Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65968 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iman Hilman
"Nafas baru di dalam cara penyajian penulisan Sejarah Indo-nesia, terutama penulisan sekitar gerakan-gerakan/pemberontak_an-pemberontakan/huru-hara/kerusuhan-kerusuhan ataupun brandal_an-brandalan yang terjadi di sekitar abad ke-19, mulai ditiup_kan oleh para penulis sejarah. Cara penyajian dengan mengung_kapkaa para pemimpin pemberontakan beserta para pengikutnya se_bagai subyek atau pemegang peran-utama di dalam sebuah kisah pemberontakan, merupakan bentuk nafas baru yang segar. Nafas baru inilah yang dalam penulisan Sejarah Indonesia dikenal de_ngan istilah _Indonesia-sentrisme_. Suatu hal yang wajarlah, seandainya untuk lebih menghidupkan angin segar itu dituntut usaha-usaha yang terns menerus da_ri para peneliti dan penulis sejarah yang menitik beratkan studi sejarahnya pada abad ke-19. Dalam hubungan inilah, sebagai langkah awal sekaligus untuk melatih diri guna turut serta di dalam kegiatan penulisan sejarah yang bercorak Indonesia-sen_trisme ini, penulis mencoba untuk nienyajikan salah satu gerak_an pemberontakan yang dipimpin oleh Raksa Pradja, yang terjadi di daerah Priangan pada sekitar tahun 1842. Oleh karena _"
Depok: Universitas Indonesia, 1978
S12271
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Hilman
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ludy Hadiyanto
"PENDAHULUAN
Stabilitas sosial politik dan keamanan yang terjamin di Indonesia hingga dengan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 merupakan lahan bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi tersebut, maka ada daya tarik bagi para pelaku bisnis untuk menanamkan modalnya baik berupa ekspansi usaha maupun pengembangan usaha baru. Setiap kegiatan ekonomi akan melibatkan pengambilan keputusan yang memperhitungkan setiap risiko yang ada, dengan kata lain setiap kegiatan ekonomi akan berusaha menerapkan manajemen risiko. Menurut Dickson, Cassidy, Gordon dan Wilkinson, definisi dari manajemen risiko adalah identifikasi, analisis dan pengendalian secara ekonomi atas risiko-risiko yang mengancam asset atau kapasitas untuk mendapatkan penghasilan dari suatu badan usaha (The identification, analysis and economic control of those risks which can threaten the assets or earning capacity of an enterprise). Bilamana sampai kepada tahap pengendalian risiko, maka para investor biasanya akan berusaha melindungi aset-aset yang diinvestasikannya antara lain dengan jaminan asuransi (terhadap risiko-risiko yang dapat dialihkan)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djopari, Johannes Rudolf Gerzon
"Pembangunan yang diselenggarakan di Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya sejak daerah itu dikembalikan ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tangga1 1 Mei 1963, dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Hal yang demikian menyebabkan rakyat di wilayah Propinsi itu tidak cepat berubah dan berkembang mengikuti kemajuan sama dengan saudara-saudara mereka di daerah Indonesia lainnya.
Proses integrasi politik di Irian Jaya menghadapi suatu tantangan yang utama dan berat yaitu pemberontakan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tahun 1965 tepatnya pada tangal 26 Juli di Manokwari yang dipimpin oleh Permenas Ferry Awom, bekas anggota Batalyon Sukarelawan Papua (Papua Vrijwilinger Corps) buatan Belanda. Pemberontakan OPM yang terus berlangsung hingga saat ini dan secara sporadisadis itu merupakan hambatan terhadap penyelenggaraan pembangunan pada umumnya baik pemaangunan fisik maupun pembangunan non fisik.
Sebagai gerakan separatis, maka pemberontakan OPM merupakan hadangan terhadap proses integrasi di Irian Jaya yang lebih banyak diwarnai oleh dimensi yang horizontal, yaitu suatu tujuan untuk mengurangi diskontinuitas dan ketegangan kultur kedaerahan dalam rangka proses penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.
