaran dan kemoterapi. Namun terapi untuk kanker khususnya kemoterapi mempunyai efek samping yang tidak sedikit terutama obat cisplatin sering menyebabkan nefrotoksis. Pada pasien kanker biasanya sebelum kemoterapi secara nrtin dilakukan pemeriksaan penilaian fungsi ginjal. Penilaian fungsi ginjal dengan bersihan kreatinin (Creatinine Clearance Test= CCT) sering menjadi kendala dalam hal penampungan urin 24 jam. Untuk mengatasinya sering dipakai CCT cara hitung menurut rumus Cockroft dan Gault tetapi dipengaruhi puia banyak faktor yaitu usia, berat badan dan jenis kelamin, Walaupun dikenal uji Baku emas GFR berupa uji bersihan inulin, uji kontras radiologik iohexol atau Cr-ECTA, namun cara-cara tersebut kurang praktis untuk diterapkan secara rutin.
Saat ini telah dioerkenalkan parameter uji baru laboratorium untuk LFG yaitu penetapan kadar Cystatin C dalam darah. Cara baru ini mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan CCT karena Cystatin C diproduksi oleh sel badan secara tetap, dltras'. babas melalui glomeruli dan tidak disekresi oleh tubulus ginjal. Cystatin C direabsorbsi oleh tubulus proksimal tetapi Iangsung dimetabolisis dalam sel tubulus proksimal tersebut sehingga tidak masuk ke dalam darah. Pengukurarr Cystatin C cukup dengan kadar dalam darah, tanpa penampungan urin 24 jam.
Pemeriksaan fungsi ginjal dengan kadar Cystatin C saja tanpa dikonversikan menjadi LFG sulit untuk menentukan penurunan derajat ringan, sedang dan berat. Oleh karena itu pemeriksaan Cystatin C dikonversikan dengan menggunakan rumus Amal dan Hoek, tetapi dengan kedua rumus tersebut belum dapat terlihat penurunan fungsi ginjal yang dini karena jumlah sampel kurang memenuhi syarat.

ABSTRACT
The incidence of cancer patients nationally and globally is quite high. In Indonesia, nasopharynx carcinoma is in fourth place among commonly found malignant carcinomas,after carcinomas of the cervix, breast and skin. This malignancy is generally diagnosed late and the prognosis is not good, inspite of its sensitivity to radiation and chemotherapy. Chemotherapy has substantial side effects, especially cisplatin which often causes nephrotoxicity. Before starting therapy for cancer patients, evaluation of renal function are routinely carried out. Evaluation of renal function using Creatinine Clearance Test (CCT) often' encounter problems in 24 hour urine collection. To overcome this, CCT count with Cockroft and Gault formula is usually used, however, this test is also influenced by many factors such as age, body weight and sex. Even though there are GFR gold standard tests for GFR such as inulin clearance test, iohexol radiological contrast test or Cr-EDTA, these tests are not practical to be carried out routinely.
At present, a new laboratory test parameter for GFR is introduced by establishing Cystatin C levels in the blood. This new procedure has a number of benefits compared to CCT because Cystatin C is produced by body cells continually, freely filtrated through the glomeruli and not secreted by the proximal tubule but is directly metabolized inside the proximal tubule, thus does not enter the blood. Cystatin C level can be measured in the blood without having to conduct a 24 hour urine collection.
By carrying out renal function test using solely Cystatin C without conversion to GFR, it is difficult to identify whether the decrease was of mild, medium or severe degree. As the consequence, Cystatin C conversion is done using the Amal and Hoek formulas, however, by using these two formulas early decrease in renal function still could not be detected due to inadequate amount of samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
"Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor. 
Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.  
Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.  
Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan.

Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity. 
Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test. 
Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1. 
Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Fathima
"ABSTRAK
Latar Belakang : Di Indonesia, Kanker Nasofaring (KNF) merupakan insiden terbanyak ke lima yang mencapai 5.2% dari seluruh kasus kanker, dan merupakan kanker terbanyak ke tiga pada laki-laki serta penyebab kematian ke tujuh akibat kanker. Tatalaksana kanker menjadi semakin kompleks sehingga meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan pada penanganan kanker, dan kanker nasofaring (KNF) adalah salah satu diantaranya. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterlambatan penatalaksanaan kanker dan mengetahui peran dan hubungan case manager terhadap keterlambatan diagnosis dan terapi pada pasien KNF. Metode : Penelitian potong lintang retrospektif terhadap 110 pasien kanker nasofaring yang dirujuk ke RSCM periode Juli 2018-Maret 2019, dilihat karakteristik pasien, peran case manager terhadap faktor keterlambatan diagnosis dan terapi yang didapat. Analisis univariat, bivariate, chi square, kolmogorov smirnov dan kaplan Meier dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil : Didapatkan 64,6% pasien adalah laki-laki, rerata usia 44 (12-66) tahun, rujukan internal RSCM 83,3% dengan perujuk 90% dari Departemen THT-KL. Sebagian besar pasien datang dengan stadium IV A (64,6%) dengan domisili terbanyak dari luar DKI Jakarta (81,3%). Secara umum didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok tanpa pendampingan case manager lebih banyak mengalami keterlambatan diagnosis dibandingkan pada kelompok yang dengan pendampingan case manager (73,3% versus 24,2%; P = 0,001). Demikian pula pada keterlambatan tindakan pengobatan atau terapi (86,7% versus 54,5%; P = 0,031), namun tidak berbeda signifikan pada waktu tunggu keseluruhan pelayanan pasien, walaupun secara proporsi tetap lebih tinggi waktu tunggu pelayanan pasien pada yang tanpa pendampingan case manager (60% versus 54,5%; P = 0,724). Untuk faktor yang mempengaruhi keterlambatan tatalaksana kanker lainnya didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, tingkat pendidikan dan tempat tinggal terhadap keterlambatan waktu diagnosis ataupun terapi. Kesimpulan : Case manager terbukti dapat mengoptimalkan pelayanan kesehatan sehingga dapat memperbaiki waktu tatalaksana pada pasien kanker Nasofaring di RSCM.

