Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217075 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ervinaria Uly Imaligy
"Latar belakang: Apendisitis dapat merupakan kegawatadaruratan medik dengan insiden yang cukup tinggi di Indonesia. Pada apendisitis akut terjadi proses inflamasi dimana terdapat serbukan sel-sel polimorfonuklear pada lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Proses inflamasi ini juga terjadi pada bagian apendiks yaitu di pangkal, tengah dan ujung. Tujuan penelitian ini adalah mencari prevalensi mengenai lokasi dan kedalaman inflamasi pada pasien dengan diagnosis apendisitis akut di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Cipto Mangunkusumo tahun 2005-2007.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode desain deskriptif potong lintang (cross-sectional).
Hasil penelitian: Lokasi inflamasi terbanyak pada pasien yang didiagnosis apendisitis akut dari sampel penelitian di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Cipto Mangunkusumo tahun 2005-2007 ialah pada semua bagian dari apendiks (pangkal, tengah, ujung) yaitu sejumlah 87 dari 98 ( 88,7% ). Kedalaman inflamasi terbanyak ialah pada mukosa, submukosa, muskularis, serosa atau pada semua kedalaman dari apendiks yaitu sejumlah 50 dari 98 (51%).
Kesimpulan: Lokasi inflamasi terbanyak pada pasien yang didiagnosis apendisitis akut dari sampel penelitian di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Cipto Mangunkusumo tahun 2005-2007 ialah pada semua bagian dari apendiks. Kedalaman inflamasi terbanyak ialah pada mukosa, submukosa, muskularis, serosa atau pada semua kedalaman dari apendiks.

Background: Appendicitis may be one of the emergency situations with the incident that is high enough in Indonesia. In acute appendicitis, inflammation process happened where there are polymorphonuclear cells in layer of mucosa, submucosa, muscularis and serous. This inflammation process also happens in the appendix part that is in the base, middle and the apical. The aim of this research is to look for the prevalence about the location and the depth inflammation to the patient with diagnosis of the acute appendicitis in RSUPNCM the year 2005-2007.
Method: The method of this research is descriptive cross-sectional.
Result: The location of inflammation in 87 out of 98 preparates ( 88,7% ) is mostly found in every part of appendix ( base, middle, apical ). The depth of inflammation in 50 out of 98 preparates ( 51% ) is mostly found in layer of mucosa, submucosa, muscularis, serous or in all layer of appendix.
Conclusion: The location of inflammation in Patient Diagnosed with Acute Appendicitis from sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between the Year of 2005 and 2007 is mostly found in every part of appendix (base, middle, apical). The depth of inflammation in Patient Diagnosed with Acute Appendicitis from sample in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between the Year of 2005 and 2007 is mostly found in every layer of appendix (mucosa, submucosa, muscularis, serous)"
2009
S09045fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Satrio
"Latar belakang: Apendisitis merupakan salah satu kegawatdaruratan medik yang membutuhkan penatalaksanaan segera. Apendisitis dibedakan menjadi apendisitis akut dan kronik. Keterlibatan neuron, yaitu hiperplasia dan hipertrofi neural dalam apendisitis akut dibandingkan pasien dengan apendiks normal telah dibuktikan, namun belum ada data pengaruh tipe radang apendisitis terhadap keterlibatan serabut saraf, khususnya dalam bentuk perubahan letak serabut saraf/serabut saraf ektopik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo antara tahun 2005-2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan serabut saraf dalam bentuk serabut saraf ektopik dengan tipe radang apendisitis tersebut.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode desain potong lintang (cross-sectional). Sampel berupa sediaan preparat patologi anatomik diperoleh melalui teknik random sampling dan dari hasil penghitungan yang sesuai dengan uji hipotesis diperoleh 50 sampel tiap kelompok (uji analitik kategorik 2 kelompok tidak berpasangan). Data diperoleh dari sediaan preparat patologi anatomik setelah diteliti di bawah mikroskop cahaya.
Hasil penelitian: serabut saraf ektopik ditemukan lebih banyak pada apendisitis kronik (64%) dibandingkan apendisitis akut (34%). Hasil penelitian dilakukan uji nonparametrik Chi-square dan ditemukan terdapat perbedaan bermakna proporsi serabut saraf ektopik pada apendisitis kronik dibandingkan dengan serabut saraf ektopik pada apendisitis akut (p<0,05).
Kesimpulan: Proporsi serabut saraf ektopik pada apendisitis kronik lebih tinggi dibandingkan dengan apendisitis akut.

