Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3286 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New Jersey: Wiley - Blackwell, 2010
616.855 06 PSY
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mayestika Karanzia
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S3657
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noori Lukman Pradipto
"Selama masa pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi oleh guru semakin berat
dengan strategi mengajar yang baru. Hal tersebut membuat guru kesulitan untuk
mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka terutama guru perempuan yang mengajar di tingkat SD. Stres yang dirasakan oleh guru perempuan semakin bertambah dengan beban sebaga seorang ibu yang mengurus anak. Komunikasi antara anggota keluarga diasumsikandapat membantu guru untuk melewati masa sulit selama pandemi Covid-19. Penelitian inidilakukan untuk melihat peran pola komunikasi keluarga, baik dimensi conversation ataupun conformity, sebagai mediator dalam hubungan antara perceived social support dengan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan teknik pengambilan sampel convenient sampling dari guru perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perceived social support
dengan psychological well-being baik secara langsung (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000), maupun tidak langsung melalui pola komunikasi keluarga dimensi conversation (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). Di sisi lain, pola komunikasi keluarga yang mementingkan konformitas dalam berpendapat tidak berperan sebagai mediator karena tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). Salah satu limitasi penelitian ini adalah penelitian
ini hanya dapat dilakukan masa pandemi akan tetapi hasil yang didapatkan mengimplikasikan bahwa dukungan sosial dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh guru dalam menghadapi masa pandemi agar dapat menjadi bahagia, terlepas dari pola komunikasi di rumah. Meskipun demikian, pola komunikasi yang mementingkan kehangatan dalam berpendapat dan keterbukaan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang menunjang psychological well-being guru di situasi pandemi.

During the Covid-19 pandemic, teachers are facing more challenges such as new teaching strategies. Thus, makes it difficult for teachers to maintain their psychological well-being especially female teachers who teach elementary students. Some of those female teachers have responsibilities as mothers at home. The burden of caring for children in home increasing the stress felt by these teachers. It is assumed that communication between family members can help teachers through difficult times during the Covid-19 pandemic. This
research was conducted to see whether conversation or conformity dimension within family communication pattern can act as mediator in the relationship between perceived social support and psychological well-being. This research is non-experimental study with convenient sampling technique given to female teachers. The result indicates that there is significant relationship between perceived social support and family communication pattern, either directly (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000) or indirectly through the conversation
dimension within family communication family patterns (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). On the other hand, family with high conformity dimension do not act as mediator in relationship between perceived social support and psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). One of the limitation of this study is this study can only be conducted in pandemic Covid-19 situation but the results obtained shows that social support from various sources is needed by teachers in order to be mentally healthy and happy regardless of communication patterns at home. However, communication patterns that emphasize warmth and openness can be one of the social
support that teachers needed in this pandemic situation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Meutia
"Meningkatnya kesadaran masyarakat tentang hubungan antara kesehatan Hsik dan mental, mcndorong munculnya prograrn olahraga yang mcnawarkan lebih dari sekedar aktivitas tisik, terutama di Jakarta. Salah satunya adalah yoga yang mana diketahui memitiki dampalc positif pada kondisi psychological well-being (PWB) seseorang (Oken, Zajdel, Kishiyama, Flegal, et.a1, 2006). PWB adalah usaha pencapaian potensi psikologis, yang terdiri dari dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan Iingkungan, tujuan hidup serta perkembangan pribadi (Ryf£ 1989). Penelitian ini berusaha melihat gambaran PWB pada 3 orang instruktur yoga.
Dari penelitian kualitatif ini diketahui bahwa semua subyek mencerminkan adanya penerimaan terhadap keadaan diri; adanya hubungan yang hangat dan memuaskan dengan orang lain; mampu untuk menguasai keadaan lingkungan; memiliki tujuan hidup; sena menilai diri sebagai individu yang tumbuh dan berkembang. Sementara itu diketahui pula bahwa tidak semua subyek menunjukkan adanya kemandirian (otonomi) dalam berpe1ilaku_ Peran yoga dalam gambaran PWB instrulctur yoga terlihat menonjol pada dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup Serta perkembangan pribadi. Sedangkan lama seseorang menjadi instruktur yoga tampak tidak terlalu berperan untuk mencapai kondisi PWB yang lebih baik.