Di Irian Jaya, bentuk pemberontakan OPM dapat digolongkan ke dalam beberapa tindakan sebagai berikut Pertama; aksi perlawanan fisik bersenjata atau aksi militer yang dilakukan secara sporadis; Kedua; aksi penyanderaan; Ketiga; aksi demonstrasi massa; Keempat; aksi pengibaran bendera Papua Barat; Kelima; aksi penempelan dan pengebaran pamflet/selebaran; Keenam; aksi rapat-rapat politik dan pembentukan organisasi perjuangan lokal; Ketujuh; aksi pelintasan perbatasan ke Papua New Guinea; Kedelapan; aksi pengrusakan/pembongkaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa OPM itu lahir di Irian Jaya dari dua faksi utama pimpinan Terianus Aronggear, SE dan Aser Demotekay pada tahun 1964 dan tahun 1963. Sebagai organisasi OPN kegiatannya terbagi dua yaitu kegiatan politik dan kegiatan militer. Kegiatan politik kemudian terus dilanjutkan di lu ar negeri sedangkan kegiatan militer dilakukan di Irian Jaya. Secara keseluruhan kegiatan politik di luar negeri kurang efektif sebab terjadi perpecahan antara para pemimpin politik OPM dari segi orientasinya ada yang pro-Barat dan ada yang berorientasi ke neo-Marxis/Sosialis. Perpecahan ini jelas mempengaruni faksi militer di Irian Jaya sehingga kegiatan mereka lemah dan mudah dipatahkan oleh Pemerintah atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Justru orientasi ke neoMarxis/Sosialis itu merupakan hambatan utama bagi dukungan politik maupun dukungan dana dari negara-negara Barat terhadap OPM.
Berdasarkan telaahan teori dan pendapat para sarjana dapat diungkap bahwa pemberontakan itu terjadi karena ketidakpuasan dan kekecewaan yang dialami oleh manusia dalam suatu sistem politik atau negara.
Di Irian Jaya saat ini masih saja ada aktivitas pemberontakan dari OPM secara sporadis, walaupun setiap kegiatan dengan mudah dapat dipatahkan dan tidak ada dukungan politik secara internasional. Kondisi yang demikian ini menimbulkan pertanyaan sebagai berikut :
Pertama; apakah benar bahwa pemberontakan OPM itu terjadi karena integrasi politik di Irian Jaya kurang mantap ? Kedua; apakah benar bahwa pemberontakan OPM itu merupakan bom waktu yang dibuat oleh Belanda, atau pemberontakan OPM itu terjadi karena tumbuh kesadaran nasionalisme Papua ? Ketiga; apakah benar dan mengapa masih saja ada orang-orang Irian Jaya yang berideologi serta mendukukung pemberontakan OPM ? Keempat; kalau memang demikian, bagaimana sebaiknya pendekatan pembangunan politik di Irian Jaya itu dilakukan, agar dapat mewujudkan integrasi politik yang mantap ?
Berangkat dari ke-4 pertanyaan tersebut di atas, yang menjadi pokok permasalah dalam tulisan ini adalah sampai sejauh mana pengaruh pemberontakan OPM terhadap pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya.
Dari hasil kajian diperoleh kesimpulan bahwa pada hakekatnya pemberontakan OPM masih mempengaruhi pembentukan integrasi politik yang mantap di Irian Jaya, hal mana dapat dilihat dari sikap dan dukungan yang diberikan oleh rakyat Irian Jaya terhadap OPM sehingga timbul berbagai aksi pemberontakan secara sporadis dalam kurun waktu 20 tahun dan OPM lebih mampu mensosialisasikan nilai-nilai "nasionalis Papua" sebagai ideologi OPM kepada rakyat Irian Jaya.
Oleh karena itu untuk mewujudkan integrasi politik yang mantap di Irian disarankan agar terlebih dulu menghilangkan ideologi OPM serta melakukan pendekatan "cinta-kasih" dalam pergaulan atas dasar persamaan dan persaudaraan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Program Raksa Desa di Desa Jayamukti Kecamatan Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi, yang bertujuan memahami upaya pemberdayaan masyarakat melalui program, manfaat program, dan kendala dalam implementasi program. Penelitian ini mempunyai arti penting, karena program dimaksud merupakan program baru yang digagas dan diluncurkan oleh pemerintah Propinsi Jawa Barat di era Otonomi Daerah secara luas berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tabun 1999, yang mulai dilaksanakan tahun 2003 dan direncanakan diberlakukan bagi seluruh desa dan kota di Propinsi Jawa Barat hingga tahun 2007. Sebagai program baru, dimungkinkan terjadi kekeliruan khususnya dalam implementasi yang merupakan tahap esensial dalam upaya pemberdayaan.