Background: Appendicitis has been one of the emergency situations needing immediate medical intervention, differentiated into two types, acute appendicitis and chronic appendicitis. Neural involvements, which are neural hyperplasia and hypertrophy has been proved, yet there has not been any research stating the role of type of inflammation of appendicitis in involvement of neuron, especially in form of neural displacement, in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between the year of 2005 and 2007. This research is made to explore the relationship between the type of inflammation of appendicitis and the involvement of neuron, in form of neural displacement.
Method: The method of this research was cross-sectional. The sample was chosen using random sampling. Using the hypothesis test, categorical-analytical-two-independent-group test, the sample needed for each group is 50. Data then observed under light microscope.
Result: The neural displacement was found more in chronic appendicitis (64%) than in the acute appendicitis (34%). The result was then tested using nonparametric test, Chi-square. Using the test, the value of p was <0.05, stating there is significant difference of the neural displacement was acute appendicitis and chronic appendicitis.
Conclusion: The proportion of neural displacement in chronic appendicitis is higher than in the acute appendicitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09059fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Wijaya
"Latar Belakang: Apendisitis masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dengan insidensi yang cukup tinggi. Salah satu parameter yang dapat dinilai dari apendisitis adalah reaktivitas dari folikel limfoid. Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara reaktivitas folikel limfoid dengan tipe radang apendiks pada pasien yang didiagnosis apendisitis secara histopatologis di RSUPNCM antara tahun 2005 hingga 2007.
Metode: Penelitian dilakukan pada 50 sediaan apendisitis akut dan 50 sediaan apendisitis kronik yang dipilih secara acak. Penelitian dilakukan dengan metode analitik desain potong lintang yaitu dengan memperoleh data sekunder dari departemen Patologi Anatomi FKUI-RSUPNCM, mengamati sediaan dengan mikroskop, serta menganalisis data yang diperoleh dengan uji statistik.
Hasil: Pada apendisitis akut, ditemukan hiperplasia folikel limfoid sebanyak 32%, sedangkan pada apendisitis kronik ditemukan hiperplasia folikel limfoid sebanyak 42%.
Kesimpulan: Berdasarkan uji non-parametrik Chi square, didapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara hiperplasia folikel limfoid pada apendisitis akut maupun kronik pada pasien yang didiagnosis apendisitis secara histopatologis di RSUPNCM tahun 2005 hingga 2007.

Background: Appendicitis is still causing health problem in Indonesia with high incidency. One of the parameter that can be studied in appendicitis is lymphoid follicle hyperplasia. Objective of this study is to know whether there is relationship between lymphoid follicle reactivity and type of inflammation in patients who are diagnosed histopathologically suffering appendicitis in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2005-2007.
Method: This study evaluated 50 speciments of acuteappendicitis and 50 speciments of chronic appendicitis selected by random sampling. This study is a cross sectional analitic study done by analizing secondary data and observing preparates of appendix.
Result: In this study, 32% of acute appendicitis have lymphoid follicle hyperplasia, and 42% of chronic appendicitis have lymphoid follicle hyperplasia.
Conclusion: Based on Chi square non-parametric test, it is concluded that there are no significant difference of lymphoid follicle hyperplasia between acute and chronic appendicitis in patients who are diagnosed histopathologically suffering appendicitis in Cipto Mangunkusumo National General Hospital in 2005-2007.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Ade Sari Nauli
"Latarbelakang: Apendisitis telah menjadi salah satu keadaan kegawatdaruratan medis yang membutuhkan penanganan medis segera. Apendisitis yang tidak ditangani segera dapat mengakibatkan terjadinya perforasi apendiks dan berakhir dengan terjadinya ruptur. Apendiks yang ruptur dapat menyebabkan drainase transluminal dari saluran pencernaan ke rongga abdomen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik apendisitis perforasi menurut lokasi perforasi dan umur pasien.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan anilisis secara deskriptif. Sampel diambil dari semua sediaan histopatologi dari tahun 2005 hingga 2007 dengan diagnosis apendisitis perforasi. Sampel yang diperlukan pada penelitian ini sebanyak 68 sampel. Dalam penelitian ini pasien dikelompokkan menurut dekade umur sedangkan lokasi perforasi dibagi menjadi pangkal, tengah, dan ujung apendiks.
Hasil: Bagian tengah apendiks (45.58%) lebih banyak mengalami perforasi daripada bagian pangkal dan ujung apendiks. Kejadian perforasi terbanyak ditemukan pada pasien yang berusia antara 11 sampai 20 tahun atau pada kelompok dekade kedua (30.9%).
