Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosi Meidina
"Upacara kematian merupakan sebuah ritual yang tidak dapat dihiraukan pelaksanaannya dalam setiap bangsa, termasuk Jepang. Sejak zaman Edo, upacara kematian di Jepang mengalami berbagai perkembangan Ide dari pembentukan perusahaan yang bergerak di bidang jasa pelayanan upacara kematian (sougisha 葬儀社 そうぎしゃ) muncul karena banyaknya permintaan untuk menyewa atribut dan mengatur perpindahan atau transportasi jenazah. Landasan teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu pengertian komodifikasi menurut Bagdikian. Pengertian komodifikasi tersebut menjadi acuan bagi penulis untuk menganalisis proses komodifikasi yang terjadi pada upacara kematian di Jepang. Keseluruhan proses penanganan jenazah pada masa sekarang dilakukan oleh pengusaha sougisha. Upacara kematian mengalami profesionalisasi dan formalisasi yang sehingga tekanan dari proses tersebut telah mengubahnya sebuah komoditas.

Funeral ceremony is a ritual which implementation cannot be ignored in every country, including Japan. Since the era of Edo, Japanese funeral ceremony has experienced many developments. The idea of creating Japanese funeral companies emerged because of there were high demands to rent the attributes of funeral ceremony and to arrange the transportation of the deceased. In this thesis, writer uses the definition of commodification stated by Bagdikian as the basic in analyzing the commodification process that Japanese funeral has experienced. The whole process of taking care of the deceased in recent years has been done by the Japanese funeral company. Japanese funeral has been changed by the profesionalization and formalization into a commodity."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13794
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Donna Burhan
"Modernisasi selalu membawa perubahan dalam masyarakat. Begitupun halnya yang terjadi di Jepang. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya membawa pengaruh yang besar ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam ritual upacara kematian. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada bentuk maupun tata cara dari upacara kematian itu sendiri, tetapi juga tetjadi pergeseran makna dari upacara kematian.
Seiring banyaknya barang-barang dan kebudayaan dari Barat yang diimpor oleh Jepang sejak modernisasi, tidak diragukan lagi pemikiran-pemikiran dari Barat seperti individualisme pun ikut masuk ke dalam kehidupan masyarakat Jepang. Namun sebenarnya yang disebut dengan individualisme Jepang oleh para sarjana dan peneliti adalah kaseiteki yaitu ciri khas individu. Dan kecenderungan orang Jepang untuk menunjukkan ciri khas individunya inilah yang pada akhimya melahirkan bentuk upacara kematian baru, yaitu upacara kematian yang mengikuti kepribadian orang yang meninggal atau disebut dengan istilah Jibunrashii Osoushiki.

Modernization always triggers changes in the society. In Japan, modernization not only has changed the economic, political, social and cultural aspects in the lives of the Japanese people, but it also has set off some changes in the funeral ceremonies and death rituals. The changes are not only in the way the ceremonies and rituals are conducted, but the meanings of the death rituals also shifted.