Yoga has become one of the most popular exercise training in big cities, especially in Jakarta. Mainly, this is because the rise of people awareness on the connection of mind and body on one’s mental health. it makes yoga become an exercise program which explore more than physical activity. Yoga has positive effect in one’s psychological well-being (Oken, Zajdel, Kishiyama, Flegal, et.al, 2006). Psychological well-being (PWB) concerned on formulations of human development and existential challenges of life. PWB include 6 psychological dimensions of challenged thriving, that is selfiacceptance; positive relation with others; autonomy; environmental mastery; purpose in life; and personal growth (Ryffl 1989). This study is focus on psychological well-being of 3 yoga instructor.
From this qualitative study, can be concluded that every participant has positive attitude toward selil positive relation with others; sense of mastery and competence in managing the environment; has goals in life; and sees self as growing and expanding individual. This study also found that not every participant is self-detennining and independent. Yoga itself has brought great impact in PWB especially on self-acceptance, positive relation with others, purpose in life, and personal growth. Meanwhile, the length of period one’s become yoga instmctor doesn’t correlates on one’s PWB condition.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T34200
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hellen Citra Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada petugas pemadam kebakaran di Jakarta. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Penelitian ini menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being yang telah diadaptasi oleh kelompok payung penelitian Psychological Well-Being 2012. Pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan teknik statistik deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 200 petugas pemadam kebakaran dari lima wilayah di Jakarta. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa skor mean psychological well-being petugas pemadam kebakaran di Jakarta tergolong tinggi.

This research aims to describe the psychological well-being of firefighters in Jakarta. The approach of this research is a quantitative approach by collecting data through questionnaires. This research uses Ryff’s Psychological Well-Being Scale, which is adopted from previous research by a research team of psychological well-being in 2012. The data is analyzed using descriptive statistic technique. Research participants are 200 firefighters from five regions in Jakarta. The results shows that the mean score of psychological well-being of firefighters in Jakarta is high. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Nurhaniriva
"[ABSTRAK
Pernikahan poligami merupakan salah satu fenomena yang berkembang di
masyarakat. Berbagai penelitian terkait masalah ini mengkaji banyak aspek
diantaranya dilihat secara hukum dan sosial. Penelitian ini meneliti pengalaman
psikologis pria yang menjalani poligami, terutama dalam hal psychological wellbeing
dan spiritual well-being. Penelitian ini melibatkan lima orang pria berpoligami
sebagai subjeknya. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pria
berpoligami cenderung memiliki psychological well-being yang tidak utuh.
Sedangkan dalam hal spiritual well-being, pria berpoligami di dalam penelitian ini
cenderung cukup baik, terutama pada domain transendensi.

ABSTRACT
Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.;Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain., Polygamous marriage is one of the growing phenomenons happening in society.
Various studies related to this issue have been examining many aspects seen both
legally and socially. This study examines men?s psychological experienceundergoing
polygamy, particularly in terms of psychological well-being and spiritual well-being.
This study involves five polygamous men as the subject. The data collection of this
study is gained from in-depth interview and observation. The result of this study
reveals that the men undergoing polygamy tend to have psychological well-being that
is not intact. Whereas polygamous men, in case of spiritual well-being, in this study
tend to be quite good, especially in the transcendence domain.]"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrohoningtyas
"ABSTRAK
Makna kerja pada perempuan berkeluarga yang bekerja, terutama pada mereka yang berada pada tingkatan manajerial lebih didasari oleh motif atau keinginannya
untuk mengaktualisasikan dirinya. Di Indonesia, kesempatan kerja bagi perempuan
dengan jenjang kedudukan yang tinggi telah mengalami peningkatan. Namun demikian, fenomena yang terjadi di masyarakat barat menunjukkan adanya kecenderungan yang cukup tinggi dari perempuan berkeluarga yang berhenti bekerja pada tingkatan manajerial. Keinginan membesarkan dan mengasuh anak merupakan alasan yang paling banyak mereka kemukakan.
Dilema antara kerja dan rumah tangga tersebut menimbulkan keputusan sebagian perempuan berkeluarga yang bekerja untuk berhenti bekerja. Anggapan bahwa
tugas-tugas dometik dianggap tidak penting menimbulkan rasa kehilangan nilai bagi
individu perempuan ketika mereka berhenti bekerja, yang menyebabkan mereka kehilangan rasa percaya pada diri sendiri, merasa ‘tidak layak’ untuk bergaul karena statusnya yang ‘hanya’ sebagai ibu rumah tangga. Kondisi ini tampak sedikit banyak telah pula mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat, terrnasuk perempuan sendiri
tentang peran mereka sebagai ibu mmah tangga. Terdapat anggapan bahwa peran ibu rumah tangga itu ketinggalan Jaman, udak prestisius, dan tidak membutuhkan keterampilan intelektual yang tinggi.