Kesimpulan: Bagian apendiks yang paling sering mengalami perforasi pada apendisitis adalah pada bagian tengah dan kejadian perforasi terbanyak ditemukan pada kelompok usia dekade kedua (umur 11-20 tahun).
Background: Appendicitis has been one of the emergency situations which need immediate medical intervention. If appendicitis is not treated immediately the appendix can undergo perforation and eventually rupture. The rupture of the appendix can cause transluminal drainage from the alimentary tract to the abdominal cavity and eventually causing some complications. This study aims to identify the characteristics of perforated appendicitis according to the location of perforation and the patient's age.
Method: The study is a cross-sectional descriptive study. The sample is taken from all appendicitis perforation cases from year the year of 2005 until 2007. The sample needed is 68. In this study patients are grouped according to age decade, while the location of perforation into base, middle, and tip of the appendix.
Results: The perforated area is more found in the middle (45.58%) than in the base or the tip of the appendix. The perforation rate mostly found in the age between 11 to 20 year or the second decade group of age (30.9%).
Conclusion: The perforated area mostly found in middle of the appendix and the perforation rate mostly found in the second decade group of age (age 11-20 year).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09040
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eylin
"Latar Belakang: Apendisitis masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dengan insidensi yang masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien apendisitis pada tahun 2003-2007 di Departemen Patologi Anatomi FKUI-RSUPNCM.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif potong lintang.
Hasil: Dari hasil pengolahan data didapatkan: 1) apendisitis akut adalah apendisitis terbanyak, pasien yang didiagnosis apendisitis akut dengan pemeriksaan histopatologi sebesar 74.7%; 2) perempuan lebih banyak ditemukan menderita apendisitis daripada laki-laki, namun, tidak berbeda jauh jumlahnya; 3) pada usia 21-30 tahun paling banyak ditemukan pasien apendisitis akut, yaitu 29.5% dari 584 pasien yang didiagnosis apendisitis akut; 4) pada umur 11-20 tahun, apendisitis akut perforasi paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 32 pasien (27.1%) dari total 118 pasien apendisitis akut perforasi; 5) pada umur 31-40 tahun, apendisitis kronis paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 21 pasien (26.2%) dari total 80 pasien apendisitis kronis.
Kesimpulan: Apendisitis akut adalah apendisitis terbanyak yang ditemukan. Perempuan lebih banyak ditemukan menderita apendisitis daripada laki-laki. Pada usia 21-30 tahun paling banyak ditemukan pasien apendisitis akut. Pada umur 11-20 tahun, apendisitis akut perforasi paling banyak ditemukan. Pada umur 31-40 tahun, apendisitis kronis paling banyak ditemukan.

Background: Appendicitis is one of the health problem in Indonesia, the incidence of appendicitis in Indonesia is still high. The purpose of this study is to know the characteristic of appendicitis patients from 2003-2007 in Pathology Anatomy Department FMUI, Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: The method of this study is cross-sectional descriptive.
Result: The results from this study are: 1) acute appendicitis is the most frequent diagnosis found in histopathologic examination (74.7%); 2) women are found to have appendicitis more than man, but the difference is not significance; 3) age of 21-30 years old is where the acute appendicitis mostly found, 29.5% from 584 acute appendicitis patients; 4) age of 11-20 years old is where the acute perforated appendicitis mostly found, 27.1% from 118 acute perforated appendicitis patients; 5) age of 31-40 years old is where the chronic appendicitis mostly found, 26.2% from 80 chronic appendicitis patients.
Conclusion: Acute appendicitis is the most frequent diagnosis found in histopathologic examination. Women are found to have appendicitis more than man. Age of 21-30 years old is where the acute appendicitis mostly found. Age of 11-20 years old is where the acute perforated appendicitis mostly found. Age of 31-40 years old is where the chronic appendicitis mostly found.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Azzahra
"Latar Belakang. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien artritis reumatoid (AR) berpotensi menurunkan kapasitas fungsional, kualitas hidup, dan kepatuhan berobat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan kognitif pada pasien AR di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode. Penelitian dengan desain potong-lintang ini mengikutsertakan pasien AR berusia ≥18 tahun yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSCM pada periode Oktober-Desember 2021. Data demografik, klinis, terapi, dan laboratorium dikumpulkan. Status fungsi kognitif dinilai dengan kuesioner MoCA-INA. Analisis bivariat dan multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prediktif terjadinya gangguan kognitif pada pasien AR: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, durasi penyakit, aktivitas penyakit, skor faktor risiko penyakit kardiovaskular, depresi, terapi kortikosteroid, dan methotrexate.