In line with the excessive western products and cultures imported to Japan since the modernization era, westerners' way of thinking such as individualism has doubtlessly affected the Japanese way of life. However, what scholars and researchers named "Japanese Individualism" is actually "koseiteki" or individual characteristics. The tendency of the Japanese people to show their individual characteristics is what eventually started a new form of funeral ceremony: "Jibunrashii Osoushiki" - a funeral ceremony which follows the character or personality of the deceased.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17947
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tia Saraswati
"Kematian merupakan salah satu tahap dalam lingkaran hidup yang pasti akan dilalui oleh setiap manusia di dunia. Dalam agama Buddha Jepang sendiri, manusia yang meninggal tidak akan terputus begitu saja hubungannya dengan dunia ini karena kapanpun ia bisa `kembali' untuk melihat dunianya yang dulu. Yanagita Kunio dalam konsepnya mengenai arwah Ieluhur, mengatakan bahwa meskipun manusia meninggal, rohnya akan tetap tinggal di tempat dimana ia berada selama hidupnya, dan tidak akan pergi jauh.Kematian juga bukan berarti terpisahnya manusia dari kehidupan. Justru kematian merupakan awal dari kehidupan yang baru setelah manusia menjalani hidup di dunia ini atau kono yo. Kehidupan baru itu disebabkan karena manusia akan menjalani reinkarnasi di antara enam alam yang disebut dengan rokudo. Enam alam itu adalah jigoku (neraka), gaki (alam setan kelaparan), chikusho (alam hewan), alam manusia, alam ashura, dan alam dewa. Menurut agama Buddha, karena kematian merupakan salah satu tahap dalam lingkaran hidup yang memegang peranan panting dalam proses reinkarnasi, ritus untuk menangani kematian tersebut diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Upacara kematian yang diselenggarakan di Jepang ini dilakukan tidak hanya dalam tata cara agama Buddha saja namun juga dalam tata cara agama Kristen (khatolik dan Protestan), Shinto maupun mushukyo (tidak beragama). Meskipun beraneka ragam, upacara kematian yang dilakukan di Jepang sebagian besar umumnya masih dalam tata cara agama Buddha atau bukyo sogi.Upacara kematian menurut agama Buddha di Jepang ini mempunyai kaitan dengan leluhur karena upacara kematian itu sendiri merupakan awal dari proses dimana manusia akan menjadi sosen (leluhur). Setelah upacara kematian, arwah orang yang meninggal itu akan melalui proses upacara peringatan yang dibuat oleh keluarga almarhum yang disebut dengan hoji. Setelah hoji yang terakhir yaitu tomurai age, barulah arwah orang yang meninggal itu bisa masuk ke dalam kelompok Ieluhur dan menjadi sorei (arwah leluhur). Untuk memelihara arwah leluhur supaya tetap menjaga kelangsungan dan keselamatan ie-nya, para keturunannya mengadakan upacara persembahan secara periodik seperti Obon matsuri yang tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati arwah leluhumya. Selain itu, upacara tersebut juga mempunyai makna lain yaitu untuk menjaga kontak antara kono yo (dunia ini) dengan ano yo (dunia orang mati)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13888
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004
299.56 IKE m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Handianingsih
"ABSTRAK
Di dalam masyarakat Indonesia kelompok etnis Cina merupakan kelompok etnis non-asli yang paling menonjol dibanding kelompok etnis non-asli lainnya. Dengan alasan inilah penulis memilih salah satu unsur kebudayaan yang penting dalam kehidupan mereka yaitu upacara kematian dalam kelompok etnis Cina di Indonesia sebagai obyek dari penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini sendiri bersifat deskriptif sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas, akurat dan benar mengenai obyek skripsi ini. Kelompok etnis Cina yang datang ke Indonesia terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda asal, latar belakang, dan alasannya, demikian pula dengan keahlian dan cara hidup mereka. Meskipun terjadi pergeseran-pergeseran nilai pada unsur tertentu akibat terjadinya proses asimilasi dan adaptasi terhadap lingkungan di mana mereka berada, namun sistem religi dengan segala unsur-unsurnya tetap terjaga dikalangan kelompok etnis Cina di Indonesia. Mereka tetap melaksanakan sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan upacara dan sistem kekerabatan umat beragama sebagaimana yang dilaksanakan nenek moyang atau leluhur mereka. Pelaksanaan upacara kematian di dalam masyarakat etnis Cina penuh dengan emosi dan ritus keagamaan, adat istiadat, keterlibatan anggota keluarga, masyakat dan rangkaian upacara-upacara baik sebelum maupun sesudah upacara kematian dilakukan. Seluruh kegiatan upacara-upacara tersebut sarat dengan makna-makna, lambang-lambang dan sebab akibat bagi yang meninggal maupun yang masih hidup.