Untuk itu, hasil penelitan ini dapat berfungsi sebagai input bagi policy maker guna melakukan perbaikan implementasi program berikutnya. Pendekatan dan Janis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu informasi tentang pemahaman, pandangan, dan tanggapan para informan dilapangan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran nyata pelaksanaan program secara sistematis dan faktuaI. Data tersebut diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan para informan, disamping studi dokumentasi, dan observasi. Penentuan informan di lakukan secara purposive sampling (non probability), yakni atas dasar penilaian bahwa para informan mengetahui secara balk pemasalahan yang sedang diteliti. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah Ketua dan Anggota Pokmas; Ketua Satuan Pelaksana (Satlak) Desa, Sarjana Pendamping, unsur Pemuka Masyarakat, dari unsur 13adu.i Perwakilan Desa (BPD).
Sebagai alat analisis hasil penelitian lapangan, digunakan kerangka teori pemberdayaan untuk memahami program dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian komunitas sasaran, baik secara individu maupun kelompok dalam upaya memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah yang dihadapi. Konsep pemberdayaan juga digunakan untuk melihat bagaimana kelompok mampu memfasilitasi para anggota untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan, dan bagaimana masyarakat mengorganisir diri melalui kelembagaan Satlak Desa yang dikembangkan. Perhatian juga diarahkan pada keterlibatan masyarakat dalam pembentukan dan kegiatan kelompok serta dalam kelembagaan Satlak Desa untuk mengetahui proses pemberdayaan melalui implementasi program.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan tidak terjadinya upaya pemberdayaan melalui Program Raksa Desa, karena tidak ada partisipasi dan kemandirian dari masyarakat khususnya komunitas sasaran yang rnerupakan prasyarat bagi upaya pemberdayaan. Hal itu terlihat dari sejak awal kegiatan (persiapan dan perencanaan), yang antara lain adalah kegiatan sosialisasi program melalui forum musyawarah desa, dimana komunitas sasaran tidak dilibatkan. Forum dimaksud hanya dihadiri oleh alit desa, yaitu unsur pemuka masyarakat, perangkat desa, dan unsur BPD, disamping tentunya pengurus lembaga Satlak Desa. Demikian halnya pada implementasi program, yaitu pelaksanaan pembangunan prasarana desa dan penyaluran modal bergulir kepada komunitas sasaran, serta pemantauan, pengawasan, dan evaluasi, masyarakat khususnya komunitas sasaran tidak terlibat secara aktif, dimana dalam konteks pemberdayaan, keterlibatan masyarakatlkomunitas sasaran merupakan elemen penting.
Hasil program memang telah dirasakan oleh masyarakat khususnya komunitas sasaran, baik pembangunan prasarana yang antara lain menambah kelancaran transportasi dan komunikasi antar warga, serta penyediaan air bersih bagi warga, maupun bantuan pinjaman modal bergulir yang antara lain untuk menambah modal usaha dan juga sebagai Modal awal usaha. Akan tetapi, unsur penting dalam upaya pemberdayaan, yaitu proses belajar sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan baik kebutuhan diri, keluarga, kelompok, dan masyarakat, maupun proses belajar memecahkan masalah tidak berlangsung. Kendala dalam implementasi program antara lain adalah kctidaktahuan di kalangan masyarakat sendiri dan kecenderungan prilaku aparat pemerintah yang masih bersifat paternalistik feodalistik (birokrasi tradisional).
