Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75914 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agita Pramita
"Remaja merupakan periode dimana individu disibukkan dengan tujuan yang berkaitan dengan masa depan. Namun, remaja yang memiliki penyakit kronis akan menghadapi berbagai permasalahan yang berdampak terhadap kemampuan mereka menghadapi kehidupan di masa depan. Thalassaemia Mayor merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang diturunkan dan merupakan penyakit kronis yang dapat menimbulkan berbagai masalah mengenai harapan masa depan bagi penderitanya. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa harapan berhubungan dengan kemampuan individu untuk bertahan hidup, menghadapi penyakit, dan berpikir mengenai masa depan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan teori harapan dari Snyder (1994) yang mengatakan bahwa harapan merupakan kombinasi dari willpower (kemampuan individu yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai tujuan) dan waypower (kapasitas individu yang digunakan untuk menemukan jalan untuk meraih tujuan) yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Penelitian ini melibatkan empat orang subyek remaja yang berusia 15-22 tahun. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan karakteristik optimisme, self-esteem, dan afek positif pada keempat subyek dalam mencapai beberapa tujuan yang mereka miliki. Willpower & waypower berbeda tergantung pada tujuan yang dimiliki. Tiga orang subyek memiliki willpower tinggi dan waypower rendah. Hanya satu orang subyek yang memiliki willpower & waypower tinggi untuk semua tujuannya.

Adolescence is a period where individual occupied with a purpose related to the future. But, there are several problems exist for the adolescents with a chronic illness affecting to their ability to encounter future life. Thalassaemia Major is an inherited disease caused by a genetic blood disorder and one of a chronic illness which presents a wide range of problems including expectations of the future. Numerous studies indicate that hope related to individual ability to survive, cope with illness, and start a future thinking.
In this study, the researcher used qualitative research method and hope theory from Snyder (1994) who defines hope as a willpower (individual?s capacity which initiate and sustain movement to reach the goals) and waypower (individual?s ability to find one or more effective ways to reach that goals) for goals.
This study involved four adolescents with Thalassaemia Major aged 15-22 years. The results of this study found that all subjects had hope characteristics such as optimism, self-esteem, and positive affect to reach their own goals. They also had different willpower and waypower level which depend on their goals. Three subjects had high willpower and low waypower. Only one subjects had high willpower and waypower for all her goals."
2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Farah Nadhifa
"Pandemi COVID-19 mengakibatkan keadaan menjadi serba tidak pasti yang kemudian menyebabkan meningkatnya gangguan psikologis pada remaja. Salah satu faktor protektif yang dapat membantu remaja selama masa pandemi COVID-19 adalah harapan. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan harapan. Salah satu dukungan sosial yang terdekat bagi remaja adalah hubungan orang tua-anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah hubungan orang tua-anak dapat memprediksi harapan pada remaja madya selama masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan pendekatan kuantitatif. Partisipan dalam penelitian ini adalah 651 remaja madya berjenis kelamin perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 15-18 tahun (M = 16.33). Hubungan orang tua-anak diukur dengan menggunakan Parent-Adolescent Relationship Scale. Sedangkan harapan diukur dengan menggunakan Adult Hope Scale. Hasil pengujian analisis regresi linear sederhana menunjukkan bahwa hubungan orang tua-anak secara positif signifikan dapat memprediksi harapan pada remaja (p < 0,01) dengan nilai R2 sebesar 18,3% dan dan β = 0,428. Penelitian ini menyarankan untuk membangun hubungan orang tua-anak yang positif guna meningkatkan tingkat harapan pada remaja, terutama pada masa pandemi COVID-19.