Background: In Indonesia, Nasopharyngeal Cancer (NPC) is the fifth highest incidence which reaches 5.2% of all cancer cases, and is the third most cancer in men after lung cancer and liver cancer and the seventh cause of cancer death. The management of cancer became more complex which increasing the risk of delays in cancer treatment, and nasopharyngeal cancer (NPC) is one of them. This study was conducted to identified the delay factors in cancer management and to determine the role and relation of case manager on factors from diagnosis delay and treatment delay for NPC patients. Methods: A retrospective cross sectional study of 110 nasopharyngeal cancer patients reffered to Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) for the period of July 2018-March 2019, analyzed the characteristics of patients and the role of case managers on the factors of diagnosis and treatment delay obtained. Bivariate, univariate, chi square, kolmogorov smirnov and kaplan Meier analyzes were performed on patients who met the inclusion criteria. Results: Obtained 67.1% of patients were men, mean age of patients 44 (12-66) years old, RSCM internal majority of patients came with stage IV A (64.6%) and staying mostly outside from DKI Jakarta area (81.3%). In general, there were significant differences in the group without case manager had a higher delay in diagnosis than in the group with the case manager (73.3% versus 24.2%; P = 0.001). Same as in treatment delay (86.7% versus 54.5%; P = 0.031), but not significantly different in awaiting time overall patient care, however in a proportion, the waiting time for patient care was higher in group without case manager (60% versus 54.5%; P = 0.724). For the other factors that influence the delay treatment of cancers showed, there is no relations which related to age, education level and place of residence to delay the time of diagnosis or treatment. Conclusion: Case manager are proven to optimize health services that can improve management time and decrease treatment delay in Nasopharyngeal cancer patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nastiti Rahajeng
"Tujuan: Mengetahui kesintasan hidup, respon pengobatan dan faktor yang mungkin mempengaruhi dalam penanganan karsinoma nasofaring stadium lokal lanjut.
Metode: Dilakukan penelitian retrospektif deskriptif analitik terhadap 391 pasien karsinoma nasofaring stadium lokal lanjut yang berobat di Departemen Radioterapi RSCM periode Januari 2007-Desember 2011, dilihat karakteristik pasien maupun tumor. Analisis kesintasan dihitung dengan kurva Kaplan Meier dan respon radiasi dianalisa menggunakan uji korelasi Spearman pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Didapatkan 70.6% pasien adalah laki laki, median usia 45 (9-86) tahun. Sebagian besar stadium IVB (32,7%) dengan tipe histopatologis WHO III paling dominan (82,4%) Kesintasan hidup 3 dan 5 tahun untuk masing-masing stadium IIB, III, IVA, IVB berturut-turut adalah 64,9%, 57,6%, 47,4%, 48,0% dan 64,9%, 43,2%, 34,3%, 26,6%. Sedangkan respon komplit untuk masing-masing stadium IIB, III, IVA, IVB berturut-turut 83,3%, 73,3%, 52,6%, 45,8%. Terdapat korelasi bermakna antara respon radiasi dengan stadium (r=0,242;p=0,038) dan antara respon radiasi dan kesintasan hidup (r=-0,251;p=0,031).

Purpose: To show the overall survival rate, radiation response and factors influenced on locally advanced nasopahryngeal cancer.
Method: Retrospective analytic descriptive study of 391 newly diagnosed locally advanced nasopharyngeal cancer patients from January 2007 till December 2011, to show their characteristics. Overall survival rate were analyzed by Kaplan Meier Survival curve and the radiation response correlation with other factors were analyzed by Spearman correlation test.
Result: Most of the subjects are male (70.6%), with median age 45 (9-86) years old. Mainly on stage IVB (32,79%) with the most hystopalogic was type III WHO (82,4%). All of the subjects were analyzed for 3 and 5 years overall survival, resulted for stage IIB, III, IVA, IVB were 64,9%, 57,6%, 47,4%, 48,0% dan 64,9%, 43,2%, 34,3%, 26,6% respectively. Complete respons for stage IIB, III, IVA, IVB were 83,3%, 73,3%, 52,6%, 45,8%, respectively. There were significant correlation between radiation response and cancer stadium (r=0,242;p=0,038) and between radiation response with overall survival rate (r=-0,251;p=0,031).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>