Rekomendasi yang diajukan adalah: (a) perlu dilakukan kegiatan pelatihan dan pemantapan secara intensif bagi para pelaksana program mulai tingkat propinsi hingga tingkat lapangan (desa), dalam upaya peningkatan pemanaman mereka balk mengenai teknis operasional dan manajemen penyelenggaraan program maupun perspektif pembangunan berpusat pada manusia; (b) perlu dilakukan kegiatan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi oleh para pelaksana program mulai tingkat propinsi sampai tingkat lapangan secara profesional, dan yang tidak kalah penting adalah perlunya melibatkan komunitas sasaran dalam rangkaian kegiatan dimaksud sejak assesment hingga evaluasi; (c) perlu kecermatan penanggungjawab program dalam merancang program pemberdayaan secara profesional, dengan mempertimbangkan berbagai aspeknya, antara lain adalah ketersediaan dana dan kesiapan sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan berdedikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imansyah
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1985
S29585
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
"Tulisan ini merupakan studi pendahuluan mengenai pemberontakan yang terjadi di Tegal pada tanggal 28 Okto_ber 1864, yang merupakan periode di mama di Jawa terjadi perubahan besar, yaitu mundurnya lembaga pemerintahan tradisional akibat semakin intensif campur tangan pemerin_tahan kolonial. disamping itu, munculnya perkebunan-per_kebunan besar yang dikelola pemerintah kolonial, menimbul_kan terjadinya perubahan struktur agraris pada masyarakat petani di kabupaten Tegal. Sebelum membicarakan lebih.ja_uh masalah ini dan sebelum membicarakan alasan pemilihan judul dari skripsi ini, penulis ingin terlebih dahulu membicarakan batasan istilah yang digunakan dalam judul skrip_si ini.
Ada dua istilah yang harus dijelaskan pergertiannya dalam judul skripsi ini. Pertama adalah pengertian tentang istilah pemberontakan. Mengapa penulis menggunakan istilah pemberontakan, bukan kerusuhan (onlusten), atau brandal (deugniet, muiter) sebagaimana yang terdapat dalam sumber-_sumber arsip yang dipakai dalam penelitian."
Depok: Universitas Indonesia, 1984
S12299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu A. Kamaruddin
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, latar belakang, kondisi, dan faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan petani Unra pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan pada 1943. Dalam menganalisis pemberontakan petani Unra sebagai gerakan sosial ditelusuri faktor, kondisi, dan struktur sosial masyarakat yang menjadi basis lahirnya pemberontakan. Faktor ideologi dan peran kepemimpinan juga dikaji untuk mengetahui dan memahami seberapa besar kontribusinya dalam memotivasi terjadinya pemberontakan. Demikian juga, fokus kajian diarahkan pada penelusuran latar belakang kultural keagamaan dalam konteks historis dari pemberontakan petani Unra, dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Unra pada masa pemerintahan pendudukan Jepang. Untuk merekonstruksi peristiwa sejarah pemberontakan petani Unra, sebagai sebuah gerakan sosial, penelitian dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dalam perspektif historis. Metode historis digunakan untuk menganalisis proses, dan tahap-tahap perkembangan menurut urutan waktunya secara kronologis. Analisis historis dilakukan dengan menggunakan pendekatan terhadap disiplin ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi, dan politik untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang peristiwa pemberontakan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa, ketika pemerintahan pendudukan Jepang berkuasa di Indonesia, khususnya di Unra pada 1943, telah terjadi sebuah perubahan sosial yang cepat,dan dipaksakan dalam bentuk kebijakan ekonomi perang yang membawa penderitaan bagi rakyat. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong lahirnya pemberontakan petani sebagai gerakan sosial.

The research aims to describe the beckground, condition, and factors leading to the uprising of peasants in Unra during the era of Japanese occupation in South Sulawesi in the year 1943. In the analysis of the revolt of Unra peasants as a social movement, I examine the factors, conditions, and community structures that served as the bases of the uprising. Factors such as ideologies and leadershipare also considered in order to know the extent to which they motivated and contributed to the event. In the same way, the study also focuses on the cultural and religious backgrounds within the historical context of the revolt, along with the social, economic, and political climates in Unra during the Japanese occupation. In order to reconstruct this historic movement, a qualitative research method is employed from a historical perspective. A historical method is used to analyze the process and developmental stages in a chronological fashion. Historical analysis was done using approaches from other disciplines such as sociology, anthropology, and political science in order to obtain a broader understanding of the revolt. The goal of this approach is to discover the processes of social change and other social indications that may have been involved such as social conflict, disorganization, and lack of integration among rural communities. Research results showthat during the time of Japanese rule in Indonesia, particularly in the year 1943 in Unra, a rapid social change occurred and a wartime economic policy was forced upon the people. This then became the motivating factor behind the uprising of peasants as a social movement."