Hasil. Dari total 141 subjek yang dianalisis, 91,5% adalah perempuan, dengan rerata usia 49,89±11,73 tahun, sebagian besar tingkat pendidikan menengah (47,5%), median durasi penyakit 3 tahun (0,17-34 tahun), memiliki aktivitas penyakit ringan (median DAS-28 LED 3,16 (0,80-6,32)), dan skor faktor risiko penyakit kardiovaskular rendah (median 4,5% (0,2-30 %)). Sebanyak 50,4% subjek diklasifikasikan mengalami gangguan kognitif, dengan domain kognitif yang terganggu adalah visuospasial/eksekutif, atensi, memori, abstraksi, dan bahasa. Analisis regresi logistik menunjukkan usia tua (OR 1,032 [IK95% 1,001–1,064]; p=0,046) dan tingkat pendidikan rendah (pendidikan dasar) (OR 2,660 [IK95% 1,008–7,016]; p=0,048) berhubungan dengan gangguan kognitif pada pasien AR.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien AR di RSCM sebesar 50,4%, dengan faktor prediktif terjadinya gangguan kognitif tersebut adalah usia tua dan tingkat pendidikan yang rendah.

Background. Cognitive impairment in rheumatoid arthritis (RA) patients could decrease functional capacity, quality of life, and medication adherence. The objective of this study was to explore the prevalence and possible predictors of cognitive impairment in RA patients in Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, Jakarta.
Method. This cross-sectional study included Indonesian RA patients aged ≥18 years old, who visited rheumatology clinic at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, on October to December 2021. Demographic, clinical, therapeutic, and laboratory data were collected. Cognitive function was assessed using MoCA-INA questionnaire. Bivariate and multivariate logistic regression analysis were performed to identify predictive factors of cognitive impairment in RA patients: age, gender, education level, disease duration, disease activity, cardiovascular disease (CVD) risk factor scores, depression, corticosteroid, and methotrexate therapy.
Results. Of the total 141 subjects analysed, 91.5% were women, mean age 49.89±11.73 years old, mostly had intermediate education level (47.5%), median disease duration 3 (0.17-34) years. They had mild disease activity (median DAS-28 ESR 3.16 (0.80-6.32)), and low CVD risk factor score (median 4.5 (0.2-30) %). In this study, 50.4% of the subjects were classified as having cognitive impairment. The cognitive domains impaired were visuospatial/executive, attention, memory, abstraction, and language. In logistic regression analysis, old age (OR 1.032 [95%CI 1.001–1.064]; p=0.046) and low education level (OR 2.660 [95%CI 1.008–7.016]; p=0.048) were associated with cognitive impairment.
Conclusion. The prevalence of cognitive impairment in RA patients in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital was 50.4%, with the its predictive factors were older age and lower education level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Omega
"Penelitian ini membahas gambaran penyakit dispepsia fungsional dan faktor-faktor yang berhubungan. Dispepsia fungsional merupakan salah satu penyakit tidak menular yang sering ditemukan dalam praktik sehari-hari. Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kasusnya, sehingga berdampak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Dispepsia fungsional dapat disebabkan oleh pelbagai faktor risiko, terutama sosioekonomi dan demografi, serta perilaku dan status kesehatan. Dengan diketahuinya hubungan antara faktor-faktor tersebut, diharapkan dapat membantu dalam pencegahan dan penatalaksanaannya. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari rekam medik poli rawat jalan RSCM tahun 2010. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara proportional random sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mendapatkan prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dispepsia fungsional.
Didapatkan hasil prevalensi dispepsia fungsional menempati peringkat kelima penyakit terbanyak di poli rawat jalan RSCM (4,7%). Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan faktor-faktor yang berperan pada terjadinya dispepsia fungsional adalah pekerjaan (p=0,048), penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (p=0,001), dan tingkat pendidikan (p=0,001). Sedangkan, variabel usia (p=0,070), jenis kelamin (p=0,376), status pernikahan (p=0,522), gaya hidup (p=0,587), status gizi (p=1,000), dan IMT (p=0,611), tidak menunjukkan hubungan yang bemakna secara statistik dengan terjadinya dispepsia fungsional. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dispepsia fungsional dengan sosioekonomi dan demografi, serta perilaku dan status kesehatan.

