Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8294 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Joko Susilo
"Masa ketika agama Hindu dan Buddha berkembang dan dipeluk masyarakat di wilayah yang saat ini kita kenal sebagai Jawa Tengah, menduduki posisi panting dalam studi arkeologi dan sejarah perkembangan sebuah bangsa yang kini bernama Indonesia. Peninggalan-peninggalan dari periode itu sedikit banyak mampu membantu kita memahami kronologi berkembangnya kebudayaan yang menjadi bagian jatidiri bangsa kita. Salah satu peninggalan tersebut dan menjadi data dalam skripsi ini adalah Candi Ngawen. Kompleks Candi Ngawen terletak di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Kompleks Candi Ngawen ini terdiri dari lima hangman yang berjejer dari utara ke selatan dan semuanya menghadap ke timur. Berdasarkan sisa-sisa bangunannya, dapat diidentifikasi bahwa dalam kompleks tersebut terdapat dua bentuk bangunan yang berbeda. Bentuk yang pertarna terdiri dari Candi Ngawen I, III, dan V yaitu memiliki denah kaki candi berbentuk bujursangkar. Sedangkan bentuk kedua adalah denah kaki candi berbentuk palang yang dimiliki Candi Ngawen II dan IV.
PermasaIahannya adalah dengan bentuk-bentuk arsitektur demikian para ahli menduga bahwa kelima bangunan tersebut merupakan tempat pemujaan bagi kelima Tathagata, yaitu Vairocana, Aksobhya, Ratnasambhava, Amitabha dan Amoghasiddhi. Hal tersebut didasarkan pads penemuan arca Ratnasambhava dan Amitabha. Padahal berdasarkan data-data yang dapat kita jumpai, setiap Tathagata tersebut memiliki tempat tersendiri yang secara garis besar adalah Vairocana memiliki posisi di pusat, Aksobhya menguasai arah timur, Ratnasambhava menguasai selatan, Amitabha menguasai arah barat, dan Amoghasiddhi arah utara. Dengan demikian mungkinkah pendapat para ahli tersebut benar? Selanjutnya, pada kerangka waktu yang mana kompleks Candi Ngawen tersebut dapat ditempatkan?
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah benar pendapat para ahli tersebut berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di Indonesia serta untuk mengetahui pada kerangka waktu yang mana kompleks Candi Ngawen tersebut dapat ditempatkan, sehingga dapat diketahui sejarah perkembangan kebudayaan masa Hindu-Buddha khususnya di Jawa Tengah dan di Indonesia pada umumnya.
Ruang iingkup penelitian ini adalah sebatas pada bentuk-bentuk arsitektur sebagai salah satu unsur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kronologi relatif sebuah bangunan kuno. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sesuai dengan latar belakang pendidikan peneliti yaitu metode penelitian arkeologi. Metode ini terdiri dari tiga tahap yaitu pertama, melakukan pengurnpulan data (observasi) balk melalui studi pustaka maupun studi lapangan. Kedua, pengolahan data yang berhasil dikumpulkan dalam tahap penelitian sebelumnya. Dan tahap ketiga,penafsiran data benapa penarikan kesimpulan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini.
Kesimpulan yang dihasilkan dan penelitian ini adalah kemungkinan besar kompleks Candi Ngawen dibangun pada dua masa yang berbeda, dengan catatan masa pembangunan terakhimya sekitar abad 9, tepatnya setelah Candi Borobudur dan sebelum Candi Prambanan. Selain itu dari penelitian ini juga dapat dibuktikan bahwa pendapat para ahli yang menganggap bahwa kelima bangunan Candi Ngawen berisi area Tathagata kemungkinan besar kurang tepat. Dengan kata lain di kompleks Candi Ngawen memang hanya terdapat dua area Tathagata, Ratnasambhava dan Amitabha."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S12028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunus Arbi
"Di Jawa Tengah banyak peninggalan arkeologi balk yang berupa bangunan candi, arca, atau peninggalan lain_nya yang berasal dari periode Hindu Buddha. Peninggalan yang begitu banyak dan tersebar di wilayah tersebut di_duga berasal dari abad ke-7 hingga abad ke-10 M (Soekmono, 1979:457). Salah satu bentuk peninggalan yang banyak menarik perhatian para.ahli adalah arca. Sif at keagamaan dari arca-arca pada masa itu adalah Hindu dan Buddha. Perbe_daan sifat arca itu dapat diamati antara lain melalui atribut-atribut yang melekat pada masing-masing arca. Arca-arca yang biasa dijumpai dari periode Hindu-Buddha pada. umumnya berbentuk arca dewa, arca binatang, area setengah binatang, dan setengah manusia. menurut, Th. van der Hoop, bentuk penggambaran tersebut merupakan ra_gam, hias yang sering muncul pada kesenian masa Hindu yang secara umum digolongkan atas gambar-gambar antropomorf,..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1986
S12071
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didiek Samsu W. T.