The COVID-19 pandemic left the situation in a state of uncertainty which then led to an increase in psychological disorders in adolescents. One of the protective factors that can help adolescents during the COVID-19 pandemic is hope. Social support is one of the factors related to hope. One of the closest social supports for adolescents is the parent-child relationship. This study aims to see whether the parent-child relationship can predict hope in middle adolescents during the COVID-19 pandemic. This research is a non-experimental research with a quantitative approach. The participants in this study were 651 middle adolescents, female and male, with an age range of 15-18 years (M = 16.33). The parent-child relationship was measured using the Parent-Adolescent Relationship Scale. Meanwhile, hope is measured using the Adult Hope Scale. The test results of simple linear regression analysis showed that the parent-child relationship positively significantly predicted the hope of adolescents (p < 0.01) with an R2 value of 18.3% and and β = 0.428. This study suggests building a positive parent-child relationship in order to increase the level of hope in adolescents, especially during the COVID-19 pandemic."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diva Rizky Ramadhiany
"Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini dapat memicu dialaminya distres psikologis pada remaja atau memperparah distres psikologis yang sudah dialami sebelumnya. Dalam menghadapi hal tersebut, harapan dapat dilihat sebagai salah satu faktor protektif dalam kesehatan mental individu, khususnya di masa pandemi COVID-19 saat ini. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu kontribusi harapan terhadap distres psikologis pada remaja madya dalam konteks pandemic COVID-19 di Indonesia. Studi dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan meminta partisipan mengisi alat ukur Kessler Psychological Distress Scale (K10) (Kessler et al., 2003) dan Adult Hope Scale (AHS) (Snyder et al., 1991) versi Bahasa Indonesia yang telah diadaptasi. Partisipan pada penelitian sejumlah 651 remaja madya yang terdiri dari siswa Sekolah Menengah Atas di beberapa kota besar di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan kontribusi harapan yang negatif dan signifikan (R² =.038; F(1,649)=26.63; p<.05) terhadap distres psikologis. Harapan berkontribusi sebesar 3.8% terhadap penurunan distres psikologis. Dimensi agency thinking (β = -.068, p<.05) memiliki kontribusi lebih besar terhadap penurunan distres psikologis dibandingkan pathways thinking (β = -.151, p>.05) yang artinya semakin tinggi agency thinking yang dimiliki remaja, maka distres psikologis yang dialami akan semakin rendah.

The current COVID-19 pandemic can trigger psychological distress in adolescents or exacerbate previously experienced psychological distress. In dealing with the psychological distress, hope can be seen as one of the protective factors in individual mental health, especially during the current COVID-19 pandemic. Therefore, this study aims to find out the contribution of hope to psychological distress in middle adolescents in the context of the COVID-19 pandemic in Indonesia. The study was conducted using a quantitative method by asking participants to fill out the Indonesian version of the Kessler Psychological Distress Scale (K10) (Kessler et al., 2003) and Adult Hope Scale (AHS) (Snyder et al., 1991) which have been adapted into Bahasa. Participants in the study were 651 middle-adolescents consisting of high school students in several big cities in Indonesia. The results of this study indicate a negative and significant contribution of hope (R² = .038; F(1,649)=26.63; p<.05) on psychological distress. Hope contributed 3.8% to the decrease in psychological distress. The agency thinking dimension (β = -.068, p<.05) has a greater contribution to the reduction of psychological distress than pathways thinking (β = -.151, p>.05) which means that the higher the agency thinking adolescents have, the lower psychological distress they are experienced."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumampouw, Nathanael Elnadus Johanes
"Faktor psikologis dan kondisi kesehatan seseorang saling terkait (Di Matteo & Martin, 2002; Sarafino, 2002). Hal ini menjadi sesuatu yang penting pada penderita stroke. Defisit yang dialami pasta stroke dapat menjadi sesuatu yang permanen jika tidak melakukan usaha atau mendapatkan bantuan apapun untuk pulih. Pemulihan pada penderita stroke merupakan proses yang panjang dan membutuhkan usaha dan energi (Sarafino, 2002).