This study discussed the overview of functional dyspepsia disease and its related factors. Functional dyspepsia is one of the non-communicable diseases which is often found in daily practice. In the recent years, the increase of the diseases? prevalence has impaired Indonesia in terms of economy and productivity. Functional dyspepsia can be due to various risk factors, especially socioeconomic and demographic, and behavioral and health status. By knowing the relationship between these factors, it is expected that this may increase the awareness of the disease, including its prevention and management. This research carried out by using a cross sectional method utilizing secondary data from outpatient medical records RSCM in 2010. Sampling method was done by using a proportional random sampling. Statistical analysis was done to obtain the prevalence of functional dyspepsia and its related factors.
The result showed that the prevalence of functional dyspepsia ranked fifth most diseases in RSCM outpatients (4.7%). Based on a statistical hypothesis testing, factors that contribute to the occurance of functional dyspepsia are occupation (p=0.048), utilization of health care facilities (p=0.001), and level of education (p=0.001). Meanwhile, age variable (p=0.070), gender (p=0.376), marital status (p=0.522), lifestyle (p=0.587), nutritional status (p=1.000), and BMI (p=0.611) showed no relationship with the occurance of functional dyspepsia. In conclusion, there was a relationship between functional dyspepsia with socioeconomic and demographic, and behavioral and health status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanu Reztaputra
"Tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan besar di dunia, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2010, diperkirakan sekitar 8.8 juta orang di dunia mengalami sakit tuberkulosis dan 1.4 juta di antaranya meninggal dunia. Sekitar 95 persen kasus tuberkulosis terjadi di negara berkembang atau kurang berkembang, di antaranya termasuk Indonesia. Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis mengalami sakit tuberkulosis.
Dalam perjalanan dari terinfeksi menjadi sakit dipengaruhi oleh berbagai faktor endogen dan eksogen. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPNCM/RSCM) karena diharapkan statusnya sebagai pusat rujukan nasional dapat menggambarkan kondisi penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional. Sumber data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu rekam medis poliklinik RSUPNCM. Secara keseluruhan penelitian dilakukan dilaksanakan sepanjang Januari 2011-Mei 2012. Setelah pengambilan data dan pengolahan data dilakukan, didapatkan prevalensi tuberkulosis paru merupakan peringkat keenam tertinggi pada sampel(4,0 persen).
Berdasarkan uji hipotesis didapatkan nilai p pada masing-masing variabel yaitu: usia 0,452; jenis kelamin 0,406; status pernikahan 0,363; pekejaan 0,531; status pembiayaan 0,259; tingkat pendidikan 0,436; status gizi 0,001; merokok 0,561; konsumsi alkohol 0,513; dan diabetes mellitus 0,521. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa variabel yang memiliki hubungan bermakna terhadap prevalensi tuberkulosis adalah status gizi.

Pulmonary tuberculosis is still become a major health problem in the world, including Indonesia. In 2010, 8,8 million people in the world was predicted have pulmonary tuberculosis and 1,4 million of them died. Approximately 95 percent of pulmonary tuberculosis cases in the world is located in developing or underdeveloping nations, which included Indonesia. Not all people who have being infected by Mycobacterium tuberculosis also get pulmonary tuberculosis.
The pathogenesis from infected to being sick is being affected by numerous endogenous and exogenous factors. This research was conducted in Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPNCM) because from its status of national hospital will show Indonesian population generally.
This research design is cross sectional. This research is using secondary data, that is RSUPNCM polyclinic medical records. This research was being carried out in January 2011 to Mei 2012. After data retrieval and analysis, we know that pulmonary tuberculosis is sixth highest case in sample.
After hypotesis test, p value of each variable are: age 0,452; gender 0,406; marrital status 0,363; occupation 0,531; payment choice 0,259; education level 0,436; nutrition status 0,001; smoking 0,561; alcohol consumtion 0,513; diabetes mellitus 0,521. It is concluded that the only variable which have significant relationship with pulmonary tuberculosis prevalence is nutrition status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghnia Permatasari
"Kebutaan merupakan masalah yang ada di dunia, dimana penyebab utama masalah ini adalah katarak, baik di Indonesia maupun di dunia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik sebanyak 904 sampel yang dipilih secara random dari 147.288 rekam medis pasien poliklinik RSCM tahun 2010.