"
1989
S12866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianti Anggia Murni
"Orang-orang Cina mengenal tiga peristiwa besar dalam kehidupan mereka, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Kematian, yang merupakan salah satu dari tiga peristiwa besar di atas, dianggap penting oleh orang_orang Cina karena, mereka percaya bahwa orang yang telah meninggal dunia, jiwanya tetap hidup, bahkan _menjaga kehidupan para keturunannya.Hubungan antara orang yang masih hidup dan yang telah meninggal..."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
S12956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Rahardjanti
"ABSTRAK
Masyarakat Cina penganut Khonghucu masih mempertahankan tradisi Cina, antara lain masih dapat dijumpai pelaksanaan upacara kematian secara Khonghucu, meskipun demikian sudah mengalami perubahan di masa lalu.Upacara kematian dalam lingkungan masyarakat Cina penganut Khonghucu sangat berkaitan erat dengan ajaran Konfusius yang menekankan sernangat bakti (xiao . ). Maksud diadakan upacara kematian adalah untuk menunjukkan tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya. Sedangkan tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa hormat kepada almarhum, agar almarhum memperoleh kehidupan yang damai, rasa aman dan ketentraman bagi keluarga yang ditinggalkan.Dalam penyelenggaran upacara kematian di kalangan masyarakat Cina penganut Khonghucu di Surakarta ini ternyata sudah mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat (Jawa), misalnya adanya kepercayaan masyarakat Cina penganut Khonghucu di Surakarta tentang hari Sabtu, yang dipercayai sebagai hari yang tidak bagus untuk menguburkan jenazah; adanya pelaksanaan Upacara Selamatan yang diadakan menurut tradisi Jawa .Masyarakat Cina penganut Khonghucu di Surakarta meyakini Khonghucu sebagai agama. Mereka tetap melakukan peribadatan menurut ajaran Khonghucu. Termasuk salah satunya adalah melaksanakan upacara kematian secara Khonghucu. Penulis merasa tertarik untuk menggambarkan upacara kematian selain karena hal - hal tersebut di atas, juga karena adanya pengaruh tradisi Jawa yang mereka terapkan.

"
1996
S13099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianingsih
"ABSTRAK
Upacara Kematian merupakan suatu upacara yang penting bagi orang Cina. Untuk melaksanakan suatu upacara kematian yang sempurna dan sesuai dengan kepercayaan mereka, sebagian kecil masyarakat Cina beragama Budha di Jakarta menyerahkan pelaksanaan upacara kematian pada Caima.
Kehidupan Caima di Cina dahulu sama dengan Bi qiu ni ( biarawati Budha ). Namun praktek keagamaan yang dilakukan oleh Caima sudah menyerap tradisi dalam masyarakat. Di Cina dahulu, banyak penganut Budha yang menggunakan jasa Caima dalam upacara kematian. Caima yang ada di Jakarta sekarang juga dikenal sebagai biarawati, namun kehidupannya sangat berbeda dengan Bi qiu ni. Caima hidup dari imbalan yang diberikan oleh keluarga yang menggunakan jasanya dalam upacara kematian.
Tugas Caima dalam suatu upacara kematian adalah meman_jatkan doa-doa untuk arwah yang meninggal. Pembacaan doa yang diiringi dengan alat musik sederhana mengha_silkan lagu yang cukup menarik. Alunan lagu yang berisi doa-doa dan atraksi yang dilakukan oleh Caima membuat orang yang datang melayat tinggal lebih lama. Tugas besar yang dilakukan oleh Caima dalam upacara kematian membuat biaya yang dikeluarkan oleh keluarga orang yang meninggal cukup besar. Ini adalah salah satu penyebab langkanya upacara kematian yang dilaksa_nakan oleh Caima.

"
1995
S13088
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi
"ABSTRAK
Kebudayaan masyarakat mclahirkan suatu kepercayaan tertentu. Kepercayaan itu melahirkan pula berbagai bentuk upacara ritual yang bercampur dengan adat sebagai manifestasi dari pengakuan mereka terhadap adanya suatu kekuatan di luar diri mereka.