Penderita stroke membutuhkan keseimbangan antara harapan dengan kenyataan yang dialami terkait dengan kondisinya pasca stroke (Sarafino, 2002). Pada penderita stroke, harapan merupakan prediktor yang bermakna pada depresi dan hendaya psikososial (Farran, Herth & Popovich, 1995). Menurut Snyder (1994), terdapat 2 dimensi dalam definisi psikologis harapan, yaitu: waypower dan willpower. Willpower merupakan suatu kekuatan pendorong yang mengarahkan seseorang ke arah pencapaian tujuan sedangkan waypower merefleksikan rencana mental atau alur yang mengarahkan seseorang ke pencapaian tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat harapan seseorang pasca stroke di fase rehabilitasi. Untuk menjawab permasalahan penelitian, penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif pada 40 subyek yang berada di fase rehabilitasi pasca stroke.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara harapan subyek secara umum dan harapan subyek mengenai pemulihan kondisi pasca stroke. Berdasarkan dimensi yang ada, yaitu: willpower dan waypower, menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam dimensi willpower secara umum dan willpower mengenai pemulihan kondisi pasca stroke. Willpower subyek tampak lebih bazar dalam hal pemulihan kondisi pasca stroke daripada dalam hal kehidupan subyek secara umum. Dalam hal waypower, tidak ada perbedaan yang bermakna antara waypower secara umum dengan waypower mengenai pemulihan kondisi pasca stroke. Jika dilakukan perbandingan antara waypower dan willpower dalam harapan secara umum maupun harapan mengenai pemulihan kondisi pasca stroke, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara dimensi waypower dan willpower pada harapan secara umum. Mayoritas subyek memiliki harapan secara umum maupun mengenai pemulihan kondisi pasca stroke. Harapan secara umum yang memadai pada subyek tampak dipengaruhi oleh kemampuan subyek dalam mengembangkan tujuan konkret pada kurun waktu 1 - 3 tahun ke depan.
Secara khusus, harapan subyek yang cukup memadai mengenai pemulihan kondisi pasta stroke dipengaruhi oleh tujuan yang dimiliki subyek akan kemajuan kondisi fisik yang diharapkannya. Mayoritas subyek diperoleh peneliti dari klinik, tempat rehabilitasi medik dan klub stroke. Hal ini merupakan indikasi adanya tujuan yang dimiliki oleh subyek untuk mencapai kemajuan/pemulihan serta mempertahankan kemajuan yang telah dicapai. Terkait dengan efek psikologis yang dialami, subyek cenderung mampu beradaptasi dengan efek stroke yang dialaminya. Mayoritas subyek merasa mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri meskipun mengalami keterbatasan fisik sebagai efek dari stroke yang dialami."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efriyani Djuwita
"Penelitian ini mencoba untuk melihat masalah perilaku dan emosi yang dialami oleh
penderita thalassaemia mayor khususnya anak usia sekolah di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Latar belakang dari penelitian ini adalah fakta bahwa penderita
penyakit thalassaemia mayor di Indonesia sangat banyak. Menurut data yang diperoleh
dari RSCM setidaknya tercatat 1114 orang penderita thalassaemia mayor pada tahun
2004 sebagai pasien RSCM. Hal ini belum lagi ditambah dengan para penderita yang
masih belum tercatat sebagai pasien RSCM. Penyakit thalassaemia mayor adalah
penyakit kronis yang sifatnya tnrunan atau herediter. Sampai saat ini penyakit ini belum
memiliki obat yang dapat dikonsumsi umum untuk menyembuhkan penderitanya. Para
penderita thalassaemia mayor hanya dapat bertahan hidup dengan melakukan trausfusi
darah dan penggunaan obat desferal. Kondisi yang dialarni oleh penderita penyakit
thaltissaemia mayor ini berpotensi menimbulkan rnasalah perilaku serta masalah emosi.