Data variabel yang disertakan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, asuransi pembiayaan, status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan angka prevalensi katarak di RSCM pada tahun 2010 dan faktor yang berhubungan dengan katarak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 11 variabel bebas yang terisi lengkap, yaitu usia dan jenis kelamin. Prevalensi katarak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2010 adalah sebesar 12,5% dan menempati peringkat pertama penyakit terbanyak. Berdasarkan uji hipotesis, didapatkan bahwa katarak lebih banyak terjadi pada pasien berusia > 40 tahun dari usia< 40 tahun dengan nilai kemaknaan p<0,001 dan terdapat peningkatan kejadian katarak seiring dengan penurunan tingkat pendidikan dengan nilai kemaknaan p=0,030.
Sementara, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara variabel jenis kelamin (p=0,235), status pernikahan (p=0,624), pekerjaan (p=0,273), asuransi pembiayaan (p=0,865), status gizi (p=0,523), dan riwayat penyakit sebelumnya (p=0,403) dengan kejadian katarak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa usia (>40 tahun) merupakan faktor risiko terjadinya katarak.

Blindness is the world's health problem, which the most common cause is cataract, even in Indonesia. This study aims to estimate the prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in 2010 and its correlating factors using cross-sectional study design. Samples of this study were secondary data using medical record, with total amount of 904 samples which were randomly chosen from 147,288 medical records of RSCM policlinic patients in year 2010.
Variable data being included in this study were age, gender, education, marital status, jobstatus, utilization of health insurance, nutrient status, lifestyle, and disease history. Data analysis was done to estimate the prevalence of cataract in RSCM in 2010 and its relations with correlating factors.
The results showed that only 2 of 11 independent variables was complete, the age and the gender. The prevalence of cataract in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010 was 12.5% and it had the first rank of the disease. Based on hypothesis test, we obtained that cataract was more common in subject > 40 years old (p<0.001) and there was a trend of increasing cataract?s event with decreasing education (p=0.030).
However, other variables such as gender (p=0.235), marital status (p=0.624), job status (0.273), utilization of health insurance (0.865), nutrient status (p=0.523), and disease history (p=0.403) did not have significant different in cataract?s event. Based on the result, it can be concluded that age is the risk factor of cataract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Binerta Bai Agfa
"Angka kejadian bedah caesar di seluruh dunia terus meningkat setiap tahun. Namun, angka risiko kematian pasca bedah caesar sangat tinggi akibat infeksi. Pemakaian suatu jenis antibiotik profilaksis pada sebagian kasus bedah caesar telah terbukti dapat mengurangi kejadian infeksi luka operasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik profilaksis serta kerasionalan antibiotik profilaksis yang digunakan pada pasien bedah caesar di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2015.
Penelitian dilakukan secara observasional dengan menggunakan metode deskriptif dan data diperoleh dari rekam medis pasien secara retrospektif. Pengambilan data dilakukan dengan teknik purposive sampling. Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dinilai dari ketepatan pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat waktu pemberian dan tanpa infeksi luka operasi.
Pasien yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian sebanyak 245 pasien. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis antibiotik profilaksis yang paling banyak digunakan adalah sefazolin (72,66%). Pada penelitian terdapat pasien bedah caesar yang menerima antibiotik profilaksis 100% tepat pasien, 100% tepat indikasi, 98,78% tepat obat, 98,37% tepat dosis dan 72,24% tepat waktu pemberian, serta 98,37% tanpa infeksi luka operasi. Penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah sesar terbukti 72,24% pasien menunjukkan kerasionalan.
The number of caesarean section in all over the world continue to increase each year. But the rate of post caesarean section risk of death is very high due to infection. The use of a type of antibiotics prophylaxis in some cases of caesarean section has been proven to reduce the occurrence of surgical site infection. The purpose of this study was to know the image of antibiotic prophylaxis and the rationality of antibiotic prophylaxis on caesarean section patients in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in 2015.
This study was conducted in observation using descriptive method and the data is acquired from medical record investigation retrospectively. Data were collected using purposive sampling technique. Rational use of antibiotics assessed evaluation of the appropriate patient, appropriate indication, appropriate drug, appropriate dose, appropriate time and without the provision of surgical site infection.
Eligible patients as subjects of research were 245 patients. Data obtained showed that the most common kind of antibiotic prophylaxis that being used is cefazoline (72.66%). In this study were caesarean patients who received antibiotic prophylaxis showed 100% appropriate patient, 100% appropriate indication, 98.78% appropriate drug, 98.37% appropriate dose, 72.24% appropriate time and 98.37% no surgical site infection. The usage of antibiotic prophylaxis in patients with proven 72.24% caesarean section patients showed rationality."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65013
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>