Di sisi lain banyak ibu rumah tangga yang menyukai pekerjaan merawat dan
mengasuh anak. Mereka melihat peran ibu tergolong spesial, dapat memberikan sesuatu yang bermakna yang dapat memperkaya perkembangan anak (Hock dalam
Smolak, 1993) dan keleluasaanya dalam mengatur jadual kerja sendiri (Oakley,
dalam Smolak, 1993). Paling tidak secara sementara, mereka ingin mengorbankan
penghasilan dan keuntungan lain dari kerja luar rumah dengan jalan memberikan
pengaruh mereka terhadap anak.
Kesejahteraan psikologis adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Ryff (1989) memaparkan mengenai karakteristik kesejahteraan psikologis yang
meliputi pemahaman dan penerimaan berbagai aspek dari diri seseorang, hubungan
yang positif dengan orang lain, kemandirian, memilih lingkungan yang sesuai, memi-
liki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh gambaran secara spesiiik tentang
perempuan khususnya perempuan brkeluarga yang telah berhenti bekerja di suatu
organisasi formal dengan kedudukan terakhir pada posisi setingkat manajer. Adanya
keputusan berhenti bekerja menirnbulkan pertanyaan mengenai bagaimana kondisi
kesejahteraan psikologis perempuan tersebut setelah berhenti bekerja.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
wawancara mendalam dan Skala Kesejahteraan Psikologis (SPWB) yang diadaptasi
dan Ryff (1989) yang bertujuan mendapatkan gambaran yang mendalam dan bermakna. Subjek penelitian benjumlah 3 (tiga) orang dengan karakteristik usia dewasa madya dengan posisi terakhir setingkat level manajer di suatu organisasi formal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kekhasan penghayatan kesejahteraan psikologis pada ketiga subjek penelitian. Subjek yang mengalami dominasi
dari suami mempunyai kondisi kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki kebebasan dalam menentukan pi1ihan-pilihannya sendiri. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan kesejahteraan psikologis
merupakan proses untuk ‘menjadi'. Rogers (1995) menggambarkan bahwa aktualisasi
diri merupakan suatn proses, suatu arah bukan suatu tujuan, dimana aktualisasi diri
berlangsung secara terus-menerus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai
atau statis. Oleh karena itu, tidak ada titik puncak dari kesejahteraan psikologis. Yang
mungkin dicapai oleh individu adalah berubah dari kondisi kesejahteraan psikologis
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kondisi kesejahteraan psikologis buka.n dipengaruhi oleh faktor bekrja atau tidak bekerja, namun terdapat faktor-faktor lain yang diduga lebih memberikan pengaruh terhadap kondisi ke-
sejahteraan psikologis mereka.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang
faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan psikologis mantan
manajer yang berkeluarga."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatchuri
"ABSTRAK
Modernisasi yang berlangsung di Jakarta memberikan dampak perubahan terhadap kehidupan masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta. Arus urbanisasi yang kemudian berlangsung membuat populasi penduduk di Jakarta terus bertambah. Muncullah kemudian masalah-masalah sosial yang menimpa kota Jakarta seperti kepadatan penduduk, pemukiman, kesempatan kerja, dan masalah-masalah lain yang biasa terdapat di kota besar. Perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis individu- individu dalam masyarakat Betawi. Berkembangnya Jakarta menjadi kota metropolitan mengubah kehidupan kota Jakarta menjadi kota yang masyarakatnya saling tak mengenal, acuh tak acuh terhadap orang lain, individualis, dan berorientasi kepada materi. Hal ini dapat berdampak kepada kehidupan masyarakat Betawi yang biasa hidup dalam lingkungan sosial yangbaik, saling menolong, dan memiliki ikatan sosial yang kuat.
Untuk mengetahui Iebih jauh tentang bagaimana kondisi psikologis masyarakat Betawi saat ini, dapat dilakukan penelitian dengan menggunakan konsep psychological well-being (PWB) yang dikemukakan Carol D. Ryff (1989). PWB mengukur bagairnana penilaian subjektif individu terhadap pencapaian- pencapaian potensi-potensi dirinya. Konsep ini mempunyai kelebihan dibandingkan teori-teori tentang well-being sebelumnya karena memperhatikan
faktor-faktor kesehatan mental positif yang digunakan dalam teori-teori humanistik seperti pertumbuhan dan perkembangan pribadi. PWB seseorang menurut Ryff (1989) dapat dilihat dari 6 dimensi yaitu dimensi penerimaan diri, otonomi, penguasaan lingkungan, hubungan positif dengan orang Iain, tujuan hidup, dan partumbuhan pribadi. Dalam konteks masyarakat Betawi, dapat diketahui dimensi mana yang dianggap penting oleh mereka saat ini.