"Candi sebagai suatu bangunan suci pada dasarnya dicip_takan untuk menghadirkan suasana sakral yang diharapkan dapat menghubungkan dunia bawah (manusia) dengan dunia atas (dewa). Dalam hal ini kehadiran arca perwujudan yang menjadi inti suatu candi. Arca perwujudan merupakan bentuk nyata kehadiran sang dewa di tengah para pemujanya. Candi Tikus di trowulan, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, merupakan candi yang unik karena pada candi ini tidak ditemukan indikasi adanya arca perwujudan maupun arca lainnya. Di samping itu keletakannya juga agak unik karena nampaknya dibangun di bawah permukaan tanah. Bertitik tolak pada keunikan tersebut kerangka berfikir penulisan skripsi ini berdasar pada usaha untuk me_nanggapi lebih lanjut masalah fungsi yang sebenarnya dari candi Tikus: Kemudian dicoba pula untuk menelaah kronologi / umur bangunan ini dalam rangka menempatkan candi Tikus dalam bentangan sejarah Majapahit. Dengan menempatkan Trowulan sebagai suatu sistem dalam hal ini sistem perkotaan candi Tikus ditinjau seba_gai sub sistem kota Trowulan atau komponen kota Trowulan yang memiliki fungsi tersendiri. Pengamatan secara konjungtif pada bagian-bagian bangunan candi Tikus dengan penekanan terhadap aspek formalnya, diusahakan untuk dapat menghimpun gambaran tentang fungsi candi tersebut. Penjabaran dan perbandingan antara aspek-aspek teknologi dan arsitektur candi Tikus dengan candi-candi lainnya di Trowulan informasi mengenai perkiraan usia candi. Berdasarkan pengamatan terungkap bahwa tujuan penampilan susunan dan struktur bangunan candi Tikus ditekankan pada makna dan kegunaan air pada masyarakatnya. Dengan melihat bahwa unsur-unsur sakral tetap ditampilkan, maka dapat disimpu lkan bahwa candi Tikus merupakan bangunan suci bercorak petirtaan. Tinjauan teknologi arsitektur candi menampakkan adanya 2 tahap pendirian dan modifikasi pada bangunan. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa modifikasi terjadi antara abad XIV dan abad XV. Pendirian bangunan tahap I tentu sebelum kurun waktu tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S11578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhi Wibowo
"Kelenteng adalah sebuah bangunan tempat ibadah yang sudah ada di Indonesia sejak 400 tahun yang lalu. Bangunan suci ini merupakan tempat ibadah agama etnis Tionghoa-Buddha, Konghucu dan Tao. Dalam perkembangan selanjutnya, agama ini dikenal dengan sebutan Tridharma. Keistimewaan arsitektur bangunan kelenteng adalah terdapatnya ornamen-ornamen yang raya, megah sekaligus indah yang merupakan ciri khan arsitektur Cina dan syarat akan makna sirnholik. Bari segi proses pendiriannya, bangunan kelenteng pun memiliki ketentuan-ketentuan tersendiri, yaitu aturan umum yang kerap diterapkan pada bangunan kelenteng dan aturan yang dikaitkan dengan fengshui, yaitu sebuah ilmu yang secara umurn rnengandung makna bagaimana cara mengolah dan memanfaatkan suatu lingkungan.