Dalam masyarakat tradisional, seringkali ungkapan pengakuan terhadap apa yang disebut "Tuhan" diejawantahkan dalam bentuk kesenian. Dalam masyarakat tradisi kesenian dan kepercayaan belum punya dinding pembatas.
Masyarakat Dayak Benuaq--sebuah subsuku Dayak di pedalaman Kalimantan Timur--memiliki tradisi kesenian yang memiliki nilai estetika tinggi. Daerah-daerah di sekitar Danau Jempang merupakan wilayah tempat bermukim suku Benuaq.
Salah satu bentuk kesenian mayarakat Benuaq adalah Upcara kwangkay. Upacara ini hanya diamalkan oleh masyarakat Benuaq saja. KW8Dg*UJ' adalah upacara adat bernuansa sakral yang berkaitan dengau kematian: Tvjuan upacara ini adalah untuk menghormati dan membahagiakan para roh dari anggota keluarga dan leluhur yang sudah mati. Upacara kwangkay diselenggarakan selama 37 hari. Kampung tempat upacara berlangsung menjadi ramai: di samping upacara pokok, ada sabung ayam (sauqng), judi tongkok, dan pasar malam. Penduduk dari desa tetangga berdatangan ke desa tcrsebut.
Para penyentangih dan penuing adalah orang yang menegang pcranan dalam upacara kwangkay: penyentangih adalah penyair lisan yang mendendangkan teks lisan (memang) selama. upacara berlangsung. Hakekat teks lisan itu adalah semacam komunikasi antara para arwah si mati dengan anggota keluarga yang masih hidup. Jadi, suatu saat seorang penyentangih mengidentifikasikan diri sebagai arwah si mati, pada saat lain ia mengidentifikasikan diri sehagai salah seorang anggota keluarga yang masih hidup. Teks memang didendangkan dengan
bererapa lagu, yaitu lagu Sentangih, lngv Akai, Iagu Hara, dan lagu Aloi.
Penuing adalah penbantu penyentangih yang meningkahi dendangan penyentangih pada akhir setiap kouplet. Para penuing ada yang akhirnya menjadi penyentangih. Tapi tidak selalu seorang penuing berminat menjadi penyentangih.
Para penyentangih adalah jenbutan konunikasi antara orang yang sudah mati dengan yang masih hidup. Peran penting yang dimainkan oleh penyentangih adalah mereka memegang posisi maha penting dalam proses pengawetan ilmu dan nilai-nilai budaya yang herlaku dalam masyarakatnya. Mereka adalah ensiklopedi hidup bagi masyarakatnya. Teks memang dalam upacara Kwangkay (yang hanya bisa didendangkan oleh para penyentangih) adalah sebuah wadah besar yang di dalamnya terkandung kumpulan adat kebiasaan, konvensi, peraturan, undang-undang, nilai-nilai moral dan etika yang terpilih yang berlaku dalam masyarakat Benuaq. Di dalam teks memang termuat seluruh sistem nomoi dan ethea--seluruh sistem pengetahuan--yang berlaku dalam masyarakat Benuaq, yang secara turun tenurun diamankan, diawetkan, dan diteruskan oleh golongan penyentangih ke generasi Benuaq berikutnya.
Penyentangih ibarat sebuah buku tebal dalam masyarakat tradisi tulisanz teks lisan yang ada dalam kepala para penyentangih merupakan informasi tentang perjalanan budaya masyarakat Dayak Benuaq. Hal yang sangat mendesak adalah memindahkan teks lisan yang ada dalam repertoar para penyentangih ke dalam tulisan. Kalau pekerjaan ini terlambat dilakukan, maka "buku tebal" milik masyarakat Benuaq yang penuh informasi itu akan musnah dari permukaan bumi."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984
392.598 4 UPA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>