Hal ini menurut Taylor (1999) dikarenakan penyakit yang sifatnya kronis dan mematikan
mempengaruhi banyak aspek dari kehidupan penderitanya. Pada penderita thalassaemia
mayor adanya perbedaan fisik, terbatasnya aktivitas yang dapat dilakukan sampai proses
pengobatan yang terus menerus diasumsikan dapat rnerupakan hal yang berkaitan dengan
rnunculnya masalah perilaku dan emosi.
Adapun rnetode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian gabungan kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan dengan cara
melakukan wawancara dengan orangtua penderita dan anak penderita thalassaemia
mayor. Sementara metode kuantitatif digunakan dengan cara rnelakukan skoring hasil
CBCL yang diadmistrasikan pada orangtua penderita thalassaemia mayor.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah keempat partisipan memiliki masalah
perilaku dan emosi. Dalam rnenjalin hubungan sosial, partisipan cenderung menarik diri
dari pergaulan ternan sebaya mereka. Hal ini berkaitan dengan perbedaan fisik yang
mereka miliki. Kondisi ini ditambah dengan faktor lingkungan di sekitar mereka yang
cenderung kurang memberikan dukungan. Keempat partisipan juga masih berperilaku
-----~--------~ ------"·-~·· ·--------~--------"·
kekanak-kanakan, tidak mandiri dan bergantung kepada orangtua. Dalam berhubungan
dengan anggota keluarga mereka cenderung tidak mau mengalah, selalu · ingin
didahulukan atau diperhatikan. Hal yang juga menarik didapat dari analisis keempat
partisipan tampak bahwa semua memiliki sifat yang tergolong sangat sensiti[ Mereka
cenderung pemalu terhadap orang lain, peka terhadap penilaian orang lain. Tiga dari
empat partisipanjuga mudah menangis atau mengeluarkan ekspresi marah.
Setelah melihat hasil yang didapat, diperoleh gambaran bahwa munculnya
masalah perilaku dan emosi pada penderita thalassaemia mayor tidak saja dikarenakan
faktor penyakit. Lebih luas lagi faktor lingkungan seperti orangtua, keluarga, guru
(sekolah), rumah sakit dan pemerintah juga turut mengambil peran dalam menimbulkan
masalah pada penderita.
Kesimpulan yang bisa didapat dari penelitian ini adalah bahwa para penderita
thalassaemia mayor usia sekolah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo memiliki
beberapa masalah perilaku dan emosi. Adapun faktor-faktor yang turut berperan dalarn
menimbulkan masalah tersebut selain penyakit thalassaemia mayor adalah faktor
lingkungan. Melihat kondisi yang dialami oleh para partisipan maka dari penelitian ini
saran praktis yang dapat dianjurkan adalah agar orangtua dan anak melakukan cognitive
behavior therapy. Peneliti juga menganjurkan adanya keijasama antara dokter, psikolog
dan guru agar dapat membantu dan memahami penderita dan membentuk support group
bagi penderita dan orangtuanya. Sedangkan untuk saran metodologis ditujukan untuk
peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian lanjutan. Beberapa hal yang disarankan
adalah penggunaan partisipan dari kelas ekonomi sosial yang lebih beragarn atau
menggunakan partisipan dari kelompok usia yang berbeda. Hal lain yang juga menarik
untuk dijadikan tema penelitian lanjutan adalah membuat dan menjalankan program
untuk para penderita thalassaemia mayor.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38403
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teny Tjitra Sari
"Latar Belakang: Respons imun berperan pada kerentanan pasien talasemia terhadap infeksi. Defisiensi seng pada talasemia akan memperburuk respons imun. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil respons imun pasien talasemia mayor dan pengaruh suplementasi seng dan imunisasi pneumokokus pada respons imun pasien talasemia pasca-splenektomi.