Kelenteng Kwan Im Hud Cow (KIHC)-juga dikenal dengan nama Vihara Avalokitesvara adalah sebuah kelenteng yang terletak di Banten lama, yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari sejarah pengusaha dan pendatang Tionghoa dahulu yang turut andil dalam perdagangan berskala internasional pada masa Kesultanan Bantcn (1527-1813). Tak terkecuali dengan kelenteng ini, sudah sernestinya dalam proses pendiriannva juga mengikuti dan mengacu kepada aturan-aturan tersebut di atas. Penulisan ini berusaha meninjau bentuk dari arsitektur bangunan Kelenteng KHIC melalui tinjauan mengenai penerapan aturan umum dan aturan fengshui di dalam klenteng tersebut. Di samping itu pertulisan ini juga berusaha pula untuk memperoleh data atau intormasi mengenai pengaruh unsur lokal yang terdapat pada kelenteng KIHC. Salah satu langkah kerja dalam penelitian ini adalah mengklasifikasikan hal-hal yang mana saja dari aturan umum pendirian dan aturan fengshui yang diterapkan terhadap kelenteng KHIC ini. Aturan umum ini hanya diterapkan ke bangunan utama saja dari bangunan kelenteng. Hal ini dilakukan karena hanya bangunan utama saja yang merupakan bangunan asli atau tertua (arkaik). Sedangkan aturan fengshui diterapkan terhadap keseluruhan kompleks kelenteng.
Sebagai hasil dari proses pengklasifikasian yang disajikan dalam bentuk tabel tersebut, dapat dilihat mengenai hal-hal yang tidak dijalankan atau terjadi "ketidakturunan" dengan kedua aturan tersebut. Lebih lanjut lagi akan dijumpai penyebab-penyebab yang mengakibatkan hal yang demikian dapat terjadi. Dalam upaya memperoleh data mengenai adanya pengaruh unsur lokal pada Kelenteng KHIC ini, akan menitikberatkan pada bangunan makam yang terdapat di dalamnya. Namun demikian informasi yang diperoleh penulis sebagian besar diperoleh melalui studi literatur. Kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian ini adalah bahwa pada Kelenteng Kwan Im Hud Cow meskipun telah mengalami berkali-kali pemugaran dan pendirian bangunan baru namun sebagian besar dari kedua aturan tersebut ternyata masih diterapkan. Sedangkan mengenai keberadaan makam keramat di dalam kelenteng ini menghasilkan kesimpulan bahwa pada Kelenteng KHIC ternyata terdapat pengaruh unsur lokal, yakni dengan mengakomodasi suatu kepercayaan (tradisi) setempat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S11920
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syinthia Dwi Friani
"Masa klasik muda yang berlangsung di Indonesia dari abad 11-15 M meninggalkan bangunan-bangunan suci yang tidak semegah peninggalan masa klasik tua, namun mempunyai bentuk yang lebih unik. Hal-hal itulah yang melatari penelitian tentang Candi Kesiman Tengah. Candi yang terletak di Mojokerto, Jawa Timur ini mcmpunyai bentuk yang unik dan belum banyak peneliti yang menulis tentang candi itu.
Penelitian berkisar masalah deskripsi, perbandingan bentuk, upaya rekonstruksi bentuk utuh Candi Kesiman Tengah dalam gambar, penetapan kronologi relatif, dan latar belakang keagamaan Candi Kesiman Tengah. Untuk mengetahui perkiraan bentuk utuh Candi Kesiman Tengah dilakukan metode analogi atau metode perbandingan dengan Candi-candi lain yang diperkirakan setipe dan berasal dari masa yang tidak terlalu jauh dari Candi Kesiman Tengah. Candi-candi itu adalah Candi Jago, Candi Induk Panataran, Candi Surawana, dan Candi Tegawangi. Latar belakang keagamaan diperkirakan dengan cara mengamati relief yang ada di Candi Kesiman Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk utuh Candi Kesiman Tengah dengan tubuh berdinding tertutup tanpa anak tangga yang menuju ke bilik utama, dan atap candi berbentuk tumpang yang terbuat dari bahan yang mudah rusak. Berdasarkan bentuk arsitektumya Candi Kesiman Tengah diperkirakan berasal dari abad 14 M, dengan latar belakang agama Hindu Waisnawa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S11993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Handiman Supyansuri