Universitas Veteran Republik Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 2012
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hamuni
"Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah Cara-Cara ABRI dalam menyelesaikan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara dengan mengacu pada Pancasila, UUD 1945, dan Sapta Marga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan mengenai: (a) keberadaan DI/TII di Sulawesi Tenggara dalam struktur DI/TII Kahar Muzakkar, (b) dampak pemberontakan DI/Tll. terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara, (c) bentuk strategi yang digunakan ABRI dalam menumpas pemberontakan DI/TIl tersebut, serta (d) digunakan, atau tidak digunakannya strategi non-militer dalam penumpasan DI/TlI, dan apa implikasinya terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara.
Data penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu: (a) sumber primer sebagai sumber data lisan diperolah melalui penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara besar dan mendalam dengan informan penelitian, dan (b) sumber sekunder sebagai sumber data tertulis melalui studi arsip atau dokumen, hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan sumber kepustakaan lainnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa sumber data berupa arsip atau dokumen yang dipilih memiliki obyektivitas serta memenuhi syarat untuk dijadikan sumber data penelitian.
Berdasarkan prosedur metodologis di atas, maka diperoleh temuan-temuan penelitian, bahwa pemberontakan DI/TI1 di Sulawesi Tenggara merupakan bahagian dari stuktur DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan kuat, punya jaringan dan mereka menteror rakyat. Basisnya juga ada dan kuat yaitu KGSS serta ada dukungan basis dari kelompok Islam seperti Bahar Mattalioe dan Usman Balo, juga banyak mendapat dukungan dari ahli agama. Karena itu DI/T11 di Sulawesi Selatan bisa kuat dan bertahan lama. Sedangkan di Sulawesi Tenggara, DI/TII tidak punya jaringan dan tidak punya basis, medannya susah sehingga jaringan antara rakyat dengan DI/TII gampang dipotong oleh ABRI. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Tenggara membawa dampak buruk berupa gangguan terhadap ketahanan nasional yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan itu sendiri yang telah mendorong Iahirnya goncangan stabilitas di daerah Sulawesi Tenggara, stabilitas nasional atau disintegrasi bangsa.
Di Sulawesi Selatan, penumpasan pemberontakan DI/TII lebih banyak digunakan strategi militer (full militer), bahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Itulah sebabnya sehingga operasi penumpasan DI/ TII di Sulawesi Selatan didatangkan pasukan bantuan dari Jawa.
Strategi penumpasan DI/TIl di Sulawesi Tenggara mempunyai kekhususan lain dengan yang ada di Sulawesi Selatan, yakni lebih banyak menggunakan strategi non-militer. Ini disebabkan karena di Sulawesi Tenggara tidak ada basis kekuatan DI/TII seperti KGSS di Sulawesi Selatan, medannya susah, dan tentara dari putra daerah juga sedikit sekali. Itulah sebabnya jaringan basis DI/TII di Sulawesi Tenggara gampang dipotong oleh ABRI. Dalam hubungan ini ABRI lebih banyak memotong hubungan rakyat dengan DI/TlI. Bahkan strategi penumpasan DI/TII di Sulawesi Tenggara juga menggunakan strategi gabungan antara strategi militer dengan strategi non-militer.
Karena itu implikasi strategi penumpasan DI/ TII terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara pada saat itu ialah pemerintah, ABRI yang mendapat dukungan rakyat berhasil meniadakan atau meminimalkan gangguan terhadap ketahanan nasional di Sulawesi Tenggara. Baik itu gangguan yang berdimensi politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan itu sendiri. Dengan demikian dapat dihindari hal-hal yang dapat mendorong lahirnya goncangan stabilitas nasional di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T2511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazaruddin Sjamsuddin
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990
959.811 NAZ p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>