Metode: Penelitian dilakukan di Pusat Thalassemia RSCM, Jakarta pada September 2013 ? Februari 2014. Studi observasi dengan metode belah lintang komparatif pada talasemia mayor sehat usia > 12 tahun dan HIV negatif non- dan pasca-splenektomi mendahului studi intervensi dengan metode randomized, double-blinded, controlled trial pada talasemia pasca-splenektomi yang dialokasikan menjadi kelompok seng 1,5 mg/kg/hr maksimum 50 mg, atau plasebo. Dua jenis imunisasi pneumokokus diberikan untuk menguji fungsi limfosit T. Luaran yang diukur adalah respons imun non-spesifik (jumlah dan fagositosis neutrofil) dan respons imun spesifik (kuantitatif dan kualitatif). Respons imun spesifik kualitatif mengukur produksi IgG pneumokokus, IL-2 dan TNF-α pasca pajanan PHA.
Hasil Penelitian: Median fagositosis neutrofil kelompok pasca-splenektomi 29,79 (4 sampai 81)% dan kelompok non-splenektomi 55,83 (2 sampai 133)% (p < 0,001). Kelompok pasca-splenektomi mempunyai jumlah netrofil, limfosit total, jumlah limfosit T, jumlah limfosit T CD4+ dan CD8+ yang lebih tinggi dibanding kelompok non- splenektomi. Tidak ada perbedaan respons imun spesifik kualitatif yang bermakna di antara pasien talasemia mayor. Setelah intervensi, hanya 18 dari 28 subjek kadar seng serum kelompok seng yang menjadi normal. Walaupun fagositositosis neutrofil hanya berubah dari 31,36 (4 sampai 81)% menjadi 30,44 (3 sampai 72)% (p = 0,554), namun terdapat kecenderungan perbaikan fagositosis neutrofil pada kelompok seng. Parameter respons imun lainnya tidak menunjukkan perubahan antara kelompok seng dan plasebo selama penelitian 12 minggu (p > 0,05).
Simpulan: Terdapat perbedaan respons imun antara pasien talasemia pasca-splenektomi dan non-splenektomi. Belum dapat dibuktikan pengaruh suplementasi seng pada hampir semua parameter respons imun pasien talasemia mayor pasca-splenektomi. Seng mungkin dapat direkomendasikan sebagai suplementasi, tetapi perlu penelitian lanjutan mengenai dosis dan lama pemberian yang tepat untuk perbaikan respons imun pasien talasemia mayor pasca-splenektomi.

Introduction: Immune response plays a role in increasing thalassemia patient?s susceptibility to infections. Zinc deficiency in thalassemia patients will alter immune response. The aim of this study is to evaluate immune response of thalassemia major and zinc supplementation effects on immune response quality of post-splenectomy thalassemia major.
Methods: This study was conducted at Thalassaemia Centre, Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta on September 2013 ? February 2014. An observational study using comparative cross-sectional method was done in healthy non- and post-splenectomy thalassemia major aged > 12 year and HIV negative. Then, it was followed by an interventional study using randomized, double-blinded, controlled trial, on post- splenectomy subjects, which were assigned to receive 1.5 mg/kg/d maximum 50 mg/d zinc or placebo. Moreover, 2 type of immunization were also administered in order to assess T lymphocyte function. The outcomes were non-specific (neutrophil count and phagocytosis) and specific immune response (quantitave and qualitative). Qualitative specific immune response measured by detecting IgG pneumococcal, IL-2 and TNF-α after PHA exposure.
Results: Median of neutrophil phagocytosis on post-splenectomy and non-splenectomy were 29.79 (4 to 81)% and 55.83 (2 to 133)% (p < 0.001). Post-splenectomy subjects have higher neutrophil count, total lymphocyte count, lymphocyte T count, lymphocyte T CD4+ and CD8+ than non-splenectomy. There is no significant difference on qualitative specific immune response among thalassemia major. Following the intervention, only 18 out of 28 subjects of zinc group had normal plasma zinc. There was a trend of neutrophil phagocytosis improvement on zinc group despite a little shifting on those value, from 31.36 (range 4 to 81)% to 30.44 (3 to 72)% (p = 0.554). Other immune response parameters showed no different changes between two groups after 12 weeks supplementation (p > 0.05).