"Candi Lawang berada di Kabupaten Boyolali, Propinsi Java Tengah. Penelitian mengenai arsitektur Candi Lawang bertujuan untuk mengidentifikasi gaya arsitektur dan memperkirakan bentuk bangunan secara keseluruhan serta kronologi relatifnya. Kemudian karena di Candi Lawang ada inskrisi, maka inskripsi itu dibahas hingga ketingkat penafsiran, sehingga dapat diketahui hubungan antara insikripsi dan arsitektur candinya. Lalu, pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data kepustakaan dan data lapangan. Penelitian dilakukan berdasarkan ciri arsitektur Candi Lawang yang kemudian dibandingkan dengan candi lain yang mempunyai kemiripan ciri arsitektur dengan Candi Lawang. Pembahasan arsitektur rneliputi hakikat pengertian arsitektur bangunan dan seni sama dengan arsitektur. Selain itu, karena peinbahasan arsitektur tidak hanya membahas aspek struktur dan teknik bangunannva saja, melainkan juga mencakup aspek sosial dan makna simboliknya, maka dalarn penelitian ini dibahas juga hubungan antara Candi Lawang dengan kepurbakalaan di sekitamya serta latar belakang keagamaannnya. Pembahasan kepurbakalaan lain di sekitar Candi Lawang dimaksudkan untuk lebih memahami keterkaitan ruang space situs yang situ dengan lainnya. Latar belakang keagarnaan diteliti dengan cara mengidentifikasikan segala temuan di Candi lawang berdasarkan sifat keagamaannya. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah arsitektur Candi Lawang merupakan arsitektur bangunan masa peralihan dari masa klasik tua ke masa klasik muda. Hal itu ditunjukkan dengan adanya perpaduan ciri dari kedua periode tersebut di Candi Lawang. Lalu, mengenai kronologinya diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 M atau lebih tepatnya berdasarkan penafsiran inskripsi yang kemungkinan candrasangkala yaitu tahun 872 NCI atau 875 M. Kemudian, latar belakang keagamaan Candi Lawang berdasarkan sifat-sifat keagamaan dari berbagai bukti yang ada termasuk dari penafsiran isi inskripsi yang menyebutkan persembahan kepada gunung, maka Candi Lawang ialah bangunan Hindu Saiwa. Masyarakat di sekitar Candi Lawang pun di masa silam Sangat mcngkin mayoritas mcmeluk agama Hindu Saiwa karena hampir semua bangunan kepurbakalaan di sekitar situ dapat diidentifikasi bersifat Hindu Saiwa. Jadi, kesimpulan mengenai kronologi dari latar belakang keagamaan Candi Lawang sesuai antara kesimpulan berdasarkan arsitektur dengan kesimpulan berdasarkan inskripsi."
2000
S11905
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wan Irama
"ABSTRAK
Perbandingan (keseimbangan proporsi) dalam karya-cipta berupa bangunan, dapat disebut sebagai salah satu unsur yang mendasar, disamping kestabilan bangunan (keseimbangan berat) dan keindahan (aesthetic). Umumnya, ketiga hal ini telah diolah pada pembangunan tingkat pertama, tepatnya pada tingkat perencanaan (planning), serta dituangkan dalam bentuk sebuah disain (design) bangunan. Dengan lain perkataan, bahwa untuk hal-hal yang bertautan dengan nilai X, Y; dan Z sebuah ruang ditentukan dalam sebuah rencana horizontal bangunan (denah), maupun dalam sebuah rencana vertikal bangunan (irisan), yang menjabarkan ketiga unsur bangunan dimaksud. Sehingga secara generatif perhitungan perhitungan mengenai keseimbangan ter_sebut berkembang jadi suatu .hal yang normatif, terutama bagi kalangan perancang bangunan (arsitek).Untuk pendirian bangunan-bangunan keagamaan, khususnya bangunan candi, disamping ketiga unsur tadi masih didapatkan unsur lain yang juga berpengaruh terhadap bentuk Serta tata- letak bangunan ini, yaitu tingkahlaku keagamaan yang menjadi latar belakang kehidupan masyarakatnya. Satu kenyataan dari_padanya ialah, bahwa norma-norma yang terlahir lebih memberi tekanan religius serta menjadikan bangunan keagamaan sebagai karya-cipta yang berbeda (sophisticate) dalam perjalanan se_jarah arsitektur pada umumnya. Adanya aturan-aturan atau ketentuan mengenai pendirian sebuah bangunan candi secara tegas didapatkan pada bangunan..."
1986
S11903
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safari
"Keberadaan umat Islam tidak dapat.dilepaskan dari keberadaan bangunan peribadatan (masjid). Masjid dapat diartikan sebagai identitas masyarakat Muslim, karena peranan masjid dalam kehidupan masyarakat Muslim tidak hanya berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadat wajib (Shalat) saja, tetapi masjid juga berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial kultural umat Islam. Bahkan tidaklah berlebihan jika masjid juga dikatakan sebagai tempat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Wiryoprawiro 1986: 155).
Masjid berasal dari kata bahasa Arab yaitu Sajada yang bermakna tempat bersujud. Dalam pengertian umum masjid adalah sebidang tanah yang dapat digunakan oleh umat Islam untuk me_lakukan sembah dan sujud kepada TuhanNya (Aboebakar 1955: 3). Pengertian tersebut tidaklah bertentangan dengan pengertian hukum Islam tentang masjid.