Mengingat bahwa masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang religius, maka penilaian subjektifnya terhadap pancapaian potensi-potensi dirinya dapat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan mereka yang dibentuk oleh agama, dalam hal ini Islam. Maka, penelitian ini ingin melihat Iebih jauh hubungan antara PWB dengan keberagamaan. Penelitian-penelitian selama ini telah membuktikan adanya hubungan antara keberagamaan dengan well-being.
Dari beberapa konsep keberagamaan yang sering digunakan untuk mengukur religiusitas, peneliti menggunakan teori komitmen beragama yang dikemukakan oleh Charles Glock (1962). Dipilihnya teorl ini untuk mengetahui keberagamaan masyarakat Betawi adalah karena konsep ini dapat melihat keberagamaan dari berbagai dimensi sehingga dapat menghasilkan gambaran keberagamaan secara Iebih luas. Aspek-aspek keberagamaan yang penting dalam Islam seperti aqidah, pemahaman agama, ibadah dan penghayatannya, serta muammalah (kehidupan sosial) dapat lebih tergali dengan manggunakan konsep ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebelum penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan. Dalam memproses data yang telah masuk, dilakukan analisa statistik dengan perhitungan mean, korelasi model Pearson product moment, dan analisa varians.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup merupakan 2 dimensi yang dianggap penting oleh masyarakat Betawi; sementara dimensi otonomi manempati urutan terakhir dalam pandangan mereka. Pentingnya dimensi pertumbuhan pribadi dalam pandangan masyarakat Betawi menggambarkan bahwa nilai-nilai budaya barat yang mengutamakan pertumbuhan pribadi warganya sudah terserap dalam kehidupan masyarakat Betawi. Meskipun demlkian, dalam hal tujuan hidup, masyarakat Betawi masih dapat mempertahankannya dibandingkan masyarakat Hindu di Denpasar Bali seperti yang ditemukan Mardhianto (1997). Rendahnya dimensi otonomi juga menunjukkan bahwa ikatan sosial di kalangan masyarakat Betawi masih kuat.
Dalam hal komitmen beragama, dimensi ideologis memiliki nilai tertinggi dan dimensi ritual berada pada urutan terakhir. Hal ini berarti bahwa masyarakat Betawi memiliki keyakinan yang kuat terhadap kebenaran ajaran-ajaran agama islam tetapi di sisi Iain keyakinan tersebut tidak selalu terefleksi dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari. Hasil ini juga memperlihatkan adanya pergeseran dalam kehidupan beragama mengingat dalam budaya keagamaan masyarakat Betawi dahulu, langgar dan masjid tak bisa dilepaskan dalam kehidupan mereka. lndividu yang jarang ke langgar dan masjid untuk beribadah dapat dikucilkan oleh masyarakat (Junaidi dalam Melalatoa, 1997).
Perhitungan korelasi antara dimensi-dimensi PWB dengan dimensi-dimensi komitmen beragama menunjukkan bahwa di antara dimensi-dimensi kedua variabel terdapat korelasi yang signifikan. Dimensi penerimaan diri berhubungan dengan komitmen beragama pada dimensi ritual, eksperiensial, dan konsekuensial. Hubungan positif dengan orang Iain berhubungan dengan dimensi ritual, eksperiensial, dan konsekuensial. Otonomi berhubungan dengan dimensi konsekuensial dan ideologis. Penguasaan Iingkungan berhubungan dengan dimensi ritual, eksperiensial, dan konsekuensial. Tujuan hidup berhubungan dengan dimensi ritual, eksperiensial, konsekuensial, dan ideologis. Dimensi pertumbuhan pribadi berhubungan dengan dimensi ritual, konsekuensial, ideologis dan intelektual.