Conclusions: There were significant differences on immune response of post- splenectomy and non-splenectomy patients. The significant changes on almost all of immune response parameter after zinc supplementation have not been proved yet. Addition of zinc supplementation may be recommended, but it need further study to evaluate the dose and duration of supplementation to improve immune response in splenectomised thalassemia major patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2017
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Primanovenda Wijayaptri
"ABSTRAK
Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam perkembangan penyandang autisme remaja. Informasi mengenai perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi pada penyandang autisme, serta riwayat intervensi komunikasi yang pernah diterima merupakan informasi yang penting sebelum menentukan dan melaksanakan intervensi lanjutan bagi para remaja autis. Penelitian mengenai hambatan komunikasi dan metode pembelajaran komunikasi pada penyandang autisme remaja belum banyak dilakukan. Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran kasus hambatan komunikasi pada penyandang autisme remaja. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat usaha yang telah dilakukan oleh orangtua maupun sekolah dalam meningkatkan kemampuan komunikasi pada remaja autis. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan analisa dokumen. Proses pengambilan data dilakukan pada bulan September hingga Desember 2014. Subjek penelitian terdiri dari dua orang penyandang autisme remaja. Subjek pertama berusia 19 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Subjek kedua berusia 16 tahun dan berjenis kelamin laki laki. Keduanya merupakan siswa dari sebuah sekolah lanjutan autis di Yogyakarta. Selain kedua orang subjek, peneliti juga melibatkan significant others, yaitu orang tua dan guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1. Kemampuan komunikasi penyandang autisme remaja yang menjadi subjek penelitian berada jauh di bawah usia kronologisnya, dan 2. Intervensi yang diberikan kepada subjek sejak masa kanak kanak hingga remaja berperan dalam mengembangkan kemampuan komunikasi subjek, namun belum dapat menuntaskan hambatan komunikasi yang dialami subjek. Hasil penelitian didiskusikan lebih lanjut."
Yogyakarta: Pusat Layanan Difabel (PLD), 2015
370 JDSI 2:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Masruroh Setiawan
"ABSTRAK
Harapan merupakan salah satu faktor yang potensial dalam memprediksi resiliensi. Namun, hasil penelitian-penelitian sebelumnya masih kontradiktif dan terbatas dalam konteks tertentu sehingga hasilnya tidak bisa langsung digeneralisasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh harapan terhadap resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Kelud. Pengukuran harapan menggunakan alat ukur Adult Hope Scale AHS yang disusun oleh Snyder 1991 , sementara pengukuran resiliensi menggunakan alat ukur Connor-Davidson Resilience Scale CD-RISC yang disusun oleh Campbell-Sills dan Stein 2007 . Partisipan penelitian ini berjumlah 115 orang yang menjadi penyintas erupsi Gunung Kelud pada tahun 2014 dengan rentang usia 20-40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh harapan yang positif dan signifikan terhadap resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Kelud F = 51,044, p < 0,01 . Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harapan yang dimiliki penyintas, maka semakin tinggi resiliensi penyintas tersebut. Saran untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini disertakan.

ABSTRACT
Hope is one of potential factors for predicting resilience. However, prior studies show that the relationship between hope and resilience remain inconclusive and limited to certain context, so it can not be generalized to the other context directly. This study was conducted to examine hope as predictor of resilience among Kelud Eruption survivors. Hope was measured using Adult Hope Scale AHS which constructed by Snyder 1991 , while resilience was measured using Connor Davidson Resilience Scale CD RISC by Campbell Sills and Stein 2007 . Participants of this research are 115 survivors mean age 32, range 20 40 of Kelud Eruption on 2014. Result of this research shows that hope positive significantly predicts resilience F 51,044, p 0,01 . That is, the higher hope, the higher resilience among survivors. Recommendations for further research are included."
2016
S66665
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>