Dalam Alqur'an secara tegas diperintahkan umatnya untuk mendirikan masjidl. selain itu Rasulallah Muhammad SAW secara langsung bersabda; Barang siapa yang membangun masjid karena mengharap ridha Allah, maka Allah akan membengunkan rumah untuknya di surga (HR. Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban).
Dari kedua sumber hukum Islam. tersebut dapatlah dibuat kesimpulan, bahwa Islam secara tegas memerintahkan umatNya untuk mendirikan masjid, tetapi secara teknis kedua sumber hukum dasar Islam tersebut tidak memberikan batasan yang jelas tentang bentuk masjid itu.

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviani Retna Budiarti
"ABSTRAK
Penelitian tentang bangunan suci dan tempat suci pada abad 13-15 M dilakukan berdasarkan data relief candi dari abad 13-15 M, dengan tujuan melakukan identifikasi bangunan suci dan tempat suci pada masa itu melalui tinggalan relief candi yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Kajian itu dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap bentuk arsitektur dari bangunan suci dan tempat suci yang terdapat dalam relief. Dalam hal ini pengamatan terhadap arsitektur tempat suci diwakili oleh komponen tempat suci tersebut, yang dalam relief digambarkan dengan meja sesaji, miniatur candi dan arca. Bangunan suci dalam relief tersebut dapat dibagi menjadi dua berdasarkan konstruksinya, yaitu bangunan, konstruksi kayu dan bangunan konstruksi batu. Bangunan dan komponen dalam relief tersebut kemudian dibandingkan dengan bangunan suci dan komponen tempat suci dari masa 13-15 M pula, yang masih dapat diamati hingga saat ini. Untuk bangunan suci konstruksi kayu diupayakan mencari keterangan lain pada bangunan kayu dari mesa sekarang, yaitu bangunan yang terdapat di Jawa dan Bali. Hasil penelitian menunjukken bahwa bangunan dan komponen dalam relief yang diperkirakan sebagai bangunan dan komponen tempat suci pada umumnya memiliki kemiripan dengan bangunan dan komponen tempat suci dari masa Hindu-Buddha yang masih dapat dilihat sampai sekarang. Bentuk bangunan suci konstruk_si kayu dari abad 13-15 M itu tidak berbeda dengan bentuk bangunan profannya. Hal itu karena tidak adanya ketentuan tentang bentuk bangunan suci, kayu, sehingga masyarakat me_ngambil bentuk arsitektur yang telah mereka kenal pada saat itu. Meskipun tidak terdapat ketentuan, tetapi terdapat keteraturan penggunaan bentuk arsitektur tertentu sebagai bangunan sakral. Keteraturan tersebut tampaknya masih berlangsung hingga masa Islam dan pada masyarakat tradisional saat ini. Adapula bentuk bangunan kayu yang tidak terda_pat pada masyarakat Jawa saat ini, karena bangunan tersebut sudah tidak berfungsi di masyarakat. Janis bangunan itu masih dapat ditemui di Bali, berfungsi sebagai pelinggih. Bangunan konstruksi batu dalam relief mempunyai persa-maan bentuk dengan bangunan candi di :lawn Timur yang masih ada saat ini. Bentuk arsitektur bangunan-bangunan konstruksi batu dalam relief pada umumnya dapat digolongkan dalam klasi_fikasi yang telah diajukan oleh Hariani Santiko. Komponen tempat suci dalam relief yang berupa meja sesaji mempunyai persamaan dengan altar, sedangkan miniatur candi, serupa dengan pedupaen atau menara teras dan tugu. Komponen-komponen tersebut biasa dijumpai pada tempat suci yang berupa pertapaan. Tempat suci pada abad 13-15 M, berda_sarkan karya sastra, terdiri dari beberapa macam. Dalam tempat suci tersebut biasa dijumpai bangunan suci atau kompo_nen suci, atau pun keduanya.