Karakteristik subjek juga mempunyai hubungan dengan beberapa dimensi PWB maupun komitmen beragama. Pria terbukti lebih otonom dibandingkan wanita. Tapi dalam komitmen beragama, wanita lebih baik pada dimensi ritual, eksperiensial. dan intelektual. Subjek yang sudah menikah lebih baik dalam dimensi ritual, eksperiensial, dan ideologis tetapi Iebih rendah pada dimensi tujuan hidup dan hubungan positif dengan orang Iain dibandingkan mereka yang belum menikah. Tingkat pendidikan subjek berhubungan dengan dimensi ideologis dan konsekuensial. Jenis pekerjaan juga berhubungan dengan penerimaan diri, otonomi, dan tujuan hidup. Penerimaan diri yang paling baik adalah kelompok wiraswasta; kelompok ini juga memiliki tujuan hidup yang paling jelas. Dimensi otonomi tertinggi ada pada kelompok pegawai negeri. Kelompok subjek yang masih menganggur memiliki nilai paling rendah pada hampir semua dimensi PWB dan juga pada hampir semua dimensi komitmen beragama.

"
2000
S2959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Rachmawati Sugianto
"Pada umumnya, semua orang setelah dewasa akan menikah. Namun ada orang-orang yang belum menikah meskipun telah berusia lebih dari usia yang dianggap lazim untuk menikah, yang disebut orang lajang. Dengan mempertimbangkan definisi orang lajang dari Cargan dan Melko, teori perkembangan dari Havighurst dan usia rata-rata pernikahan di Indonesia, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan orang lajang adalah orang-orang berusia 30 tahun atau lebih yang belum pemah menikah.
Kehidupan sebagai orang Iajang seperti memiliki dua sisi. Di satu pihak orang lajang memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesendiriannya, tetapi di lain pihak ia juga harus menghadapi berbagai masalah dan stereotipe dari masyarakat yang sebagian besar bersifat negatif.
Dalam dua dekade terakhir ini jumlah orang lajang terus bertambah, termasuk di wilayah DKI Jakarta. Para ahli manca negara pun mcrasa tertarik untuk meneliti orang lajang, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being. Hasilnya ternyata kontroversial. Ada para ahli yang menemukan bahwa status Iajang berhubungan dengan psychological well-being dan ada pula yang tidak menemukan hubungan antara keduanya.
Selain hasil yang kontroversial, peneiitian-penelitian tersebut juga dilakukan di luar Indonesia dan pada tahun 80-an. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di Indonesia dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Di samping itu, kehidupan orang lajang dengan segala keunntungan dan masalah yang diperoleh dari kesendiriannya menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah psychological well-being mereka. Apakah ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being.
Selanjutnya karena adanya perbedaan kondisi antara pria lajang dengan wanita lajang, maka akan diteliti juga apakah ada perbedaan nilai rata-rata psychological well-being antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah, antara pria lajang dengan wanita lajang dan antara pria menikah dengan wanita menikah. Mengingat psychological well-being juga berkaitan dengan tingkat pendidikan diri tingkat penghasilan, maka juga diteliti apakah ada perbedaan psychological well-being pada subyek dengan tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang berbeda.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psychological well-being dari Ryff serta berbagai teori yang menggambarkan kehidupan orang lajang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan karakteristik pria atau wanita, belum pernah menikah atau yang sudah menikah, berusia 30-40 tahun, bekerja, tamat SLTA dan berdomisili di Jakarta Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan persentase, korelasi point-biserial dan ANOVA. Uji validitas dilakul-can dengan menggunakan teknik korelasi Pearson dan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being. Juga tidak ditemukan adanya perbedaan nilai rata-rata psychological well-being yang signifikan antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah; antara pria menikah dengan wanita menikah; antara pria lajang dengan wanita lajang; antara subyek dengan tingkat pendidikan berbeda dan antara subyek dengan tingkat penghasilan berbeda.
Hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena alat yang tidak mengukur, presentase subyek yang kurang berimbang atau karena sebenarnya hubungan antara status Iajang dengan psychological well-being Iebih terkait dengan kualitas hidup melajang itu sendiri.
Saran yang disampaikan penulis bagi penelitian selanjutnya adalah penyempurnaan alat ukur, menggali lebih dalam mengenai kualitas hidup subyek serta melengkapi pengukuran kuantitatif dengan wawancara mendalam. Sedangkan saran-saran praktisnya adalah agar orang-orang lajang tidak perlu merasa rendah diri, dan kepada masyarakat agar dapat lebih menerima orang lajang sebagai bagian dari mereka, serta yang terakhir kiranya para konselor yang terkait dengan permasalahan orang lajang dapat menggunakan hasil ini untuk membantu orang lajang lebih memahami dirinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>