"
1996
S11963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Bayu Perdana
"Tulisan ini berfokus pada tatanan (order) arsitektural candi Jawa. Tulisan kontemporer kerap menelaah arsitektur candi menggunakan tatanan triparti, yang utamanya digunakan untuk membagi tampak candi ke dalam tiga bagian: badan, kepala, dan kaki. Meski umum digunakan, tatanan sederhana ini tidak merefleksikan secara akurat kompleksitas candi sehingga pembahasan arsitektural candi seringkali tidak rinci. Penulis mengusulkan sebuah sistem tatanan baru, yang penulis sebut sebagai “tatanan vāstu.” Tatanan ini direkonstruksi menggunakan metode riset arsitektural-historis yang membandingkan candi-candi Jawa serta struktur mancanegara terkait dalam lensa tipo-morfologis, didukung dengan analisis sastra arsitektural kuil India. Sampel candi meliputi 32 candi peribadatan tipe menara (prāsāda) dengan ciri Hindu dan Buddha yang berasal dari era Mataram Kuno (abad 8-11 M).
Secara tatanan tapak, candi Jawa menunjukkan dua pola umum yang berkorespondensi dengan dua moda dasar perancangan maṇḍala; pola berjejer-berhadap yang banyak digunakan pada candi Hindu berkorespondensi dengan moda yantri, sementara pola konsentris yang banyak digunakan pada candi Buddha berkorespondensi dengan moda maṇḍala. Pada pola candi berjejer-berhadap, terdapat sejumlah unsur yang dapat dikaitkan dengan sejumlah aspek geografis/astronomis lokal dan konsep ruang Austronesia yang diduga bercampur dengan konsep arah India pada masa Mataram Kuno. Secara tata bangunan, semua sampel candi dapat dibagi secara visual ke dalam tujuh bagian yang dimiliki tatanan vāstu: upapīṭha, adhiṣṭhāna, pada, prastara, gala, śikhara, dan stūpi. Namun pemeriksaan lebih mendalam menunjukkan bahwa tiap bagian memiliki elaborasi arsitektural yang cukup berbeda dengan norma Asia Selatan maupun Tenggara kontinental.
Pengamatan ini memperkuat pendapat bahwa arsitektur candi Jawa menunjukkan pencampuran berbagai elemen asing menjadi gubahan tersendiri. Studi ini juga menunjukkan bahwa penggunaan sistem tatanan berbasis vāstu, alih-alih tripartit konvensional, memungkinkan penjabaran elemen arsitektur candi secara lebih rinci. Menerapkan dan menguji kesahihan tatanan vāstu pada candi mungkin dapat menghasilkan sistem tatanan arsitektur baru yang lebih bermanfaat untuk menelaah arsitektur candi Jawa serta kedudukannya dalam jaring pertukaran budaya antara India dan Asia Tenggara.

This paper focuses on the architectural order of ancient Javanese temples. Contemporary writings often use a tripartite order to conceptualize Javanese temple architecture, which divide the edifice into three-part consisting of head, body, and feet. However, the overgeneralized nature of the order does not accurately represent the complexities of Javanese temples and this has made architectural discussion of temples somewhat limited and undetailed. Further, the textual basis of this order is questionable. To support more nuanced discussion of Javanese temple architecture, the author proposes an alternative architecture order, dubbed the “vāstu order.” This order is reconstructed using architectural-historical research method that compares extant Javanese temples with related South and Southeast Asian structures in a typo-morphological lens, supported by analysis of historical treatise pertaining Indian temple architecture. Samples include 32 Hindu and Buddhist Javanese temples in the general shape of a tower (prāsāda) from the ancient Mataram era (8-11th century).
In terms of spatial order, Javanese temples show two general pattern that correspond to two basic design mode in architectural maṇḍala; the linear-opposing configuration commonly observed in Hindu complexes corresponds to the yantric mode, while the concentric configuration commonly observed in Buddhist complexes corresponds to the maṇḍalic mode. In the linear-opposing configuration, there are a number of elements that can be attributed to indigenous concept of space which may have intermingled with Indian-derived concept of space during the Mataram era. In terms of building order, all samples can visually divided into seven parts of the vāstu order: upapīṭha, adhiṣṭhāna, pada, prastara, gala, śikhara, and stūpi. However, further inspection shows that each part has unusual or even unprecedented architectural elaboration from the supposed Indian protype.
These observations contribute to the notion that Javanese temples shows complex amalgamation of various Indian architectural elements into a distinct creative form. This study demonstrates that a conceptual shift from the conventional tripartite order into a more refined vāstu order permitted more detailed observations in various architectural elements of Javanese temples. Applying and testing the vāstu order to other temples would perhaps yield a more robust architectural order that is useful in revealing the nature of Javanese temple architecture and its position within the web of cultural exchange between India and Southeast Asia.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>